Share

Meminang Wanita Lain

Author: Lian Nai
last update Huling Na-update: 2023-04-30 08:05:59

"Besok?"

Ustad Jefri nampak keheranan. Pasalnya, beberapa hari belakangan Akbar terlihat seperti enggan memulai hubungan baru, tapi hari ini ....

"Mendadak sekali, kenapa?"

Akbar dipersilahkan duduk di teras dengan sisa-sisa napas yang masih terengah-engah. Dia meneguk ludahnya kasar ketika Ustad Jefri bertanya, kenapa?

"Ada satu dua hal yang mengganggu saya, Ustad. Dan, sepertinya dengan menyegerakan menikah maka gangguan itu akan hilang dengan sendirinya," papar Akbar. Matanya lagi-lagi memanas. "Maaf, bukan saya bermaksud menjadikan wanita pilihan Ustad sebagai tameng. Hanya saja ...."

"Tentang Kanaya?"

Akbar mengangguk ragu. Bukan rahasia umum lagi di kampungnya tentang kabar bahwa Akbar ditolak oleh keluarga Kanaya. Entah siapa yang menyebarkan berita ini lebih dulu yang jelas, semua tetangga tahu jika putra Emak Lamba ditolak karena mahar yang tidak sesuai keinginan keluarga Kanaya.

"Maaf, bukan Bapak ingin ikut campur lebih dalam urusan kamu. Menikah memang sangat baik jika disegerakan, Bar, tapi tidak dengan disertai tujuan tertentu."

Akbar menunduk malu. "Saya tidak bermaksud demikian, Ustad. Demi Allah ... saya sudah tidak mencintai Kanaya dan ingin segera memulai hubungan yang halal dengan wanita lain."

Ustad Jefri menghela napas panjang. Beliau merogoh ponsel dari saku baju kokohnya dan menekan nomor seseorang.

"Assalamualaikum, Sah, mohon maaf kalau saya bertanya ini cukup mendadak. Bapak dan Ibu ada di rumah?"

"Waalaikumsalam, ada, Ustad. Maaf, kalau boleh tau ada apa ya, Ustad?"

"Tadi Umi sudah bilang kalau besok kami kesana?"

"Iya," sahut wanita di seberang sana lirih. "Insyallah Bapak dan Ibu sudah siap kedatangan tamu."

Jantung Akbar berdebar hebat. Suara dari ponsel Ustad Jefri sangat lembut dan lirih. Gambaran wanita-wanita kalem pada umumnya. Sementara Ustad Jefri, pria paruh baya itu tersenyum simpul dengan jawaban wanita di seberang sana.

"Masya Allah, semoga keluarga kalian selalu diberikan keberkahan. Begini, Nak ... besok, pria yang Ustad dan Umi akan pertemukan dengan keluargamu meminta maaf karena ...."

"Mohon maaf, Ustad. Kalau sekiranya memang beliau tidak berkenan dengan saya. InsyaAllah saya berbesar hati," sela wanita itu dengan suara bergetar. "Nanti saya yang akan berikan pengertian pada Ibu dan Bapak."

"Tidak baik menyela ucapan orang tua, Nduk!" tegur Ustad Jefri membuat lirih kekehan wanita di seberang sana kemudian berucap. "Mohon maaf."

"Jadi begini, besok kamu akan dilamar langsung. Bagaimana?"

Hening ....

Tidak ada sahutan dari seberang sana membuat Akbar menggigit bibir bawahnya dengan gusar. Keringat yang membasahi pelipisnya masih setia bertengger disana. Kedua tangan pria berwajah manis itu berkeringat dingin menunggu jawaban dari Sang Empunya keputusan.

"Nduk?" Panggil Ustad. "Kalaupun kalian belum siap, Ustad bisa jelaskan nanti pada keluarga mereka."

"Bismillahirrahmanirrahim, Insya Allah siap, Ustad. Ibu dan Bapak ikut apa kata Ustad dan Umi saja."

Lega sudah hati Akbar. Tanpa sadar, bibirnya tersenyum samar mendengar jawaban wanita di seberang sana. Ternyata sebegitu bahagianya ketika lamaran diterima oleh pihak perempuan.

"Alhamdulillah," ucap Ustad Jefri. "Sampaikan salam kami pada Ibu dan Bapak, lamaran ini dilangsungkan dengan sederhana saja. Kamu tidak keberatan, Sah?"

"Insya Allah tidak," sahutnya lagi. "Kami menunggu kedatangan Ustad dan Umi di rumah."

