Home / Romansa / Mahar 50 Juta dari Si Petani / Bagaimana rasanya dibuang, Kanaya?

Share

Bagaimana rasanya dibuang, Kanaya?

Author: Lian Nai
last update Last Updated: 2023-01-10 15:26:53

Tubuh Kanaya menegang mendengar suara Akbar yang meninggi untuk pertama kalinya. Kedua matanya memanas. Bibirnya bergetar menahan tangis karena pria yang selalu mengatakan akan menjaga dan mencintainya ternyata sudah berubah dalam hitungan hari saja.

"Kang ...."

"Buang semua harapanmu yang menggunung itu, Naya! Karena sampai kapanpun, aku ... tidak akan pernah lagi datang ke rumahmu untuk meminang gadis yang bahkan berani meninggikan suara di depan Emak. Tidak akan pernah!" 

Air mata Kanaya meluncur bebas. Dadanya sesak. Kedua tangannya mengepal sembari mencengkeram pegangan rantang yang sudah ia siapkan isinya dari rumah sejak pagi.

"Hanya karena itu, Kang? Hanya karena ...."

"Hanya?" sela Akbar menahan geram. "Kamu bilang hanya, Nay? Meninggikan suara di depan orang yang lebih tua menurutmu adalah hal yang biasa, begitu? Dia Emakku, Kanaya! Surgaku! Bisa-bisanya kamu mengatakan semua yang terjadi dengan kata hanya?" Akbar terkekeh getir. "Kita belum menikah saja kamu sudah ingin mengusir Emak dalam hidupku. Lalu bagaimana kalau kita jadi menikah ... kamu mau aku melupakan Emak di sisa umurnya, iya?!"

"Kang, aku ... aku emosi waktu itu. Aku ...."

"Pulanglah! Katakan pada Bu Tarjo bahwa anak gadisnya pantas mendapat pria kaya yang mapan. Petani sepertiku hanya akan menambah beban malu keluargamu."

Kanaya menggeleng cepat. Hujan di matanya semakin deras dan tidak terkendali. Siapa sangka, emosinya saat itu menuai kemarahan Akbar. Kanaya pikir, semarah-marahnya Akbar tidak akan melampaui rasa cinta pria itu padanya. Namun kenyataan yang dia dapatkan sungguh mencengangkan. Akbar benar-benar melepaskannya begitu saja siang ini.

"Kang, aku ... ayolah, Kang, aku berjanji akan meminta maaf pada Mak Lamba. Kalau perlu, akan aku cium kedua kaki surgamu itu, Kang. Aku mohon ... kamu sudah berjanji akan menjagaku. Kamu ... berjanji akan mencintaiku, Kang ...."

"Nyatanya meminang gadis tidak cukup hanya dengan cinta, Naya," sahut Akbar sambil terkekeh. "Butuh lima puluh juta dan banyak uang untuk menanggung biaya pernikahan di rumah mempelai wanita. Benar begitu?"

Wajah Kanaya memanas. Akbar jelas-jelas sedang menyindirnya di depan Pak Jagal. Dengan kasar Kanaya mengusap air matanya yang mengalir tanpa permisi di pipinya yang bersih. 

"Semua orang tua berhak memiliki harga atas anak mereka," kata Kanaya tegas. "Akang gak bisa menyalahkan Mamak karena mahar yang kami minta. Seharusnya Akang memperjuangkan aku, berusaha bagaimanapun caranya agar aku bisa menjadi istrimu, Kang."

Tatapan mata Kanaya pada Pak Jagal membuat pria paruh baya itu membuang muka. Sungguh, terjebak dalam perseteruan anak muda membuatnya canggung. Namun meninggalkan Akbar berdua dengan Kanaya tentu saja tidak bisa dia lakukan. Bagaimana jika ada setan yang berbisik kotor pada dua manusia yang tengah dikuasai emosi ini?

"Akang berniat mencari istri. Berhenti bersembunyi di balik ketiak Mak Lamba. Kelak, ketika kita sudah menikah, bukankah memang seharusnya Akang mendahulukan anak dan istri daripada orang tua? Buka pikiran Akang, jangan menelan mentah-mentah nasehat orang tua apalagi jelas-jelas Mak Lamba terlihat tidak menyukaiku. Dia seperti sengaja ingin membuat kita berpisah dan ...."

"Cukup!" bentak Akbar lantang. Suaranya menggema di udara. Otot-otot lehernya mencuat membiru disertai rahang yang mengeras. "Cukup, Naya!"

