Home / Rumah Tangga / Mahar Sepuluh Ribu / 4. Wanita Yang Di Bawa Dimas 2

Share

4. Wanita Yang Di Bawa Dimas 2

Author: Rafli123
last update Huling Na-update: 2024-03-18 00:40:06

Belum sempat Ajeng menyimpan ponsel pintu kamar mandi terbuka. Terlambat, hati masih mengetahui apa yang dilakukan oleh Ajeng.

"Kamu apapun ponsel aku, Ajeng? Kamu memeriksa ponselku? Lancang, sekali kamu Ajeng." Dimas merebut paksa ponsel yang ada di tangan Ajeng, dan menyembunyikannya.

Ajeng yang begitu lelah dengan kondisi tubuhnya kurang fit memutuskan untuk tidak memancing emosi Dimas mengalah untuk kesekian kalinya sudah menjadi hal terbiasa untuknya namun Ajeng ingin apa yang sudah mereka lakukan padanya tentu mereka menyesalinya.

"Aku tidak membaca ponsel kamu Mas hanya saja aku memindahkan karena baju yang kamu letakkan di sini tanpa sengaja aku tarik dan ponsel kamu hampir jatuh dan aku mengambilnya untuk menyelamatkan agar puasa kamu tidak jatuh dan hancur,"

Hanya bertanya saja Dimas akan marah. Tentang akad jelas-jelas dia salah juga marah bahkan keluarganya ikut memarahinya. Apalagi ini mengenai ponsel dan pesan yang sudah ia baca.

'Apa yang harus aku lakukan Ya Tuhan?' bisik Ajeng memendam isaknya dan memilih diam.

Esoknya keadaan Ajeng sudah membaik. Hari minggu ia libur bekerja. Ajeng terkejut mertuanya menyuruhnya memasak rendang daging, sayur sop bakso serta cap cay. Tidak biasanya? Wakil istimewa dan beberapa ayam goreng, sambel tamat.

"Baik Bu, apa nanti ada tamu?" tanya Ajeng.

"Jangan banyak tanya, ibu ada tamu penting. Orang rendahan sepertimu tidak akan mengerti apapun." Ida menjawab, lagi kembali memberinya perintah lainnya.

Ajeng tidak lagi bertanya ia memilih melakukan semua tugas yang sudah diperintahkan oleh Bu Ida padanya. Rumah sudah ia bersihkan tetapi harus mengganti semu tirai. Itu sangat melelahkan. Naik keatas bangku dan melepaskan jepit tirai sambil berjinjit.

Menu makan siang sangat istimewa beberapa buah mahal dan kue yang sudah dibuat oleh Ajeng kini menghiasi meja makan dan berbagai aneka minuman tersaji. Timbul pertanyaan di benak aja seistimewa apakah tamu yang akan datang ke rumah ibu mertua.

"Cepat panaskan sopnya. Tamunya sudah datang. Sajikan di ruang makan!" Perintah mertua Ajeng.

Ajeng heran suara tawa dan canda renyah terdengar dari mulut Tisna, Tyas juga wanita itu. Hah ada suara Mas Dimas juga? Apakah saudara mereka? Tapi selama menikah dengan Dimas tidak satu orang pun yang datang sebagai keluarga ibu Ida.

"Hei, cepetan bawa minuman dingin ke ruang tamu. Cemilannya jangan lupa!" perintah Tyas.

Ah! Pemandangan yang tidak aneh lagi buat Ajeng. Mereka akan memarahinya, membentak hanya sekedar memangil atau memerintah.

Ajeng mengantar minuman hasil permintaan Tyas, tata pelangkah ajang terhenti saat menangkap wanita cantik yang tengah duduk kita jauh dari Dimas. Berpakaian seperti wanita karier dan tangannya, tangan lentik itu ada di atas paha Dimas.

"Siapa Dia?" Ajeng makanan ringan dan minuman di atas meja namun tetap banyak tak beralih dari wanita yang kini tersenyum meremehkan. Ajeng, menurut begitu saja Ida menyuruhnya kembali ke dapur.

Berselang satu jam mereka makan siang bersama tanpa Ajeng. Ya, bu Ida melarang Ajeng mendekati meja makan saat Wulan ada di sana.

