Ponsel itu terasa seperti sebuah granat di tangan Alya. Berat dan berpotensi meledak kapan saja. Setelah berperang dengan dirinya sendiri, ia memutuskan bahwa menelepon terlalu berisiko. Mengetik pesan lebih aman. Ia bisa menyusun kata-katanya dengan hati-hati.Dengan tangan gemetar, ia membuka aplikasi pesan dan mengetik balasan untuk Nindya.Nin, maaf banget baru bales. Aku beneran sakit parah, jadi sama dokter nggak boleh pegang HP dulu. Ini aja curi-curi kesempatan. Makasih banyak ya buat kirimannya. Aku seneng banget dapet boneka beruangnya.Send.Balasan dari Nindya datang dengan cepat, penuh kekhawatiran dan pertanyaan, yang memaksa Alya untuk mengetik kebohongan lain yang lebih besar.JANGAN! Jangan, Nin. Aku… aku lagi nggak di rumah. Aku lagi di rumah saudara di luar kota, biar lebih tenang katanya. Nanti kalau udah baikan, aku janji aku yang samperin kamu, ya.Setelah percakapan singkat itu berakhir, Alya melempar ponselnya ke sofa. Ia merasa lega karena berhasil mencegah Ni
Pagi di hari kelima Alya menjadi tawanan terasa sama seperti hari-hari sebelumnya. Ia terbangun di ranjang Arka yang luas dan dingin. Rasa nyeri di tubuhnya sudah sedikit berkurang, namun digantikan oleh kehampaan yang terasa lebih berat. Ia tidak lagi menangis. Air matanya seolah sudah kering.Tok. Tok.Pintu kamarnya yang tidak lagi dikunci diketuk pelan. Mbak Rini masuk dengan nampan sarapan tanpa menunggu jawaban.“Sarapannya, Neng,” ujar Mbak Rini, meletakkannya di meja. Menunya sama seperti kemarin: bubur, jus, dan jajaran vitamin.Alya duduk dan mulai makan secara mekanis. Ia makan bukan karena lapar, tapi karena ia tahu, jika nampan itu kembali dalam keadaan utuh, Arka akan tahu. Dan ia tidak ingin memancing reaksi apa pun dari pria itu. Ia hanya ingin menjadi tak terlihat.Setelah Mbak Rini pergi, Alya menatap ke luar jendela. Dunia di luar sana berjalan normal. Tapi dunianya telah menyempit menjadi sebatas kamar tidur mewah ini. Merasa sesak, sebuah impuls mendorongnya untuk
Hal pertama yang menyambut Alya saat kesadarannya perlahan kembali adalah rasa nyeri yang tumpul namun persisten di sekujur tubuhnya. Kepalanya terasa berat seolah diisi timah, dan setiap sendinya mengirimkan sinyal protes saat ia mencoba bergerak. Ia membuka mata perlahan, mengerjap beberapa kali. Langit-langit berwarna kelam. Ini kamar Arka. Dengan sisa tenaga yang ada, ia menoleh ke samping. Jantungnya yang berdetak lemah seolah berhenti seketika. Di sudut ruangan yang gelap, di atas sebuah kursi berlengan yang besar, Arka tertidur dalam posisi duduk yang jelas tidak nyaman. Kepalanya terkulai ke samping, kemeja birunya kusut masai, dan rambutnya yang biasanya tertata sempurna kini jatuh berantakan menutupi keningnya. Satu tangannya yang terbalut perban terkulai lemas di sisinya. Dia di sini? Semalaman? Di kursi itu? batin Alya, mencoba memproses pemandangan yang tidak masuk akal itu. Pria yang semalam adalah monster, kini tertidur seperti seorang penjaga yang kelelahan. Otakn
“ALYA, JANGAN!”Teriakan Arka yang penuh kepanikan menggema di kamar mandi, memecah keheningan yang mencekam. Ia menerjang maju, tidak peduli pada serpihan kaca yang bertebaran di lantai. Gerakannya cepat dan putus asa.Alya, yang terkejut oleh kedatangan Arka yang tiba-tiba, hanya bisa menatap kosong saat pria itu sampai di hadapannya. Arka tidak ragu-ragu. Ia langsung mencengkeram pergelangan tangan Alya yang memegang pecahan kaca, mencoba merebut benda tajam itu.“Lepaskan, Alya! Lepaskan!” perintahnya, suaranya bergetar karena panik.Tapi Alya, dalam keputusasaannya, justru menggenggam pecahan itu lebih erat. Ini satu-satunya jalan keluarnya, satu-satunya kendali yang ia miliki. Ia tidak akan melepaskannya. Terjadi perebutan singkat. Arka yang lebih kuat berhasil memaksa jari-jari Alya terbuka, namun dalam prosesnya, ujung tajam dari pecahan kaca itu menggores telapak tangannya sendiri, meninggalkan luka sobekan yang langsung mengeluarkan darah segar.Arka tidak peduli pada lukany
Hari-hari berlalu tanpa nama. Senin terasa seperti Minggu, Rabu terasa seperti Jumat. Bagi Alya, waktu telah kehilangan maknanya. Dunianya kini hanya sebatas empat dinding kamar tidur Arka yang mewah namun terasa seperti penjara bawah tanah.Rutinitasnya selalu sama. Pagi hari ia akan terbangun dengan tubuh yang sakit dan jiwa yang hampa. Mbak Rini akan datang membawakan sarapan dengan wajah datarnya, lalu mengunci pintu dari luar. Siang hari, nampan makan siang akan datang. Malam hari, ketakutan akan datang menjelang kepulangan Arka. Dan mimpi buruknya akan kembali berulang.Arka tidak banyak bicara padanya. Pria itu memperlakukannya seperti sebuah benda. Sebuah properti yang ada di sana untuk memuaskan hasratnya saat ia pulang kerja. Tidak ada lagi obrolan, tidak ada lagi tatapan rumit. Hanya ada nafsu yang dingin dan dominasi yang mutlak.Alya mulai kehilangan dirinya. Ia seringkali hanya duduk di depan jendela besar, menatap ke luar pada dunia yang terus berputar tanpanya. Ia meli
Alya terbangun karena rasa sakit yang menyebar di sekujur tubuhnya, seolah setiap sendinya memprotes. Ia membuka mata perlahan. Langit-langit kamar yang tinggi dan berwarna kelam menyambutnya. Ini bukan kamarnya. Sprei sutra yang terasa dingin di kulitnya yang ngilu dan aroma maskulin yang pekat di udara adalah pengingat kejam di mana ia berada. Kamar Arka.Ingatan malam tadi menghantamnya tanpa ampun. Ciuman kasar, suara kain kausnya yang terkoyak, rintihan kesakitannya yang tak dihiraukan, dan bisikan posesif Arka yang dingin. Semuanya nyata. Ia menarik selimut tebal itu hingga menutupi kepalanya, berharap bisa kembali ke kegelapan, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk.Ia sendirian di ranjang besar itu. Arka sudah tidak ada. Dengan sisa-sisa tenaga, ia memaksa dirinya untuk bangkit. Kepalanya pusing dan tubuhnya terasa remuk. Dengan langkah tertatih, ia berjalan menuju pintu, berharap bisa lari ke kamar tamunya yang terasa lebih aman. Ia memutar kenop pintu.Terkunci.Ia mencoba