Bag. 24"Iya, Bude. Ada yang bisa Naina bantu?" Naina berusaha mengulas senyum terbaiknya. Lebih baik ia berpura-pura tak mendengar apapun. "Ehh ... nggak ada, Na. Ini sayur tumpang buatanmu ya?" Bude Ros menunjuk sepiring nasi yang disiram kuah sayur tumpang. "Iya, Bude. Ina yang masak sayur tumpangnya. Enak nggak menurut Bude?" Kali ini Bude Ros tak jutek seperti biasanya. Sehingga Naina merasa lebih santai untuk berbincang berdua.'Semoga Naina tak mendengar ucapanku tadi,' batin Bude Ros merutuki dirinya yang suka ceplas-ceplos. Meski memang lidahnya tajam dalam berbicara, wanita yang lebih tua tiga tahun dari ayah mertua Naina itu masih memiliki perasaan. Ia bukan tipe yang suka menyindir, apa yang tidak cocok langsung dikatakan tanpa memendamnya. Meski begitu segala ucapan yang keluar dari mulutnya tak melalui saringan terlebih dahulu, hingga kadang tanpa sadar menyakiti lawan bicara. "Ini uwenak lho, Na. Padahal aku sering beli sayur tumpang buat sarapan, tapi nggak ada yang
Wanita itu menggenggam erat keranjang bunga di tangannya. Sesekali ia mengusap pipinya yang telah basah. Berjalan melewati jembatan yang luasnya hanya satu meter, pemisah antara area pemakaman dengan desa penduduk. Jika sebelumnya harus melewati batu-batu licin atau menunggu air sedikit surut saat hujan deras mengguyur, sekarang kerepotan itu tak terjadi lagi. Jembatan yang berdiri sejak dua tahun yang lalu sangat mempermudah akses.Satu per satu kakinya menapaki tangga yang dibentuk dari tanah liat. Pemakaman yang berada di lereng perbukitan itu di bentuk terasering. Semua penduduk harus hafal sanak keluarganya dimakamkan di tingkat yang keberapa. Langkahnya terhenti tepat di sebuah makam orang yang dicintai. Sunyinya area pemakaman membuat isakan kecil itu terdengar. Ia menengadahkan wajahnya ke langit. Melihat awan kelabu menggelayut manja di sana. Langit mendung sejauh mata memandang. Kembang tujuh rupa ditaburnya, memenuhi tanah perkuburan yang telah rata ter
"Maaf kalau Asyraf tidak sopan masuk ke sini, tapi-,” ucapan Asyraf terpotong.“Nanti Ina jelaskan, Mas,” sela Naina cepat. Jantung Naina berdetak tak beraturan. Ia memikirkan cara untuk membicarakan ini dengan kepala dingin. Ia tak mau jika ada pertengkaran.“Bapak, Ibu, Ina pamit ke kamar dulu ya.” Naina beralih menatap kedua mertuanya, lantas undur diri dari hadapan mereka. Tangannya menarik perlahan lengan suaminya yang mulai minta penjelasan.“Ada apa ini, Naina?” tanya Asyraf dengan suara tenang, tapi penuh penekanan. Jika Asyraf memanggil dengan sebutan ‘Naina’ itu artinya ia sedang berbicara serius, menasehati istrinya atau menginginkan penjelasan. Ia akan menyebut nama istrinya dengan intonasi tegas. Naina pun hafal akan hal itu, saat ini suaminya sedang membutuhkan sebuah penjelasan.“Mas, bersedia kan untuk menikah lagi?” Pertanyaan yang meluncur begitu saja dari bibir mungil Naina. Senyumnya mengembang. Namun, perlahan memudar saat air mata pertama itu luruh di kedua pipiny
Part 3Dini hari usai salat subuh. Naina membuka jendela di kamarnya, membuat udara dingin menyeruak masuk. Satu dua bintang terlihat mengerlip, menandakan langit tak mendung pagi ini. Cahaya jingga belum terlihat di ufuk timur. Tanah masih basah akibat hujan semalam.Jendela kamar persis menghadap sebuah taman kecil yang dirawatnya dengan ibu mertua. Tanaman di sana tumbuh subur dan ada yang sedang berbunga. Sungguh, pemandangan indah untuk memanjakan mata. Selain tanaman bunga, mereka juga menanam jahe, kunyit, kencur dan lain sebagainya.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Asyraf melingkarkan tangannya memeluk dari belakang. “Selamat pagi juga, Sayang.” Naina menoleh ke belakang, sebuah kecupan mendarat di pipinya.“Eh, Mas. Jangan cium-cium, ini jendelanya terbuka, nanti kalau ibu tahu Ina malu.” Wajahnya bersemu merah.“Ibu nggak akan lihat, Na, beliau masih ngaji tadi di kamar salat.”“Nanti sore jalan-jalan, yuk!” ajak