"Tentu, Nduk. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Ustad Jefri melirik Akbar yang sedang senyum-senyum sendiri di depannya. Segaris senyum simpul terbit di bibir pria paruh baya itu melihat respon yang Akbar berikan.

"Dia wanita baik, Bar." 

Akbar mengangguk paham. Siapapun yang Ustad dan Umi pilihkan, dia yakin itu adalah dari kalangan orang baik-baik. 

"Bapaknya tidak bisa bekerja karena penyakit di kakinya. Sementara Ibunya setiap hari ke sawah dan wanita itu sendiri mengajar anak-anak di sekolah TK. Dia sangat sederhana, tapi agamanya sangat baik. InsyaAllah."

Ustad Jefri berbicara panjang lebar tentang wanita yang akan dipersunting oleh Akbar. Seketika dia teringat sesuatu.

"Kamu mau melihat fotonya? Emak Lamba bilang kalau dia cantik."

Akbar tersenyum malu. "Tidak perlu, Ustad. Lagipula besok kami bertemu."

Ustad Jefri manggut-manggut mengerti. Perbincangan keduanya berakhir ketika hari menjelang sore dan Akbar pamit undur diri untuk mempersiapkan segala hal yang akan dibawa ke rumah wanita yang esok akan dia pinang menjadi seorang istri. Wanita yang akan menggeser jauh nama Kanaya dari hati Akbar. 

***

"Tidak bawa motor saja, Umi?" 

Emak Lamba yang sudah bersiap dengan gamis paling bagus sedang berdiri di depan pintu menyambut kedatangan Ustad Jefri dan Istrinya. 

"Bawa mobil saja, Emak. Lagipula saya sudah bilang sama Akbar kalau ajak tetangga dekat. Bagaimana, Bar?"

"Sudah siap, Umi."

"Bawa masuk semua seserahan kamu. Masya Allah, kemarin kamu membeli ini semua sendiri, Nak?"

Emak Lamba menoleh dengan kening berkerut. Umi bertanya apakah Akbar membeli semua seserahan itu sendirian sementara putranya mengatakan akan pergi ke rumah Ustad Jefri untuk menyiapkan semua seserahan. Aneh.

"Iya, Umi. Dibantu Kang Dadang," sahutnya malu-malu. "Cincinnya juga pakai ukuran kira-kira. Semoga saja pas."

Umi tersenyum mendengar jawaban Akbar, pun dengan Emak Lamba, wanita tua itu seketika lupa dengan kebohongan Akbar kemarin sore. 

Satu mobil dan dua motor mulai berjalan menyusuri jalanan perkampungan. Akbar berpakaian rapi dan wangi. Sangat berbeda dengan Akbar sehari-hari yang hanya suka mengenakan kaos oblong dan celana training panjang. Pakaian dinas ke sawah kata orang-orang.

Sepanjang perjalanan, Umi dan Emak banyak bertukar cerita. Namun tentang kedatangan keluarga Kanaya kemarin, tetap menjadi rahasia Emak dan Akbar meskipun keduanya yakin jika beberapa tetangga mencuri dengar apa yang terjadi di rumah mereka. 

Jantung Akbar rasanya berdebar hebat ketika mobil yang ia tumpangi masuk ke dalam gang rumah Kanaya. Dia melirik pada Emak Lamba yang terlihat santai dan terus berbicara bersama Umi. Betapa Emak terlihat sangat bahagia dan tanpa beban.

Benar saja. Tepat di depan rumah Kanaya mobil mereka berhenti. Bahkan di depan rumah terlihat Kanaya sedang duduk bersisian dengan seorang pria. Akbar enggan menoleh, namun segaris senyum sinis terbit di bibirnya. 

"Emak tau kalau wanita itu tetangga Kanaya?" tanya Akbar berbisik. Emak mengangguk dan mengusap lengan Akbar sembari berucap. "Semua akan baik-baik saja, Nak. Setiap perkara yang kamu serahkan pada Allah, senantiasa akan menemukan jalan keluarnya. Jangan gelisah. Ini hanya perkara rumah, setelah menikah kalian bebas ingin tinggal dimana nanti."

Akbar mengangguk dan menarik napas panjang. Saat dia keluar dari mobil, Kanaya seketika berdiri dan menatap pada beberapa orang yang sedang membawa barang seserahan. 

