Pagi itu, Alya bangun di kamar hotel yang asing dengan perasaan gugup yang luar biasa. Janji Arka semalam memang sedikit menenangkannya, tapi hari ini adalah hari di mana ia akan menghadapi kenyataan dari kondisinya secara medis.Arka sudah menunggunya di ruang duduk suite hotel itu. Pria itu tampak sudah siap, wajahnya terlihat tenang, namun Alya bisa melihat ketegangan di bahunya yang kaku. Ia sudah memesan sarapan ringan untuk Alya.“Makan sedikit,” katanya. “Agar kamu tidak pusing.”Perjalanan menuju rumah sakit elit di Bandung itu terasa singkat. Alya terlalu sibuk dengan perangnya sendiri di dalam hati untuk memperhatikan jalanan. Di ruang tunggu klinik kandungan, perasaan tidak nyaman Alya semakin menjadi-jadi. Ruangan itu dipenuhi oleh pasangan-pasangan suami-istri yang tampak bahagia, saling berpegangan tangan, dan menatap perut buncit sang istri dengan penuh cinta.Alya secara refleks menyentuh perutnya yang masih rata. Ia dan Arka duduk berjauhan, tidak saling bicara, tampa
Perpisahan di depan teras rumah terasa begitu berat. Bu Aminah memeluk Alya erat-erat untuk terakhir kalinya, matanya yang basah menatap lurus pada Arka yang menunggu di samping mobil. Itu bukan tatapan benci, melainkan sebuah peringatan tanpa kata yang jauh lebih tajam. Jaga putriku, atau kau akan berhadapan denganku.Alya masuk ke dalam mobil mewah itu, tidak berani menoleh ke belakang. Ia tahu, jika ia melihat wajah ibunya lagi, ia akan lari keluar dari mobil dan membatalkan semuanya. Arka menyalakan mesin, dan mobil itu perlahan menjauh, meninggalkan gang kecil yang sunyi dan tatapan para tetangga yang penuh spekulasi.Perjalanan itu diliputi keheningan. Bukan keheningan yang dingin atau marah seperti sebelumnya. Ini adalah keheningan yang canggung, berat, dan dipenuhi oleh ribuan pertanyaan yang tak terucap. Alya menatap ke luar jendela, melihat sawah-sawah hijau Garut yang perlahan digantikan oleh jalanan yang lebih ramai.Ia melirik Arka. Pria itu fokus menyetir, wajahnya tampa
Permintaan maaf Arka menggantung di udara pagi yang sejuk, terasa begitu ganjil dan tidak pada tempatnya. Alya masih berdiri mematung, terlalu syok untuk bereaksi. Sementara Bu Aminah, setelah keterkejutan awalnya, menatap pria asing di hadapannya dengan tatapan tajam seorang ibu yang melindungi anaknya.“Bicara soal apa, Nak?” tanya Bu Aminah, suaranya terdengar tenang namun tegas. Ia menggunakan panggilan "Nak" yang sopan, namun ada jarak yang jelas di dalamnya. “Dan minta maaf untuk apa? Siapa kamu sebenarnya untuk putri saya?”Arka menelan ludah, terlihat jelas tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Ia melirik Alya sekilas, seolah meminta izin, lalu kembali menatap Bu Aminah. “Nama saya Arka, Bu. Saya… atasan Alya di Jakarta.”Mendengar kata “atasan”, Bu Aminah mengerutkan kening. Ia menatap kondisi putrinya yang pucat dan kurus, lalu kembali menatap pria kaya di hadapannya. Cerita ini tidak sinkron.Melihat tatapan para tetangga yang semakin ingin tahu, Bu Aminah menghela napas. “
Jalan tol yang gelap terasa tak berujung. Arka menginjak pedal gas, membiarkan mobilnya melesat membelah malam. Pikirannya jauh lebih kacau daripada lalu lintas Jakarta yang baru saja ia tinggalkan. Ia tidak bisa berhenti memutar ulang bayangan-bayangan mengerikan itu di kepalanya: Alya yang terbaring pingsan, Alya yang menatapnya dengan mata kosong, dan yang terburuk, Alya yang duduk di lantai kamar mandi dengan pecahan kaca di tangan.Setiap kali bayangan itu muncul, cengkeraman tangannya di setir mengencang hingga buku-buku jarinya memutih. Bodoh. Arogan. Apa yang sudah kulakukan? makinya pada diri sendiri. Ia telah merebut segalanya dari gadis itu—pekerjaannya, teman-temannya, kebebasannya—dan hampir merebut nyawanya. Dan untuk apa? Untuk sebuah ego dan rasa memiliki yang buta.Laporan terakhir dari timnya bahwa Alya nyaris pingsan lagi menjadi pemicu terakhir. Persetan dengan memberinya ruang. Bagaimana jika gadis itu kembali nekat? Bagaimana jika kandungannya dalam bahaya? Rasa
Beberapa hari berlalu sejak kepulangan Alya. Ia mencoba melebur kembali ke dalam ritme kehidupan desa yang lambat dan damai. Setiap pagi, ia akan bangun dan membantu ibunya menyiapkan gorengan untuk dijual. Aroma adonan, suara minyak panas, dan obrolan ringan ibunya tentang tetangga seharusnya terasa menenangkan. Namun bagi Alya, semua itu terasa seperti sebuah sandiwara yang harus ia mainkan dengan sempurna.Dinding kebohongannya harus ia bangun tinggi-tinggi. Setiap pagi, saat gelombang mual menyerangnya, ia akan bergegas ke kamar mandi dengan alasan "asam lambungnya kumat". Saat ia tiba-tiba merasa pusing atau lelah, ia akan beralasan "masih dalam masa pemulihan dari stres kerja di Jakarta".Ibunya, Bu Aminah, merawatnya dengan penuh kasih sayang. Membuatkannya teh jahe hangat, memijat tengkuknya, dan selalu memastikan ia cukup istirahat. Setiap perhatian itu terasa seperti sebuah kemewahan sekaligus tusukan rasa bersalah bagi Alya."Kamu ini pucat sekali, Nduk," kata ibunya suatu
Bus malam itu tiba di terminal Garut saat fajar baru saja mulai menyingsing. Alya turun dari bus dengan langkah yang kaku dan tubuh yang pegal. Udara dingin khas pegunungan yang menusuk tulang langsung menyambutnya, sebuah kontras yang tajam dari hawa Jakarta yang lembap dan panas. Ia menarik napas dalam-dalam. Aroma tanah basah dan embun pagi terasa begitu familier, begitu menenangkan. Ia pulang.Ia menyeret koper ungunya yang butut menyusuri jalanan desa yang masih sepi. Di kejauhan, Gunung Cikuray berdiri gagah, diselimuti kabut tipis. Suara kokok ayam jantan dan lantunan adzan subuh dari masjid desa menjadi musik latar kepulangannya. Ini adalah dunia yang telah ia tinggalkan, dunia yang sederhana dan damai. Tapi kedamaian itu kini terasa begitu kontras dengan badai yang berkecamuk di dalam hatinya.Beberapa warga desa yang sudah memulai aktivitasnya di pagi buta menyapanya dengan ramah.“Lho, Neng Alya? Pulang, Neng?” sapa Mang Ujang yang sedang membawa bakul sayur.Alya hanya bis