Share

4. Wanita Yang Di Bawa Dimas 2

Belum sempat Ajeng menyimpan ponsel pintu kamar mandi terbuka. Terlambat, hati masih mengetahui apa yang dilakukan oleh Ajeng.

"Kamu apapun ponsel aku, Ajeng? Kamu memeriksa ponselku? Lancang, sekali kamu Ajeng." Dimas merebut paksa ponsel yang ada di tangan Ajeng, dan menyembunyikannya.

Ajeng yang begitu lelah dengan kondisi tubuhnya kurang fit memutuskan untuk tidak memancing emosi Dimas mengalah untuk kesekian kalinya sudah menjadi hal terbiasa untuknya namun Ajeng ingin apa yang sudah mereka lakukan padanya tentu mereka menyesalinya.

"Aku tidak membaca ponsel kamu Mas hanya saja aku memindahkan karena baju yang kamu letakkan di sini tanpa sengaja aku tarik dan ponsel kamu hampir jatuh dan aku mengambilnya untuk menyelamatkan agar puasa kamu tidak jatuh dan hancur,"

Hanya bertanya saja Dimas akan marah. Tentang akad jelas-jelas dia salah juga marah bahkan keluarganya ikut memarahinya. Apalagi ini mengenai ponsel dan pesan yang sudah ia baca.

'Apa yang harus aku lakukan Ya Tuhan?' bisik Ajeng memendam isaknya dan memilih diam.

Esoknya keadaan Ajeng sudah membaik. Hari minggu ia libur bekerja. Ajeng terkejut mertuanya menyuruhnya memasak rendang daging, sayur sop bakso serta cap cay. Tidak biasanya? Wakil istimewa dan beberapa ayam goreng, sambel tamat.

"Baik Bu, apa nanti ada tamu?" tanya Ajeng.

"Jangan banyak tanya, ibu ada tamu penting. Orang rendahan sepertimu tidak akan mengerti apapun." Ida menjawab, lagi kembali memberinya perintah lainnya.

Ajeng tidak lagi bertanya ia memilih melakukan semua tugas yang sudah diperintahkan oleh Bu Ida padanya. Rumah sudah ia bersihkan tetapi harus mengganti semu tirai. Itu sangat melelahkan. Naik keatas bangku dan melepaskan jepit tirai sambil berjinjit.

Menu makan siang sangat istimewa beberapa buah mahal dan kue yang sudah dibuat oleh Ajeng kini menghiasi meja makan dan berbagai aneka minuman tersaji. Timbul pertanyaan di benak aja seistimewa apakah tamu yang akan datang ke rumah ibu mertua.

"Cepat panaskan sopnya. Tamunya sudah datang. Sajikan di ruang makan!" Perintah mertua Ajeng.

Ajeng heran suara tawa dan canda renyah terdengar dari mulut Tisna, Tyas juga wanita itu. Hah ada suara Mas Dimas juga? Apakah saudara mereka? Tapi selama menikah dengan Dimas tidak satu orang pun yang datang sebagai keluarga ibu Ida.

"Hei, cepetan bawa minuman dingin ke ruang tamu. Cemilannya jangan lupa!" perintah Tyas.

Ah! Pemandangan yang tidak aneh lagi buat Ajeng. Mereka akan memarahinya, membentak hanya sekedar memangil atau memerintah.

Ajeng mengantar minuman hasil permintaan Tyas, tata pelangkah ajang terhenti saat menangkap wanita cantik yang tengah duduk kita jauh dari Dimas. Berpakaian seperti wanita karier dan tangannya, tangan lentik itu ada di atas paha Dimas.

"Siapa Dia?" Ajeng makanan ringan dan minuman di atas meja namun tetap banyak tak beralih dari wanita yang kini tersenyum meremehkan. Ajeng, menurut begitu saja Ida menyuruhnya kembali ke dapur.

Berselang satu jam mereka makan siang bersama tanpa Ajeng. Ya, bu Ida melarang Ajeng mendekati meja makan saat Wulan ada di sana.

"Kamu tetap di sini, ibu tidak mau kehadiran kamu membuatnya tidak nyaman. Jangan bertanya apapun dan jangan sekali-kali kamu bertanya sama Dimas tentang wanita itu. Siapa wanita yang sekarang ada di sampingnya karena itu tidak penting, selesaikan tugas kamu dan makan di dapur itu pun setelah kami selesai." Ancam Bu Ida.

