Share

Ludah Untuk Akbar

Penulis: Lian Nai
last update Terakhir Diperbarui: 2023-01-10 15:25:24

"Jangan cengeng, Nay! Tenang saja, aku yang akan mencarikan calon suami buat kamu," celetuk Laela pongah. Akbar yang menangkap dengar hanya bisa tersenyum sinis mendengar penuturan Laela yang terkesan menyombongkan diri. Bukankah dia saja belum menemukan jodohnya, lantas kenapa sibuk mencarikan pria untuk Kanaya? 

"Buat aku? Mbak Laela gak mendadak lupa kan kalau Mbak itu masih lajang?" suara Kanaya terdengar bergetar. "Mbak bahkan sudah menyandang gelar perawan tua dari para tetangga, lalu Mbak sok-sokan mau mencarikan calon suami buatku?"

"Kanaya!" bentak Bu Tarjo lantang. "Jaga mulutmu!"

Kanaya melengos. Dia berlari masuk ke dalam kamar sementara Akbar sudah berhasil membantu Emak Lamba duduk di atas motor dan perlahan mereka mulai menjauhi pekarangan rumah Bu Tarjo. 

"Gak tau diri banget! Sudah dibantu malah ngatain," gerutu Laela dengan wajah memanas. "Dia pikir aku gak bisa cari calon suami? Lajang itu pilihan!" imbuhnya masih dengan sisa kekesalan pada Kanaya.

"Jangan cuma ngomong doang, bawa pria ke rumah ini dan segera menikah. Telinga Mamak panas mendengar cibiran tetangga tentang kamu!" hardik Bu Tarjo. Laela mencebik. Dia melenggang begitu saja tanpa peduli dengan ucapan Ibunya. 

"Bu, ngapain?" Dilsah menepuk pundak Ibunya yang sedang asyik mengintip keributan di depan rumah. Tetangga depan rumah maksutnya. "Jangan dibiasakan! Kepo itu namanya," tegur Dilsah lembut. 

"Kasihan laki-lakinya, Dil, sampai dihina di depan rumah begitu," ucap Bu Mila. "Kalau ada yang melamar kamu suatu hari nanti, jangan memberatkan calon suami dengan memberikan syarat dan mahar yang besar, Nak. Mahar memang hak mutlak seorang istri, tapi bukankah sebaik-baik wanita adalah yang paling murah harganya?" 

Dilsah mengangguk paham. "Dilsah mengerti, Bu. Ada harga tersendiri yang nanti akan Dilsah minta pada calon suami, namun tetap ... Insya Allah tidak memberatkan."

Bu Mila mengusap pucuk kepala putrinya dengan lembut. Usia Dilsah tidak jauh berbeda dengan Kanaya. Mereka dulu satu sekolah, namun Kanaya tidak pernah menegur sapa Dilsah meskipun mereka tetangga. Entah, mungkin karena kehidupan mereka yang Kanaya anggap jauh berbeda. 

Sementara di kampung sebelah, Emak Lamba dan Akbar baru saja sampai di rumah. Rumah sederhana karena rumah yang sudah Akbar siapkan masih dalam proses pembangunan dan hampir jadi. Rencananya, rumah itu yang akan dia tempati bersama Kanaya. Namun rencana hanya tinggal rencana, mengingat Emak dihardik dengan suara lantang membuat hati Akbar terbakar. 

"Maafkan Emak ya, Le," kata Emak Lamba sendu. "Seharusnya Emak yang mengeluarkan modal untuk pernikahan kamu ...."

Akbar memeluk tubuh ringkih Emak Lamba dan berkata. "Aku mencari istri sebagai partner hidup, Mak. Sebagai ibu dari anak-anakku, sebagai madrasah pertama bagi putra-putri kami nanti. Wanita yang bisa menerimaku dengan semua kekurangan yang aku miliki, menerima satu-satunya keluarga yang begitu aku hormati surganya. Dan hari ini, Allah menunjukkan jika Kanaya bukan wanita yang aku cari," papar Akbar berusaha tegar. "Sekarang aku mengerti kenapa Kanaya selalu menolak untuk berkunjung ke rumah dan bertemu Emak. Itu karena dia hanya mau aku, tidak dengan Ibuku. Emak pikir aku bisa hidup dengan istri yang tidak menghargai surgaku?" 

