Entah apa yang terjadi, setelah kejadian itu, Dimas dan keluarganya berlaku cukup baik.
Ajeng juga diperbolehkan kembali bekerja di toko kue.
Namun, setiap harinya ia harus bangun jam tiga pagi untuk memasak, membersihkan seluruh rumah yang besar itu dan mencuci dengan mesin cuci pakaian seluruh anggota keluarga.
"Jeng. Kamu sakit? Kok pucat." Aini teman kerja Ajeng tampak khawatir.
"Cuma lemah dan lesu aja kayaknya," ujar Ajeng.Hanya saja, ia memang merasa sangat lemah hari ini. Di toko banyak orderan, sehingga Ajeng harus lembur.
Jadi, dipesaannya taksi online untuk mengantarnya.
Tak butuh waktu lama, dia sampai dan masuk ke rumah perlahan.
Hanya saja, ketika melewati ruang keluarga, Ajeng tertegun mendengar kalimat yang terdengar di telinganya.
"Gimana, kencan tadi? Kamu setuju kan untuk menikah lagi sama Wulan, Dim?" tanya Bu Ida.
"Iya, bu. Terserah ibu saja deh. Aku nurut, gimana baiknya," pasrah pria itu.
Deg!
Ajeng yang terpaku tak percaya reflek langsung bicara. "Apa Bu, mas? Kencan? Menikah? Maksud ibu sama mas Dimas apa?" Ajeng bergolak emosi
"Mas Dimas, kamu selingkuh?!" Suara Ajeng meninggi."Eh Ajeng, kenapa sudah pulang sayang? Pasti kamu salah dengar. Tadi ibu sama Dimas ngomongin Tisna, sama Tyas. Kamu tahu kan mereka lagi jatuh cinta, ibu cuma nyuruh Dimas ngikutin Tyas sama temannya yang lagi kencan." Bu Ida berdiri ngusap punggung Ajeng, mencoba untuk merayu."Jeng, yang di bilang itu benar. Mas tidak bohong sama kamu. Tunggu! Kamu kenapa sayang? Wajah kamu pucat sih?" Dimas menyentuh kening Ajeng, menggunakan punggung tangannya. Panas, itu yang di rasakan Dimas."Kamu sakit, sayang?" ucap Dimas.Seperti biasa, senjata andalannya dalam menaklukan Ajeng merengkuhnya lalu bicara lembut tapi Ajeng sudah hafal perilaku seperti itu. Dengan fakta yang baru saja ia dengar ia kini meragukan apakah pelukan dan cumbuan Dimas tidak tulus. Dimas tadi mengiyakan dan setuju. Jadi Dimas tahu perilaku ibunya. Ajeng merasa iba pada ibunya di kampung.Ingatannya kembali mengenai ibunya yang membiayai pesta itu butuh puluhan juta. Pesta pernikahannya bukan pesta sederhana bagi orang desanya. Dari mana Ibu mendapat uang? Apa Ibu berhutang. Sontak rasa sesal menguasai hati Ajeng."Jeng, diam tidak usah marah. Kamu sudah sah jadi istri Dimas sudah suatu kemujuran. Mengenai uang itu, Ibumu kok yang mau semua demi kamu. Bukan mau ibu atau Dimas.""Aku tidak tuli bu, tadi ibu yang bilang. Ibu yang buat, Ibuku membayar semua." Kesal Ajeng.Ida mendekat. Mencengkeram pipi Ajeng hingga Ajeng berontak. "Wanita udik, dari kampung sepertimu pantas untuk harga sepuluh ribu!"Tangan Ida lalu mendorong Ajeng. Tubuh Ajeng terjengkang dilantai. "Pesta orang kumuh dibayar oleh orang kumuh juga. Itu wajar. Uangku bahkan terlalu bersih untuk membayar pernikahan dengan gadis rendahan macam kamu!" malas untuk merayu Ajeng, terlebih Ajeng mendengar semuanya lebih jelas.Ajeng berderai air mata. Terbangun. Dimas hanya menatap istrinya. "Makanya Jeng, jangan suka curi dengar. Kepo, banget kamu. Aku