"Kang Akbar!" pekik Kanaya girang. "Aku tau kalau Akang pasti datang lagi. Kenapa mendadak sekali, kenapa gak kasih kabar dulu?" cecar Kanaya. "Astaga ... sudah bawa seserahan pula. Kang, tapi di rumah belum siap apa-apa ...."

"Siapa dia, Nay?" Pria yang tadi duduk di sebelah Kanaya ikut bangkit mendekati jalanan depan rumah. 

"Mas, tolong jangan paksa aku. Lihat, Kang Akbar sudah datang bersama keluarganya. Kami akan menikah," ucap Kanaya senang. "Aku bilang Mamak dulu, Kang. Sebentar ya!"

Kanaya sudah berbalik hendak berlari. Namun suara Akbar membuat langkahnya terhenti seketika.

"Tidak perlu!" 

Kanaya menoleh lagi dengan muka bingungnya. "Mamak harus menyiapkan minuman, Kang," katanya dengan sisa senyum bahagia di wajahnya. "Duh, aku bahkan belum bersiap, Kang Akbar kenapa mendadak sekali sih?!" gerutunya manja.

"Loh, kami pikir belum datang, kenapa mobilnya parkir di depan sana, Ustad? Bawa masuk halaman saja, nanti takut mengganggu jalan tetangga." Seorang wanita paruh baya keluar dan nampak berbicara dengan Ustad Jefri. "Ayo, mari silahkan masuk!"

Ustad Jefri kembali mengatur posisi mobil sementara semua orang termasuk Akbar melangkah menjauhi rumah Kanaya.

"Masya Allah, ini yang namanya Nak Akbar? Tampan dan berwibawa sekali. InsyaAllah cocok sama Dilsah," celetuk salah satu tetangga. 

"Dilsah?" gumam Kanaya lirih.

Bersambung 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   EXTRA PART

    Empat tahun kemudian ...."Bu, Ahmad mau mengaji bareng teman-teman boleh?"Dilsah yang sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya sejenak menoleh pada sosok balita yang berbicara di belakangnya."Kan Ahmad sudah mengaji, Nak," sahut Dilsah lembut. "Memang teman-teman mengaji dimana?""Mas Faris, Kamila, Cica, Mbak Vena, semua mengaji disana, Bu," rengek bocah berusia empat tahun itu dengan bibir cemberut lucu. "Ahmad mau juga, Bu, boleh ya?"Dilsah menghela napas panjang. Rantang berisi makanan sudah siap di atas meja. Kini, dia berbalik dan menyetarakan tingginya dengan menekuk lutut di depan Ahmad. "Memang mereka mengaji dimana, Sayang? Bukannya mengaji di surau seperti biasa?"Ahmad bersedekap dada. Bibirnya mengerucut sambil melengos enggan menatap Sang Ibu. "Pak Ustad sudah jarang ke surau, Bu, Ahmad bosan kalau mengaji sama Ibu terus. Gak dapat hadiah!" gerutunya gemas.

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   TAMAT

    "Mak ...." Akbar menyentuh bahu Emak dengan lembut. Otaknya memaksa berpikir bahwa Emak tengah tertidur karena teramat lelah. "Emak ...."Napas Akbar tersengal. Dadanya berdebar hebat ketika dengan perlahan dia membalik tubuh Emak yang ... memucat.Dunia Akbar seakan berputar. Mimpinya tadi malam seolah menjadi pertanda. Kedatangan Bapak yang meminta ijin untuk membawa Emak ternyata nyata adanya. "Hiduplah dengan bahagia, Le. Biarkan Bapak yang menjaga Emak mulai esok, kamu harus melanjutkan hidup bersama menantu dan cucu Bapak. Bapak merindukanmu, Le ...."Bahu Akbar merosot. Tangannya bergetar, bibirnya bergetar, bahkan seluruh tubuhnya ikut berguncang. Pria itu menangis sampai dadanya terasa teramat sesak. "Emak ....!" Tanpa sadar Akbar berteriak lantang. Teriakan yang sama ketika dia kehilangan Bapak di masa lalu. Teriakan yang mungkin akan dilakukan oleh para anak di luaran sana ketika kehilangan jantu

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Kebaikan Bersamamu, Emak!

