Share

Hujan Air Mata

Author: Lian Nai
last update Last Updated: 2023-01-10 15:25:51

Menjelang sore, Akbar pulang ke rumah sambil menenteng sawi yang dia ambil dari perkebunan di sebelah sawah miliknya. Kebun yang berukuran luas itu sengaja dia tanami sawi, jagung dan sayuran yang bermacam-macam. Satu-satunya kebun paling lebar peninggalan Bapak Akbar yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh Emak Lamba dan putranya itu.

"Ambil sawi lagi?" tanya Emak ketika baru saja membuka pintu. "Yang kemarin masih ada, Nak, berikan Pak Ustad Jefri saja!"

Akbar mengangguk tanpa membantah. Selama ini, dia sering mengambil sayuran di perkebunan untuk dimasak sehari-hari dan lainnya memang untuk dijual ketika masa panen nanti.

"Emak sudah masak, makan lah!" pinta Emak Lamba. "Pak Jefri ada?" Akbar mengangguk. "Emak sudah tau ini sebelumnya, iya kan?"

Emak duduk di salah satu kursi yang terletak rapi di teras. "Ustad Jefri tadi kesini, beliau bilang mau mengenalkan kamu sama anak dari almarhum temannya. Emak gak bisa memutuskan, Ustad bilang mau bicara sendiri sama kamu. Jadi, bagaimana?"

Akbar menunduk. Sepuluh jarinya bertautan. Sungguh, memulai perasaan yang baru dengan orang yang baru bukanlah hal yang mudah. Jika Kanaya yang sudah lama ia kenal saja tidak bisa Akbar kenali perangainya, lalu bagaimana dengan wanita baru?

"Ustad bilang dia kalem, Bar. Tidak begitu cantik, tapi manis ...."

"Memang Emak sudah tahu?" sela Akbar terkekeh. "Emak seperti biro jodoh saja!"

Emak Lamba menepuk lengan putranya dengan lembut. "Tadi istrinya Ustad Jefri yang ngasih tau Emak fotonya. Namanya ...."

"Akbar belum siap, Mak," lirih Akbar. "Bagaimana kalau dia tidak bisa menerima keadaanku yang apa adanya ini?"

Emak menatap sendu putranya yang tengah menunduk menyembunyikan air muka yang berantakan. Dadanya bergemuruh, hatinya masih berdenyut nyeri ketika kedua mata Akbar menatap bekas ludah Laela di lengannya. 

"Sepertinya Akbar memilih melajang seumur hidup."

"Astaghfirullah ... istighfar, Nak! Nyebut, Akbar!" pekik Emak Lamba terkejut. 

Akbar bersimpuh di kaki Emak. Menenggelamkan kepalanya di antara kedua paha yang semakin mengecil dan mengeriput termakan usia. 

Bahu Akbar berguncang. Hinaan dan cibiran yang dilontarkan keluarga Kanaya kepadanya dan kepada Emak membuat kepercayaan diri Akbar menguap berganti rasa takut yang kini merajai. 

"Maafkan Akbar, Mak ...."

"Tidak ada yang salah dengan keadaan hidup kita, Akbar! Tidak jika kamu menemukan wanita yang tepat," kata Emak dengan suara bergetar. "Kamu anak Emak yang paling sholih, luar biasa. Emak saksinya, Demi Allah, Nak!"

"Kalau Kanaya masih ingin kamu gapai, Emak ikhlas ... Emak bisa meminta bantuan Pak Jagal untuk menjual perkebunan kita dan uangnya bisa kamu gunakan sebagai mahar, Akbar. Semua akan Emak lakukan, Nak! Emak ikhlas ... kita kesana lagi, esok?"

Akbar menggeleng. Hatinya semakin terasa perih mendengar ketegaran hati Emak. Bukan Kanaya yang Akbar tangisi melainkan ketakutannya jika sampai tua dia tidak bisa menemukan wanita yang bisa menerima Emak. Balada menantu dan mertua selalu ada. Dan Akbar takut akan itu. Akbar tidak bisa memilih antara istri dan Ibunya suatu saat nanti.

