Share

Meminang Wanita Lain

"Besok?"

Ustad Jefri nampak keheranan. Pasalnya, beberapa hari belakangan Akbar terlihat seperti enggan memulai hubungan baru, tapi hari ini ....

"Mendadak sekali, kenapa?"

Akbar dipersilahkan duduk di teras dengan sisa-sisa napas yang masih terengah-engah. Dia meneguk ludahnya kasar ketika Ustad Jefri bertanya, kenapa?

"Ada satu dua hal yang mengganggu saya, Ustad. Dan, sepertinya dengan menyegerakan menikah maka gangguan itu akan hilang dengan sendirinya," papar Akbar. Matanya lagi-lagi memanas. "Maaf, bukan saya bermaksud menjadikan wanita pilihan Ustad sebagai tameng. Hanya saja ...."

"Tentang Kanaya?"

Akbar mengangguk ragu. Bukan rahasia umum lagi di kampungnya tentang kabar bahwa Akbar ditolak oleh keluarga Kanaya. Entah siapa yang menyebarkan berita ini lebih dulu yang jelas, semua tetangga tahu jika putra Emak Lamba ditolak karena mahar yang tidak sesuai keinginan keluarga Kanaya.

"Maaf, bukan Bapak ingin ikut campur lebih dalam urusan kamu. Menikah memang sangat baik jika disegerakan, Bar, tapi tidak dengan disertai tujuan tertentu."

Akbar menunduk malu. "Saya tidak bermaksud demikian, Ustad. Demi Allah ... saya sudah tidak mencintai Kanaya dan ingin segera memulai hubungan yang halal dengan wanita lain."

Ustad Jefri menghela napas panjang. Beliau merogoh ponsel dari saku baju kokohnya dan menekan nomor seseorang.

"Assalamualaikum, Sah, mohon maaf kalau saya bertanya ini cukup mendadak. Bapak dan Ibu ada di rumah?"

"Waalaikumsalam, ada, Ustad. Maaf, kalau boleh tau ada apa ya, Ustad?"

"Tadi Umi sudah bilang kalau besok kami kesana?"

"Iya," sahut wanita di seberang sana lirih. "Insyallah Bapak dan Ibu sudah siap kedatangan tamu."

Jantung Akbar berdebar hebat. Suara dari ponsel Ustad Jefri sangat lembut dan lirih. Gambaran wanita-wanita kalem pada umumnya. Sementara Ustad Jefri, pria paruh baya itu tersenyum simpul dengan jawaban wanita di seberang sana.

"Masya Allah, semoga keluarga kalian selalu diberikan keberkahan. Begini, Nak ... besok, pria yang Ustad dan Umi akan pertemukan dengan keluargamu meminta maaf karena ...."

"Mohon maaf, Ustad. Kalau sekiranya memang beliau tidak berkenan dengan saya. InsyaAllah saya berbesar hati," sela wanita itu dengan suara bergetar. "Nanti saya yang akan berikan pengertian pada Ibu dan Bapak."

"Tidak baik menyela ucapan orang tua, Nduk!" tegur Ustad Jefri membuat lirih kekehan wanita di seberang sana kemudian berucap. "Mohon maaf."

"Jadi begini, besok kamu akan dilamar langsung. Bagaimana?"

Hening ....

Tidak ada sahutan dari seberang sana membuat Akbar menggigit bibir bawahnya dengan gusar. Keringat yang membasahi pelipisnya masih setia bertengger disana. Kedua tangan pria berwajah manis itu berkeringat dingin menunggu jawaban dari Sang Empunya keputusan.

"Nduk?" Panggil Ustad. "Kalaupun kalian belum siap, Ustad bisa jelaskan nanti pada keluarga mereka."

"Bismillahirrahmanirrahim, Insya Allah siap, Ustad. Ibu dan Bapak ikut apa kata Ustad dan Umi saja."

Lega sudah hati Akbar. Tanpa sadar, bibirnya tersenyum samar mendengar jawaban wanita di seberang sana. Ternyata sebegitu bahagianya ketika lamaran diterima oleh pihak perempuan.

"Alhamdulillah," ucap Ustad Jefri. "Sampaikan salam kami pada Ibu dan Bapak, lamaran ini dilangsungkan dengan sederhana saja. Kamu tidak keberatan, Sah?"

"Insya Allah tidak," sahutnya lagi. "Kami menunggu kedatangan Ustad dan Umi di rumah."

"Tentu, Nduk. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Ustad Jefri melirik Akbar yang sedang senyum-senyum sendiri di depannya. Segaris senyum simpul terbit di bibir pria paruh baya itu melihat respon yang Akbar berikan.

"Dia wanita baik, Bar." 

Akbar mengangguk paham. Siapapun yang Ustad dan Umi pilihkan, dia yakin itu adalah dari kalangan orang baik-baik. 

"Bapaknya tidak bisa bekerja karena penyakit di kakinya. Sementara Ibunya setiap hari ke sawah dan wanita itu sendiri mengajar anak-anak di sekolah TK. Dia sangat sederhana, tapi agamanya sangat baik. InsyaAllah."

Ustad Jefri berbicara panjang lebar tentang wanita yang akan dipersunting oleh Akbar. Seketika dia teringat sesuatu.

