Ballroom hotel bintang lima itu berkilauan seperti galaksi buatan manusia. Ratusan tamu—para pria dalam tuksedo hitam dan para wanita dalam gaun malam yang gemerlap—berbaur di bawah cahaya lampu kristal yang megah. Suara denting gelas, tawa yang tertahan, dan alunan musik orkestra yang lembut menciptakan sebuah simfoni kemewahan dan kekuasaan.
Dulu, pemandangan seperti ini akan membuat Alya merasa sesak napas dan ingin melarikan diri. Tapi malam ini, saat ia melangkah masuk ke dalam ruangan itu dengan tangan Arka yang melingkar posesif namun menenangkan di pinggangnya, ia merasakan sesuatu yang berbeda. Ini bukan lagi dunianya yang harus ia takuti. Ini adalah sebuah panggung, dan malam ini, ia memiliki peran penting untuk dimainkan.
Kehadiran mereka sontak menyebabkan riak di lautan manusia itu. Bisikan-bisikan langsung menyebar seperti api. Kembalinya Arka Arroihan ke panggung publik adalah berita besar. Tapi kemunculannya bersama Alya, wanita misterius
Alya terbangun perlahan. Hal pertama yang ia sadari bukanlah cahaya matahari yang menyelinap masuk dari celah gorden, melainkan sebuah kehangatan yang kokoh di punggungnya dan sebuah lengan yang melingkar protektif di pinggangnya. Ia bisa merasakan napas Arka yang teratur di tengkuknya. Untuk sesaat, sebuah refleks dari masa lalu yang kelam membuatnya menegang. Namun, perasaan itu langsung hilang, digantikan oleh gelombang rasa aman yang begitu dalam dan menenangkan. Ini bukan sentuhan posesif sang Kaisar Es. Ini adalah dekapan hangat dari suaminya, dari partnernya. Ia tidak lagi merasa terancam. Ia merasa... utuh. Dengan sangat hati-hati, ia membalikkan tubuhnya dalam pelukan Arka. Ia menatap wajah suaminya yang tertidur. Wajah yang dulu selalu terlihat tegang dan dingin, kini tampak begitu damai dan tanpa pertahanan. Kerutan di antara alisnya telah hilang. Ia mengulurkan jarinya, dengan lembut menelusuri garis rahang Arka yang tegas. Perjalanannya untuk sampai ke titik ini te
Keesokan harinya adalah hari Sabtu. Alya terbangun di Jakarta dengan perasaan ringan dan tanpa beban. Ancaman dari Sandra dan teka-teki Seraphina terasa jauh, tergantikan oleh ketenangan pagi akhir pekan. Ia menemukan Arka dan Bara sudah lebih dulu berada di dapur. Pemandangan di hadapannya membuatnya berhenti dan tersenyum. Arka, dengan celemek dinosaurus milik Bara yang terikat canggung di pinggangnya, sedang mencoba membuat panekuk, sementara Bara duduk di meja dapur, bertugas sebagai ‘pengawas kualitas’ yang sangat cerewet. “Ayah, itu gosong!” seru Bara sambil menunjuk ke wajan. “Sssst, ini bukan gosong, Sayang. Ini namanya caramelized. Lebih enak,” balas Arka tanpa menoleh, berusaha menyelamatkan panekuknya yang malang. Alya tertawa pelan, membuat kedua pria di hidupnya itu menoleh. “Selamat pagi, Koki-koki hebat,” sapanya. Melihat Alya, Arka seolah langsung lupa pada panekuknya. Ia tersenyum lebar, berjalan menghampiri Alya, dan memberinya kecupan selamat pagi yang lem
Pagi itu, rumah Alya terasa tegang dengan antisipasi. Ia menyiapkan dirinya, bukan sebagai prajurit, tapi sebagai seorang tuan rumah yang akan menyambut tamu yang sangat sulit ditebak. Ia menata beberapa kue kering di piring, memastikan teko teh sudah siap, dan mencoba mengatur napasnya agar terlihat tenang. Ia tahu Arka berada di ruang kerjanya, pintu sengaja dibiarkan sedikit terbuka—sebuah janji dukungan tanpa kata. Ia juga tahu Mbak Rini berada di dapur. Jaring pengaman yang ditenun oleh kepedulian Arka membuatnya merasa sedikit lebih tenang. Tepat pukul sepuluh pagi, bel berbunyi. Alya membuka pintu dan disambut oleh senyum Seraphina yang sempurna. Wanita itu tampak begitu santai dan memukau, membawa sebuah kotak kado yang terbungkus indah. “Pagi, Alya. Maaf aku merepotkan,” katanya ramah. “Tentu tidak. Silakan masuk, Seraphina,” balas Alya, suaranya ia usahakan terdengar hangat. “Ini, untuk Bara,” kata Seraphina sambil menyerahkan kotak itu. “Hanya sebuah set mainan
