Belum sempat Ajeng menyimpan ponsel pintu kamar mandi terbuka. Terlambat, hati masih mengetahui apa yang dilakukan oleh Ajeng.
"Kamu apapun ponsel aku, Ajeng? Kamu memeriksa ponselku? Lancang, sekali kamu Ajeng." Dimas merebut paksa ponsel yang ada di tangan Ajeng, dan menyembunyikannya.Ajeng yang begitu lelah dengan kondisi tubuhnya kurang fit memutuskan untuk tidak memancing emosi Dimas mengalah untuk kesekian kalinya sudah menjadi hal terbiasa untuknya namun Ajeng ingin apa yang sudah mereka lakukan padanya tentu mereka menyesalinya."Aku tidak membaca ponsel kamu Mas hanya saja aku memindahkan karena baju yang kamu letakkan di sini tanpa sengaja aku tarik dan ponsel kamu hampir jatuh dan aku mengambilnya untuk menyelamatkan agar puasa kamu tidak jatuh dan hancur,"Hanya bertanya saja Dimas akan marah. Tentang akad jelas-jelas dia salah juga marah bahkan keluarganya ikut memarahinya. Apalagi ini mengenai ponsel dan pesan yang sudah ia baca.'Apa yang harus aku lakukan Ya Tuhan?' bisik Ajeng memendam isaknya dan memilih diam.Esoknya keadaan Ajeng sudah membaik. Hari minggu ia libur bekerja. Ajeng terkejut mertuanya menyuruhnya memasak rendang daging, sayur sop bakso serta cap cay. Tidak biasanya? Wakil istimewa dan beberapa ayam goreng, sambel tamat."Baik Bu, apa nanti ada tamu?" tanya Ajeng."Jangan banyak tanya, ibu ada tamu penting. Orang rendahan sepertimu tidak akan mengerti apapun." Ida menjawab, lagi kembali memberinya perintah lainnya.Ajeng tidak lagi bertanya ia memilih melakukan semua tugas yang sudah diperintahkan oleh Bu Ida padanya. Rumah sudah ia bersihkan tetapi harus mengganti semu tirai. Itu sangat melelahkan. Naik keatas bangku dan melepaskan jepit tirai sambil berjinjit.Menu makan siang sangat istimewa beberapa buah mahal dan kue yang sudah dibuat oleh Ajeng kini menghiasi meja makan dan berbagai aneka minuman tersaji. Timbul pertanyaan di benak aja seistimewa apakah tamu yang akan datang ke rumah ibu mertua."Cepat panaskan sopnya. Tamunya sudah datang. Sajikan di ruang makan!" Perintah mertua Ajeng.Ajeng heran suara tawa dan canda renyah terdengar dari mulut Tisna, Tyas juga wanita itu. Hah ada suara Mas Dimas juga? Apakah saudara mereka? Tapi selama menikah dengan Dimas tidak satu orang pun yang datang sebagai keluarga ibu Ida."Hei, cepetan bawa minuman dingin ke ruang tamu. Cemilannya jangan lupa!" perintah Tyas.Ah! Pemandangan yang tidak aneh lagi buat Ajeng. Mereka akan memarahinya, membentak hanya sekedar memangil atau memerintah.Ajeng mengantar minuman hasil permintaan Tyas, tata pelangkah ajang terhenti saat menangkap wanita cantik yang tengah duduk kita jauh dari Dimas. Berpakaian seperti wanita karier dan tangannya, tangan lentik itu ada di atas paha Dimas."Siapa Dia?" Ajeng makanan ringan dan minuman di atas meja namun tetap banyak tak beralih dari wanita yang kini tersenyum meremehkan. Ajeng, menurut begitu saja Ida menyuruhnya kembali ke dapur.Berselang satu jam mereka makan siang bersama tanpa Ajeng. Ya, bu Ida melarang Ajeng mendekati meja makan saat Wulan ada di sana."Kamu tetap di sini, ibu tidak mau kehadiran kamu membuatnya tidak nyaman. Jangan bertanya apapun dan jangan sekali-kali kamu bertanya sama Dimas tentang wanita itu. Siapa wanita yang sekarang ada di sampingnya karena itu tidak penting, selesaikan tugas kamu dan makan di dapur itu pun setelah kami selesai." Ancam Bu Ida."Ajeng buatkan makanan penutup ya. Kue kecil apa saja untuk Wulan!" Ida mendekat pada Ajeng dan menyuruhnya lagi.Dengan langkah berat Ajeng pun kembali ke dapur bersamaan dengan wanita yang bernama Wulan itu menyendok kan nasi untuk Dimas. Mata Ajeng menatap tajam ke arah ruang makan ia baru saja