Share

Part 4 Senja Terakhir

“Liyah, kamu sudah ngobrol sama menantumu itu masalah poligami?” tanya Bu Ros, kakak ipar Bu Liyah. Bu Ros adalah saudara kandung Pak Rahman, suaminya.

“Sudah, Mbakyu, Ina setuju. Sekarang tinggal menunggu keputusan Asyraf, Naina sudah membujuknya,” terang Bu Liyah sembari menjerang air untuk menyeduh kopi yang akan disuguhkan pada kakak iparnya itu.

“Baguslah kalau begitu, memang harus setuju, sudah lama dia belum hamil lagi setelah keguguran itu.”

Bu Liyah hanya tersenyum kecut. Memang selama ini Bu Ros yang mengusulkan Asyraf untuk berpoligami.

“Doakan saja, Mbakyu. Semoga pernikahan mereka tetap langgeng, dan jika Asyraf bersedia menikah lagi, ya doakan semoga bisa adil kepada istri-istrinya. Kalau aku yang diposisi Naina belum tentu bisa mengambil keputusan, Mbakyu.”

“Tapi kamu kan tidak berada diposisinya sekarang,” timpal Bu Ros sambil menikmati pisang goreng yang disuguhkan.

Tak hanya teh lemon, Bu Liyah juga menyukai kopi jahe yang diracik sendiri. Jika kebanyakan orang lebih suka membeli kopi sachet, Bu Liyah lebih suka membeli biji kopi mentah. Beliau akan mengolahnya sendiri mulai dari disangrai dan ditumbuk bersamaan jahe bubuk yang sudah diracik sebelumnya.

Aroma kopi yang dipadukan dengan jahe mulai menguar saat adukan pertama. Memang kopi racikan sendiri aromanya lebih nikmat. Bu Liyah beranjak dari dapur membawa nampan yang berisi dua cangkir kopi.

“Meski sekarang tidak diposisinya, tapi aku juga bisa sedikit merasakan, Mbakyu. Waktu menyampaikan pendapat ini ke Naina, jelas sekali raut wajahnya sedih, tapi dia selalu berusaha tersenyum. Bahkan akhir-akhir ini dia lebih banyak melamun dan menyendiri.” Bu Liyah menyusut matanya yang mulai berair.

“Sudahlah, tak apa, nanti kalau sudah terjadi poligami dia juga bisa terbiasa. Eh, ngomong-ngomong rumah sepi, pada kemana?”

“Mas Rahman sedang ada perlu di kantor kecamatan, kalau Asyraf dan Naina sedang pergi ke pantai, mumpung masih liburan. Mbakyu aku bikin lodeh rebung loh, cicipin ya?” Bu Liyah segera beranjak lagi ke dapur.

“Wahh, bikin sayur rebung yo? Beli dimana rebungnya?” tanya Bu Ros yang kemudian menyusul ke dapur.

“Naina yang bawa dari rumahnya. Katanya dia kangen masakan lodeh rebung bikinan mamaknya,” jawab Bu Liyah menata ketupat ke dalam rantang.

“Mbakyu ini nanti dibawa ya, Asyraf sama istrinya pulang nanti sore, jadi masih banyak ini ketupatnya, sayang kalau tidak dimakan.” Bu Liyah menuangkan sayur rebung yang dicampur teri dan kacang lotho (kacang merah). Setelah selesai, ia segera mengambil piring untuk menyiapkan ketupat.

“Mbakyu ini mau seberapa ketupatnya?”

“Ealah, ndak usah, ini udah dibawain kok repot-repot makan lagi.”

“Nggak apa-apa, Mbakyu. Makan ketupatnya dulu ya sebelum pulang. Ayolah, jarang sekali kita makan bareng,” bujuk Bu Liyah.

“Ya sudah, tapi ketupatnya yang kecil saja ya.”

Segera Bu Liyah menyiapkan seporsi ketupat sayur. Kemudian membawanya ke meja makan. Suara sendok dan piring mulai berdentang. Mereka menikmati hidangannya masing-masing.

“Rebungnya enak yo, aku mau nambah sayurnya aja ya, Liyah,” ujar Bu Ros segera beranjak ke dapur untuk mengambil sayur rebung.

“Sebenarnya ada yang ingin kubicarakan, Liyah,” ucap Bu Ros sembari melangkah mendekati lawan bicaranya.

“Ada apa, Mbakyu? Katakan saja!”

“Aku ingin Firda bisa menjadi menantumu,”

Sejenak Bu Liyah terpaku, lantas ia berkata, “untuk urusan itu kembali kuserahkan pada Naina, biar dia yang memilih. Kalau Mbakyu berkenan putrinya menjadi istri yang kedua kirimkan saja fotonya ke nomorku,”

“Iya sih, betul juga. Dia berhak memilihkan calon untuk suaminya. Nanti kukirimkan fotonya Firda ke nomormu.”

***

“Gimana sate lilitnya? Enak nggak?”

“Enak banget, Mas. Sate lilit terbuat dari daging apa, Mas?”

“Ada babi-,”

“Astaghfirullah, itu tadi daging babi, Mas? Babi itu haram, Mas dalam agama kita,” ujarnya bersungut-sungut.

