Mahar Kedua

Mahar Kedua

Oleh:  Sherry  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
24Bab
1.4KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Memasuki sepuluh tahun pernikahan, Naina dan Asyraf belum juga mendapatkan karunia berupa buah hati. Dengan membesarkan hati ia menyetujui permintaan mertua. Memilihkan istri untuk suaminya sendiri. Mereka hanya manusia biasa memiliki perasaan cemburu, perasaan tak dianggap, juga perasaan tak adil

Lihat lebih banyak
Mahar Kedua Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
24 Bab
Part 1 Keputusan Besar
Wanita itu menggenggam erat keranjang bunga di tangannya. Sesekali ia mengusap pipinya yang telah basah. Berjalan melewati jembatan yang luasnya hanya satu meter, pemisah antara area pemakaman dengan desa penduduk. Jika sebelumnya harus melewati batu-batu licin atau menunggu air sedikit surut saat hujan deras mengguyur, sekarang kerepotan itu tak terjadi lagi. Jembatan yang berdiri sejak dua tahun yang lalu sangat mempermudah akses.Satu per satu kakinya menapaki tangga yang dibentuk dari tanah liat. Pemakaman yang berada di lereng perbukitan itu di bentuk terasering. Semua penduduk harus hafal sanak keluarganya dimakamkan di tingkat yang keberapa. Langkahnya terhenti tepat di sebuah makam orang yang dicintai. Sunyinya area pemakaman membuat isakan kecil itu terdengar. Ia menengadahkan wajahnya ke langit. Melihat awan kelabu menggelayut manja di sana. Langit mendung sejauh mata memandang. Kembang tujuh rupa ditaburnya, memenuhi tanah perkuburan yang telah rata ter
Baca selengkapnya
Part 2 Alasan Poligami
"Maaf kalau Asyraf tidak sopan masuk ke sini, tapi-,” ucapan Asyraf terpotong.“Nanti Ina jelaskan, Mas,” sela Naina cepat. Jantung Naina berdetak tak beraturan. Ia memikirkan cara untuk membicarakan ini dengan kepala dingin. Ia tak mau jika ada pertengkaran.“Bapak, Ibu, Ina pamit ke kamar dulu ya.” Naina beralih menatap kedua mertuanya, lantas undur diri dari hadapan mereka. Tangannya menarik perlahan lengan suaminya yang mulai minta penjelasan.“Ada apa ini, Naina?” tanya Asyraf dengan suara tenang, tapi penuh penekanan. Jika Asyraf memanggil dengan sebutan ‘Naina’ itu artinya ia sedang berbicara serius, menasehati istrinya atau menginginkan penjelasan. Ia akan menyebut nama istrinya dengan intonasi tegas. Naina pun hafal akan hal itu, saat ini suaminya sedang membutuhkan sebuah penjelasan.“Mas, bersedia kan untuk menikah lagi?” Pertanyaan yang meluncur begitu saja dari bibir mungil Naina. Senyumnya mengembang. Namun, perlahan memudar saat air mata pertama itu luruh di kedua pipiny
Baca selengkapnya
Part 3 Pesan dari Ibu
Part 3Dini hari usai salat subuh. Naina membuka jendela di kamarnya, membuat udara dingin menyeruak masuk. Satu dua bintang terlihat mengerlip, menandakan langit tak mendung pagi ini. Cahaya jingga belum terlihat di ufuk timur. Tanah masih basah akibat hujan semalam.Jendela kamar persis menghadap sebuah taman kecil yang dirawatnya dengan ibu mertua. Tanaman di sana tumbuh subur dan ada yang sedang berbunga. Sungguh, pemandangan indah untuk memanjakan mata. Selain tanaman bunga, mereka juga menanam jahe, kunyit, kencur dan lain sebagainya.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Asyraf melingkarkan tangannya memeluk dari belakang. “Selamat pagi juga, Sayang.” Naina menoleh ke belakang, sebuah kecupan mendarat di pipinya.“Eh, Mas. Jangan cium-cium, ini jendelanya terbuka, nanti kalau ibu tahu Ina malu.” Wajahnya bersemu merah.“Ibu nggak akan lihat, Na, beliau masih ngaji tadi di kamar salat.”“Nanti sore jalan-jalan, yuk!” ajak