"Kamu tetap di sini, ibu tidak mau kehadiran kamu membuatnya tidak nyaman. Jangan bertanya apapun dan jangan sekali-kali kamu bertanya sama Dimas tentang wanita itu. Siapa wanita yang sekarang ada di sampingnya karena itu tidak penting, selesaikan tugas kamu dan makan di dapur itu pun setelah kami selesai." Ancam Bu Ida.

"Ajeng buatkan makanan penutup ya. Kue kecil apa saja untuk Wulan!" Ida mendekat pada Ajeng dan menyuruhnya lagi.

Dengan langkah berat Ajeng pun kembali ke dapur bersamaan dengan wanita yang bernama Wulan itu menyendok kan nasi untuk Dimas. Mata Ajeng menatap tajam ke arah ruang makan ia baru saja masuk ruang makan, untuk ke dapur.

"Bu, aku mau–" Ajeng menunjuk ruang makan ingin menuju ke tempat Dimas duduk. Rasanya tidak rela ada wanita lain yang tadi memegang lengan kekar suaminya dan mengambilkan nasi untuk Dimas. Sedekat apapun mereka, harusnya wanita itu bisa menjaga batasan diri.

"Sudah biarkan saja, tidak usah kamu pikirkan itu. Waktunya mepet. Coctail buah juga lezat atau salad buah pas sekali. Kamu bisa kan buatnya?" Bu Ida, bersikap lembut dan baik pada ajang semua ia lakukan hanya untuk melancarkan rencana.

"Aku juga ingin makan siang, bareng mas Dimas, bu." Ajeng memelas, berharap ibu mertuanya menyadari posisi Ajeng sebagai istri Dimas. Terlebih badannya belum sehat betul.

"Jeng, jangan berani buat malu ibu. Laksanakan apa yang ibu minta, atau kamu mau tidur di gudang? Kamu tahu sendiri kan kalau ibu marah?" Ida mendelik kan matanya.

Jangankan salad, coctail kue tart lezat saja Ajeng mampu membuat. Tangannya adalah pembuat adonan andalan di toko tempat ia bekerja. Ajeng dididik langsung oleh chef secara khusus. Masalahnya adalah saat ini Ajeng tidak sehat.

"Bu, aku demam. Tolong mengertilah. Aku butuh istirahat." Ajeng berkeras.

"Laksanakan atau Ibumu dikampung sakitnya tambah parah mengetahui anaknya di Jakarta di usir dari rumah mewah mertuanya!" Ida melenggang menjauh dari Ajeng sambil tersenyum.

"Apa? Ibu sedang sakit? Tahu dari mana ibu, kalau ibuku sakit?" Ajeng mencekal tangan mertuanya yang hendak pergi.

"Tentu saja ibu tahu, Ibumu bercerita jujur waktu aku bicara dengannya setelah melamarmu. Dia tidak ingin kau cemas dan merahasiakannya darimu. Dia menitipkan mu pada ibu agar ibu menjagamu. Kau mengerti Ajeng?" Ida tampak bahagia bicara hal yang membuat Ajeng sangat terluka.

"Itu tidak mungkin, ibu pasti berbohong." Isak Ajeng, air matanya meleleh.

"Eh! Menangis? Ibu tidak suka cocktail rasa asin. Jadi. Cobalah untuk diam Ajeng, terima saja nasibmu. Oh ya, apa kau tahu Ibumu sakit apa?" Ida mendekat pada Ajeng.

Ajeng menggeleng. "Katakan Ibuku sakit apa, bu?" Ajeng penasaran.

"Jantung! Umurnya tidak akan lama lagi, Jeng. Jadi ... dari pada menangis lebih baik siapkan cocktailnya atau seseorang di kampung akan terkejut karena mendengar putrinya di usir dengan status barunya, janda!" Bu Ida, puas membuat Ajeng menangis. Rasa bencinya.

Ajeng merasa lemah hingga luruh ke lantai. Ia terpaku dan membayangkan Ibunya kesakitan selama ini dan ia malah meninggalkan Ibu seorang diri. Seharusnya Ibu jujur sehingga ia tidak menerima lamaran Dimas.