Arka menatap layar ponsel di tangan Alya, keningnya berkerut dalam. Keheningan yang tadinya terasa nyaman kini berubah menjadi tegang, dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan tak terucap. Alya memperhatikan suaminya, menunggu reaksinya, analisisnya.“Ini bukan sekadar kunjungan minum kopi,” kata Arka akhirnya, suaranya rendah dan serius. Ia menatap Alya, dan di matanya, Alya melihat sang ahli strategi kembali bekerja. “Ini sebuah langkah catur. Dia sedang mengujimu. Atau mencoba merekrutmu. Orang seperti Seraphina dan ibuku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa alasan”“Langkah catur? Maksudmu apa?” tanya Alya. “Dia kan hanya mengajak minum kopi.”“Sayang, mengundangmu bertemu di rumah kita, sendirian, adalah langkah pembukaan yang sangat agresif,” jelas Arka. “Dia ingin langsung masuk ke teritorimu, melihat pertahananmu, dan mencari tahu di mana celahnya. Dia ingin mengukurmu secara langsung, tanpa ada aku di sana.”Alya menelan ludah. “Tapi Nindya bilang dia itu ular. Bagaimana kala
Alya terbangun perlahan. Hal pertama yang ia sadari bukanlah cahaya matahari yang menyelinap masuk dari celah gorden, melainkan sebuah kehangatan yang kokoh di punggungnya dan sebuah lengan yang melingkar protektif di pinggangnya. Ia bisa merasakan napas Arka yang teratur di tengkuknya. Untuk sesaat, sebuah refleks dari masa lalu yang kelam membuatnya menegang. Namun, perasaan itu langsung hilang, digantikan oleh gelombang rasa aman yang begitu dalam dan menenangkan. Ini bukan sentuhan posesif sang Kaisar Es. Ini adalah dekapan hangat dari suaminya, dari partnernya. Ia tidak lagi merasa terancam. Ia merasa... utuh. Dengan sangat hati-hati, ia membalikkan tubuhnya dalam pelukan Arka. Ia menatap wajah suaminya yang tertidur. Wajah yang dulu selalu terlihat tegang dan dingin, kini tampak begitu damai dan tanpa pertahanan. Kerutan di antara alisnya telah hilang. Ia mengulurkan jarinya, dengan lembut menelusuri garis rahang Arka yang tegas. Perjalanannya untuk sampai ke titik ini te
Hari Senin tiba, dan Alya bersiap untuk pertemuan pertamanya dengan komite amal sekolah. Perasaannya sangat berbeda dari saat ia menghadiri perjamuan teh beracun tempo hari. Dulu ia datang sendirian dengan perasaan cemas. Kini, ia datang dengan perasaan tenang, membawa serta kehangatan dari akhir pekannya bersama Arka dan Bara.Saat Arka akan berangkat kerja, ia berhenti di depan pintu dan menatap Alya. “Semoga berhasil hari ini, Sayang. Ingat, kamu tidak perlu membuktikan apa pun pada mereka.”Alya tersenyum dan merapikan dasi suaminya. “Aku tahu. Aku ke sana bukan untuk mereka. Aku ke sana untuk anak-anak panti asuhan.”Arka mengecup keningnya. “Itulah kenapa aku sangat mencintaimu.”Pertemuan komite diadakan di sebuah ruangan perpustakaan sekolah yang megah. Ada sekitar delapan ibu-ibu lain yang hadir, termasuk Liana yang duduk di kepala meja, dan kroni-kroninya, Rina dan Siska. Saat Alya masuk, semua obrolan terhenti. Suasana menjadi sedikit canggung.“Selamat pagi, Ibu Alya