Share

3. Wanita Yang Di Bawa Dimas

Entah apa yang terjadi, setelah kejadian itu, Dimas dan keluarganya berlaku cukup baik.

Ajeng juga diperbolehkan kembali bekerja di toko kue.

Namun, setiap harinya ia harus bangun jam tiga pagi untuk memasak, membersihkan seluruh rumah yang besar itu dan mencuci dengan mesin cuci pakaian seluruh anggota keluarga.

"Jeng. Kamu sakit? Kok pucat." Aini teman kerja Ajeng tampak khawatir.

"Cuma lemah dan lesu aja kayaknya," ujar Ajeng.

Hanya saja, ia memang merasa sangat lemah hari ini. Di toko banyak orderan, sehingga Ajeng harus lembur.

"Eh kamu demam, Jeng. Astaga, sini adonan kuenya biar ku handle. Pulanglah aku akan lapor pada Bos bahwa kamu memang sakit. Aku bertanggung jawab atas keselamatan semua karyawan selama bekerja." Aini, tahu siapa Ajeng. Wanita yang bekerja keras namun, setelah menikah begitu banyak perubahan dalam dirinya termasuk ponsel yang sampai saat ini tidak dimiliki Ajeng.

Bukan tidak punya atau dijual, tapi lebih tepatnya disita ibu mertua.

Ajeng hanya bisa menurut. Terlebih, temannya itu sudah menatap tajam.

Jadi, dipesaannya taksi online untuk mengantarnya. 

Tak butuh waktu lama, dia sampai dan masuk ke rumah perlahan.

Hanya saja, ketika melewati ruang keluarga, Ajeng tertegun mendengar kalimat yang terdengar di telinganya.

"Gimana, kencan tadi? Kamu setuju kan untuk menikah lagi sama Wulan, Dim?" tanya Bu Ida.

"Iya, bu. Terserah ibu saja deh. Aku nurut, gimana baiknya," pasrah pria itu.

Deg!

Ajeng yang terpaku tak percaya reflek langsung bicara. "Apa Bu, mas? Kencan? Menikah? Maksud ibu sama mas Dimas apa?" Ajeng bergolak emosi

"Mas Dimas, kamu selingkuh?!" Suara Ajeng meninggi.

"Eh Ajeng, kenapa sudah pulang sayang? Pasti kamu salah dengar. Tadi ibu sama Dimas ngomongin Tisna, sama Tyas. Kamu tahu kan mereka lagi jatuh cinta, ibu cuma nyuruh Dimas ngikutin Tyas sama temannya yang lagi kencan." Bu Ida berdiri ngusap punggung Ajeng, mencoba untuk merayu.

"Jeng, yang di bilang itu benar. Mas tidak bohong sama kamu. Tunggu! Kamu kenapa sayang? Wajah kamu pucat sih?" Dimas menyentuh kening Ajeng, menggunakan punggung tangannya. Panas, itu yang di rasakan Dimas.

"Kamu sakit, sayang?" ucap Dimas.

Seperti biasa, senjata andalannya dalam menaklukan Ajeng merengkuhnya lalu bicara lembut tapi Ajeng sudah hafal perilaku seperti itu. Dengan fakta yang baru saja ia dengar ia kini meragukan apakah pelukan dan cumbuan Dimas tidak tulus. Dimas tadi mengiyakan dan setuju. Jadi Dimas tahu perilaku ibunya. Ajeng merasa iba pada ibunya di kampung.

Ingatannya kembali mengenai ibunya yang membiayai pesta itu butuh puluhan juta. Pesta pernikahannya bukan pesta sederhana bagi orang desanya. Dari mana Ibu mendapat uang? Apa Ibu berhutang. Sontak rasa sesal menguasai hati Ajeng.

"Jeng, diam tidak usah marah. Kamu sudah sah jadi istri Dimas sudah suatu kemujuran. Mengenai uang itu, Ibumu kok yang mau semua demi kamu. Bukan mau ibu atau Dimas."

"Aku tidak tuli bu, tadi ibu yang bilang. Ibu yang buat, Ibuku membayar semua." Kesal Ajeng.

Ida mendekat. Mencengkeram pipi Ajeng hingga Ajeng berontak. "Wanita udik, dari kampung sepertimu pantas untuk harga sepuluh ribu!"

Tangan Ida lalu mendorong Ajeng. Tubuh Ajeng terjengkang dilantai. "Pesta orang kumuh dibayar oleh orang kumuh juga. Itu wajar. Uangku bahkan terlalu bersih untuk membayar pernikahan dengan gadis rendahan macam kamu!" malas untuk merayu Ajeng, terlebih Ajeng mendengar semuanya lebih jelas.

