Share

Hal yang Mengejutkan

Deo melangkah dengan pasti tanpa keraguan sedikit pun. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu ruang kerja Dewingga, menarik napas sejenak dan memasang kembali indera ke-enamnya.

“Sedikit curang harusnya ‘gak masalah, ‘kan?” tanya Deo pada diri sendiri, memastikan keadaan sekitar.

“Pak Wingga masih di ruangan Pak Affandra, aku masih bisa santai sedikit dan punya waktu kasih minuman ini. Malam ini Pak Wingga akan menghabiskan malam bersamaku. Dinda bukan lagi administrasi biasa.”

Astaga, Bu Dinda yang terkenal paling sopan ternyata cuma kedok doang! Dalam hati Deo berkata. Tak percaya apa yang baru saja dia tahu.

“Si Kirana pasti kalah satu langkah dariku. Pak Affandra tak tersentuh. Tak ada rotan akar pun jadi, kata pepatah begitu, ‘kan?”

Dinda administrator dari Dewingga sibuk dengan pikirannya untuk melakukan rencana penjebakan.

“Ck! Dasar ya. Apa bagusnya sama manusia tanpa ekspresi itu?” gumam Deo pelan.

Terlalu asyik dengan kegiatannya, sampai lupa pada tujuan utama. Masih sibuk mendengarkan pikiran rekan kerja, tanpa sadar, Dewingga sudah berdiri di belakang.

“Apa kau digaji untuk melamun?” Suara berat Dewingga membuyarkan “kegiatan menguping” Deolinda.

“Eh, bu-bukan begitu, Pak.” Deolinda menjawab gugup.

Dengan kepala yang menunduk, Deolinda menggeser badan dan memberikan akses untuk Dewingga masuk ke ruang kerjanya. Entah apa alasannya, Deolinda selalu tidak memiliki keberanian menatap tiga pria terkenal di gedung ini.

“Mana laporannya?” tanya Dewingga begitu duduk di kursi kerja.

Deolingga menyerahkan berkas yang sedari tadi dia bawa tanpa mengarahkan wajah ke Dewingga. Namun, ekor mata melirik Dinda yang menatap kedua orang itu dengan intens.

Dasar, Bu Dinda. Mukanya udah seperti apa itu? ejek Deolinda dalam hati. Gimana cara kasih tahu ke Pak Wingga, ya? Di dalam cangkir itu ada obat bahaya. Yang ada aku bakal disangka gila.

Batin Deolinda berperang, antara memberitahu atau tidak. Karena tidak akan ada manusia yang percaya akan kemampuannya itu.

Atau, kalau aku kasih tahu, yang ada mereka bakal manfaatin aku juga? Dijadiin alat buat baca pikiran lawan bisnis. Deolinda terperanjat begitu menyadari kemungkinan lainnya.

“Hei, kau!” Dewingga sedikit membentak. “Kau di sini untuk bekerja atau melamun?”

“M-maaf, Pak,” balas Deolinda gugup dan langsung menatap wajah Dewingga. Seketika itu juga, dia pun terdiam.

Hah? Apa ini? Deolinda diam dan mematung.

“Ehem.” Suara batuk Dinda sontak mengalihkan perhatian Deolinda. “Pak Wingga dari tadi bicara sama Ibu.”

“O-oh. Iya, Bu. Maaf.”

“Ya, sudah. Sekarang kamu ikut saya ke ruangan Pak Affandra. Semoga saja dia suka sama laporan ini.” Dewingga berdiri.

Deolinda masih saja tidak bersuara, hanya berjalan mengikuti dari belakang saja. Namun, otaknya mencari tahu sesuatu dengan liar.

Pak Wingga apa ‘gak punya pikiran? tanya Deo dalam hati.

Matanya tak lepas menatap kepala bagian belakang kepala Dewingga, seraya mencari-cari apa yang ada dalam pikiran pria itu. Selama ini, Deo membaca banyak hal yang dipikirkan oleh manusia, tapi, tidak dengan Dewingga.

Di tempat lain, seseorang menunggu penuh kemenangan, Affandra Bhaumik yang juga sang Maha Dimensi. Dia duduk dan bersandar dengan penuh keyakinan.

“Satu sudah kutemukan. Tidak tahu yang mana Mireco terkuat, tapi, setidaknya pekerjaanku sedikit lagi akan selesai,” monolog Affandra dan merasa lega.

Ingatannya kembali, tepat malam sebelum rapat dengan Divisi Human Capital dilaksanakan. Tanpa sengaja mendengar Mireco sedang bekerja.