Baca selengkapnya
Part 4 Senja Terakhir
“Liyah, kamu sudah ngobrol sama menantumu itu masalah poligami?” tanya Bu Ros, kakak ipar Bu Liyah. Bu Ros adalah saudara kandung Pak Rahman, suaminya. “Sudah, Mbakyu, Ina setuju. Sekarang tinggal menunggu keputusan Asyraf, Naina sudah membujuknya,” terang Bu Liyah sembari menjerang air untuk menyeduh kopi yang akan disuguhkan pada kakak iparnya itu. “Baguslah kalau begitu, memang harus setuju, sudah lama dia belum hamil lagi setelah keguguran itu.” Bu Liyah hanya tersenyum kecut. Memang selama ini Bu Ros yang mengusulkan Asyraf untuk berpoligami. “Doakan saja, Mbakyu. Semoga pernikahan mereka tetap langgeng, dan jika Asyraf bersedia menikah lagi, ya doakan semoga bisa adil kepada istri-istrinya. Kalau aku yang diposisi Naina belum tentu bisa mengambil keputusan, Mbakyu.” “Tapi kamu kan tidak berada diposisinya sekarang,” timpal Bu Ros sambil menikmati pisang goreng yang disuguhkan. Tak hanya teh lemon, Bu Liyah juga menyukai kopi jahe yang diracik sendiri. Jika kebanyakan orang
Baca selengkapnya
Part 5 Calon Untuk Suami
 Naina menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Tangannya memainkan ponselnya, membuka pesan sang ibu mertua. Matanya terbelalak dengan salah satu foto yang dikirmkan ibu mertuanya. “Beliau kenal darimana ya?” lirihnya bermonolog. Kembali ia mengamati foto itu, menge-zoom dengan dua jarinya. Dahinya mengernyit, menyimpan pertanyaan-pertanyaan.Ia beranjak dari tepi ranjang untuk ke kamar mandi. “Masi lama nggak, Mas? Nanti terlambat pesawatnya,” ucapnya sedikit berteriak saat mendengar kran kamar mandi menyala. “Sudah selesai, Sayang, ini lagi handukan dulu, lima menit lagi Mas keluar.” Naina kembali duduk di tepian ranjang dan berkutat dengan ponselnya. [Bu, satu jam lagi Ina berangkat, nanti kalau sampai rumah Ina mau ngobrol sama ibu dan bapak.]  Sebuah pesan yang ia kirimkan pa
Baca selengkapnya
Part 6 Pernikahan Kedua
Sejak Bu Liyah meminta Naina mencarikan calon untuk suaminya, ia lebih banyak merenung. Sejak saat itu pula ia harus bisa menyembunyikan kesedihannya di depan sang suami. Sejauh ini ia berhasil menyembunyikan luka itu dengan baik. Namun, bagaimana nanti saat sudah ada wanita lain di kehidupan suaminya. Bisakah ia menampilkan senyum sebaik mungkin? Atau bisakah ia menahan rasa cemburu?Naina menghapus sisa air matanya, kali ini ia berlama-lama meluapkan kesedihannya dengan menangis. Asyraf dan kedua orang tuanya pergi sejak pagi. Membeli beberapa hal untuk lamaran nanti malam. Naina memutuskan untuk tidak ikut. Ia takut jika tak bisa mengendalikan perasaannya.Akan tetapi, Naina mendapat kejutan tak terduga dari sang ibu mertua. Beliau menyuruh Naina untuk menghias seperangkat alat salat yang akan dijadikan mahar di pernikahan suaminya nanti. Sakit yang ia tahan selama ini meluap begitu saja saat semua penghuni rumah pergi. Bahkan ibu mertuanya juga meminta untuk memakaikan henna di tan
Baca selengkapnya
Part 7 Rambut Basah
“Assalamualaikum, Na, ini Mbak Putri, tolong bukakan pintunya!” Putri mengetuk pintu kamar Naina, tetapi tidak ada sahutan dari dalam.“Nainaa!” seru perempuan berjilbab tosca itu. Lagi. Tetap hening.“Ada apa, Put?” tanya Bu Liyah menghampiri Putri.“Naina kayaknya nggak ada di kamar, Bu, soalnya nggak ada sahutan,” jawab Putri.“Masak nggak ada, Put? Tadi habis ketemu sama mempelai wanita Ina bilang mau ke kamar. Ibu juga nggak lihat Ina di dapur.”Perempuan paruh baya itu menyingsingkan selendang di tangannya, lantas mengetuk pintu kamar Naina, tetap saja tak ada jawaban.“Putri kok khawatir ya terjadi sesuatu sama Naina,” ucap Putri mulai resah.Seketika raut wajah Bu Liyah menunjukkan kecemasan. Perlahan beliau mencoba memutar kenop pintu kamar. Menyisir seluruh ruangan kamar, mencari keberadaan Naina. Putri segera masuk ke kamar.“Astagfirullah, Naina,” seru Putri saat mengetahui Naina tergolek lemas bersandar di dinding. Sigap Bu Liyah memanggil ibu-ibu yang sedang mengisi nasi