"Ibu–" Ajeng memangil Ibunya penuh kerinduan. Ia bangkit, menenangkan diri. "Baik cocktail nya akan ku sajikan. Tolong, jangan bicara apapun pada Ibuku!"

"Kau menantuku, yang tersayang!" Ida tersenyum menang. Hembusan napas Ajeng terdengar begitu berat.

Cocktail tersaji. Wulan, yah Wulan nama wanita itu, sangat menikmati cocktail yang disajikan. Kali ini Ajeng melihat lagi hal yang membuatnya terbakar cemburu. Wulan menyuapi Dimas dengan potongan buah melon berbentuk bola.

Tak! Sendok sayur yang ia pegang ia hempaskan kasar di meja.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Mahar Sepuluh Ribu    116. SAH

    "Itu tidak sebanding dengan kamu yang menerima cintaku, Aisha. Aku berjanji akan membuatmu bahagia selamanya. Tidak ada lagi mahar Sepuluh Ribu atau pun nafkah sepuluh ribu padamu. Ingatkan aku jika lalai dalam memberimu nafkah," ucap Khandra lembut."Kamu adalah segalanya untukku. Dan padamu aku berlabuh, menyerahkan segalanya, cintai aku jika aku layak untuk kamu cintai. Sebaliknya jika aku tak layak maka –" Khandra terdiam. Tatapan Aisha tak biasa."Kamu bicara apa, sih, Dra? Ngelantur aja. Aku suka cincin ini, akan aku pakai.""Alhamdulillah, ayok. Kita pulang, jadi mau ke rumah Wina? Apa bunda tadi, ya?""Mas anterin aku ke pabrik aja ya. Tadi ada telpon katanya ada masalah di sana.""Oke. Jangan lupa sebentar lagi kita akan tunangan. Aku tidak mau kamu lelah.""Ya. Kamu jangan khawatir."Wina yang menikmati hari-harinya sebagai istri dari Arga putra bungsu dari keluarga Rayyan. Tidak ada hari terlewat untuk saling berbagi cerita. Seperti siang ini setelah menyelesaikan pekerjaa

  • Mahar Sepuluh Ribu    115. Cincin Berlian

    Jawaban Aisha membuat semua yang ada di ruang keluarga pun bersorak bahagia sebab penantian panjang Khandra berakhir dengan manis. Aisha wanita yang ia cintai sejak lama menerima cintanya tanpa syarat. Tidak ingin menunggu lagi Khandra pun meminta pada kedua orang tua Aisha untuk mempercepat pernikahan mereka tentu saja hal itu disambut bahagia oleh kedua orang tua Aisha dan keluarga besarnya. Mengingat mereka sangat mengenal siapa Khandra yang sebenarnya namun sayang dibalik kabar bahagia itu ada rasa rindu dan sedih Khandra tidak bisa memberitahukan kabar bahagia itu pada sang Ibu sebab wanita yang sangat mendukung hubungannya dengan Aisha telah pergi untuk selamanya tepat Aisha pergi ke luar negeri. Mereka sudah sepakat jika seminggu lagi mereka akan bertunangan keluarga ingin mereka segera menikah namun Aisha menginginkan mereka tunangan untuk sementara waktu sampai tiga bulan. Bukan tidak mungkin Aisha hanya menyiapkan semua bukan hanya hatinya tapi juga kesiapan lahirnya.

  • Mahar Sepuluh Ribu    114. Lamaran

    Suara Aisha kembali terdengar setelah menyelesaikan lantunan ayat suci. Kini wanita bergamis jingga berdiri menghampiri keluarganya yang terdiam di sana menatap tak percaya jika di hadapan mereka adalah Aisha. Keterkejutan dan kesedihan di wajah mereka berubah menjadi air mata bahagia mendapati sosok yang kini tengah berjalan ke arah mereka.Satu tahun mereka menahan rindu, meski mereka mampu untuk datang menemui Aisha namun mereka mengurungkannya mengingat sang putri menolak untuk di temui. Tidak bermaksud untuk membuat kedua orang tuanya tersinggung akan penolakannya tetapi Aisha memiliki alasan sendiri mengapa ia tidak ingin ditemui sebab jika sudah bertemu dengan keluarganya tentu membuat Aisha ingin segera kembali ke rumah. "Sayang kenapa kamu tidak memberi kabar jika pulang?""Kalau aku memberitahu Bunda namanya bukan kejutan. Apa kabar bunda, ayah dan kamu Arga, ah, lupa adik Iparku yang cantik. Bagaimana dengan kalian semua aku merindukan kalian semua.""Kabar kami baik, kak.