Ajeng berderai air mata. Terbangun. Dimas hanya menatap istrinya. "Makanya Jeng, jangan suka curi dengar. Kepo, banget kamu. Aku nyesel nikahin kamu. Mama benar kamu tidak pantas menikah denganku." Dimas ikut menyalahkan Ajeng, dan meninggalkan ruang tamu dengan kesal.

Ajeng tak percaya. Tangan yang harusnya membantunya berdiri itu malah pergi meninggalkan dirinya begitu saja. "Kau tahu tempatmu sekarang? Masih untung Dimas boleh menikahimu!" Ida berteriak pada Ajeng dengan mendelik kan mata.

"Karena kau ada di rumah, siapkan makan malam untuk semua. Sekarang!"

Ajeng menggeleng. Badannya saja menggigil kedinginan. Suhu tubuhnya makin tinggi. Ia harus beristirahat.

"Tidak bu, aku sakit. Makanya aku pulang cepat. Dengan fakta bahwa ibu membuat Ibuku membayar semua biaya pernikahan, aku rasa aku tidak akan mau lagi membuat makanan untuk kalian semua!" Walau lemah Ajeng mencoba mempertahankan diri.

Pengakuan tentang biaya yang dikeluarkan ibu kandungnya saat menikah, dan mahar yang di dapatkan dari Dimas tak seberapa. Sering ia dengar tetapi hatinya tetap memanas.

PLAK! "Apa kau bilang? Tidak mau menyajikan makanan? Numpang tinggal dan makan enak gratis maumu, Hah? Iya? Otak pengemis tetaplah otak pengemis!"

Ajeng memegangi pipinya dan mundur, lari meninggalkan teriak mertuanya yang masih terdengar jelas. Hinaan dan caci-maki yang tidak terhitung banyaknya setiap hari sudah biasa ia dengar namun fakta bahwa Dimas akan menikah lagi mampu menghancurkan hatinya untuk kesekian kali. Dirinya boleh sakit tetapi tidak dengan Ibu. Kenapa Dimas begitu tega?

Ajeng tertidur setelah meminum obat dan memakan sedikit roti dan teh yang ia buat sendiri. Ajeng membuka matanya. Jam dua dini hari. Ia tertidur terlalu lama rupanya. Ia menatap sisi tempat tidurnya. Kosong. Kemana Dimas? Empat bulan terakhir ini Ajeng sering mendapati dirinya tertidur sendirian. Tangannya sudah berulang kali menghubungi ponsel Dimas. Ponselnya masih sama sengaja di matikan. Ajeng heran, hampir setiap hari Dimas selalu pulang larut bahkan pagi. Tidak seperti dulu yang selalu pulang tepat waktu dan tidur disisinya memeluk dirinya. Baru saja beranjak dari tempat tidur, Dimas membuka pintu.

"Mas, Dimas dari mana? Apa Mas Dimas sudah makan?" Ajeng merapikan rambutnya dan menjepitnya rapi. Jendela kamarnya masih terbuka. "AKU CARI UANG BUAT KITA, JANGAN IKUT CAMPUR APALAGI BERTANYA!" sentak Dimas.

"Mas, aku cuma ingin tahu lembur apa hingga harus setiap malam dan kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?" Ajeng masih sabar dengan bentakan Dimas.

"Perempuan itu cukup diam, selama aku kasih nafkah itu udah cukup. Aku lembur cari uang juga untuk masa depan kita. Kamu ngerti! Tutup mulutmu lalu DI-AM!" kata Dimas pergi ke kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi dengan keras.

Brak!

Suara keras itu pintu yang dibanting akhirnya membuat air mata Ajeng menetes juga. Demamnya masih tinggi dan bukannya dia diobati, di jaga dan diperhatikan malah mendapatkan perilaku kasar.

"Tuhan, apa yang salah dengan pernikahan ini?" Ajeng menunduk. Memilih mengambil minum dan bersiap menjalankan ibadah shalat sunah malam.

Sebuah notifikasi masuk ponsel Dimas. Ponsel itu terkunci namun notifikasi yang masuk sekilas bisa ia baca. [Sudah sampai mas? Tapi aku masih kangen! Besok on time lagi, ya.] Emoticon wajah memberi kecupan. Hati Ajeng berdentang hebat.

"Sepertinya, aku salah memberikan kesempatan untuk keluarga ini...."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status