Saat itu, Maha yang sedang mengawasi ketiga dimensi dari kursi kebesarannya, seseorang yang dipanggil ayah sedang memaksa anak perempuannya untuk menjadi alat bayar utang.

“Kau harus mau!” Suara berat pria mabuk terdengar lantang di kepala Maha.

Dengan cepat, retina mata mencari tahu yang sebenarnya terjadi, mengamati sesaat, lalu mengambil keputusan.

“Tidak mau, Pa! Papa yang berjudi, kenapa harus aku yang membayar?” balas si anak terdengar kuat menolak kemauan sang Ayah.

Maha baru akan mengambil tindakan, dia tidak bisa membuat keputusan tanpa pertimbangan, ini dunia manusia, jangan sampai satu kekacauan menimbulkan kekacauan lain.

“Kau, papa tak tahu diri. Berhenti!” Suara yang sedang dicari oleh Maha terdengar.

Maha berhenti, si ayah terdiam seperti terkena hipnotis, si anak perempuan langsung mengambil jarak dan mencari tempat perlindungan.

“Pergilah. Serahkan dirimu dan rentenir itu ke polisi. Katakan pada mereka, kau akan menjual putrimu untuk melunasi semua utang judi.”

“Mireco,” desis Maha. Pencarian Maha beralih, manik mata mencari ketiga dunia yang dia kendalikan. “Ketemu,” ucap Maha.

Tak jauh dari tempat dia berdiri, masih di dalam gedung pencakar langit ini, manik mata Maha Dimensi-Deenege- menemukan Deolinda yang sedang fokus menatap lurus ke depan.

“Jadi, seperti itu kau mengendalikan Mireco?” tanya Maha dengan suara lirih. “Tubuh menegang, kedua telapak tangan terkepal kuat. Kau sedang menhan marah, hah?” Maha masih mengamati Deolinda dengan bersedekap dada.

Suara ketukan menyadarkan Maha dan mempersiapkan diri menyambut yang sudah ditunggu 20 tahun ini. Perasaan luar biasa menyeruak, seperti seorang siswa yang sedang menunggu dipanggil untuk menerima penghargaan.

“Ada apa ini?” tanya Maha bingung pada diri sendiri. “Baru sekali ini aku merasakan hal ini. Apa mungkin karena aku akan menyelesaikan masa di semesta ini?”

Kembali suara ketukan terdengar. Maha tersentak karena sempat melamun, “Masuk.” Suara tegas Maha terdengar.

Dewingga dan Deolinda masuk begitu mendapatkan izin.

“Pak, saya bersama staf HRD membawa laporan notulen yang Anda minta,” kata Dewingga menerangkan.

“Baik. Berikan laporannya,” pinta Maha lagi. “Silakan, Ibu Deolinda menjelaskan isi laporan ini secara ringkas.”

Deolinda tidak menjawab, hanya diam karena masih sibuk membaca isi pikiran Dewingga yang tak terdengar.

“Kosong?” gumam Deolinda tak sadar dia sudah ada di mana.

“Hei, kau melamun lagi?” tanya Dewingga dengan sedikit membentak.

“Eh, ti-tidak, Pak,” gugup Deolinda membalas. Wajah terangkat dan ...

“Aaa ....” Deolinda tiba-tiba berteriak begitu melihat sekeliling.

Apa ini? Tempat apa ini? tanyanya dalam hati. Apa ini memang desain ruang kerja Pak Affandra?

Deolinda seketika itu juga menjadi lemas. Kedua kaki tak mampu lagi menopang tubuh kecil dan kurus.

“Kau kenapa?” tanya Dewingga bingung yang mendapati reaksi perempuan itu. “Apa kau sakit?”

Deolinda termangu masih mencerna apa yang dia lihat barusan. Menarik napas berkali-kali seperti seorang yang sakit asmanya kambuh.

“P-pak, i-ini ....” Deolinda bingung harus bicara apa.

Bagaimana mungkin aku bertanya ke Pak Wingga? Dia pasti pikir aku gila. Apalagi dengan Pak Affandra. Tempat apa ini? Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam benak Deolinda.

“Berdirilah.”   

Tangan Maha terjulur, Dewingga menatap bingung dan tak mengerti. Deo menatap tangan itu ragu. Pria yang tak lain atasan tertinggi sekaligus pemilik perusahaan menawarkan bantuan.

“Pak Affandra mau bantuin?” tanya Deo sangat pelan dan bingung dengan keadaan sekarang.

“Ya, aku menawarkan bantuan untukmu. Dan, aku ....” Affandra berjongkok di hadapan Deolinda. “Mendengar semuanya.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status