Baca selengkapnya
Part 8 Masakan Pertama Hanna
(Pov Hanna)Kuusap peluh yang membasahi dahi juga leher. Rambut pun mulai berantakan dan nampak putih terkena terigu. Segera kubersihkan diri di kamar mandi. Tanpa terasa sudah dua jam aku berkutat dengan terigu dan tempe untuk membuat mendoan kesukaan Mas Asyraf. Usai membersihkan diri, aku mulai menata mendoan dan sambal kecapnya di meja makan karena sebentar lagi Mas Asyraf akan pulang. Ini adalah kali pertama aku memasak. Entah bagaimana rasanya. Sudah enam hari aku menikah dengan Mas Asy, selama itu pula aku tak pernah memasak untuknya. Setiap hari kami makan di tempat mertua, aku selalu membantu Naina--istri pertama Mas Asyraf-- untuk memasak makanan. Di rumah orang tua, aku pun tak pernah memasak. Saat aku kecil, keluarga kami memiliki asisten rumah tangga. Dan ketika aku serta kakakku sudah dewasa, Mama pensiun, lantas beliau fokus menjadi ibu rumah tangga. Jadilah aku wanita karir yang tak bisa melakukan pekerjaan rumah kecuali menyapu.Menurutku Naina adalah wanita yang sa
Baca selengkapnya
Part 9 Keputusan Hanna
(Pov Hanna)"Mendoannya enak, Han. Terimakasih ya sudah memasak untukku." Suara Mas Asy membuyarkan lamunanku. Bahagia, itulah yang kurasakan saat Mas Asy memuji masakan pertamaku. Namun, di sudut hati yang lain ada rasa sakit karena ia masih menganggap diri ini seperti orang lain.Jujur saja ini adalah pertama kalinya aku mengobrol banyak dengannya. Biasanya ia hanya bertanya masalah rumus atau jadwal mengajar di tempatku. Mas Asy seorang dosen matematika, sedangkan aku dosen fisika. Ada kesamaan di beberapa rumus, sehingga kami bisa berinteraksi.Mendoan yang kusajikan habis tak bersisa. Aku hanya mengambil sepotong saja. Meski menurutku rasanya sedikit lebih asin dari biasanya, tapi Mas Asy tak mengomentarinya sama sekali. Dia benar-benar suami idaman wanita.Setelah mengucapkan terimakasih, Mas Asy bangkit dari duduknya menuju kamar kami. Lebih tepatnya di meja belajarnya. Ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama buku-bukunya daripada denganku. Mungkin memang belum terbiasa.Usa
Baca selengkapnya
PART 10 Jadwal di Rumah Hanna
(POV Naina)Enam hari setelah pernikahan itu, aku mulai belajar memahami jadwal adil yang diatur sedemikian rupa untukku juga Mbak Hanna. Jika bulan ini aku mendapat jadwal pada tanggal ganjil, maka bulan berikutnya akan dapat jadwal pada tanggal genap, begitu seterusnya.Mbak Hanna adalah seorang dosen yang dulu pernah sekali mengisi kelasku, karena menggantikan dosen yang tidak hadir. Makanya aku tidak canggung ketika memanggil Mbak, karena dia bukan dosen tetapku dulu. Sering terdengar Mbak Hanna mengagumi Mas Asyraf yang saat itu status pernikahannya denganku masih disembunyikan. Namun, aku menyadari siapapun dia di masa lalu kini tidaklah penting, karena bagaimanapun dia memiliki hak yang sama seperti diriku, yaitu sebagai seorang istri.Malam setelah pulang dari melamar Mbak Hanna, Ibu bercerita bahwa semuanya berawal karena mereka tak sengaja bertemu di sebuah butik langganan beliau. Mbak Hanna mengatakan bahwa ia mengajar di salah satu Sekolah Tinggi yang dulu aku tempati untu
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status