Share

Hujan Air Mata

Menjelang sore, Akbar pulang ke rumah sambil menenteng sawi yang dia ambil dari perkebunan di sebelah sawah miliknya. Kebun yang berukuran luas itu sengaja dia tanami sawi, jagung dan sayuran yang bermacam-macam. Satu-satunya kebun paling lebar peninggalan Bapak Akbar yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh Emak Lamba dan putranya itu.

"Ambil sawi lagi?" tanya Emak ketika baru saja membuka pintu. "Yang kemarin masih ada, Nak, berikan Pak Ustad Jefri saja!"

Akbar mengangguk tanpa membantah. Selama ini, dia sering mengambil sayuran di perkebunan untuk dimasak sehari-hari dan lainnya memang untuk dijual ketika masa panen nanti.

"Emak sudah masak, makan lah!" pinta Emak Lamba. "Pak Jefri ada?" Akbar mengangguk. "Emak sudah tau ini sebelumnya, iya kan?"

Emak duduk di salah satu kursi yang terletak rapi di teras. "Ustad Jefri tadi kesini, beliau bilang mau mengenalkan kamu sama anak dari almarhum temannya. Emak gak bisa memutuskan, Ustad bilang mau bicara sendiri sama kamu. Jadi, bagaimana?"

Akbar menunduk. Sepuluh jarinya bertautan. Sungguh, memulai perasaan yang baru dengan orang yang baru bukanlah hal yang mudah. Jika Kanaya yang sudah lama ia kenal saja tidak bisa Akbar kenali perangainya, lalu bagaimana dengan wanita baru?

"Ustad bilang dia kalem, Bar. Tidak begitu cantik, tapi manis ...."

"Memang Emak sudah tahu?" sela Akbar terkekeh. "Emak seperti biro jodoh saja!"

Emak Lamba menepuk lengan putranya dengan lembut. "Tadi istrinya Ustad Jefri yang ngasih tau Emak fotonya. Namanya ...."

"Akbar belum siap, Mak," lirih Akbar. "Bagaimana kalau dia tidak bisa menerima keadaanku yang apa adanya ini?"

Emak menatap sendu putranya yang tengah menunduk menyembunyikan air muka yang berantakan. Dadanya bergemuruh, hatinya masih berdenyut nyeri ketika kedua mata Akbar menatap bekas ludah Laela di lengannya. 

"Sepertinya Akbar memilih melajang seumur hidup."

"Astaghfirullah ... istighfar, Nak! Nyebut, Akbar!" pekik Emak Lamba terkejut. 

Akbar bersimpuh di kaki Emak. Menenggelamkan kepalanya di antara kedua paha yang semakin mengecil dan mengeriput termakan usia. 

Bahu Akbar berguncang. Hinaan dan cibiran yang dilontarkan keluarga Kanaya kepadanya dan kepada Emak membuat kepercayaan diri Akbar menguap berganti rasa takut yang kini merajai. 

"Maafkan Akbar, Mak ...."

"Tidak ada yang salah dengan keadaan hidup kita, Akbar! Tidak jika kamu menemukan wanita yang tepat," kata Emak dengan suara bergetar. "Kamu anak Emak yang paling sholih, luar biasa. Emak saksinya, Demi Allah, Nak!"

"Kalau Kanaya masih ingin kamu gapai, Emak ikhlas ... Emak bisa meminta bantuan Pak Jagal untuk menjual perkebunan kita dan uangnya bisa kamu gunakan sebagai mahar, Akbar. Semua akan Emak lakukan, Nak! Emak ikhlas ... kita kesana lagi, esok?"

Akbar menggeleng. Hatinya semakin terasa perih mendengar ketegaran hati Emak. Bukan Kanaya yang Akbar tangisi melainkan ketakutannya jika sampai tua dia tidak bisa menemukan wanita yang bisa menerima Emak. Balada menantu dan mertua selalu ada. Dan Akbar takut akan itu. Akbar tidak bisa memilih antara istri dan Ibunya suatu saat nanti.

"Emak akan melakukan apapun demi kamu, Nak! Demi kebahagiaan kamu. Seharusnya kamu bisa menyanggupi keluarga Kanaya agar mereka tidak punya kesempatan merendahkan kamu tadi. Emak akan mengikuti semua kemauan kamu, menjual kebun, sawah, apapun itu akan Emak lakukan. Demi kamu!"

Akbar mengangkat kepalanya. Wajahnya berantakan karena tangis sementara Emak mengerjap melihat putranya yang tengah menikmati luka hati dalam pangkuannya.

"Besok kita datangi lagi rumah Kanaya. Jangan menangis, Emak paham kalau kamu ingin membina rumah tangga hanya dengannya." Emak membingkai wajah Akbar dengan kedua tangannya yang keriput.

"Emak tidak mengerti apapun," sahut Akbar getir. "Bukan Kanaya yang aku mau saat ini.  Air mata ini, bukan untuk Kanaya yang tidak bisa menghargai Emak dalam hidupku. Emak tau mengapa aku menangis? Karena ... aku belum bisa menjunjung tinggi martabat Emak, aku ... tidak bisa mencegah orang lain agar tidak menghardik Emak. Aku tidak begitu peduli pada bagaimana orang-orang menghinaku, Mak, tapi menghina Emak di depanku, hatiku rasanya ...."

Emak Lamba memeluk Akbar dengan cukup erat. Bahu keduanya berguncang. Tangis keduanya mengiringi hujan yang tiba-tiba turun sore ini. Aneh! Cuaca memang suka-suka Allah yang mengatur. Baru saja panas matahari sore menyengat tubuh Akbar, kini langit sudah menggelap dan hujan turun dengan derasnya. 

Akbar mengusap pipi Emak begitu lembut. Pipi yang dulu merona dan berisi kini berubah semakin tirus. 

"Ayo masuk, hujan."

Akbar membantu Emak berdiri dan menuntunnya masuk ke dalam rumah. "Maafkan Emak ya, Bar."

"Untuk apa, Mak? Emak tidak salah apapun ...."

"Seharusnya Emak tidak mendesak kamu setelah kita ditolak oleh keluarga Kanaya. Hanya saja ... Emak gak enak sama Ustad Jefri dan istrinya, makanya ...."

"Akbar paham, Mak," sela Akbar. "Tapi beri Akbar waktu."

Emak mengangguk lemah. "Emak tidak memaksa, Nak. Apapun keputusan kamu, Emak menghargainya, bahkan jika esok kamu ingin Emak meminta Kanaya lagi. Insya Allah, Emak siap. Akan Emak usahakan agar hubungan kalian segera halal."

Akbar tersenyum getir. Wanita sebaik Emak kenapa harus menerima perlakuan buruk dari Kanaya dan keluarganya. Apakah semua orang memandang rendah orang lain hanya karena harta?

"Akbar sudah katakan berulang kali, bukan Kanaya lagi yang aku inginkan, Mak. Mendengar suaranya meninggikan suara di depan Emak sudah membuatku hancur. Aku ... sedang menata diri, agar jika suatu hari nanti meminang wanita lain, Emak dihargai dengan baik. Emak tidak direndahkan. Emak tidak dihina."

Emak Lamba membelai kepala Akbar dengan rasa haru yang membuncah.

"Sudah saatnya kamu memikirkan masa depan, Akbar. Berhenti memikirkan Emak! Kamu harus fokus pada istri dan anak-anak kamu nanti. Jangan jadikan Emak penghalang kebahagiaan kamu, Nak ...."

Bersambung 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status