“Dengerin Mas dulu, Ina, kamu kan yang motong penjelasan Mas. Tadi kamu tanya apa?”

“Sate lilit terbuat dari daging apa?”

“Nah iya Mas jawab, ada yang dari babi, ayam dan sapi, yang kita makan tadi dari daging sapi.”

“Owalah gitu, to?” ucapnya meringis.

“Mau kemana, Pak?” tanya seorang lelaki paruh baya yang memakai udeng di kepalanya.

“Mau ke pantai Tanah Lot, kalau ke sana naik apa ya?”

“Sebentar saya carikan taksi,” ujar lelaki tersebut lantas memanggil temannya.

“Kenken kabare?” sapa lelaki itu pada sopir taksi.

“Becik-becik.”

“Biso seng atahan ia jep kemo?” ujar lelaki itu berbahasa Bali sambil menunjuk ke arah Naina dan Asyraf.

“Jagi lunga kija?” tanya sang sopir taksi.

“Melali. Pasih Tanah Lot.”

“Nah.”

“Ke sini, Bli. Taksi ini bias mengantarkan ke Pantai Tanah Lot.” Lelaki paruh baya itu menunjuk sebuah taksi. Asyraf menangguk, lantas berpamitan untuk berangkat.

Mobil taksi melaju membelah jalanan yang mulai sejuk karena hawa sore. Naina memainkan ponselnya, juga sesekali merekam pemandangan di sekitar mereka. Selang beberapa menit ponsel Naina bergetar, menandakan ada pesan masuk. Mengetahui isi pesan dari ibu mertua ia meloloskan nafas berat. ‘Kenapa harus sekarang?’ bisiknya dalam hati.

“Pesan dari siapa, Dek?” Tanya Asyraf membuka suara.

“Dari ibu, Mas, beliau tanya kabar sama tanya lagi ngapain,” jawabnya berbohong. Bu Liyah sebenarnya mengirimkan foto tiga orang perempuan yang akan menjadi calon istri suaminya. Namun, ia berbohong karena tak mau merusak acara liburan ini dengan pembahasan yang membuat ia kembali bersedih.

Sepuluh menit kemudian taksi yang mereka tumpangi sudah sampai di parkiran pantai. Hamparan laut biru memanjakan mata siapapun yang melihatnya. Menunjukkan hamparan ombak yang bergulung perlahan. Di sisi lain terlihat ombak semakin kencang menghantam cadas. Berdebur. Sungguh pemandangan yang indah.

"Kau lihat batu karang itu?" Naina mengangguk cepat.

"Itu pura yang dibangun di atas batu karang."

"Kita akan pergi kesana?" tanya Naina.

"Kenapa tidak? Kita akan melihat dengan jelas deburan ombak yang menghantam cadas." Mereka berjalan menuju bebatuan untuk menuju pura itu.

"Apa tidak dilarang masuk?"

"Semuanya boleh berkunjung di pura itu, tapi untuk non-Hindu hanya di pelatarannya saja."

“Wahh, indah sekali sepertinya,” ucapnya kagum.

"Kau lihat deburan-deburan ombak di bawah ini? Ini hanya ada jika air laut surut. Saat air laut pasang tidak ada orang yang kesana karena batunya tenggelam. Makanya Mas memilih sore hari, karena air laut sedang surut, dan kita bias menyaksikan senja yang indah," jelasnya dengan menunjukkan ombak kecil di bawah kaki kita.

Hamparan ombak bergulung perlahan, cahaya mega membuat gelombang-gelombang itu seakan bercahaya. Asyraf tidak bohong, deburan ombak yang menghantam cadas menjadi irama music tersendiri. Suaranya, juga ribuan bulir air menyembur bebas mengenai apa saja. Mereka tersenyum lebar melihat pemandangan itu.

"Kau menyukainya?"

“Suka, Mas. Saangat suka.”

Mereka mengobrol ringan di sana. Melupakan hal yang akan mereka hadapi nanti. Suara gelombang membuat perasaan Naina lebih tenang.

Langit yang cerah berangsur-angsur gelap, sedang di ujung sana cahaya jingga seakan merangkul lautan. Lembayung senja itu benar-benar pemandangan yang sangat indah. Angina sepoi serasa menambah kenikmatan saat mengamati detik-detik pergantian sore ke malam hari.

“Apakah ini menjadi senja terakhir kita?” Naina membuka suara. Lirih sekali.

“Kita akan melewati senja di hari-hari berikutnya, Ina.”

“Tapi senja di hari berikutnya kita tak lagi berdua,” ucapnya dengan suara parau.

“Usai senja malam akan tiba, dan setelah malam bukankah fajar akan kembali menyapa? Hidup itu berputar, Na. yakinlah kita akan selalu bahagia.” Asyraf merangkul pundak istrinya.

Kenken kabare? = Gimana kabarnya?

Becik-becik. = Baik-baik

Biso seng atahan ia jep kemo? = Bisa nggak antar mereka ke sana?

Jagi lunga kija? = Mau pergi kemana?

Melali. Pasih Tanah Lot. = Jalan-jalan. Pantai Tanah Lot.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status