masuk ruang makan, untuk ke dapur."Bu, aku mau–" Ajeng menunjuk ruang makan ingin menuju ke tempat Dimas duduk. Rasanya tidak rela ada wanita lain yang tadi memegang lengan kekar suaminya dan mengambilkan nasi untuk Dimas. Sedekat apapun mereka, harusnya wanita itu bisa menjaga batasan diri."Sudah biarkan saja, tidak usah kamu pikirkan itu. Waktunya mepet. Coctail buah juga lezat atau salad buah pas sekali. Kamu bisa kan buatnya?" Bu Ida, bersikap lembut dan baik pada ajang semua ia lakukan hanya untuk melancarkan rencana."Aku juga ingin makan siang, bareng mas Dimas, bu." Ajeng memelas, berharap ibu mertuanya menyadari posisi Ajeng sebagai istri Dimas. Terlebih badannya belum sehat betul."Jeng, jangan berani buat malu ibu. Laksanakan apa yang ibu minta, atau kamu mau tidur di gudang? Kamu tahu sendiri kan kalau ibu marah?" Ida mendelik kan matanya.Jangankan salad, coctail kue tart lezat saja Ajeng mampu membuat. Tangannya adalah pembuat adonan andalan di toko tempat ia bekerja. Ajeng dididik langsung oleh chef secara khusus. Masalahnya adalah saat ini Ajeng tidak sehat."Bu, aku demam. Tolong mengertilah. Aku butuh istirahat." Ajeng berkeras."Laksanakan atau Ibumu dikampung sakitnya tambah parah mengetahui anaknya di Jakarta di usir dari rumah mewah mertuanya!" Ida melenggang menjauh dari Ajeng sambil tersenyum."Apa? Ibu sedang sakit? Tahu dari mana ibu, kalau ibuku sakit?" Ajeng mencekal tangan mertuanya yang hendak pergi."Tentu saja ibu tahu, Ibumu bercerita jujur waktu aku bicara dengannya setelah melamarmu. Dia tidak ingin kau cemas dan merahasiakannya darimu. Dia menitipkan mu pada ibu agar ibu menjagamu. Kau mengerti Ajeng?" Ida tampak bahagia bicara hal yang membuat Ajeng sangat terluka."Itu tidak mungkin, ibu pasti berbohong." Isak Ajeng, air matanya meleleh."Eh! Menangis? Ibu tidak suka cocktail rasa asin. Jadi. Cobalah untuk diam Ajeng, terima saja nasibmu. Oh ya, apa kau tahu Ibumu sakit apa?" Ida mendekat pada Ajeng.Ajeng menggeleng. "Katakan Ibuku sakit apa, bu?" Ajeng penasaran."Jantung! Umurnya tidak akan lama lagi, Jeng. Jadi ... dari pada menangis lebih baik siapkan cocktailnya atau seseorang di kampung akan terkejut karena mendengar putrinya di usir dengan status barunya, janda!" Bu Ida, puas membuat Ajeng menangis. Rasa bencinya.Ajeng merasa lemah hingga luruh ke lantai. Ia terpaku dan membayangkan Ibunya kesakitan selama ini dan ia malah meninggalkan Ibu seorang diri. Seharusnya Ibu jujur sehingga ia tidak menerima lamaran Dimas."Ibu–" Ajeng memangil Ibunya penuh kerinduan. Ia bangkit, menenangkan diri. "Baik cocktail nya akan ku sajikan. Tolong, jangan bicara apapun pada Ibuku!""Kau menantuku, yang tersayang!" Ida tersenyum menang. Hembusan napas Ajeng terdengar begitu berat.Cocktail tersaji. Wulan, yah Wulan nama wanita itu, sangat menikmati cocktail yang disajikan. Kali ini Ajeng melihat lagi hal yang membuatnya terbakar cemburu. Wulan menyuapi Dimas dengan potongan buah melon berbentuk bola.Tak! Sendok sayur yang ia pegang ia hempaskan kasar di meja."Cukup! Mas Dimas jaga sikapmu. Aku tidak suka posisi duduk kalian. Dan kau wanita yang bernama Wulan! Jangan memegang lengan suamiku. Jangan menyuapinya dan menempel padanya. Dia suamiku. Apa kau masih punya harga diri?" Ajeng bicara tegas, semua mata memandang Ajeng.Tisna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ajeng, Ajeng! Ck, bodoh kok di piara!" cindir Tisna."Diam kak Tisna, aku bicara dengan suamiku! Mas Dimas, MENJAUH-DARI WANITA-ITU!" Ajeng meledak sejadinya. Berita sakit jantung Ibu dari mertuanya, sikap Bu Ida dan semua kekesalannya akhirnya tumpah tak tertahan. "Hahaha, ada sapi ngamuk!" Tyas, Ida dan Wulan tertawa serentak. Dimas pun tersenyum. "Ada apa? Apa yang kalian tertawakan?" Ajeng heran dijadikan lelucon. Wulan berdiri. "Baik Aku akan jelaskan. Aku tidak tega denganmu. Dengar wanita kampung, benarkan Mas Dimas dia wanita kampung?""Dimas mengangguk. "Iya, sayang!" Ajeng mendelik demi mendengar kata sayang, dari mulut Dimas. Dadanya terasa nyeri dan bergemuruh. Sa
