Home / Romansa / Mahar 50 Juta dari Si Petani / Aku mencintaimu, Kang!

Share

Aku mencintaimu, Kang!

Author: Lian Nai
last update Last Updated: 2023-01-10 15:26:23

"Sudah waktunya panen ini besok, Bar," celetuk Pak Jagal yang kebetulan letak sawahnya bersebelahan dengan sawah milik Akbar. Milik mendingan Bapak Akbar maksudnya.

"Mau panen manual apa gimana?" tanya Pak Jagal lagi. Akbar nampak berpikir. Panen manual maka akan butuh banyak tenaga, tentu juga upah. "Kalau mau pakai mesin Dos, biar besok sekalian digarap sama Pak Min setelah garap sawahku."

"Boleh juga, Pak," sahut Adam. "Nanti aku ke rumah Pak Min, biar besok sekalian digarap sama beliau."

"Ya, bagus itu. Sayang kalau panen manual, capek dapat, uang upah juga bisa dua kali lipat, belum kamu harus masukin padi ke dalam karung sendirian. Dobel capeknya, Bar."

Akbar mengangguk membenarkan. "Terima kasih sarannya, Pak Jagal."

"Ya, sama-sama. Emak Lamba bilang perkebunan di ujung sana mau dijual. Benar begitu?"

Akbar menoleh dengan cepat. Dia menatap Pak Jagal dengan pandangan penuh kebingungan. Kapan Emaknya datang ke rumah pria paruh baya ini?

"Emak yang bilang sendiri, Pak?"

Pak Jagal melepas topinya dan duduk di salah satu gubuk yang ada di antara sawah mereka. Melihat pria yang dia ajak berbicara menghempaskan bokong sembari berteduh, Akbar pun mengikuti gerakan Pak Jagal dan duduk di sebelah pria yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Pak Jagal bisa dibilang sebagai makelar penjualan. Jual beli apapun itu. 

"Mak Lamba bilang kalau kamu mau melamar gadis," tutur Pak Jagal memulai pembicaraan. "Gadis mana yang ingin dilamar sedemikian megah, Akbar? Perkebunan kalian kalau dijual bisa sampai ratusan juta, semua uang itu untuk kebutuhan melamar?"

Akbar menunduk dalam. Emak Lamba dan Pak Jagal memang sudah seperti saudara. Kalau ada apa-apa, Pak Jagal dan istrinya lah yang selalu lebih dulu membantu keluarga Akbar. Ada satu kebaikan mendiang Bapak Akbar pada Pak Jagal dan keluarganya. Dan sampai detik ini, pria yang duduk di sebelah Akbar itu selalu berusaha membantu kesulitan yang dihadapi Emak dan anak itu. 

"Bukannya Bapak ikut campur. Tapi ... gadis mana yang ingin kamu nikahi, boleh aku tau?"

Akbar menimbang-nimbang apakah lebih baik ia bercerita dan meminta saran dari orang lain. Atau ... tetap menjaga rahasia ini agar tidak sampai mendapat malu keluarga Kanaya sebab bagaimanapun, syarat mahar yang Bu Tarjo berikan sangat di luar nalar. Terlalu mencekik.

"Kanaya, anaknya Pak Bagiyo."

Pak Jagal seketika menoleh dengan cepat. "Anaknya Tarjo?" tanya pria itu terkejut. "Kenapa pula kamu bisa kenal sama anaknya Tarjo, Bar? Mereka itu keluarga sombong, sudah banyak pria datang melamar putri pertamanya tapi selalu ditolak. Dengar-dengar ... Tarjo sengaja meminta mahar tinggi untuk anaknya. Jadi ... kamu juga diperlakukan begitu?" selidik Pak Jagal. "Sudah bukan rahasia umum lagi, bahkan aku rasa Emak Lamba saja sudah tau desas-desus ini."

"Benarkah begitu, Pak?" 

"Ya. Sudah tiga pria yang melamar putri pertama Tarjo, tapi yang terakhir ini keluarga mereka hampir adu jotos."

Akbar memicingkan mata. "Memangnya kenapa, Pak?"

"Ya kenapa lagi, mereka direndahkan sama Tarjo gara-gara gak bisa kasih mahar tinggi. Lagipula Tarjo itu keterlaluan, bisa-bisanya pasang harga buat anaknya sendiri, belum semua biaya pesta dia mau terima bersih. Gila!"

Akbar lagi-lagi menunduk. Ternyata dia bukan pria pertama yang ditolak oleh Bu Tarjo. Sebelum dia, ada beberapa pria yang mencoba melamar Laela namun berujung cibiran. Sama sepertinya tempo hari ketika ingin meminang Kanaya, sang pujaan hati.

