Arka tidak terburu-buru menemui ibunya. Ia tahu, konfrontasi yang akan terjadi bukan sekadar perdebatan keluarga biasa. Ini adalah pertarungan yang akan menentukan arah hidupnya. Maka ia mempersiapkan diri, bukan dengan senjata fisik, melainkan dengan strategi dan fakta. Hari itu ia habiskan di kantor, tapi bukan untuk bekerja seperti biasa. Ia menutup pintu ruangannya, menyalakan lampu meja, dan membentangkan dokumen merger perusahaan dengan keluarga Dian.Ia membaca tiap baris kontrak, menganalisis tiap klausul, mencatat titik-titik lemah yang bisa digunakan sebagai senjata hukum jika ibunya mencoba menyerang balik. Ia tidak hanya melindungi dirinya—ia juga mempertahankan perusahaan yang telah dibangun oleh kakeknya dengan susah payah. Malam harinya, Arka tidak pulang ke apartemen. Ia tahu Alya sedang hamil, dan ia ingin menjaganya dari beban konflik ini. Ia memesan kamar hotel di sudut Jakarta yang sunyi, tempat ia bisa berpikir jernih. Di sana, ia duduk diam berjam-jam, menata
Arka tiba di Jakarta saat fajar menyapa. Apartemennya yang sunyi tak memanggilnya pulang. Ia memilih kantor, tempat kekosongan hatinya tersamarkan oleh tumpukan pekerjaan. Perjalanan panjang dari Garut tak membuatnya lelah—malah mengasah pikirannya. Keputusasaan yang sempat menggerogotinya mengeras menjadi tekad dingin, namun membara di sudut hatinya.Di kamar mandi pribadinya, air panas membilas sisa keraguan. Ia mengenakan setelan jas baru, menjelma kembali menjadi Arka Arroihan—CEO yang tak kenal ampun, siap melangkah ke medan perang. Dari balik kaca ruangannya, Jakarta terbentang bagai papan catur. Ia telah memilih langkah pertamanya.Pagi itu, ia menghabiskan waktu dengan panggilan singkat. Kepada Seno, kepala keamanannya. Kepada pengacaranya. Kepada tim investigasi swasta yang setia menjalankan perintahnya. Instruksinya pendek, tegas, tak bisa ditawar. Setiap pion diatur dengan cermat, menanti pembukaan permainan.Pukul sepuluh, ia memanggil sekretarisnya.“Sinta, atur pertemuan
Ketenangan yang baru saja mulai menyelimuti rumah sederhana itu pecah seketika. Nama "Dian" yang diucapkan Arka terasa seperti gema dari dunia lain yang kelam, dunia yang Alya coba lupakan. Arka dengan cepat masuk ke kamar tamu untuk mengambil tasnya yang hanya berisi beberapa helai pakaian, wajahnya kembali mengeras menjadi topeng CEO yang dingin dan efisien.Alya dan ibunya hanya bisa berdiri diam di ruang tengah, mengamati pria itu bergerak dengan tergesa-gesa.Dia pergi, batin Alya, hatinya mencelos. Dia kembali ke dunianya. Kembali pada wanita itu. Dan aku… aku akan kembali ditinggalkan di sini.Rasa takut dan tidak aman yang sempat mereda, kini kembali merayap pelan. Apakah semua usahanya di halaman belakang kemarin, semua permohonannya, hanya sebuah sandiwara sesaat?Arka keluar dari kamar, sudah siap untuk pergi. Ia berhenti di hadapan Bu Aminah, menatap wanita paruh baya itu dengan tatapan penuh hormat dan penyesalan.“Bu, saya mohon maaf sebesar-besarnya harus pergi mendadak
Arka terbangun di kamar depan yang sempit oleh suara kokok ayam jantan yang terdengar begitu dekat, disusul oleh lantunan adzan subuh. Ia membuka mata. Langit-langit kayu yang rendah, kasur kapuk yang sedikit keras, dan udara dingin yang menusuk tulang. Ini sangat jauh dari apartemennya yang mewah dan kedap suara.Ia bangkit dan berjalan keluar. Di dapur, ia melihat Bu Aminah sudah sibuk di depan tungku kayu, mengaduk adonan dalam sebuah baskom besar. Aroma adonan tepung dan bawang putih menguar, memenuhi udara pagi.Melihat Arka yang berdiri canggung di ambang pintu, Bu Aminah menoleh tanpa ekspresi. “Air di bak mandi sudah mau habis. Sumurnya di belakang,” katanya singkat, sebelum kembali fokus pada pekerjaannya.Ini adalah ujian keduanya. Arka mengangguk dan berjalan ke halaman belakang. Di sana, ada sebuah sumur tua dengan timba dan tali. Pemandangan yang selama ini hanya ia lihat di film. Dengan sedikit ragu, ia mulai menimba air. Gerakannya kaku dan tidak efisien. Beberapa kali
Arka melangkah masuk ke dalam rumah sederhana itu, membawa serta aroma keringat dan tanah setelah seharian bekerja di halaman belakang. Alya, yang memperhatikannya dari ambang pintu kamarnya, melihat pria itu berjalan dengan sedikit kaku, punggungnya yang biasanya tegap kini tampak lelah.Saat Arka mencuci tangan dan wajahnya di pancuran belakang rumah, Alya bisa melihat dengan jelas telapak tangannya yang memerah dan lecet. Beberapa bahkan melepuh. Pemandangan itu, entah kenapa, menimbulkan rasa perih di hati Alya. Rasa iba yang tak terduga menyelinap masuk, mengalahkan sedikit rasa takutnya.Didorong oleh sebuah impuls yang tidak ia mengerti, ia masuk ke dalam rumah, mengambil kotak P3K tua milik ayahnya dari dalam lemari, lalu kembali ke halaman belakang.Arka, yang baru saja selesai membasuh muka, menoleh kaget saat melihat Alya berdiri di sana sambil membawa kotak obat.“Pak… tangan Bapak luka,” kata Alya pelan, tidak berani menatap mata pria itu.Arka menatap telapak tangannya y
Pintu kayu itu tertutup di hadapan Arka, meninggalkan keheningan yang lebih menusuk daripada bentakan mana pun. Ia berdiri sendirian di beranda rumah yang sederhana itu, merasa seperti orang asing yang terdampar di planet lain. Ia bisa merasakan tatapan penasaran dari para tetangga yang masih mengintip dari balik gorden jendela mereka. Seorang CEO yang biasa dihormati dan ditakuti, kini menjadi tontonan publik di sebuah desa kecil.Ia tidak pergi. Ia tidak kembali ke mobilnya yang mewah. Ia tahu, jika ia melangkah pergi sekarang, pintu itu akan tertutup untuknya selamanya. Dengan sebuah helaan napas panjang, ia duduk di tepi bale-bale bambu, tempat yang tadi diduduki Alya. Ia akan menunggu. Tidak peduli berapa lama. Ini adalah bagian dari penebusan dosanya.Di dalam rumah, Bu Aminah memapah Alya yang masih terguncang ke dalam kamarnya. Ia mendudukkan putrinya di tepi ranjang kapuk yang tua.“Sekarang,” kata Bu Aminah sambil menggenggam kedua tangan Alya, tatapannya lembut namun menunt