Seminggu usai pernikahan Dimas dan Wulan di ketahui oleh Ajeng, wanita berhijab itu kembali dengan aktivis mengerjakan semua tugas di rumah dan bekerja di toko. Uang gaji yang di dapat dari toko kue cukup untuk ia tabung dan memenuhi kebutuhan pribadinya.Apa kabar Dimas? Sejak pertengkaran itu tak pernah Ajeng melihatnya. Janji untuk adil hanya di bibir saja, sampai detik ini Dimas tak pernah adil pada Ajeng. Nafkah tetap sehari sepuluh ribu, menurut ibu dan Dimas nafkah sesuai dengan mahar yang di berikan Dimas pada Ajeng."Ajeng tunggu!" Bu Ida, berjalan cepat mendekati menantu pertamanya."Ada apa Bu?" ujar Ajeng, mengerutkan keningnya. Tidak seperti biasanya Bu Ida datang menunggunya berangkat, apa ini ada sesuatu?"Jeng, kamu udah gajian kan? Ibu minta dong, Wulan belum kasih ibu uang belanja. Kamu tahu kan Dimas lagi sayang-sayangnya sama Wulan jadi mereka lupa jatah belanja," Bu Ida, memasang wajah lembut dan iba pada Ajeng.'sudah aku duga, ada maunya,' batin Ajeng."Kenapa B
Ajeng yang tersentak dengan ucapan pria di depan memaksakan dirinya mengangkat wajahnya. Pria tampan dengan setelah jas berdiri melihatnya penuh intimidasi. "Maaf, tapi saya benar. Tidak mungkin saya panggil ibu, anda kan seorang laki-laki." Ujar Ajeng, tak ingin mengalah."Aku tahu, aku laki-laki. Tapi tidak seharusnya kamu panggil aku pak, bisa kan kamu panggil aku, mas atau apa gitu. Pak itu untuk orang tua," ujar pria itu.Ajeng menggeleng acuh, tak habis pikir dengan pria di depannya. Menolak tua? Atau tidak ingin terlihat memiliki istri? Sedetik kemudian senyum indah Ajeng dan sikap ramah tak hilang meski kesal pada pria yang kini menatapnya."Baik silahkan, mas mau pilih yang mana? Ada berapa varian baru dan rasanya lebih enak tentu dengan harga yang lebih tinggi." Jelas Ajeng."Oke, aku pilih varian baru tolong bawa ke kantor. Satu lagi, tetap tersenyum seperti itu." Ujar pria di depannya, pergi begitu saja.Meski penasaran dan kesal Ajeng tetap melakukan perintah pria yang s
Ajeng memilih untuk pulang ke rumah, mengabaikan bos baru yang diam dengan keadaan yang membuatnya sulit untuk membela diri. Walau semua tumbuhan itu tidak benar.Sampai di rumah mobil Dimas sudah terparkir di halaman, Ajeng menguatkan hati dan mentalnya untuk menghadapi keluarga Dimas yang menunggunya di dalam termasuk Wulan.Dan benar saja saat kakinya melangkah di teras mereka menatap tajam Ajeng terlebih lagi Dimas kini berdiri dan menyeretnya dengan kasar.Tanpa bertanya tangannya terkepal kuat, melayang di wajahnya."Katakan anak siapa yang kamu kandung hah? Apa pria yang menghantarkan kamu ke rumah sakit? Jadi selama ini kamu sudah berselingkuh di belakang aku, Ajeng? Katakan!" suara Dimas meninggi, begitu tinggi hingga tubuh Ajeng bergetar. Belum hilang rasa sakit di wajahnya kini suara Dimas yang berhasil menggetarkan tubuhnya nyari. Ini adalah kali pertama Dimas marah dengan suara yang cukup keras, meskipun mereka kerap kali bertengkar, suara di Dimas tak setinggi sekarang
