Dewingga menatap tak percaya adegan yang sedang tayang langsung. Tepat di depan mata, tangan Maha menjulur dengan senyum terukir di bibir.
“Pak ....” Dewingga menatap Maha dengan pertanyaan yang tergambar di bola mata.
Maha menoleh, “Lihat saja.”
Deolinda yang masih mencerna apa yang baru saja dia lihat, menatap uluran tangan kanan Maha. Mata yang kosong dan otak yang berpikir keras.
“Berdirilah,” ucap Maha lagi. “Dan lihat sekelilingmu.”
Deolinda mengikuti perintah Maha dengan kepala yang terangkat perlahan seraya tangan menerima bantuan dari si bos besar.
“A-apa ini?” tanya Deolinda setelah dia melihat sekeliling.
“Ini dinamakan Vehritio,” jelas Maha.
“Ap ... apa ....” Deolinda terhenti saat Maha merentangkan kedua tangannya.
“Maha.” Dewingga mencoba memotong.
Maha menunjukkan wujudnya yang bukan manusia, wujud aslinya. Deolinda yang awalnya sudah berdiri, kembali terhuyung. Kali ini, dia pingsan.
“Maha, apa yang Anda lakukan?” tanya Dewingga tak paham akan tujuan Maha.
Kedua pria itu menatap Deolinda yang tak sadarkan diri di atas lantai. Tidak terlihat keinginan untuk membantu Deolinda yang pingsan dan terkejut luar biasa.
“Dia pemilik Mireco. Pemilik kekuatan terbesar.” Maha mengalihkan pandangan ke Dewingga. “Kemungkinan nyawanya terancam,” lanjut Maha seraya berubah menjadi wujud manusia.
“Benarkah?” Dewingga mendapat serangan kaget luar biasa. “Tapi ... bagaimana mungkin tubuh manusia bisa menerima kekuatan itu? Terlebih lagi kejadian itu sudah lama. Sudah 20 tahun. Perempuan ini masih seorang anak kecil, bukan?”
“Bahkan, aku pun tidak tahu rahasia Sang Pencipta. Dia sepertinya sudah mengatur dengan sengaja.”
Maha menggerakkan kedua tangannya, tanpa menyentuh gadis yang pingsan itu, dia memindahkan ke sofa panjang dan sudah jelas sangat mahal. Menurunkan tangan secara perlahan supaya wanita bernama Deolinda itu tidak terganggu.
***
Deolinda membuka mata perlahan, mengerjap dan memeriksa sekeliling.
“Ini di mana?” tanya Deo pelan. “Kok sepertinya asing?” Otaknya masih berusaha mencerna dengan baik, mencari jawaban yang tepat di setiap sel-sel darah yang mengalir di dalam kepala.
Dengan sisa-sisa kesadaran, gadis itu berusaha untuk bangkit. Tubuh terasa tenang dan sedikit lega, seperti baru saja melepaskan beban berat. Setelah duduk dengan tenang, punggung kecilnya bersandar di sofa lembut dan sangat halus.
“Bagaimana? Sudah baikan?” Pertanyaan dari seorang pria tentu saja mengejutkan Deolinda.
Jantung Deolinda seperti berhenti saat itu juga. Dia yakin, kalau dia mengenali suara itu. Sangat kenal.
Itu seperti suara Pak Affandra, ucap Deo dalam hati.
“Ya, memang aku yang bicara,” balas Maha yang mengetahui isi pikiran Deolinda.
Kembali Deolinda tersentak. Hari ini, entah sudah berapa kali dia merasakan kejutan. Kepala yang semula tunduk, terangkat perlahan dan terlihat takut.
“P-pak ... Affandra?” Deolinda merasa bingung. “Ba-bapak, kenapa bisa di sini?”
“Pertanyaan itu harusnya tujukan padamu saja.” Maha menyilangkan kaki dan kedua lengan ditumpu di atas pegangan sofa tunggal yang dia duduki. “Kenapa kau ada di sini?”
Deolinda memutar ingatan dan seketika itu juga, dia tersadar. Menatap Maha tidak percaya dengan apa yang dilihat tadi.
Tidak mungkin ada hal aneh seperti itu. Dia hanya orang kaya yang bisa merancang ruang kerja dengan teknologi canggih. Uang bisa mengatur semua. Dalam hati, Deolinda masih menolak penglihatan tadi.
