Share

Tangis Kanaya

"Tutup mulutmu, Nay!" Bu Tarjo meninggikan suara sambil melotot. "Seret dia, Pak! Bisa-bisanya menjatuhkan harga diri orang tua demi pria angkuh seperti dia. Sah-sah saja kalau pria yang kamu tangisi ini kaya dan mapan, lihat ... pekerjaannya saja tidak jelas tapi mati-matian kamu menangis demi dia. Memalukan!"

Kanaya mengusap pipinya sembari menangis. Dadanya bergemuruh. Panas akibat tamparan Pak Bagiyo ternyata tidak lebih sakit daripada pengabaian yang Akbar berikan. 

"Benar kata Mamak kamu, Kanaya. Untuk apa membuang-buang air mata hanya karena pria miskin sepertiku. Pulang lah, jangan jadi anak durhaka. Memalukan kalau sampai semua orang tahu kamu menangisi seorang petani sepertiku," ucap Akbar sambil tersenyum sinis. "Apa kata orang nanti, bisa-bisa mereka mengira kalau kedua orang tuamu memintaku untuk menikahi putrinya. Bukankah itu memalukan?"

Pak Bagiyo dan Bu Tarjo menatap nyalang pada sosok pria berusia matang di depannya. Ucapan Akbar semakin lama semakin banyak mengandung sindiran. Wajah dua pasangan paruh baya itu memerah menahan emosi. 

"Kang, aku gak mau," rengek Kanaya. "Aku gak mau pergi sebelum kamu berjanji akan menikahiku. Kita sudah memimpikan masa depan berdua, jangan tinggalkan aku ...."

"Cukup, Kanaya! Cukup!" sela Akbar berteriak. "Jangan berbicara seakan-akan aku adalah pria jahat dan tidak bisa memegang janji. Coba tanyakan pada dirimu sendiri, kemana air mata kamu ini saat aku dan Emak datang ke rumahmu, hah? Kemana tangisan kamu saat aku dan Emak dicaci oleh Mamak dan Mbakmu, kemana?!" 

Kanaya memejamkan matanya rapat. Hatinya berdenyut nyeri ketika ia menyadari bahwa rasa cinta Akbar untuknya telah musnah. Tatapan mendamba yang pernah dilayangkan untuknya kini berubah menjadi kilatan kebencian yang teramat nyata. 

"Aku tidak bisa menikahi wanita yang jelas-jelas tidak menginginkan hadirnya Emak dalam hidupku." 

Emak melengos. Melihat Akbar mengusap sudut matanya membuat wanita tua itu tidak kuasa pula menahan air mata dari ceruk matanya yang semakin cekung. 

"Aku tidak akan pernah menikahi wanita yang tidak bisa menghargai Emak. Kau lihat ... lihat kesana!" Kanaya menoleh perlahan. "Wanita tua itu, wanita yang sempat kau hardik di rumahmu tempo hari, wanita tua yang kau tuduh tidak menyukaimu itu adalah wanita yang sudah memaksaku untuk menikah denganmu. Beliau satu-satunya orang yang menginginkan aku menjadikanmu seorang istri, Kanaya. Hanya Emak! Dengan menangis Emak memintaku mewujudkan impian kita tapi apa yang Emak dapat ... hanya cacian dan hinaan ...."

"Banyak bacot! Ayo pulang, Nay!" Pak Bagiyo menyela ucapan Akbar dan menarik kasar tangan Kanaya. "Jangan pernah menghubungi Kanaya lagi dan jangan harap kamu bisa menikahi putriku setelah mempermalukan kami seperti ini. Jangan harap!"

"Ya. Saya belajar banyak hal dari kunjungan ke rumah anda tempo hari, Pak Bagiyo. Dan setelah hari itu, saya menekankan pada diri saya agar cukup tau diri. Jadi, jangan khawatir," sahut Akbar tegar. "Dan satu hal ... suatu saat nanti akan ada luka yang menggores hidup Laela seperti ludahnya yang   dengan sengaja mendarat di lengan saya."

"Persetan!" hardik Pak Bagiyo tak acuh. Dia masih sibuk menarik-narik tangan Kanaya dan berhasil membawa putrinya itu keluar dari rumah Akbar. "Buka matamu, Kanaya! Apa yang kamu harapkan dari dia, hah? Dalam hidupnya hanya ada Emak Lamba, mau jadi apa kamu kalau menikah dengannya? Ayo pulang, jangan bikin Bapak kalap disini!"

Kanaya lemas. Tatapan tidak perduli yang Akbar berikan mampu membuat hatinya luluh lantak. Kesombongan yang pernah dia agungkan tempo hari kini berubah menjadi sebuah penyesalan yang teramat dalam. Melihat Emak Lamba yang menatapnya sendu, seketika Kanaya teringat pada suaranya yang meninggi yang mungkin saja sudah menggores luka di hati wanita tua itu. 

