Beranda / Rumah Tangga / Mahar Kedua / Part 5 Calon Untuk Suami

Share

Part 5 Calon Untuk Suami

Penulis: Sherry
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-06 06:28:19

Naina menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Tangannya memainkan ponselnya, membuka pesan sang ibu mertua. Matanya terbelalak dengan salah satu foto yang dikirmkan ibu mertuanya.

“Beliau kenal darimana ya?” lirihnya bermonolog. Kembali ia mengamati foto itu, menge-zoom dengan dua jarinya. Dahinya mengernyit, menyimpan pertanyaan-pertanyaan.

Ia beranjak dari tepi ranjang untuk ke kamar mandi.

“Masi lama nggak, Mas? Nanti terlambat pesawatnya,” ucapnya sedikit berteriak saat mendengar kran kamar mandi menyala.

“Sudah selesai, Sayang, ini lagi handukan dulu, lima menit lagi Mas keluar.”

Naina kembali duduk di tepian ranjang dan berkutat dengan ponselnya.

[Bu, satu jam lagi Ina berangkat, nanti kalau sampai rumah Ina mau ngobrol sama ibu dan bapak.] 

Sebuah pesan yang ia kirimkan pada ibu mertua. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka. Muncullah sosok Asyraf yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, hingga membuat Naina terperangah melihat suaminya yang terlihat tampan dan lebih segar. 

Asyraf menyugar rambutnya, lantas berkata, “sudah puas mandangin suaminya yang tampan ini?”

“Apa sih, Mas? Jangan kepedean deh, orang Ina lagi lihatin rambutnya yang masih berbusa,” ucapnya sambil mengalihkan pandangan.

“Ngelesmu nggak lucu, Dek. Bilang saja kalau terpesona sama Mas, Mas nggak akan marah, malah seneng dan berbunga-bunga.” Asyraf menjawil pipi mulus Naina.

“Buruan, Mas, nanti ketinggalan pesawatnya. Nggak usah godain deh,” ujarnya mencubit pinggan suaminya.

“Aww,” seru Asyraf berpura-pura.

Setelah semua siap Asyraf dan Naina segera pergi meninggalkan kamarnya untuk chek-out di resepsionis. Tepat saat melankah keluar halaman hotel taksi online yang dipesannya sudah sampai. Mereka segera masuk ke dalam mobil tersebut. 

Di dalam mobil Naina lebih banyak diam, sedangkan Asyraf mengajak sang sopir mengobrol. 

“Mas, aku tidur dulu ya, nanti kalau sudah sampai bangunin!”

“Mau tidur, Dek? Nanti di pesawat juga tidur lagi?” tanya Asyraf menggoda.

“lumayan capek nih, Mas. Kebiasaan tidur siang kayaknya, jadi kalau nggak tidur jam segini udah ngantuk,” jawabnya berbohong. Sebenarnya Naina lelah, tetapi sama sekali tak merasakan kantuk. Ia hanya beralasan untuk merenung dan memilih salah satu dari tiga perempuan yang dipilihkan ibunya.

Naina menghadapkan kepalanya ke luar. Ia memejamkan matanya seolah telah tidur. Namun, jauh dalam pikirannya ia terbayang-bayang saat mulai menjalani kehidupan dengan istri kedua suaminya.

Naina kembali membayangkan paras-paras ayu calon istri untuk suaminya. Sudut matanya mulai basah meski terpejam. Sebenarnya ia merasa tak rela jika istri kedua berparas cantik. Namun, ia tak mungkin tega memilihkan suaminya istri yang tak menarik. Bukankah jika istri kedua itu cantik, maka keturunannya pun akan memiliki paras yang menarik?

Mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di bandara I Gusti Ngurah Rai. Gegas mereka berlari kecil memasuk bandara. Tersisa lima belas menit sebelum pesawat lepas landas. Mereka tersengal saat mulai memasuki garbarata.

“Harusnya tidak usah mandi tadi, Mas kalau waktunya mepet gini.”

“Sudah jangan bicara dulu, yang penting kita bisa masuk ke pesawatnya.”

Sesampainya di pesawat Naina berusaha memijat kakinya yang pegal. Seperti biasa sebelum pesawat lepas landas para pramugari memberikan berbagai macan intruksi. Seluruh penumpang memperhatikan dengan takzim dan mulai memasangkan sabuk pengamannya masing-masing.