Maha tertawa lepas mendengar perdebatan batin Deolinda. Lalu, dia pun bertepuk tangan. “Apa yang ada di kepalamu itu benar-benar sangat positif ya. Baguslah. Dengan begitu, Mireco berada pada tuan yang tepat,” ucap Maha yang tak dipahami oleh karyawatinya itu.
“Mireco,” ulang Deolinda pelan. “Apa itu, Pak? Penyakit di dalam otakkah? Atau ....” Deolinda berhenti, dia benar-benar tak mengerti.
“Kekuatanmu.”
Maha dan Deolinda sama-sama terdiam. Saling menatap satu sama lain. Deolinda mencari-cari apa yang ada di dalam pikiran Maha. Akan tetapi, dia tak menemukan jawaban yang diinginkan.
Senyum Maha mengembang, se-detik kemudian, dia berdiri. Mau tidak mau, Deolinda mengikuti gerakan Maha.
“Mireco adalah nama dari kekuatan yang ada padamu. Karena kekuatan suprantural itulah kau bisa membaca dan mengendalikan pikiran orang. Serta ....” Maha membungkukkan badan, sehingga wajah mereka berdekatan. “Serta memerintahkan manusia melalui pikiran mereka.”
Mata bening wanita berusia 29 tahun itu membulat, mulut ternganga tanpa sengaja. Lalu, langsung terbatuk kecil disebabkan tersedak oleh udara yang masuk. Jarak dia dan bos besar sangat dekat, mata Deolinda berkedip tiba-tiba karena perih yang dirasakan, mungkin bola matanya sempat kering.
“Bapak pasti sedang bercanda.”
Hanya mampu mengatakan itu demi menghindari tuduhan Maha atau si bos bernama Affandra. Kabur dari tempat ini adalah satu-satunya keinginan Deolinda.
“Tidak perlu kabur, Deolinda.” Maha tahu apa yang ada di pikiran Deolinda.
Deolinda merespon dengan meneguk sedikit saliva di dalam mulut.
“Kenapa Bapak bisa tahu?” Deolinda kebingungan, masih sulit mencerna.
“Tidak perlu takut seperti itu.” Pria yang tak dimengerti oleh Deolinda itu sedang menatap teduh. “Aku tidak akan membuatmu dalam situasi yang buruk. Justru aku akan melindungimu. Saat ini, nyawa dan hidupmu mungkin sudah terancam.”
“Terancam?” ulang Deolinda pelan. Keningnya berkerut tak paham.
“Ya. Mungkin saja, pemilik asli kekuatan itu masih hidup. Mungkin saja dia pun sudah menemukanmu.” Maha menarik napas pelan. “Karena itu, kau harus waspada. Jangan sembarangan memakai Mireco.”
“Tunggu, Pak.” Deolinda berdiri meskipun belum pulih seutuhnya. “Bapak bilang tadi pemilik kekuatan saya? Begini ya, Pak. Saya tidak paham yang Anda maksud. Sekadarb informasi, saya sudah punya kekuatan ini sejak lahir. Jadi, untuk apa ....”
“Orang tuamu meninggal tepat di ulang tahunmu yang ke-8. Malam itu kalian baru saja pulang dari panti asuhan.” Cepat sekali Maha Dimensi memotong ucapan gadis itu.
“Bapak mencaritahu identitas saya?” Netra Deolinda membola selebar mungkin. “Itu melanggar privasi saya, Pak. Anda bisa saya tuntut.” Entah dari mana keberanian itu muncul. Deolinda hanya tidak terima saja.
Maha tertawa lagi, merasa kalau dia sedang berbicara dengan seorang pelawak. Dewingga yang baru masuk tak percaya apa yang dia lihat. Kali ke-dua Dewingga menyaksikan aksi Maha.
“Sang Maha tertawa?” gumamnya penuh tanya. “Apa memang penguasa bumi itu bisa tertawa lepas seperti itu?”
“Ya,” jawab Maha. “Aku mencari tahu kehidupanmu. Melalui helaian rambutmu yang tadi sempat tersentuh tanganku.” Tangan kanan Maha terangkat dan bergerak seperti memutar bola.
Deolinda yang masih tak percaya merespon dengan tawa saja. Tidak bisa dia percayai ucapan atasannya itu.
“Mana mungkin, Pak. Memangnya ini dunia sihir. Anda sepertinya penggemar film fantasi tema penyihir? Kenapa ‘gak sekalian Bapak produksi film?” ketus Deolinda tidak terima.
“Tidak perlu kau suruh. Aku sudah punya sejak tahun 1925.”