"Pria miskin berani menghinaku, lihat saja ... Kanaya akan mendapatkan pria yang jauh lebih segalanya darimu, Akbar! Ingat itu!"

Pak Bagiyo masih menggerutu sementara Bu Tarjo sudah bersiap duduk di atas motor sambil memegang kedua bahu Kanaya. "Jalan, Nay! Senang kamu melihat Mamak dan Bapak dipermalukan begini? Ayo, pulang!"

Kanaya tidak berdaya. Dia menyalakan mesin motor dan perlahan menjauhi rumah Akbar disusul dengan motor milik Sang Bapak di belakang. 

Akbar menyentak napas kasar. Melihat wajah Kanaya yang berantakan seketika membuat hatinya kembali nyeri. Dia pernah berjanji bahwa akan selalu membahagiakan Kanaya dalam ikatan yang suci. Namun, janji hanyalah tinggal janji karena hubungan yang mereka damba nyatanya musnah karena luka hati Akbar. 

"Jaga batasanmu, Akbar," kata Emak Lamba. Akbar menghentikannya langkahnya tepat di depan Emak. 

"Batasan mana yang Emak maksud? Apa perlu aku menunduk menghormati mereka sementara keluarga Kanaya saja tidak mau menghargai Emak? Perlu kah aku berbicara santun sedangkan kata-kata yang keluar dari bibir mereka seringkali menggores bagai belati? Perlu kah, Mak? Perlu kah kita merendahkan diri di depan orang lain hanya karena kita ini miskin?"

Akbar membuang muka. Entah, ini yang keberapa kalinya pria itu menangis. Ada hati yang sebenarnya tidak ingin dia lepas, namun ada surga yang tidak mau dia sia-siakan. Dada Akbar terasa sesak. Jika saja dia memilih ego, maka saat ini juga permintaan Pak Bagiyo akan dia laksanakan. Namun, otak Akbar masih sangat segar mengingat betapa buruk perangai Kanaya dan keluarganya. Pria berhati lembut itu tidak mau terjebak pada pernikahan yang nantinya akan berjalan pincang. Tidak sehat.

"Bagaimanapun, mereka adalah orang yang lebih tua darimu, Nak. Tidak seharusnya kamu berbicara ...."

"Ustad Jefri sudah membuat janji dengan keluarga wanita yang akan dijodohkan denganku. Tolong, Mak, jangan berbicara hal ini lagi. Aku ... sangat lelah." Akbar sengaja menyela ucapan Emak Lamba agar perseteruan yang terjadi antara Emak dan anak itu tidak berlanjut. "Besok siang kita kesana. Emak tidak perlu menyiapkan apapun karena nanti sore aku dan Ustad Jefri yang akan beli seserahan."

"Langsung melamar?" tanya Emak terkejut. Seketika pembicaraan tentang Kanaya menguar begitu saja. 

"Keluarga wanita ingin dilangsungkan acara lamaran saat itu juga, Mak."

"Bagaimana kalau kalian tidak cocok? Emak khawatir kamu ...."

"Aku cukup mengerti untuk tidak mencintai wanita lain selain istriku nanti. Emak tidak perlu khawatir."

Emak Lamba menatap Akbar yang justru berjalan keluar rumah. Putranya urung masuk ke dalam kamar setelah perbincangan tentang lamaran barusan.

"Kamu mau kemana, Le?" teriak Emak.

"Ke rumah Ustad Jefri, Mak. Sepertinya lebih baik kita berbelanja sekarang, takut gak keburu waktunya."

Akbar melangkah lebar menuju rumah Ustad Jefri. Satu kebohongan sudah keluar dari bibirnya demi agar Emak tidak membicarakan tentang Kanaya lagi. Akbar paham, jauh di dalam lubuk hatinya, Emak pasti merasa bersalah karena gagalnya Akbar meminang Kanaya. Orang tua selalu merasa paling andil dalam urusan anak-anak mereka. Begitupun Emak Lamba. Wanita tua itu sibuk menyalahkan dirinya. 

Dengan napas terengah-engah Akbar mengetuk pintu rumah Ustad Jefri. 

"Loh, kamu kenapa, Le? Sini duduk dulu, kenapa ngos-ngosan begitu?" cecar Ustad Jefri kebingungan.

Akbar tersenyum paksa dan berkata. "Ustad, kalau sekiranya besok saya langsung melamar wanita pilihan Ustad dan Umi, apa wanita itu bersedia? Bisakah Ustad tanyakan sekarang juga?"

Bersambung 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status