Share

Part 3 Pesan dari Ibu

Part 3

Dini hari usai salat subuh. Naina membuka jendela di kamarnya, membuat udara dingin menyeruak masuk. Satu dua bintang terlihat mengerlip, menandakan langit tak mendung pagi ini. Cahaya jingga belum terlihat di ufuk timur. Tanah masih basah akibat hujan semalam.

Jendela kamar persis menghadap sebuah taman kecil yang dirawatnya dengan ibu mertua. Tanaman di sana tumbuh subur dan ada yang sedang berbunga. Sungguh, pemandangan indah untuk memanjakan mata. Selain tanaman bunga, mereka juga menanam jahe, kunyit, kencur dan lain sebagainya.

“Selamat pagi, Sayang,” sapa Asyraf melingkarkan tangannya memeluk dari belakang.

“Selamat pagi juga, Sayang.” Naina menoleh ke belakang, sebuah kecupan mendarat di pipinya.

“Eh, Mas. Jangan cium-cium, ini jendelanya terbuka, nanti kalau ibu tahu Ina malu.” Wajahnya bersemu merah.

“Ibu nggak akan lihat, Na, beliau masih ngaji tadi di kamar salat.”

“Nanti sore jalan-jalan, yuk!” ajak Asyraf pada istrinya.

“Hari ini kan Ina mau bikin ketupat sama ibu, nanti sore baru bikin sayurnya, lain kali aja ya, Mas,” jawabnya dengan membalikkan bada menghadap sang suami.

“Emm, mau lain kali ya? Padahal Mas mau ajak kamu jalan-jalan ke pantai,” ujarnya menggoda sang istri.

“Pantai, Mas?” Wajah Naina berbinar. Ia memang senang melihat pantai, tetapi sudah lama sekali ia tak mengunjunginya. Terakhir kali berkunjung ka pantai saat usianya enam tahun, itu pun acara sekolah yang mengadakannya.

“Ke pantai itu kan jauh, Mas, butuh waktu tiga jam.”

“Sudah, nanti sore pokoknya kita jalan-jalan ya, Sayang,” ucapnya memohon.

“Oh iya, Mas, percakapan semalam ...." Naina ragu membahas masalah poligami, tapi ia harus mendapat kesimpulannya.

“Percakapan semalam belum ada kesimpulan, Naina tunggu jawabannya ya.” Naina mengalungkan tangan di leher suaminya, kemudian mencubit hidungnya berkali-kali hingga memerah. Setelah Asyraf terlihat kesal, ia akan berlari meninggalkannya.

Semburat jingga mulai terlihat di ujung kaki langit. Naina melangkah menuju ruang makan yang tersambung dengan dapur. Ibu mertuanya sedang berkutat di sana. Membuat minuman jahe hangat kesukaan suaminya.

“Bu, biar Ina saja yang antarkan jahenya.”

“Nggak usah, Na, biar Ibu saja, sekalian ngingetin bapakmu untuk minum obat asam uratnya, kalau ndak diingatkan suka lupa,” ujarnya seraya membawa nampan berisi wedang jahe dan mendoan.

“Oh, iya, serokan yang di atas wajan itu ada mendoan. Ibu baru bikin jadi masih hangat, minta tolong bawa ke depan ruang tv ya!” pinta sang ibu mertua.

Naina segera menjerang air untuk membuat teh lemon. Teh yang memang biasa dikonsumsi di keluarga tersebut. Teh yang digunakan pun bukan teh celup, melainkan teh tubruk. Teh yang berbentuk potongan-potongan daun kasar yang siap di seduh. Jika diguyur dengan air panas, teh akan mengeluarkan aroma yang menggugah selera.

Usai membuat teh lemon, Naina segera menatanya di atas nampan beserta mendoan yang masih hangat dan mengepul. Di ruang keluarga sudah ada ibu dan Asyraf. Mereka sedang mengobrol serius.

“Ibu sudah mengizinkan, Dek,” celetuk Asyraf sebelum Naina mendaratkan nampannya di atas meja.

“Mengizinkan apa, Mas?” tanyanya yang tetap sibuk menuangkan teh pada masing-masing gelas.

“Bulan madu,” selorohnya asal dengan senyum yang lebar.

“Eh.” Gerakan tangan Naina seketika terhenti. Ia menahan pandangannya untuk melihat Asyraf. Pernyataan Asyraf masih ambigu baginya, membuat jantungnya bertalu-talu.

“Bulan madu apa, Mas?” tanyanya lagi dengan suara lirih. Ia duduk di samping Bu Liyah.

“Bulan madu, yang Mas katakan tadi. Kita boleh ke pantai hari ini, Mas sudah pesan tiketnya dari semalam loh.”

“Eh, ke pantai ada tiketnya ya?”

“Asyraf ingin mengajakmu ke pantai yang jauh, nanti kamu bisa bersiap kalau sudah selesai bikin ketupatnya. Oh iya, rebung yang kamu bawa kemarin kan banyak, nanti ibu mau minta ya, mau dimasak tumis gitu.”