Malam semakin matang. Gemerlap cahaya bintang terlihat samar. Angin dingin menerpa pohon-pohon membuat dedaunan ikut bergoyang. 

Tiga jam perjalanan yang ditempuh Asyraf dan Naina. Tepat pukul 10.00 mereka sudah sampai di rumah dan disambut hangat kedua orangtua. Naina mulai bercerita perjalanannya kepada sang ibu. Mulai dari makanan khas Bali hingga keindahan pantai yang mereka kunjungi, lantas membuat mereka hampir terlambat naik pesawat.

Naina mengeluarkan satu per satu oleh-oleh khas Bali. Ada kacang disco, brem, pie susu dan kain batik Bali juga udeng. Pak Rahman mencoba udeng yang ditunjukkan Naina. Sontak mereka semua tertawa. Bukan tertawa dengan penampilannya, tetapi menertawakan saat Pak Rahman berbicara dengan logat bali.

“Asy, ajak Ina istirahat ke kamar ya, ini sudah larut!” perintah Pak Rahman.

“Ina kan mau ngobrol dulu sama ibu.”

“Ya sudah, kamu mandi dulu, beresin kopernya nanti langsung ke kamar ibu, ya!”

“Emang mau ngobrol apa sih? Emang nggak bisa besok, Dek?” tanya Asyraf mengernyitkan dahi.

“Mas Asyraf kepo deh, biasa Mas urusan perempuan,” jawabnya terkekeh.

Naina beranjak dari duduknya, kemudian disusul Asyraf. Asyraf menduga perbincangan Naina dengan ibunya nanti bukan hanya obrolan biasa. Ia kembali teringat akan permintaan Naina untuk dimadu. Apakah itu yang akan mereka bahas? Siapa yang akan menjadi istrinya nanti?

“Dek, boleh Mas ikut kamu ngobrol sama ibu?”

“Boleh, Mas. Tapi ....”

“Tapi kenapa?”

“Apapun pembicaraan kami Mas jangan menyela atau merasa keberatan.”

“Baiklah.”

Naina menggelar sajadah setelah membersihkan diri di kamar mandi. Ia akan melaksanakan salat isya berjamaah dengan suaminya. Asyraf yang sudah rapi segera memulai salat isya. Empat rakaat salat isya telah terlaksana. Naina menyempurnakan salatnya dengan ditutup salat witir. Naina tertegun menunggu Asyraf salat witir lebih banyak daripada biasanya. Dengan doa yang begitu lama. Entah apa.

“Assalamualaikum, Bu,” ucap Naina sembari mengetuk pintu kamar Bu Liyah.

“Waalaikumussalam, masuk saja, Na!”

Naina masuk ke dalam kamar dan disusul Asyraf di belakangnya. Bu Liyah memicingkan mata saat mengetahui putranya mengekor di belakang sang menantu.

“Mas Asy pengen ikut ngobrol, Bu,” ucap Naina.

“Iya nggak apa-apa.” 

Mereka berempat duduk di kursi rotan. Beberapa saat hening, tak ada yang membuka suara.

“Gimana dengan pilihanmu. Ndhuk?”

Naina tak mengira Bu Liyah akan langsung bertanya pada hal inti. Dengan tangan bergetar dan mata berkaca-kaca, Naina menyodorkan ponsel yang sudah menampilkan foto calon istri untuk suaminya.

“Kamu yakin dengan pilihanmu?”

“Iya, Bu. Ina yakin, insyaallah Ina tidak salah pilih, Bu,” jawabnya dengan menyusut sudut matanya.

"Apa Ibu tidak pengen mempertimbangkan lagi rencana ini?" Pak Rahman memvuka suara. Bu Liyah terdiam. 

"Sebenernya Bapak ragu dengan rencana ini," ungkap Pak Rahman mengusap wajahnya yang sedikit gusar.

"Bapak takut tidak bisa berjalan dengan lancar. Ini bukan pernikahan biasa, tapi pernikahan kedua, di mana pernikahan pertama masih berjalan," terang Pak Rahman.