Sampai di kost Aini, Ajeng mencecar pertanyaan yang sejak tadi ia simpan berharap sang sahabat bersedia menjelaskan saat bertemu."Mana yang harus aku jawab dulu, Jeng? Banyak banget pertanyaannya," Aini tertawa, melihat tingkah sahabatnya."Duduk dulu, minum abis itu istirahat baru cerita. Kalau sekarang, aku juga laper. Makan dulu yu," Aini membuatkan teh hangat, ia tahu apa yang terjadi pada sahabatnya.Aini menunggu berapa saat Ajeng yang membersihkan diri dan shalat. Kini berdua duduk saling berhadapan tak ada yang mengeluarkan suara. Sebelum air matanya tumpah terlebih melihat wajah Ajeng yang merah akibat tamparan."Sekarang sudah tenang, Jeng?" "Ya, Ai, sekarang kamu jawab pertanyaan aku. Siapa yang memberitahukan kamu tentang aku? Bagaimana kamu tahu kalau aku di usir?" tanya Ajeng.Aini menepuk tangan sahabatnya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kalau bos mereka yang melihat dan memintanya untuk memberikan tawaran tinggal di kost."Kebetulan tadi ada tetangga kamu,
Hati ibu mana yang tidak sakit saat putrinya pulang dalam keadaan kurus dan wajahnya yang pucat bahkan beberapa lebam di wajahnya. Berbeda jauh saat Bu Sekar melepaskan putrinya pergi bersama laki-laki yang sudah menjadi suaminya dan keluarganya. Satu setengah tahun bahkan itu terhitung Ajeng menikah. Pengantin baru bagi sebagian orang namun, kenyataan pahit yang didapatkan wanita yang masih terlihat cantik meski usianya yang tidak mudah lagi."Jangan sembarangan bicara seperti itu besan, aku tahu bagaimana Ajeng. Anakku mana mungkin dia melakukan hal yang serendah itu aku tahu kalian pasti berbohong," Bu Sekar menentang keras tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Ida pada Ajeng. "Lah, memang benar. Anda mau nuduh saya bohong, begitu? Hei, punya anak itu di didik dengan baik dan benar. Jangan kayak anak anda ini punya suami baik, kaya, malah selingkuh sampai hamil, pula!" suara Bu Ida, yang keras sehingga tetangga Ajeng berdatangan untuk melihat apa yang terjadi pada Ajeng dan ibunya.Mere
Bertiga menolah ke arah pintu di mana seorang laki-laki tinggi berdiri menatap mereka. Bu Sekar dan Ajeng saling melepaskan pelukan mereka dan saling menatap satu sama lainnya."A – Aini," lirih Ajeng, terbata. Menuntut kejelasan pada Aini, tidak mungkin pemilik toko dan perusahaan bersedia datang ke rumahnya yang sederhana bahkan di bilang kumuh oleh keluarga Dimas.Aini menggeleng bukti jika dirinya pun tak tahu soal bos mereka yang tiba-tiba sudah di rumah Ajeng."Nak siapa, dia? Kenapa mengaku sebagai bos kalian? Apa kalian mengenalnya?" tanya Bu Sekar. Di lihatnya dua wanita muda yang mengangguk bersamaan.Bu Sekar tersenyum itu artinya pria yang berdiri di ambang pintu adalah orang yang baik dan tidak menyebar fitnah di kemudian hari. Namun, sesaat bibirnya kembali murung jika benar pria itu bos mereka itu artinya yang di katakan besannya itu benar. Apa mungkin putrinya berhubungan dengan bosnya?"Astaghfirullahaladzim," gumam Bu Sekar."Assalamualaikum, Bu, maaf sudah lancang
"Wulan ada apa, nak? Apanya yang kotor?" Bu Ida, menghampiri Wulan yang berdiri di atas kursi."I – itu, kenapa kotor? Ada kecoa lagi, jorok banget sih! Apa nggak ada yang niat bersihin?" Wulan menunjuk kecoa di bawah meja, berapa plastik bekas makanan berserakan di lantai dan meja. Kompor yang berminyak, piring kotor dimana-mana. "Oh, itu gampang. Biar Dimas buang ya," Bu Ida menepuk lengan Dimas, menyuruhnya mengambil sapu untuk membuang kecoa."Jangan! Kenapa harus nyuruh mas Dimas? Kan ada ibu sama mbak Tisna, Tyas juga ada. Untuk apa nyuruh mas Dimas? Bisa 'kan kalian yang buang?" sergah Wulan. Sapu yang ada tangan Dimas, diambil dan di berikan pada Bu Ida yang hanya diam terpaku. Sudah lama ia tidak memegang sapu sejak Ajeng tinggal di rumahnya. Jangankan untuk mengerjakan hal berat. Sekedar mengambil minum, itu pun Bu Ida selalu meminta Ajeng menyiapkan di kamar."A– apa harus, ibu?" gumam Bu Ida, bingung harus bagaimana cara membuang kecoa yang ada di bawah kaki Wulan. Dima