"Kau tau, wanita tua yang kau bilang tidak menyukaimu itu mengatakan jika dirinya rela menjual perkebunan satu-satunya harta peninggalan mendiang suaminya agar aku bisa meminangmu. Agar aku bisa segera menghalalkan kamu, Kanaya! Betapa Emak berharap kita segera merealisasikan impian kita berdua. Kau tau itu?!" bentak Akbar lagi. "Tapi dengan teganya kamu menuduh Emak dengan pikiran buruk seperti itu. Tega sekali kamu ingin membuat Emak terlihat tidak baik di depanku, anaknya sendiri. Terbuat dari apa sebenarnya hatimu, Nay? Apa bibirmu itu jelmaan cabai? Kenapa semua ucapan yang kamu keluarkan terasa pedas sekali di telingaku," kata Akbar sambil geleng-geleng. Dadanya sesak. Sangat sesak ketika mendapati Kanaya yang masih saja ingin memberikan kesan buruk pada Emak Lamba. 

"Sebenarnya apa salah Emak kepadamu, Nay? Apa kesalahan yang sudah diperbuat oleh surgaku itu sampai-sampai kamu ingin sekali menyingkirkannya, hah?"

Kanaya mematung. Niat hati ingin membujuk Akbar agar bersedia meminangnya lagi justru berakhir dengan perdebatan sengit. Jantungnya berdebar hebat. Tangannya bergetar karena ini kali pertama Akbar terlihat begitu marah. Wajah lembut dan mata teduh yang dulu membuatnya jatuh cinta kini berganti dengan air muka garang dan tanpa senyum.

"Kang ...."

"Aku tidak mau mendengar apapun. Hubungan kita sudah selesai, Nay. Aku ... sudah membuang semua perasaan untukmu. Semua, tidak bersisa barang secuil pun!"

Akbar berbalik. Langkah kakinya menjauh mantap meninggalkan Kanaya yang masih mematung di tempatnya. 

"Sampai kapanpun Akang tidak akan pernah menikah jika masih saja menomor satukan Emak Lamba!" teriak Kanaya lantang dengan sisa-sisa emosi yang masih dia miliki. "Tidak ada wanita yang mau dibagi rasa kasihnya. Tidak akan ada wanita yang mau dikesampingkan demi wanita lain yang Akang anggap surga itu. Tidak akan pernah ada, Kang!" teriaknya lagi. Kanaya semakin marah. Semakin ingin mengeluarkan rasa kesalnya pada Akbar.

"Kalau memang Emak Lamba mau menjual perkebunannya, kenapa Akang menolak? Kenapa tidak Akang setujui saja sarannya, kenapa?!" 

Kanaya berteriak sambil membuang rantang dalam genggaman. Dia berjalan mendekati Akbar yang kini justru terlihat menghentikan langkah.

"Kalau Emak Lamba memang benar-benar ingin menjadikanku menantu. Lalu apa yang Akang tunggu, jual saja perkebunan itu dan lamar aku esok!"

Akbar menoleh. Segaris senyum mengerikan terbit di bibir pria berusia matang itu. Untuk pertama kalinya Kanaya merasa merinding melihat senyum smirk Akbar kepadanya. 

"Aku ... lebih baik tidak menikah seumur hidup daripada harus mempersunting wanita tidak berhati sepertimu. Camkan itu!"

Akbar segera melangkah lebar dan menjauhi Kanaya agar perseteruan yang disaksikan tanaman padi yang bergoyang itu segera usai.  Kanaya menjerit memanggil nama Akbar. Hatinya sakit mendapat penolakan dari pria yang dulu berjanji akan menjaganya. Kanaya lupa, selain menjaga wanita yang akan menjadi istri, Akbar juga memegang janji pada mendiang Bapak untuk menjaga Emak Lamba yang sudah bertaruh nyawa demi melahirkannya di dunia. 

"Akang jahat!" teriak Kanaya. "Akang tidak akan pernah menemukan wanita yang mau dibagi kasihnya. Tidak akan pernah! Omong kosong jika ada wanita seperti itu di dunia ini. Bohong!"

Suara Kanaya meredam di udara. Akbar dan Pak Jagal semakin menjauh dengan motor mereka meninggalkan seorang wanita yang masih menjerit-jerit di pinggiran sawah. 

Bersambung 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   EXTRA PART

    Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   TAMAT

    "Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kebaikan Bersamamu, Emak!

    "Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat III

    "Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat II

    Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat I

    Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status