“Tidak perlu kau suruh. Aku sudah punya sejak tahun 1925. Dunia hiburan sudah sejak lama sekali kumiliki. Jadi, tidak perlu kau suruh atau pun kau pinta, aku sudah memilikinya.”Pernyataan Affandra membuat Deolinda terperangah. Malam sudah sangat larut dan dia masih sibuk menatap langit-langit kamar kosnya sambil mengolah setiap ucapan pria kaya raya itu.“Astaga!” pekik Deolinda yang sontak bangun dari rebahnya. “Tadi, kan. Aku keluar ruangan Pak Affandra ‘gak pamit?” Diam lagi sambil memikirkan hal yang mungkin terjadi. “Tolol,” makinya pada diri sendiri sambil mengacak-acak rambut.“Kalau besok aku dipanggil, ‘gimana? Terus dikasih SP? Masa iya, baru sebulan kerja aku langsung kena SP?” cerca Deolinda menyadari kebodohannya.Deolinda tidak tenang, kantuk berat sudah menyerang, tapi, otak masih menyuruh berpikir hal buruk karena perilaku negatif yang dilakukan pada atasan tertinggi
Berusaha bersikap wajar di hadapan psikiater perusahaan memang pilihan terbaik saat ini. Wajah tampan, terlihat ramah dengan senyum memikat, tak disangka memiliki hati iblis. “Ini laporan “profiling” pegawai Departemen Service Quality, Bu ....” “Deolinda, Pak. Eh ... dokter,” respon Deolinda cepat. “Tidak perlu sungkan, Bu. Berhubung status saya di sini juga seorang pegawai, pakai bahasa formal saja.” Senyum ramah kembali diterima Deolinda. “Baik, Pak. Saya terima laporannya dan mohon diperiksa kemudian ditandatangani lembar serah terima berkas ini.” Deolinda berkeinginan untuk secepatnya keluar dari ruang kerja Dimas. Sungguh sangat tidak nyaman berada di ruangan seorang manusia berhati iblis. “Ibu terlihat buru-buru, ya?” tanya Dimas. “Maaf, Pak. Saya ada pekerjaan lain.” Deo berusaha untuk bersikap tenang. Dimas tertawa, “Apa Ibu takut kalau Pak Affandra cemburu?” “Hah? Apa maksudnya, Pak?” Deolinda bingung. “Semua orang tahu kok hubungan Bu Deo dengan Pak Affandra. Saya ‘
Kekhawatiran terbesar Maha, jika Deolinda nekad mencampuri urusan Dimas, masalah lain mungkin terjadi. Entah apa pun itu, firasat buruk Maha mengatakan dia harus melindungi Deolinda. “Mungkin ini tugas terakhirku. Perintahkan “ars verihtio” mencari gadis itu!” Maha menahan gelisah. “Jangan sampai kau salah memberikan instruksi kepada pasukan khusus itu. Suruh mereka mencari dari seluruh penjuru alam semesta. Jangan sampai luput.” “Baik, Maha,” balas Dewingga cepat. “Ingat! Jangan sampai rahasia tentang “mireco” milik Mafalda tercium oleh makhluk lain. Bukan hanya nyawa saja yang terancam. Kehidupan alam semesta akan menjadi berantakan.” Dewingga dan para pasukan khusus alam semesta memulai pencarian. Tak seperti biasanya, kesulitan demi kesulitan mereka hadapi hasil pun nihil. Ada yang menghalangi pencarian mereka, tak ada yang tahu siapa yang menghalangi mereka. “Maha, mungkin Nona Deolinda sudah berada di tangan mereka,” simpul Sarjan pengik
Berita terbesar saat ini, tentang hubungan asmara seorang pria kaya raya dan gadis sederhana menjadi topik utama. Seluruh media cetak bahkan elektronik dalam dan luar negeri, siaran berita bisnis, politik bahkan infotainment pun menyiarkan berita mereka. Sang Cinderella abad ini, Deolinda Chalondra Anulika. “Pak, tolong bantah berita ini,” mohon Deolinda di ruang kerja Affandra. Maha duduk dengan santai, sedikit pun dia tidak terpengaruh. Hanya mengetuk-ngetuk meja kerja dengan pena yang bisa dipastikan, harga dua benda itu mencapai ratusan juta. “Caranya?” Pertanyaan Maha bukannya membuat Deolinda tenang, malah membuat gadis itu semakin menjadi marah. “Astaga, Pak. Hal kecil seperti saja masih ditanya,” geram Deolinda menahan kesal yang sudah ada di ubun-ubun. “Kalau kecil, lakukan saja sendiri,” imbuh Maha sambil mengangkat bahu. “Pak, hal kecil untuk Bapak. Kalau saya itu hal besar. Saya tidak memiliki kemampuan buat meluruskan beri