“Liyah, kamu sudah ngobrol sama menantumu itu masalah poligami?” tanya Bu Ros, kakak ipar Bu Liyah. Bu Ros adalah saudara kandung Pak Rahman, suaminya. “Sudah, Mbakyu, Ina setuju. Sekarang tinggal menunggu keputusan Asyraf, Naina sudah membujuknya,” terang Bu Liyah sembari menjerang air untuk menyeduh kopi yang akan disuguhkan pada kakak iparnya itu. “Baguslah kalau begitu, memang harus setuju, sudah lama dia belum hamil lagi setelah keguguran itu.” Bu Liyah hanya tersenyum kecut. Memang selama ini Bu Ros yang mengusulkan Asyraf untuk berpoligami. “Doakan saja, Mbakyu. Semoga pernikahan mereka tetap langgeng, dan jika Asyraf bersedia menikah lagi, ya doakan semoga bisa adil kepada istri-istrinya. Kalau aku yang diposisi Naina belum tentu bisa mengambil keputusan, Mbakyu.” “Tapi kamu kan tidak berada diposisinya sekarang,” timpal Bu Ros sambil menikmati pisang goreng yang disuguhkan. Tak hanya teh lemon, Bu Liyah juga menyukai kopi jahe yang diracik sendiri. Jika kebanyakan orang
Naina menatap jam dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Tangannya memainkan ponselnya, membuka pesan sang ibu mertua. Matanya terbelalak dengan salah satu foto yang dikirmkan ibu mertuanya.“Beliau kenal darimana ya?” lirihnya bermonolog. Kembali ia mengamati foto itu, menge-zoom dengan dua jarinya. Dahinya mengernyit, menyimpan pertanyaan-pertanyaan.Ia beranjak dari tepi ranjang untuk ke kamar mandi.“Masi lama nggak, Mas? Nanti terlambat pesawatnya,” ucapnya sedikit berteriak saat mendengar kran kamar mandi menyala.“Sudah selesai, Sayang, ini lagi handukan dulu, lima menit lagi Mas keluar.”Naina kembali duduk di tepian ranjang dan berkutat dengan ponselnya.[Bu, satu jam lagi Ina berangkat, nanti kalau sampai rumah Ina mau ngobrol sama ibu dan bapak.]Sebuah pesan yang ia kirimkan pa
Sejak Bu Liyah meminta Naina mencarikan calon untuk suaminya, ia lebih banyak merenung. Sejak saat itu pula ia harus bisa menyembunyikan kesedihannya di depan sang suami. Sejauh ini ia berhasil menyembunyikan luka itu dengan baik. Namun, bagaimana nanti saat sudah ada wanita lain di kehidupan suaminya. Bisakah ia menampilkan senyum sebaik mungkin? Atau bisakah ia menahan rasa cemburu?Naina menghapus sisa air matanya, kali ini ia berlama-lama meluapkan kesedihannya dengan menangis. Asyraf dan kedua orang tuanya pergi sejak pagi. Membeli beberapa hal untuk lamaran nanti malam. Naina memutuskan untuk tidak ikut. Ia takut jika tak bisa mengendalikan perasaannya.Akan tetapi, Naina mendapat kejutan tak terduga dari sang ibu mertua. Beliau menyuruh Naina untuk menghias seperangkat alat salat yang akan dijadikan mahar di pernikahan suaminya nanti. Sakit yang ia tahan selama ini meluap begitu saja saat semua penghuni rumah pergi. Bahkan ibu mertuanya juga meminta untuk memakaikan henna di tan
“Assalamualaikum, Na, ini Mbak Putri, tolong bukakan pintunya!” Putri mengetuk pintu kamar Naina, tetapi tidak ada sahutan dari dalam.“Nainaa!” seru perempuan berjilbab tosca itu. Lagi. Tetap hening.“Ada apa, Put?” tanya Bu Liyah menghampiri Putri.“Naina kayaknya nggak ada di kamar, Bu, soalnya nggak ada sahutan,” jawab Putri.“Masak nggak ada, Put? Tadi habis ketemu sama mempelai wanita Ina bilang mau ke kamar. Ibu juga nggak lihat Ina di dapur.”Perempuan paruh baya itu menyingsingkan selendang di tangannya, lantas mengetuk pintu kamar Naina, tetap saja tak ada jawaban.“Putri kok khawatir ya terjadi sesuatu sama Naina,” ucap Putri mulai resah.Seketika raut wajah Bu Liyah menunjukkan kecemasan. Perlahan beliau mencoba memutar kenop pintu kamar. Menyisir seluruh ruangan kamar, mencari keberadaan Naina. Putri segera masuk ke kamar.“Astagfirullah, Naina,” seru Putri saat mengetahui Naina tergolek lemas bersandar di dinding. Sigap Bu Liyah memanggil ibu-ibu yang sedang mengisi nasi