Alya tidak bisa tidur semalaman. Perkataan Arka—“Besok pagi, kita ke dokter”—terus berputar di kepalanya, menciptakan skenario-skenario terburuk. Ia takut. Ia tidak tahu apa yang salah dengan tubuhnya, dan ia lebih takut lagi harus menghadapi semua itu bersama Arka di tempat umum. Pria itu akan melihatnya dalam kondisi paling lemah dan rentan.Pagi harinya, Arka sudah siap menunggunya. Ia tidak mengenakan setelan kerja, melainkan kaus polo dan celana kain, seolah hari ini ia mendedikasikan seluruh waktunya untuk Alya. Melihat penampilan santai itu justru membuat Alya semakin cemas. Ini terasa begitu personal.Perjalanan ke rumah sakit terasa begitu menegangkan. Alya hanya menatap ke luar jendela, melihat jalanan Jakarta yang sibuk, merasa seperti sedang bergerak di dalam sebuah gelembung sunyi. Ia melirik Arka. Pria itu fokus menyetir, tapi cengkeraman tangannya pada setir terlihat lebih erat dari biasanya. Rahangnya mengeras. Ia juga tegang.Mereka tiba di salah satu rumah sakit swas
Setelah Arka pergi, Alya berdiri sendirian di tengah rumah yang sunyi. Janji singkat pria itu—“Aku akan pulang cepat hari ini”—terus terngiang di telinganya. Janji itu terasa begitu personal, begitu di luar kebiasaan, hingga membuat jantungnya kembali berdebar tak menentu.Hari itu, untuk pertama kalinya, rumah megah itu tidak lagi terasa seperti sangkar. Keheningannya tidak lagi terasa menekan, melainkan terasa penuh dengan penantian. Alya mendapati dirinya berkeliling rumah, bukan lagi dengan perasaan seorang tawanan yang mencari jalan keluar, melainkan dengan rasa ingin tahu seorang penghuni.Ia masuk ke dalam ruang kerja Arka yang pintunya terbuka. Ia menyentuh sampul-sampul buku tebal tentang ekonomi dan strategi bisnis. Ia berdiri di depan jendela kaca raksasa, menatap pemandangan kota dari sudut pandang yang biasa Arka lihat. Ia mencoba memahami pria itu, mencoba menyatukan kepingan-kepingan puzzle yang saling bertentangan: sang tiran yang kejam, sang pelindung yang marah, sang
Alya terbangun oleh kehangatan. Bukan kehangatan dari selimut tebal, melainkan kehangatan dari tubuh lain yang mendekapnya. Ia membuka mata perlahan dan hal pertama yang ia lihat adalah dada bidang Arka yang naik turun seirama dengan napasnya yang teratur. Sebuah lengan yang kokoh melingkari pinggangnya, memeluknya dengan posesif bahkan dalam tidur.Ia masih berada di dalam pelukan Arka.Ingatan akan kejadian semalam—ciuman yang ragu-ragu, pertanyaan yang serak, dan kelembutan yang tak terduga—membanjiri benaknya, membuat wajahnya memerah padam. Semalam, ia telah menyerah. Bukan karena paksaan, tapi karena keinginan aneh yang tidak bisa ia lawan lagi.Apa yang sudah aku lakukan? batinnya, campuran antara rasa panik dan perasaan nyaman yang aneh. Ini salah. Tapi kenapa… rasanya begitu benar?Dengan gerakan sepelan mungkin, ia mencoba melepaskan diri dari pelukan Arka tanpa membangunkannya. Tapi usahanya sia-sia. Begitu ia bergerak, pria itu menggeliat dan justru mengeratkan pelukannya.
“Mencari sesuatu, Alya?”Suara serak itu membelah sunyi seperti petir yang jatuh di malam tak berbintang. Alya tersentak, tubuhnya kaku seketika. Nafasnya tercekat saat matanya bertemu dengan dua titik cahaya samar di sudut ruangan. Mata itu milik Arka.Ia duduk di sofa, separuh wajahnya tersembunyi dalam gelap, namun sorot matanya—tajam dan menyala—mengunci langkah Alya.“S-saya…” Lidah Alya kelu. Otaknya kosong, tak ada alasan yang bisa ia rangkai dalam keadaan seperti ini. “Saya… nggak bisa tidur.”Arka bangkit perlahan. Langkahnya pelan, nyaris tak bersuara, tapi kehadirannya terasa seperti badai yang mendekat. Cahaya bulan dari jendela memantulkan siluet bahunya yang lebar, dan setiap langkahnya seperti menelan ruang antara mereka.“Enggak bisa tidur…” gumamnya, nyaris seperti bisikan yang menyentuh kulit leher Alya. “Atau… sebenarnya ada yang kamu butuhin biar bisa tidur?”Deg.Gemetar kecil menyusup ke tulang belakang Alya. Ia menunduk, tak berani menatap. Ia tahu. Arka mengeta
Keesokan paginya, Alya terbangun di ranjang Arka dengan perasaan hampa. Rasa malu dari kejadian semalam begitu membekas hingga ia tidak berani beranjak dari tempat tidur. Ia sengaja menunggu, mendengarkan dengan saksama setiap suara di dalam rumah. Ia mendengar langkah kaki Arka di luar kamar, suara pintu kamar mandi, lalu langkah kaki yang menjauh menuruni tangga. Ia tidak mendengar pria itu kembali naik.Beberapa saat kemudian, ia mendengar suara mesin mobil dinyalakan lalu menjauh. Arka sudah pergi. Tanpa sarapan bersamanya. Tanpa menemuinya. Pria itu secara aktif menghindarinya.Dengan perasaan berat, Alya turun ke bawah. Hanya ada satu piring yang disiapkan di meja makan.“Bapak sudah berangkat dari subuh, Neng,” kata Mbak Rini saat melihat Alya. “Katanya ada rapat penting di luar kantor.”Alya tahu itu hanya alasan. Penolakan Arka semalam kini terasa semakin nyata dan menyakitkan. Ia duduk sendirian, menyantap sarapannya dalam keheningan yang terasa memekakkan.Hari itu, Alya me
Keheningan di ruang keluarga itu terasa begitu pekat hingga Alya bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang menggema di telinga. Ia membeku di tempat, tangannya masih mencengkeram kerah blazer Arka, wajahnya memerah padam karena malu yang luar biasa. Tertangkap basah. Tidak ada alibi, tidak ada jalan keluar.Arka berjalan mendekat, langkahnya pelan dan penuh selidik. Ia berhenti tepat di hadapan Alya, matanya yang tajam menatap lurus ke mata Alya yang panik, lalu turun ke blazer miliknya yang ada di genggaman gadis itu. Wajahnya menunjukkan kebingungan yang murni.“Alya,” ulangnya, kali ini suaranya lebih lembut, lebih seperti sebuah pertanyaan daripada tuduhan. “Aku tanya sekali lagi. Apa yang sedang kamu lakukan?”Alya melepaskan blazer itu seketika, seolah benda itu baru saja menyetrumnya. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam, tidak sanggup menatap wajah Arka. Ia harus mengatakan sesuatu. Kebohongan apa pun. Ada debu, Pak. Saya kira ada serangga. Tapi semua alasan itu terdengar b