"Kamu mau melihat fotonya? Emak Lamba bilang kalau dia cantik."

Akbar tersenyum malu. "Tidak perlu, Ustad. Lagipula besok kami bertemu."

Ustad Jefri manggut-manggut mengerti. Perbincangan keduanya berakhir ketika hari menjelang sore dan Akbar pamit undur diri untuk mempersiapkan segala hal yang akan dibawa ke rumah wanita yang esok akan dia pinang menjadi seorang istri. Wanita yang akan menggeser jauh nama Kanaya dari hati Akbar. 

***

"Tidak bawa motor saja, Umi?" 

Emak Lamba yang sudah bersiap dengan gamis paling bagus sedang berdiri di depan pintu menyambut kedatangan Ustad Jefri dan Istrinya. 

"Bawa mobil saja, Emak. Lagipula saya sudah bilang sama Akbar kalau ajak tetangga dekat. Bagaimana, Bar?"

"Sudah siap, Umi."

"Bawa masuk semua seserahan kamu. Masya Allah, kemarin kamu membeli ini semua sendiri, Nak?"

Emak Lamba menoleh dengan kening berkerut. Umi bertanya apakah Akbar membeli semua seserahan itu sendirian sementara putranya mengatakan akan pergi ke rumah Ustad Jefri untuk menyiapkan semua seserahan. Aneh.

"Iya, Umi. Dibantu Kang Dadang," sahutnya malu-malu. "Cincinnya juga pakai ukuran kira-kira. Semoga saja pas."

Umi tersenyum mendengar jawaban Akbar, pun dengan Emak Lamba, wanita tua itu seketika lupa dengan kebohongan Akbar kemarin sore. 

Satu mobil dan dua motor mulai berjalan menyusuri jalanan perkampungan. Akbar berpakaian rapi dan wangi. Sangat berbeda dengan Akbar sehari-hari yang hanya suka mengenakan kaos oblong dan celana training panjang. Pakaian dinas ke sawah kata orang-orang.

Sepanjang perjalanan, Umi dan Emak banyak bertukar cerita. Namun tentang kedatangan keluarga Kanaya kemarin, tetap menjadi rahasia Emak dan Akbar meskipun keduanya yakin jika beberapa tetangga mencuri dengar apa yang terjadi di rumah mereka. 

Jantung Akbar rasanya berdebar hebat ketika mobil yang ia tumpangi masuk ke dalam gang rumah Kanaya. Dia melirik pada Emak Lamba yang terlihat santai dan terus berbicara bersama Umi. Betapa Emak terlihat sangat bahagia dan tanpa beban.

Benar saja. Tepat di depan rumah Kanaya mobil mereka berhenti. Bahkan di depan rumah terlihat Kanaya sedang duduk bersisian dengan seorang pria. Akbar enggan menoleh, namun segaris senyum sinis terbit di bibirnya. 

"Emak tau kalau wanita itu tetangga Kanaya?" tanya Akbar berbisik. Emak mengangguk dan mengusap lengan Akbar sembari berucap. "Semua akan baik-baik saja, Nak. Setiap perkara yang kamu serahkan pada Allah, senantiasa akan menemukan jalan keluarnya. Jangan gelisah. Ini hanya perkara rumah, setelah menikah kalian bebas ingin tinggal dimana nanti."

Akbar mengangguk dan menarik napas panjang. Saat dia keluar dari mobil, Kanaya seketika berdiri dan menatap pada beberapa orang yang sedang membawa barang seserahan. 

"Kang Akbar!" pekik Kanaya girang. "Aku tau kalau Akang pasti datang lagi. Kenapa mendadak sekali, kenapa gak kasih kabar dulu?" cecar Kanaya. "Astaga ... sudah bawa seserahan pula. Kang, tapi di rumah belum siap apa-apa ...."

"Siapa dia, Nay?" Pria yang tadi duduk di sebelah Kanaya ikut bangkit mendekati jalanan depan rumah. 

"Mas, tolong jangan paksa aku. Lihat, Kang Akbar sudah datang bersama keluarganya. Kami akan menikah," ucap Kanaya senang. "Aku bilang Mamak dulu, Kang. Sebentar ya!"

Kanaya sudah berbalik hendak berlari. Namun suara Akbar membuat langkahnya terhenti seketika.

"Tidak perlu!" 

Kanaya menoleh lagi dengan muka bingungnya. "Mamak harus menyiapkan minuman, Kang," katanya dengan sisa senyum bahagia di wajahnya. "Duh, aku bahkan belum bersiap, Kang Akbar kenapa mendadak sekali sih?!" gerutunya manja.

"Loh, kami pikir belum datang, kenapa mobilnya parkir di depan sana, Ustad? Bawa masuk halaman saja, nanti takut mengganggu jalan tetangga." Seorang wanita paruh baya keluar dan nampak berbicara dengan Ustad Jefri. "Ayo, mari silahkan masuk!"

Ustad Jefri kembali mengatur posisi mobil sementara semua orang termasuk Akbar melangkah menjauhi rumah Kanaya.

"Masya Allah, ini yang namanya Nak Akbar? Tampan dan berwibawa sekali. InsyaAllah cocok sama Dilsah," celetuk salah satu tetangga. 

"Dilsah?" gumam Kanaya lirih.

Bersambung 

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status