Berita terbesar saat ini, tentang hubungan asmara seorang pria kaya raya dan gadis sederhana menjadi topik utama. Seluruh media cetak bahkan elektronik dalam dan luar negeri, siaran berita bisnis, politik bahkan infotainment pun menyiarkan berita mereka. Sang Cinderella abad ini, Deolinda Chalondra Anulika. “Pak, tolong bantah berita ini,” mohon Deolinda di ruang kerja Affandra. Maha duduk dengan santai, sedikit pun dia tidak terpengaruh. Hanya mengetuk-ngetuk meja kerja dengan pena yang bisa dipastikan, harga dua benda itu mencapai ratusan juta. “Caranya?” Pertanyaan Maha bukannya membuat Deolinda tenang, malah membuat gadis itu semakin menjadi marah. “Astaga, Pak. Hal kecil seperti saja masih ditanya,” geram Deolinda menahan kesal yang sudah ada di ubun-ubun. “Kalau kecil, lakukan saja sendiri,” imbuh Maha sambil mengangkat bahu. “Pak, hal kecil untuk Bapak. Kalau saya itu hal besar. Saya tidak memiliki kemampuan buat meluruskan beri
Halo, Teman-Teman. Alen D. di sini. Sebelumnya, aku minta maaf untuk beberapa kendala teknis ya. Untuk BAB 14 dan seterusnya, dialog dalam hati akan memiliki tanda apostrop (') sebagai pembeda ucapan langsung dengan ucapan dalam hati. Sebenarnya, di BAB 1-13 ditulis dalam bentuk huruf miring, bagi Teman yang membaca via web akan terlihat jelas tulisan miring dan huruf tebal, tapi, untuk yang membaca dari aplikasi,tulisan miring tidak terlihat. Mohon maaf akan ketidaknyamanan Teman-Teman dalam membaca ya. Ke depannya, aku akan menyajikan tanda apostrop (') sebagai pembeda. Namun, jika nanti ada perubahan di aplikasi, aku akan usahakan untuk merevisi dengan baik. Terima kasih atas pengertiannya. Salam, Alen D.
Deolinda menatap satu per satu wajah rekan kerjanya, mata yang menyelidik dan mencoba membaca apa yang ada di dalam pikiran para pegawai Bhaumik Grup itu, rekan se-departemennya.“Cuma pekerjaan?” gumam Deolinda bingung. “Di dalam pikiran mereka hanya pekerjaan saja? Tidak ada yang lain, ‘gitu?” Matanya tak lepas menatap satu per satu wajah rekan kerjanya.‘Mereka pun ‘gak mempermasalahkan berita pertunangan itu? Sekarang aku yang ribet!’ gerutu Deolinda dalam hati.“Nikmati saja,” balas Affandra melalui pikiran Deolinda.Suara berkharisma yang terdengar di dalam kepala Deolinda berhasil membuatnya tersentak dan spontan berdiri seraya berteriak, “Nikmati bagaimana?”Tanpa dikomando, pasangan mata serentak menatap satu-satunya calon nyonya besar Bhaumik.“Maaf,” ucap Deolinda dengan perasaan bersalah.Tak ada yang berani mencibir-seperti biasa-sem
“Ada apa ini?”Suara berat dengan tegas menginterupsi dua wanita bersaudara itu. Serentak mereka menoleh ke asal suara dan sama-sama terkejut dengan pria yang menjadi sasaran imajinasi liar para wanita di luar sana.Aeera tentu saja dengan tatapan penuh kagum, sedangkan Deolinda tersentak karena tidak menyadari keberadaan satu-satunya pria yang ingin dia hindari.“Kamu siapa?” Maha menatap Aeera tanpa ada emosi sedikit pun.Aeera terbatuk kecil, sesaat imajinasinya melayang dengan liar. Baik Maha maupun Deolinda tahu apa isi kepala Aeera.“Oh, halo, Calon Kakak Ipar.” Aeera menyapa dengan nada menggoda.Tangan dengan jari-jemari lentik gadis itu mengulur untuk berjabat tangan. Namun, tak ada respon dari Affandra Bhaumik. Hasilnya, tangan kurus dan kecil seperti tak makan itu hanya menggantung di udara.Bukan hanya Deolinda saja, mereka yang sejak tadi menonton aksi dua gadis bersaudara itu tercengan