    "Setelah hujan reda, jemput Mertua kamu, Bar," kata Emak seraya melepas pelukan Akbar. "Sekalian minta maaf karena tidak sempat memberi kabar lebih dulu. Semoga Besan Emak memahami."Akbar mengangguk patuh. Rasa dingin yang sempat membuatnya menggigil seolah menghilang begitu saja ketika kedua matanya menyaksikan dengan jelas bagaimana putranya dilahirkan oleh wanita hebat di hidup Akbar."Sudah kamu azani dia?" "Masih dibersihkan sama Suster, Mak," sahut Akbar tidak sabar. Kepalanya berulang kali melongok ke dalam ruangan untuk melihat apakah putranya sudah lengkap dengan pakaian bayi. "Dia ... tampan, tapi seperti Dilsah," kata Akbar lagi. Kali ini bibirnya tersenyum lebih lebar. Teringat bagaimana dia melihat sekilas bayi merah yang ada dalam gendongan suster tadi. Emak menggosok-gosok kedua tangan berharap dingin yang dirasai tubuhnya sedikit berkurang. Bibirnya menggigil namun sebisa mungkin Emak tidak memperlihatka

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat III

    "Berhenti dulu, Akbar!" Suara teriakan Kang Dadang bagai angin lalu di telinga Akbar. Cengkeraman tangan Dilsah yang semakin kuat membuatnya panik dan menulikan pendengaran. "Hujan makin deras. Bahaya!" teriak Kang Dadang dari belakang. Motornya tetap mengikuti laju motor Akbar yang semakin kencang. "Pelan-pelan saja, Le! Jalanan licik," ucap Emak Lamba setengah berteriak. Suaranya yang serak semakin teredam air hujan yang memekak telinga. Akbar menekan klakson motor dua kali sebagai jawaban atas ucapan Emak barusan. Terpaksa, di tengah dinginnya malam dan guyuran hujan dia tetap menarik gas dengan kuat agar Dilsah bisa segera mendapatkan pertolongan. "Masih kuat, Dek?" "Insya Allah, Mas," sahut Dilsah lirih. "Tolong tahan sakitnya sebentar ya," kata Akbar dengan suara bergetar. Teringat bagaimana raut kesakitan Laela ketika dua bulan yang lalu dia sengaja mengantarkan kakak dari mantan kekasihnya itu ke

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat II

    Langkah kaki Akbar melambat. Sayup-sayup ia mendengar suara tangis Bu Tarjo yang begitu pilu. Panik. Cemas. Mungkin respon wajar yang akan diberikan pada ibu lainnya ketika putri dan cucu mereka sedang bertarung dengan maut. Tiba-tiba sebuah brankar melewati Akbar begitu saja. Di sana, dengan wajah pucatnya Laela terbaring dengan posisi miring. Wajahnya masih basah. Bibirnya masih meringis. Dan sakit yang ia rasakan belum berkurang sedikitpun."Pastikan Ibunya tetap sadar!" pinta salah satu bidan yang bertugas. Dua suster mengangguk patuh. Di belakang mereka, Pak Bagiyo dan Bu Tarjo berjalan gesit mengikuti laju brankar yang didorong cukup cepat. "Terima kasih, Mas Akbar," kata Pras seraya menepuk pundak Akbar dari belakang. "Maafkan semua kesalahan istriku, tolong ...."Akbar mengangguk ragu. Tenggorokannya tercekat, matanya perih melihat Pras yang menangis di depannya. Seorang pria menangisi wanitanya ya

  • Mahar 50 Juta dari Si Petani   Menjelang Tamat I

    Kehidupan Laela mulai terasa sepi tanpa Kanaya. Sudah tujuh bulan berlalu dan adik semata wayangnya itu masih saja menolak pulang ke rumah. "Aku pulang kalau keponakanku lahir ke dunia, Mbak," kata Kanaya pada sambungan telepon. "Ayolah, Nay! Kamu sudah lama berada di Pesantren, Mbak kesepian," rengek Laela.Kanaya terkekeh di seberang sana. Namun tetap saja, matanya kerap memanas ketika membayangkan semua kejadian di masa lalu. "Sudah ada Mas Pras, Mamak, Bapak, kalau cuma kehilangan aku sepertinya Mbak gak masalah kan?""Jaga bicara kamu, Kanaya!" ucap Laela tegas. "Maksudku kalau cuma gak ada aku pasti gak ngaruh juga di rumah, Mbak," ralat Kanaya ragu. "Pokoknya aku pulang dua bulan lagi kalau keponakanku lahir."Laela mendengkus kesal. Sudah sejak sebulan yang lalu dia berusaha merayu Kanaya agar kembali pulang namun adiknya itu selalu menolak."Huh!" Laela m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status