Share

Part 5 Calon Untuk Suami

Naina menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Tangannya memainkan ponselnya, membuka pesan sang ibu mertua. Matanya terbelalak dengan salah satu foto yang dikirmkan ibu mertuanya.

“Beliau kenal darimana ya?” lirihnya bermonolog. Kembali ia mengamati foto itu, menge-zoom dengan dua jarinya. Dahinya mengernyit, menyimpan pertanyaan-pertanyaan.

Ia beranjak dari tepi ranjang untuk ke kamar mandi.

“Masi lama nggak, Mas? Nanti terlambat pesawatnya,” ucapnya sedikit berteriak saat mendengar kran kamar mandi menyala.

“Sudah selesai, Sayang, ini lagi handukan dulu, lima menit lagi Mas keluar.”

Naina kembali duduk di tepian ranjang dan berkutat dengan ponselnya.

[Bu, satu jam lagi Ina berangkat, nanti kalau sampai rumah Ina mau ngobrol sama ibu dan bapak.] 

Sebuah pesan yang ia kirimkan pada ibu mertua. Tak lama kemudian pintu kamar mandi terbuka. Muncullah sosok Asyraf yang sedang mengeringkan rambutnya dengan handuk, hingga membuat Naina terperangah melihat suaminya yang terlihat tampan dan lebih segar. 

Asyraf menyugar rambutnya, lantas berkata, “sudah puas mandangin suaminya yang tampan ini?”

“Apa sih, Mas? Jangan kepedean deh, orang Ina lagi lihatin rambutnya yang masih berbusa,” ucapnya sambil mengalihkan pandangan.

“Ngelesmu nggak lucu, Dek. Bilang saja kalau terpesona sama Mas, Mas nggak akan marah, malah seneng dan berbunga-bunga.” Asyraf menjawil pipi mulus Naina.

“Buruan, Mas, nanti ketinggalan pesawatnya. Nggak usah godain deh,” ujarnya mencubit pinggan suaminya.

“Aww,” seru Asyraf berpura-pura.

Setelah semua siap Asyraf dan Naina segera pergi meninggalkan kamarnya untuk chek-out di resepsionis. Tepat saat melankah keluar halaman hotel taksi online yang dipesannya sudah sampai. Mereka segera masuk ke dalam mobil tersebut. 

Di dalam mobil Naina lebih banyak diam, sedangkan Asyraf mengajak sang sopir mengobrol. 

“Mas, aku tidur dulu ya, nanti kalau sudah sampai bangunin!”

“Mau tidur, Dek? Nanti di pesawat juga tidur lagi?” tanya Asyraf menggoda.

“lumayan capek nih, Mas. Kebiasaan tidur siang kayaknya, jadi kalau nggak tidur jam segini udah ngantuk,” jawabnya berbohong. Sebenarnya Naina lelah, tetapi sama sekali tak merasakan kantuk. Ia hanya beralasan untuk merenung dan memilih salah satu dari tiga perempuan yang dipilihkan ibunya.

Naina menghadapkan kepalanya ke luar. Ia memejamkan matanya seolah telah tidur. Namun, jauh dalam pikirannya ia terbayang-bayang saat mulai menjalani kehidupan dengan istri kedua suaminya.

Naina kembali membayangkan paras-paras ayu calon istri untuk suaminya. Sudut matanya mulai basah meski terpejam. Sebenarnya ia merasa tak rela jika istri kedua berparas cantik. Namun, ia tak mungkin tega memilihkan suaminya istri yang tak menarik. Bukankah jika istri kedua itu cantik, maka keturunannya pun akan memiliki paras yang menarik?

Mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di bandara I Gusti Ngurah Rai. Gegas mereka berlari kecil memasuk bandara. Tersisa lima belas menit sebelum pesawat lepas landas. Mereka tersengal saat mulai memasuki garbarata.

“Harusnya tidak usah mandi tadi, Mas kalau waktunya mepet gini.”

“Sudah jangan bicara dulu, yang penting kita bisa masuk ke pesawatnya.”

Sesampainya di pesawat Naina berusaha memijat kakinya yang pegal. Seperti biasa sebelum pesawat lepas landas para pramugari memberikan berbagai macan intruksi. Seluruh penumpang memperhatikan dengan takzim dan mulai memasangkan sabuk pengamannya masing-masing.

Malam semakin matang. Gemerlap cahaya bintang terlihat samar. Angin dingin menerpa pohon-pohon membuat dedaunan ikut bergoyang. 