"Insya Allah Ina dan Mas Asy sudah siap, Pak. Mohon doanya," jawab Ina mantap. Pak Rahman hanya mengangguk.

“Apa ini tidak terlalu cepat, Bu?” tanya Asyraf.

“Tidak, Mas. Ina sudah mempertimbangkan ini dengan ibu. Mohon diterima ya, Mas, apapun pilihan Ina. Ina hanya berusaha yang terbaik untuk Mas.”

“Baiklah besok malam, kita akan melamarnya, acara pernikahan akan diadakan lusa," jelas Bu Liyah cepat. 

"Kalau boleh tahu, Ibu dari mana kenal sama ...." 

"Besok ibu ceritakan ya, Na. Sekarang isrirahatlah!" pinta Bu Liyah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mahar Kedua   Bag. 24 Bertemu Masa Lalu

    Bag. 24"Iya, Bude. Ada yang bisa Naina bantu?" Naina berusaha mengulas senyum terbaiknya. Lebih baik ia berpura-pura tak mendengar apapun. "Ehh ... nggak ada, Na. Ini sayur tumpang buatanmu ya?" Bude Ros menunjuk sepiring nasi yang disiram kuah sayur tumpang. "Iya, Bude. Ina yang masak sayur tumpangnya. Enak nggak menurut Bude?" Kali ini Bude Ros tak jutek seperti biasanya. Sehingga Naina merasa lebih santai untuk berbincang berdua.'Semoga Naina tak mendengar ucapanku tadi,' batin Bude Ros merutuki dirinya yang suka ceplas-ceplos. Meski memang lidahnya tajam dalam berbicara, wanita yang lebih tua tiga tahun dari ayah mertua Naina itu masih memiliki perasaan. Ia bukan tipe yang suka menyindir, apa yang tidak cocok langsung dikatakan tanpa memendamnya. Meski begitu segala ucapan yang keluar dari mulutnya tak melalui saringan terlebih dahulu, hingga kadang tanpa sadar menyakiti lawan bicara. "Ini uwenak lho, Na. Padahal aku sering beli sayur tumpang buat sarapan, tapi nggak ada yang

  • Mahar Kedua   Part 23 Untung Poligami

    "Padahal baru dua bulan nikah, tapi alhamdulillah langsung isi.""Selamat ya, Firda. Jaga kandungannya!" Kali ini suara Bu Liyah membuat Naina menghentikan langkahnya ke ruang tamu. Deg!Kehamilan Firda membuat Naina semakin iri dan sakit hati. Perkataan Bude Ros yang memamerkan kehamilan Firda membuatnya ingin membanting nampan di tangannya keras-keras. Ia meletakkan nampan tersebut di meja. Menarik nafas dalam dan mengembuskannya. "Selamat juga buatmu, Liyah. Sebentar lagi mau nimang cucu.""Iya, Mbakyu. Kata bidan kalau hamil muda nggak boleh sering-sering perjalanan jauh, Mbakyu," tutur Bu Liyah mengingatkan."Itu juga kan tergantung kondisi yang hamil. Kalau Firda ini kan alhamdulillah kuat ibu sama janinnya. Lagian ke sini juga pakai mobil, jalannya juga pelan-pelan tadi. Pasti aman lah." "Iya, Mbakyu." Bu Liyah mengangguk. Naina menyusut air matanya yang tak sengaja keluar. Perkataan Bude Ros mencubit hatinya yang masih terluka. Sejenak ia menunggu hingga tak lagi ada percak

  • Mahar Kedua   Part 22 Kehamilan Hanna

    (POV Naina)Tiba-tiba mataku berhenti pada sesuatu yang begitu familiar di atas meja ruang tamu. Kusentuh barang itu dan segera menutup mulut."Ya Allah, itu artinya ...." gumamku pelan tak kuasa melanjutkan. Sebuah testpack bergaris dua berada dalam genggamanku. Mungkin Mbak Hanna ingin memberitahukan hal itu di sini, tapi kejadian mual di rumah kami membuat hal itu tertunda. Dari dalam kamar terdengar Mbak Hanna menjelaskan sesuatu dan Mas Asy memekik hamdalah usai penuturan itu selesai. Aku yang mendengar hal itu segera menghampiri kamar mereka. Mataku terbelalak melihat mereka yang sedang berpelukan penuh haru. Mbak Hanna segera mengurai pelukan mereka. Mereka segera terdiam memandang mimik wajahku, kupaksakan untuk tersenyum tipis. "Mas, Mbak Hanna hamil, ya?" tanyaku berdebar-debar. Ia pun mengangguk pelan. Perasaanku hancur. Aku tidak tahu harus sedih atau bahagia atas kabar janin yang sudah tumbuh di rahim Mbak Hanna, karena sebenarnya aku sendiri pun juga telah menanti