“Baik, Bu, rebungnya dimasak saja, Bu, nanti Ina bisa ambil lagi kalau ke tempat Mbak Putri.”

***

Naina sedang mematut dirinya di depan cermin. Sosoknya yang mudah bergaul membuat dia memiliki banyak kenalan perempuan-perempuan yang fashionable, terutama para pelanggan yang sudah pernah merasakan jasa hennanya. Dari situlah ia bisa berpenampilan modern tanpa harus memperlihatkan lekuk tubuhnya.

Tunik berwarna blue sky selutut, ia padukan dengan celana kulot berwarna navy yang tidak terlalu lebar. Kemudian disempurnakan dengan pashmina berwarna senada yang menutup bagian dadanya. Tak perlu riasan tebal untuk menghias wajahnya, cukup celak mata dan pelembab wajah.

Setelah semua siap Naina dan Asyraf pamit pada keluarganya.

“Cie yang mau bulan madu kedua,” goda sang ayah pada putranya.

Asyraf tersipu malu, sedangkan Naina menahan senyumnya, berusaha menutupi wajahnya yang mungkin sudah merah padam.

Mereka lantas menaiki mobil nissan x-trail yang dikemudikan oleh sopir pribadi keluarga.

“Boleh aku menjawabnya sekarang?” Asyraf membuka suara.

“Perihal apa, Mas?” Sebenarnya Naina bisa menebak arah pembicaraan itu, tetapi ia pura-pura tak mengerti. Entah rasanya ia enggan membahas hal yang sangat menyakitkan itu. Apalagi sekarang adalah waktu untuk mereka berlibur.

“Percakapan kita semalam, Mas sudah menyiapkan jawabannya.” Naina mengernyitkan dahi, menunggu kalimat suaminya yang belum selesai.

"Mas akan ... Mas setuju dengan keputusan ibu dan bapak, demi kamu dan demi kebahagiaan kita. Semoga Allah meridhoi keputusan kita ya, Na." Asyraf tersenyum. Menyentuh kepala istrinya untuk didekatkan pada bahunya, agar sang istri bersandar.

Naina mengangguk pelan. Jawaban itu membuat perasaannya dilema, sedih juga bahagia. Bahagia karena akhirnya sang suami menuruti kemauan kedua orangtuanya, tetapi sedih karena setelah ini, semuanya akan terbagi. Bukan lagi terbagi dengan ibu mertua, akan tetapi terbagi dengan wanita lain yang suatu saat akan dicintai suaminya.

Entah apa yang akan terjadi jika Asyraf menolak untuk poligami, dan selamanya ia tak bisa memiliki anak. Mungkin saja kedua orangtuanya tidak ridho dengan pernikahan mereka.

Sepuluh menit berlalu sunyi.

Naina memejamkan matanya berpura-p**a tertidur. Ia tak mau lagi membahas percakapan itu. Dadanya semakin sesak. Jawaban suaminya bagai anak panah yang melesat kencang, lantas sukses menusuk ulu hatinya. Hidungnya tersumbat, menahan air mata yang tak ingin ia tumpahkan.

Mobil berwarna putih itu mulai menyibak jalanan kota yang tak terlalu padat. Tepat tiga jam mobil tersebut telah sampai di tempat tujuan, terparkir anggun di antara mobil lain.

"Sayang, bangun yuk! Kita sudah sampai." Asyraf menepuk pipi istrinya pelan. Naina membuka matanya. Tanpa sadar tidur pura-puranya menjadi tidur sesungguhnya.

"Sudah sampai ya? Tapi kok nggak ada pantainya, Mas?" Naina mengernyitkan dahi. Memindai pemandangan sekitar yang hanya mobil dan sebuah gedung bertuliskan 'Bandar Udara Internasional Juanda'.

"Kita ke bandara?"

"Iya, Sayang. Sudah kamu turun ya, kita harus bergegas. Pesawat kita akan take off setengah jam lagi," tunjuknya pada selembar tiket yang ia keluarkan dari saku kemeja.

Naina yang masih bingung dan ingin bertanya akan pergi kemana, akhirnya menurut saja melihat wajah sang suami yang terlihat serius menurunkan koper kecil.

Setelah melalui banyak pemeriksaan, Naina dan Asyraf berjalan menuju garbarata yang bersambung ke pintu pesawat yang akan dinaiki mereka. Naina duduk tepat di samping jendela, sesuai dengan nomor kursinya.

Ponsel Naina bergetar, menandakan ada notifikasi pesan. Ia segera membuka tas selempangnya, lalu mengubah ke mode pesawat. Meski kali pertama menaiki pesawat, Naina tahu kalau di dalam pesawat ponsel harus di nonaktifkan. Sekilas ia melihat pesan dari Bu Liyah, ia segera membuka pesan tersebut.

[Besok ibu kirim foto calon-calonnya Asyraf]

Pesan singkat itu membuat hati Naina mencelos. Ia baru menyadari pesan itu dikirim Bu Liyah semalam. Ia sedang tak ingin memikirkan hal itu. Pesan itu diabaikannya. 'Siapa yang ibu pilihkan untuk Mas Asy?' batin Naina dalam lamunannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status