"Emak akan melakukan apapun demi kamu, Nak! Demi kebahagiaan kamu. Seharusnya kamu bisa menyanggupi keluarga Kanaya agar mereka tidak punya kesempatan merendahkan kamu tadi. Emak akan mengikuti semua kemauan kamu, menjual kebun, sawah, apapun itu akan Emak lakukan. Demi kamu!"

Akbar mengangkat kepalanya. Wajahnya berantakan karena tangis sementara Emak mengerjap melihat putranya yang tengah menikmati luka hati dalam pangkuannya.

"Besok kita datangi lagi rumah Kanaya. Jangan menangis, Emak paham kalau kamu ingin membina rumah tangga hanya dengannya." Emak membingkai wajah Akbar dengan kedua tangannya yang keriput.

"Emak tidak mengerti apapun," sahut Akbar getir. "Bukan Kanaya yang aku mau saat ini.  Air mata ini, bukan untuk Kanaya yang tidak bisa menghargai Emak dalam hidupku. Emak tau mengapa aku menangis? Karena ... aku belum bisa menjunjung tinggi martabat Emak, aku ... tidak bisa mencegah orang lain agar tidak menghardik Emak. Aku tidak begitu peduli pada bagaimana orang-orang menghinaku, Mak, tapi menghina Emak di depanku, hatiku rasanya ...."

Emak Lamba memeluk Akbar dengan cukup erat. Bahu keduanya berguncang. Tangis keduanya mengiringi hujan yang tiba-tiba turun sore ini. Aneh! Cuaca memang suka-suka Allah yang mengatur. Baru saja panas matahari sore menyengat tubuh Akbar, kini langit sudah menggelap dan hujan turun dengan derasnya. 

Akbar mengusap pipi Emak begitu lembut. Pipi yang dulu merona dan berisi kini berubah semakin tirus. 

"Ayo masuk, hujan."

Akbar membantu Emak berdiri dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Maafkan Emak ya, Bar."

"Untuk apa, Mak? Emak tidak salah apapun ...."

"Seharusnya Emak tidak mendesak kamu setelah kita ditolak oleh keluarga Kanaya. Hanya saja ... Emak gak enak sama Ustad Jefri dan istrinya, makanya ...."

"Akbar paham, Mak," sela Akbar. "Tapi beri Akbar waktu."

Emak mengangguk lemah. "Emak tidak memaksa, Nak. Apapun keputusan kamu, Emak menghargainya, bahkan jika esok kamu ingin Emak meminta Kanaya lagi. Insya Allah, Emak siap. Akan Emak usahakan agar hubungan kalian segera halal."

Akbar tersenyum getir. Wanita sebaik Emak kenapa harus menerima perlakuan buruk dari Kanaya dan keluarganya. Apakah semua orang memandang rendah orang lain hanya karena harta?

"Akbar sudah katakan berulang kali, bukan Kanaya lagi yang aku inginkan, Mak. Mendengar suaranya meninggikan suara di depan Emak sudah membuatku hancur. Aku ... sedang menata diri, agar jika suatu hari nanti meminang wanita lain, Emak dihargai dengan baik. Emak tidak direndahkan. Emak tidak dihina."

Emak Lamba membelai kepala Akbar dengan rasa haru yang membuncah.

"Sudah saatnya kamu memikirkan masa depan, Akbar. Berhenti memikirkan Emak! Kamu harus fokus pada istri dan anak-anak kamu nanti. Jangan jadikan Emak penghalang kebahagiaan kamu, Nak ...."

Bersambung 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   EXTRA PART

    Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   TAMAT

    "Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kebaikan Bersamamu, Emak!

    "Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat III

    "Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat II

    Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat I

    Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status