  • Mahar Kedua   Part 21 Kecemburuan Naina

    (POV Naina)"Dek Na, Mas pengen sarapan menu yang ... apa ya namanya, yang jadi andalan di rumahmu dulu itu loh, boleh?" bisik Mas Asyraf yang tiba-tiba memelukku dari belakang. Kedua tangannya melingkar rapat di perutku. Lalu kepalanya dibenamkan di cerukku, deru nafasnya membuatku geli. Namun, aku menikmati momen ini. Entah mengapa aku selalu menikmati baik-baik kebersamaan kita, mungkin saja karena aku bukan lagi menjadi satu-satunya. "Menu apa to, Mas? Sayur rebung?" jawabku menebak. Seingatku menu andalan di rumah kami ya memang rebung. Entah di lodeh atau di tumis, kadang juga dibuat isian tahu isi. Karena memang banyak sekali pohon bambu di belakang rumah. "Bukan, Sayang, yang ada tahu gorengnya besar-besar itu loh, di sayurnya. Sudah lama banget nggak masak itu di rumah ini." Mas Asyraf menegakkan kepalanya dan memandangku dari cermin. "Ahh, Mas ingat, yang pakai tempe busuk itu loh." Aku mengernyitkan dahi. Aku tahu betul menu yang dimaksud Mas Asy. Sambel tumpang. Itu mem

  • Mahar Kedua   Part 20

    POV Asyraf"Dek, kok ngelamun?" Sudah tiga kali kupanggil istriku ia tetap terdiam. Pandangannya datar ke arah depan. Entah apa yang dipikirkannya, terlihat jelas raut kesedihan itu menggantung di wajahnya."Dek," panggilku lagi dengan melambaikan tangan di depan matanya. Ia sedikit tersentak dan menatap ke arahku. "Makan dulu ya, Sayang!" Aku mencoba membujuknya lagi. Naina mengangguk tanpa menolehkan wajahnya padaku. Hatiku terasa tergores melihat sikapnya yang seperti ini. "Kemarin Ina lihat flek, Mas, Ina kira itu datang bulan, rasanya sakit sekali bagian sini." Ia menunjuk perut bagian bawahnya, istriku berkata usai menelan suapan pertama. "Mas, pasti ada hikmah di balik semua ini. Mas pasti akan memiliki keturunan." Naina menghela nafas panjang. Aku urung menyuapkan bubur di sendok."Masih ada Mbak Hanna yang bisa diharapkan," ujaranya tersenyum sambil menatapku. Kedua netranya berkaca-kaca, tapi ia tak menghiraukannya. Ucapan Naina kini membuat hatiku tercubit. Ahh betapa ti

  • Mahar Kedua   Part 19 Flek?

    "Baru saja Bu Naina mengalami keguguran, Pak, tepat di usia enam minggu, persis seperti lima tahun yang lalu," imbuh dokter tersebut. Asyraf terperanjat mendengar penjelasan dokter itu. Keguguran Naina yang kedua kali membuat seluruh tubuhnya lemas. "Ke-keguguran, Dok?" tanya Asyraf seakan tak percaya."Benar, Pak. Sepertinya kehamilan ini juga tak diketahui oleh Bu Naina. Dan kali ini adalah keguguran Bu Naina yang kedua kalinya. Jika suatu saat Bu Naina hamil, maka kemungkinan keguguran lagi akan semakin besar, jika tidak dipersiapkan dengan baik." Dokter itu menarik nafas dalam. Asyraf menunduk dalam, jari telunjuknya menyusut air mata yang sedikit keluar di sudut matanya. "Seberapa besar kemungkinan istri saya bisa hamil lagi, Dok?" "Untuk itu saya tidak bisa memastikan, karena kehamilan sepenuhnya kehendak Tuhan. Sebagai manusia kita harus selalu optimis, berusaha dan berdoa, insya Allah nanti dimudahkan. Kemungkinan hamil pasti ada, Pak. Hanya saja harus benar-benar siap. K