Emak Lamba tergugu. Sakit sekali mendapat penolakan dari keluarga Kanaya. Namun lagi-lagi hati kecilnya mengingatkan bahwasanya apa-apa yang kita anggap baik belum tentu baik pula bagi Allah, dan apa-apa yang kita anggap buruk, bisa jadi itu jalan terbaik bagi Allah. 

"Kamu kecewa, Nak?"

Akbar menggeleng. "Aku justru akan sangat kecewa jika terlanjur menikahi Kanaya namun dia tidak bisa menghargai Emak. Sangat kecewa sekali," ucap Akbar sambil mengecup kepala Emak Lamba yang terbalut jilbab instan. "Emak istirahat saja, Akbar mau ke sawah, sepertinya cabai kita bisa panen dua hari lagi."

Emak Lamba mengangguk samar. Dengan bantuan Akbar, wanita tua itu berjalan perlahan menuju kamarnya. Rumah yang semakin hari semakin terasa sepi bagi Emak karena tidak ada celoteh bayi di dalam sana. Suaminya pun sudah beberapa tahun yang lalu meninggalkan mereka berdua. Kini, hanya Akbar yang Emak miliki. Jika putranya mendamba seorang istri, bukankah Emak harus siap hidup seorang diri? 

Tapi, sayangnya Akbar begitu mencintai Emak. Melihat kilat kemarahan di mata Kanaya untuk Emak Lamba membuat hati Akbar berdenyut nyeri. 

Dengan mengendarai sepeda onthel dia mengayuh sambil melamun. Apakah perasaan untuk Kanaya menguap begitu cepat? Tentu tidak! Namun logika Akbar masih berjalan sehat, tidak akan dia menikahi wanita yang tidak memiliki unggah-ungguh pada Emaknya. 

Kedua mata Akbar memanas. Usianya sudah menginjak kepala tiga namun rencana pernikahan yang dia impikan bersama Kanaya pupus sudah. 

"Astaghfirullah ...." Akbar berulang kali menghela napas panjang dan mengucap istighfar. "La haula wa la quwwata illa billahil aliyil adzim."

Akbar menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Berharap sesak di dalam dadanya berkurang dengan menyebut nama Tuhannya.

Sebuah motor melaju cepat di belakang Akbar. Tawa mengejek mulai terdengar di telinganya. "Petani miskin, memang buta itu mata Kanaya," ucapnya dengan suara lantang. "Harusnya diberi wajah cantik itu pilih suami yang kaya dan mapan. Kalau cuma ganteng, plis lah ... jaman sekarang memang kenyang cuma dengan ketampanan. Gak logis!" 

Laela memainkan gas motornya membuat deru bising terdengar di telinga Akbar. Dua wanita yang duduk di belakang Laela itu menertawakan seorang pria yang terlihat kepayahan mengayuh sepeda. Akbar mencoba abai, namun sebuah ludah mendarat sempurna di lengan tangannya membuat sebuah kalimat menakutkan terucap dari bibir Akbar. "Suatu hari nanti, ludah ini yang akan menjadi saksi betapa Allah akan memberikan kehidupan yang pedih kepadamu!" 

Laela dan dua temannya tertawa puas setelah meludahi tangan Akbar. Dia menarik gas kuat-kuat dan meninggalkan Akbar dengan sisa asap motornya di belakang.

"Bye ....!" teriak salah satu wanita yang duduk paling ujung. "Masih muda jadi petani, masa depan suram dong! Ha ... ha ... ha ...."

Bersambung 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fau
............
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   EXTRA PART

    Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   TAMAT

    "Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kebaikan Bersamamu, Emak!

    "Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat III

    "Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat II

    Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat I

    Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status