  • Mahar Sepuluh Ribu    113. Kejutan

    Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang tahu bagaimana kedepannya. Seperti yang dialami oleh Aisha setelah pernikahan adiknya dengan sang sahabat dia pun memutuskan untuk pergi ke luar negeri untuk menyembuhkan luka hatinya akibat pengkhianatan dilakukan oleh suaminya. Walau hal itu terjadi sudah cukup lama namun luka itu sangat membekas di hatinya sehingga ia memilih untuk menenangkan diri. Lamaran dari sahabat kecilnya pun dia abaikan bukan berarti tidak ada perasaan apapun ia hanya ingin menyelami perasaannya apakah ia benar-benar sudah melupakan Ferdi mantan suaminya, apakah hanya rasa iba yang kelak akan menjadi permasalahan baru jika dia menerima cinta Khandra. Satu tahun berlalu setelah dia pergi ke negeri orang bukan untuk menghindari akan tetapi ia ingin mengobati lukanya sendiri. Senyumnya mengembang melihat seseorang yang sudah menunggunya. "Apa aku terlambat datang?" "Tidak. Justru sebaliknya sepertinya kamu terlalu cepat sehingga kamu harus menunggu aku datan

  • Mahar Sepuluh Ribu    112. Pesta

    Kesibukan terlihat di salah satu hotel ternama di ibukota bukan hanya pengantinnya saja tetapi pihak keluarga dari pembelai pria pun sangat sibuk bukan karena tidak percaya dengan orang lain, tetapi mereka ingin memberikan kesan tersendiri untuk salah satu keluarga mereka yang tidak lain adalah Arga yang akan menikah dengan Wina. Pernikahan berlangsung dengan hikmah pagi tadi dan malam nanti dimulainya pesta yang tentu dengan meriah dan mewah. Mengingat Wina hidup sebatang kara sebab sang Bibi yang dulu mengurusnya telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga semua disiapkan oleh keluarga Ajeng. Aisha orang yang menyatukan hubungan mereka justru kini ia disibukkan dengan segala kerempongan yang dilakukan adik iparnya yang begitu cemas mengingat mereka akan menghabiskan malam untuk pertama kalinya dengan seorang pria. Berulang kali Aisha menjelaskan bahwa hal itu lumrah terjadi karena ia pun pernah merasakan hal yang sama yang kini dirasakan oleh Wina sebab saat itu Aisha begit

  • Mahar Sepuluh Ribu    111. Menikahlah Denganku

    Hari berlalu begitu cepat minggu berganti bulan dan kini setahun sudah setelah kejadian di mana keluarga mantan suaminya datang ke rumah bersama ibu dan istrinya. Aisha sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan tanpa ada rasa dendam dalam hati.Kabar hukuman tiga puluh tahun sampai di telinganya, namun Aisha yang diam-diam meminta pihak berwajib untuk mengurangi hukuman jika terbukti Wulan telah sadar dan bertaubat. Semua ia lakukan mengingat wanita yang berusaha untuk menyingkirkan dirinya seusia Ibunya, mana mungkin Aisha tega melakukan hal itu. Menghabiskan waktu lama di dalam penjara hal yang sangat ia takutkan."Kamu yakin nak?""Ya, bund, kasihan. Bund tahu kan Tante Wulan itu sudah cukup umur. Melihat Tante Wulan, aku ingat Bunda,"Ajeng tersenyum begitu beruntung memiliki anak seperti Aisha dan Arga yang selalu memikirkan perasaan orang lain meski hatinya terluka. "Apa Bunda tidak setuju, dengan keputusan yang aku ambil ini?""Tentu tidak sayang. Justru sebaliknya Bunda sang

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status