"Saran Bapak, Bar ... ini cuma saran, Le. Kamu boleh terima, boleh membuangnya jauh-jauh kalau tidak sesuai dengan kata hatimu." Pa Jagal menarik napas panjang. Pria paruh baya itu menatap Akbar selayaknya putranya sendiri. "Cari wanita sederhana yang bisa memuliakan suami dan mertuanya. Bapak paham sekali bagaimana perangai Tarjo dan anak-anaknya. Mereka ... tiga kampung sudah tau bagaimana buruknya sikap keluarga itu, Akbar. Jangan kamu teruskan, Nak. Tidak akan rugi kamu melepaskan wanita seperti dia ...."

"Kanaya namanya, Pak," sela Akbar.

"Ya, Kanaya. Bapak baru ingat, kakaknya bernama Laela, benar?"

Akbar mengangguk membenarkan. "Aku sudah katakan pada Emak kalau tidak perlu menjual perkebunan Bapak. Bahkan aku pun sudah mengatakan dengan jujur kalau bukan Kanaya saat ini yang aku mau, Pak Jagal."

"Begitulah orang tua, Akbar. Mereka akan melakukan segala cara agar anak-anak mereka mereguk bahagia. Emak Lamba mengira kamu hanya sedang kecewa pada takdir. Itulah sebabnya dia berusaha membeli takdir dengan harga perkebunan yang cukup tinggi. Ingin dia tunjukkan pada keluarga Tarjo kalau kamu mampu meminang putri mereka." Pak Jagal menatap jauh ke depan. Bayangan wajah lusuh Emak Lamba membuat hatinya terharu. "Emak Lamba sudah bercerita bagaimana keluarga Kanaya menghina kalian."

Akbar bungkam. Kepalanya masih menatap lurus ke depan. Lagi-lagi dia usap bekas ludah Laela tempo hari. Nyeri di hatinya masih sama. Doa di bibirnya masih sama. Betapa menakutkan ketika Tuhan mengijabah doa-doa orang terzalimi suatu saat nanti. 

"Kalau kamu masih mau memperjuangkan perasaanmu, Bapak bisa bantu jual perkebunan ...."

"Tidak perlu, Pak," sela Akbar lirih. "Sejak Emak dihina oleh mereka, sejak saat itu pula perasaanku sudah musnah untuk Kanaya. Aku ... sedang menata diri."

Pak Jagal menepuk bahu Akbar dua kali dan berkata. "Kamu pria yang baik dan bertanggung jawab, akan ada wanita yang juga sama baiknya untukmu nanti."

Pak Jagal bangkit ketika nampak sosok yang mereka bicarakan berjalan ke arah sawah sambil menenteng rantang berisi makanan.

"Dia mendatangimu," ucap Pak Jagal janggal. "Kuatkan tekadmu, Nak! Kalau memang kamu ingin melanjutkan perasaan yang kamu punya, Bapak siap membantu."

Akbar mengangguk kaku. Dadanya tetiba terasa panas ketika melihat Kanaya berjalan sembari mengumbar senyum seolah-olah tempo hari ucapannya dan keluarganya tidak menggores luka di hati Akbar. 

"Bapak pulang dulu! Jangan lama-lama berbicara berdua di tempat sepi, takut ada fitnah."

"Aku ikut pulang, Pak Jagal," sahut Akbar cepat. "Lagipula tidak ada yang harus kami bicarakan."

Akbar dan Pak Jagal berjalan bersisian. Kanaya semakin melebarkan senyum ketika Akbar melangkah semakin mendekat. Ketika tubuh keduanya sudah berhadapan, Akbar melenggang begitu saja meninggalkan Kanaya yang penuh kebingungan.

"Kang!" panggilnya lantang. "Aku bawa nasi kuning buat kamu! Ayo, makan dulu!"

Akbar tak acuh. Dia mencoba abai dengan suara Kanaya yang begitu dia damba. Dulu.

"Kang! Kamu gak suka aku datang? Kamu masih marah sama ucapan Mamak? Jawab, Akang?!"

Akbar masih terus melangkah. Kanaya yang kesal karena tidak mendapat respon pun berlari mengejar langkah kaki Akbar.

"Mamak kasih waktu buat Akang. Kita masih ada peluang buat menikah. Kata Mamak ... bagaimana kalau sawah Akang ini dijual, uangnya bisa dipakai mahar dan keperluan menikah kita. Setelah itu kita bisa hidup berdua di kota, mengontrak pun aku tak masalah asal hanya kita berdua dan ... Akang berhenti jadi petani. Banyak lowongan pekerjaan di kota, kita bisa hidup tenang dan ...."

"Dan buang semua mimpi konyolmu!"

Bersambung 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   EXTRA PART

    Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   TAMAT

    "Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kebaikan Bersamamu, Emak!

    "Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat III

    "Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat II

    Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat I

    Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status