Tiga jam perjalanan yang ditempuh Asyraf dan Naina. Tepat pukul 10.00 mereka sudah sampai di rumah dan disambut hangat kedua orangtua. Naina mulai bercerita perjalanannya kepada sang ibu. Mulai dari makanan khas Bali hingga keindahan pantai yang mereka kunjungi, lantas membuat mereka hampir terlambat naik pesawat.

Naina mengeluarkan satu per satu oleh-oleh khas Bali. Ada kacang disco, brem, pie susu dan kain batik Bali juga udeng. Pak Rahman mencoba udeng yang ditunjukkan Naina. Sontak mereka semua tertawa. Bukan tertawa dengan penampilannya, tetapi menertawakan saat Pak Rahman berbicara dengan logat bali.

“Asy, ajak Ina istirahat ke kamar ya, ini sudah larut!” perintah Pak Rahman.

“Ina kan mau ngobrol dulu sama ibu.”

“Ya sudah, kamu mandi dulu, beresin kopernya nanti langsung ke kamar ibu, ya!”

“Emang mau ngobrol apa sih? Emang nggak bisa besok, Dek?” tanya Asyraf mengernyitkan dahi.

“Mas Asyraf kepo deh, biasa Mas urusan perempuan,” jawabnya terkekeh.

Naina beranjak dari duduknya, kemudian disusul Asyraf. Asyraf menduga perbincangan Naina dengan ibunya nanti bukan hanya obrolan biasa. Ia kembali teringat akan permintaan Naina untuk dimadu. Apakah itu yang akan mereka bahas? Siapa yang akan menjadi istrinya nanti?

“Dek, boleh Mas ikut kamu ngobrol sama ibu?”

“Boleh, Mas. Tapi ....”

“Tapi kenapa?”

“Apapun pembicaraan kami Mas jangan menyela atau merasa keberatan.”

“Baiklah.”

Naina menggelar sajadah setelah membersihkan diri di kamar mandi. Ia akan melaksanakan salat isya berjamaah dengan suaminya. Asyraf yang sudah rapi segera memulai salat isya. Empat rakaat salat isya telah terlaksana. Naina menyempurnakan salatnya dengan ditutup salat witir. Naina tertegun menunggu Asyraf salat witir lebih banyak daripada biasanya. Dengan doa yang begitu lama. Entah apa.

“Assalamualaikum, Bu,” ucap Naina sembari mengetuk pintu kamar Bu Liyah.

“Waalaikumussalam, masuk saja, Na!”

Naina masuk ke dalam kamar dan disusul Asyraf di belakangnya. Bu Liyah memicingkan mata saat mengetahui putranya mengekor di belakang sang menantu.

“Mas Asy pengen ikut ngobrol, Bu,” ucap Naina.

“Iya nggak apa-apa.” 

Mereka berempat duduk di kursi rotan. Beberapa saat hening, tak ada yang membuka suara.

“Gimana dengan pilihanmu. Ndhuk?”

Naina tak mengira Bu Liyah akan langsung bertanya pada hal inti. Dengan tangan bergetar dan mata berkaca-kaca, Naina menyodorkan ponsel yang sudah menampilkan foto calon istri untuk suaminya.

“Kamu yakin dengan pilihanmu?”

“Iya, Bu. Ina yakin, insyaallah Ina tidak salah pilih, Bu,” jawabnya dengan menyusut sudut matanya.

"Apa Ibu tidak pengen mempertimbangkan lagi rencana ini?" Pak Rahman memvuka suara. Bu Liyah terdiam. 

"Sebenernya Bapak ragu dengan rencana ini," ungkap Pak Rahman mengusap wajahnya yang sedikit gusar.

"Bapak takut tidak bisa berjalan dengan lancar. Ini bukan pernikahan biasa, tapi pernikahan kedua, di mana pernikahan pertama masih berjalan," terang Pak Rahman.

"Insya Allah Ina dan Mas Asy sudah siap, Pak. Mohon doanya," jawab Ina mantap. Pak Rahman hanya mengangguk.

“Apa ini tidak terlalu cepat, Bu?” tanya Asyraf.

“Tidak, Mas. Ina sudah mempertimbangkan ini dengan ibu. Mohon diterima ya, Mas, apapun pilihan Ina. Ina hanya berusaha yang terbaik untuk Mas.”

“Baiklah besok malam, kita akan melamarnya, acara pernikahan akan diadakan lusa," jelas Bu Liyah cepat. 

"Kalau boleh tahu, Ibu dari mana kenal sama ...." 

"Besok ibu ceritakan ya, Na. Sekarang isrirahatlah!" pinta Bu Liyah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status