"Ajeng buatkan makanan penutup ya. Kue kecil apa saja untuk Wulan!" Ida mendekat pada Ajeng dan menyuruhnya lagi.

Dengan langkah berat Ajeng pun kembali ke dapur bersamaan dengan wanita yang bernama Wulan itu menyendok kan nasi untuk Dimas. Mata Ajeng menatap tajam ke arah ruang makan ia baru saja masuk ruang makan, untuk ke dapur.

"Bu, aku mau–" Ajeng menunjuk ruang makan ingin menuju ke tempat Dimas duduk. Rasanya tidak rela ada wanita lain yang tadi memegang lengan kekar suaminya dan mengambilkan nasi untuk Dimas. Sedekat apapun mereka, harusnya wanita itu bisa menjaga batasan diri.

"Sudah biarkan saja, tidak usah kamu pikirkan itu. Waktunya mepet. Coctail buah juga lezat atau salad buah pas sekali. Kamu bisa kan buatnya?" Bu Ida, bersikap lembut dan baik pada ajang semua ia lakukan hanya untuk melancarkan rencana.

"Aku juga ingin makan siang, bareng mas Dimas, bu." Ajeng memelas, berharap ibu mertuanya menyadari posisi Ajeng sebagai istri Dimas. Terlebih badannya belum sehat betul.

"Jeng, jangan berani buat malu ibu. Laksanakan apa yang ibu minta, atau kamu mau tidur di gudang? Kamu tahu sendiri kan kalau ibu marah?" Ida mendelik kan matanya.

Jangankan salad, coctail kue tart lezat saja Ajeng mampu membuat. Tangannya adalah pembuat adonan andalan di toko tempat ia bekerja. Ajeng dididik langsung oleh chef secara khusus. Masalahnya adalah saat ini Ajeng tidak sehat.

"Bu, aku demam. Tolong mengertilah. Aku butuh istirahat." Ajeng berkeras.

"Laksanakan atau Ibumu dikampung sakitnya tambah parah mengetahui anaknya di Jakarta di usir dari rumah mewah mertuanya!" Ida melenggang menjauh dari Ajeng sambil tersenyum.

"Apa? Ibu sedang sakit? Tahu dari mana ibu, kalau ibuku sakit?" Ajeng mencekal tangan mertuanya yang hendak pergi.

"Tentu saja ibu tahu, Ibumu bercerita jujur waktu aku bicara dengannya setelah melamarmu. Dia tidak ingin kau cemas dan merahasiakannya darimu. Dia menitipkan mu pada ibu agar ibu menjagamu. Kau mengerti Ajeng?" Ida tampak bahagia bicara hal yang membuat Ajeng sangat terluka.

"Itu tidak mungkin, ibu pasti berbohong." Isak Ajeng, air matanya meleleh.

"Eh! Menangis? Ibu tidak suka cocktail rasa asin. Jadi. Cobalah untuk diam Ajeng, terima saja nasibmu. Oh ya, apa kau tahu Ibumu sakit apa?" Ida mendekat pada Ajeng.

Ajeng menggeleng. "Katakan Ibuku sakit apa, bu?" Ajeng penasaran.

"Jantung! Umurnya tidak akan lama lagi, Jeng. Jadi ... dari pada menangis lebih baik siapkan cocktailnya atau seseorang di kampung akan terkejut karena mendengar putrinya di usir dengan status barunya, janda!" Bu Ida, puas membuat Ajeng menangis. Rasa bencinya.

Ajeng merasa lemah hingga luruh ke lantai. Ia terpaku dan membayangkan Ibunya kesakitan selama ini dan ia malah meninggalkan Ibu seorang diri. Seharusnya Ibu jujur sehingga ia tidak menerima lamaran Dimas.

"Ibu–" Ajeng memangil Ibunya penuh kerinduan. Ia bangkit, menenangkan diri. "Baik cocktail nya akan ku sajikan. Tolong, jangan bicara apapun pada Ibuku!"

"Kau menantuku, yang tersayang!" Ida tersenyum menang. Hembusan napas Ajeng terdengar begitu berat.

Cocktail tersaji. Wulan, yah Wulan nama wanita itu, sangat menikmati cocktail yang disajikan. Kali ini Ajeng melihat lagi hal yang membuatnya terbakar cemburu. Wulan menyuapi Dimas dengan potongan buah melon berbentuk bola.

Tak! Sendok sayur yang ia pegang ia hempaskan kasar di meja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status