  • Mahar Kedua   Part 18 Mengolah Rasa

    Ponsel Asyraf bergetar di atas nakas. Dengan cekatan ia segera meraihnya. Panggilan masuk dari sang ibu membuat dahinya berkerut? Segera ia menggeser ponsel untuk menjawab panggilan tersebut. "Ya Allah ... Naina," pekiknya. ****Wajah Asyraf menegang setelah mendengar suara dari telepon. Gurat kekhawatiran tergambar jelas di wajahnya. "Maaf, Hanna, sepertinya malam ini aku tidak bisa menginap di sini. Naina pingsan, aku harus membawanya ke rumah sakit." Lelaki itu memegang kedua tangan Hanna, memohon. Wanita itu tersenyum teramat tipis. Senyum yang dipaksakannya dalam kegelapan. Mungkin Asyraf tak tahu jika air mata membersamai senyum dan anggukan dari Hanna."Apa aku boleh ikut, Mas?" Meski malam ini tak bisa tidur bersama, setidaknya Hanna ingin tetap membersamai suaminya tersebut."Tidak usah, Han. Sudah larut malam, kau istirahatlah saja!" Dengan cekatan Asyraf mengenakan kemeja dan mengganti celana selutunya dengan celana panjang."Jangan lupa kunci pintunya, Mas pamit. Assal

  • Mahar Kedua   Part 17 Mengabulkan Permohonan

    Naina mematut dirinya di depan cermin. Ia berusaha menutupi matanya yang sedikit bengkak karena menangis tadi malam. Asyraf memandang istrinya yang sedang memperbaiki pashmina di kepalanya. Sejak pembicaraan semalam mereka belum mengobrol satu sama lain. Sama-sama canggung untuk mulai menyapa. Lelaki itu sesekali meliirik istrinya yang tampil lebih segar dari biasanya, meski Naina hanya memoleskan sedikit krim pelelmbab wajah dan lipstik berwarna nude di bibirnya. Melihat istrinya sudah selesai mematut diri, lelaki berkemeja marun itu beranjak untuk mengambil kunci mobil."Sudah siap, Sayang?" asyraf mencoba mencairkan suasana canggung tersebut. Naiina memutar tubuhnya ke arah Asyraf yag masih tersenyyum."Mas jadi anter Ina?""Jadi dong, Sayang. Ya udah Mas ke depan dulu ya pamitan sama Bapak Ibu, sekalian manasin mobil dulu." Asyraf berranjak meninggalkan kamar tersebut. Naina segera mengambil tas selempang berwarna coklat unntuk dipadukan dengan warna pashminanya agar terlihat s

  • Mahar Kedua   Part 16 Menyiapkan Hati Untuk Berbagi

    (POV Naina)"Apa aku pantas memohon padamu, agar Mas Asy mau menjadikanku istri yang seutuhnya? Yang rela memberikan nafkah batinnya?" Kedua netranya menatapku dalam. Membuat tanganku berhenti mengelus pundaknya. Ya Allah, permohonan apa ini? Haruskah aku membujuk Mas Asy agar bersedia memberikan nafkah batin pada maduku? Sedangkan aku sendiri merasa cemburu? 🍁🍁🍁Mata Mbak Hanna menatapku dalam. Aku tetap bergeming. Bimbang dengan perasaan yang semakin ambigu di dalam hati. "Apa arti pernikahan ini, Na? Jika suamiku sendiri saja tak mau menyentuhku." "Mbak ...." Aku mencoba membuka suara. Meski sebenarnya bingung harus menyampaikan apa. "Maaf jika pernikahan ini tak seperti yang Mbak bayangkan. Mas Asy sebenarnya bukan menganggap Mbak Hanna tak ada, tapi belum menemukan kenyamanan masing-masing ... anu maksudnya mungkin belum terbangun chemistry di antara kalian." "Jika Mas Asy tak menganggap Mbak Hanna, tak mungkin kesalahpahaman di antara kita terjadi, Mbak. Masalah meja ri

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status