Hari Senin pagi di meja makan terasa sangat berbeda. Alya duduk dengan punggung lurus, menyantap sarapannya dengan gerakan mekanis. Tidak ada lagi buku catatan di samping piringnya, tidak ada lagi binar semangat di matanya. Yang ada hanyalah kekosongan.Arka, yang duduk di seberangnya, merasakan perubahan itu dengan jelas. Keheningan di antara mereka kini bukan lagi keheningan yang nyaman, melainkan keheningan yang dingin dan berjarak. Gadis yang beberapa hari lalu dengan antusias mendebatnya soal strategi bisnis, kini telah berubah menjadi robot yang pendiam.“Saya sudah baca laporanmu,” ujar Arka, mencoba memecah keheningan. “Analisis pasar Vietnam-nya cukup tajam.”Ia mengharapkan sebuah reaksi. Sebuah senyum kecil, ucapan terima kasih yang bersemangat, atau bahkan sanggahan. Dulu, pujian sekecil apa pun darinya akan membuat wajah gadis itu berseri-seri.Tapi yang ia dapatkan hanyalah jawaban datar. “Terima kasih, Pak,” kata Alya tanpa mengangkat kepalanya dari piring.Hanya itu. T
Alya menatap layar komputernya dengan tatapan kosong. Email dari Arka terasa seperti sebuah vonis yang tidak bisa diganggu gugat. Di sisi lain, ponselnya yang menyala menampilkan pesan ceria dari Dani, sebuah jendela menuju dunia normal yang terasa begitu jauh dan mustahil untuk dijangkau. Ia terjebak. Perasaan marah, dan tidak berdaya bergejolak di dalam dirinya. “Ini tidak adil” lirih aya. Nindya, yang melihat Alya belum juga beranjak dari kursinya padahal kantor sudah sepi, menghampiri dengan raut wajah khawatir. “Ly, lo kenapa? Belum pulang? Muka lo pucet banget.” Tanpa berkata apa-apa, Alya hanya memutar monitor komputernya ke arah Nindya. Mata Nindya membelalak saat membaca email dari Arka. “Gila,” desis Nindya, kali ini nadanya penuh amarah. “Ini sih bukan tugas, ini namanya penyiksaan! Jelas banget dia sengaja biar lo nggak bisa pergi sama Dani. Posesifnya udah level dewa, sumpah!” Nindya menatap Alya dengan prihatin. “Terus lo mau gimana?” “Aku… aku nggak tahu, Nin,” jawa
Semangat Alya yang membara dari hari sebelumnya terus berlanjut. Untuk pertama kalinya, ia tidak merasa tertekan oleh tumpukan pekerjaan. Sebaliknya, ia merasa tertantang. Proposal yang ia susun kini bukan lagi sekadar tugas, melainkan proyek pribadinya yang ia kerjakan dengan sepenuh hati.Pagi itu, di pantry saat mengambil air, ia bertemu Nindya.“Wih, muka lo cerah banget hari ini, Ly. Beda sama kemarin-kemarin yang kusut kayak cucian belum kering,” sapa Nindya ceria.Alya tertawa. “Lagi semangat aja, Nin. Oh iya, soal festival musik akhir pekan ini…”“Kenapa? Jangan bilang lo nggak jadi!” potong Nindya dengan wajah panik yang dibuat-buat.“Jadi, kok! Kak Dani udah ngirim detailnya. Aku cuma mau nanya, enaknya pakai baju apa, ya? Aku nggak punya baju buat nonton konser.”“Gampang itu, mah! Nanti gue bantu pilihin. Yang penting lo siapin mental buat seneng-seneng. Udah lama kan lo nggak refreshing?”Saat mereka sedang asyik tertawa dan membicarakan rencana akhir pekan mereka, Alya t
Alya terbangun bahkan sebelum alarmnya berbunyi. Bukan karena cemas, tapi karena perasaan aneh yang membuncah di dadanya. Semangat. Ia melompat dari tempat tidur, merasa lebih berenergi daripada hari-hari sebelumnya, meskipun ia hanya tidur kurang dari lima jam. Bayangan sesi "les privat" dengan Arka semalam masih terpatri jelas di benaknya. Cara pria itu menjelaskan, cara tangannya membuat sketsa kerangka bisnis dengan begitu percaya diri, semuanya terasa seperti sebuah pencerahan.Dengan perasaan ringan, ia bersiap-siap dan turun untuk sarapan. Seperti yang sudah ia duga, Arka sudah ada di sana, duduk di kursinya yang biasa dengan tablet di tangan. Namun, pagi ini Alya tidak lagi merasa seperti tikus yang berhadapan dengan elang. Ia merasa… setara. Setidaknya, sebagai partner diskusi.“Pagi, Pak,” sapa Alya, suaranya terdengar lebih mantap dan ceria.Arka menurunkan tabletnya. Ada sesuatu yang berbeda dalam caranya menatap Alya pagi ini, ada sedikit rasa ingin tahu. “Pagi. Tidurmu c
Mendapat kepercayaan dari Mbak Vira terasa seperti mendapat suntikan roket. Selama dua hari berikutnya, Alya bekerja dengan energi yang seolah tak ada habisnya. Namun, antusiasme itu mulai meredup saat ia dihadapkan pada kenyataan: punya ide itu mudah, mengubahnya menjadi proposal bisnis yang profesional ternyata jauh lebih sulit.Malam itu, meja makan di rumah Arka telah berubah menjadi medan perang Alya. Laptopnya terbuka, dikelilingi oleh kertas-kertas berisi data, catatan acak, dan coretan-coretan diagram yang lebih mirip benang kusut. Ia sudah mencoba membuat kerangka proposalnya berulang kali, tapi semuanya terasa salah.“Gila, idenya dari gue, tapi cara nulisnya kayak soal ujian masuk surga. Susah banget!” keluhnya pada cangkir tehnya yang sudah dingin. Ia merasa tertekan. Ia tidak ingin mengecewakan Vira.Saat ia sedang memijat pelipisnya yang pening, suara langkah kaki yang familier terdengar menuruni tangga. Arka pulang. Jantung Alya langsung sedikit berdebar, ia buru-buru m
Alya melangkah masuk ke ruang rapat divisi dengan perasaan gugup yang berbeda. Ini bukan lagi rasa takut seorang anak magang yang tidak tahu apa-apa. Ini adalah rasa cemas seorang peserta ujian yang akan mempresentasikan hasil risetnya di hadapan para penguji yang terkenal killer. Ia memeluk map biru berisi data dan catatannya seperti sebuah perisai, mengambil posisi duduk di kursi paling ujung, tepat di sebelah Mbak Vira yang sudah menunggunya dengan wajah serius.Rapat dimulai. Suasana langsung terasa tegang. Para manajer senior mulai berdebat sengit tentang strategi pemasaran untuk melawan Perdana Corp. Suara mereka saling tumpang tindih. Ada yang menyarankan untuk memotong harga produk Z-Line secara agresif, ada pula yang menentang keras karena akan menghancurkan margin keuntungan.“Kita tidak punya pilihan! Penjualan kita terus turun. Kalau tidak banting harga, kita akan kehilangan pangsa pasar!” seru Pak Budi, manajer pemasaran.“Banting harga itu bunuh diri jangka panjang, Bud!