nyesel nikahin kamu. Mama benar kamu tidak pantas menikah denganku." Dimas ikut menyalahkan Ajeng, dan meninggalkan ruang tamu dengan kesal.Ajeng tak percaya. Tangan yang harusnya membantunya berdiri itu malah pergi meninggalkan dirinya begitu saja. "Kau tahu tempatmu sekarang? Masih untung Dimas boleh menikahimu!" Ida berteriak pada Ajeng dengan mendelik kan mata."Karena kau ada di rumah, siapkan makan malam untuk semua. Sekarang!"Ajeng menggeleng. Badannya saja menggigil kedinginan. Suhu tubuhnya makin tinggi. Ia harus beristirahat."Tidak bu, aku sakit. Makanya aku pulang cepat. Dengan fakta bahwa ibu membuat Ibuku membayar semua biaya pernikahan, aku rasa aku tidak akan mau lagi membuat makanan untuk kalian semua!" Walau lemah Ajeng mencoba mempertahankan diri.Pengakuan tentang biaya yang dikeluarkan ibu kandungnya saat menikah, dan mahar yang di dapatkan dari Dimas tak seberapa. Sering ia dengar tetapi hatinya tetap memanas.PLAK! "Apa kau bilang? Tidak mau menyajikan makanan? Numpang tinggal dan makan enak gratis maumu, Hah? Iya? Otak pengemis tetaplah otak pengemis!"Ajeng memegangi pipinya dan mundur, lari meninggalkan teriak mertuanya yang masih terdengar jelas. Hinaan dan caci-maki yang tidak terhitung banyaknya setiap hari sudah biasa ia dengar namun fakta bahwa Dimas akan menikah lagi mampu menghancurkan hatinya untuk kesekian kali. Dirinya boleh sakit tetapi tidak dengan Ibu. Kenapa Dimas begitu tega?Ajeng tertidur setelah meminum obat dan memakan sedikit roti dan teh yang ia buat sendiri. Ajeng membuka matanya. Jam dua dini hari. Ia tertidur terlalu lama rupanya. Ia menatap sisi tempat tidurnya. Kosong. Kemana Dimas? Empat bulan terakhir ini Ajeng sering mendapati dirinya tertidur sendirian. Tangannya sudah berulang kali menghubungi ponsel Dimas. Ponselnya masih sama sengaja di matikan. Ajeng heran, hampir setiap hari Dimas selalu pulang larut bahkan pagi. Tidak seperti dulu yang selalu pulang tepat waktu dan tidur disisinya memeluk dirinya. Baru saja beranjak dari tempat tidur, Dimas membuka pintu."Mas, Dimas dari mana? Apa Mas Dimas sudah makan?" Ajeng merapikan rambutnya dan menjepitnya rapi. Jendela kamarnya masih terbuka. "AKU CARI UANG BUAT KITA, JANGAN IKUT CAMPUR APALAGI BERTANYA!" sentak Dimas."Mas, aku cuma ingin tahu lembur apa hingga harus setiap malam dan kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?" Ajeng masih sabar dengan bentakan Dimas. "Perempuan itu cukup diam, selama aku kasih nafkah itu udah cukup. Aku lembur cari uang juga untuk masa depan kita. Kamu ngerti! Tutup mulutmu lalu DI-AM!" kata Dimas pergi ke kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi dengan keras.Brak!Suara keras itu pintu yang dibanting akhirnya membuat air mata Ajeng menetes juga. Demamnya masih tinggi dan bukannya dia diobati, di jaga dan diperhatikan malah mendapatkan perilaku kasar."Tuhan, apa yang salah dengan pernikahan ini?" Ajeng menunduk. Memilih mengambil minum dan bersiap menjalankan ibadah shalat sunah malam.Sebuah notifikasi masuk ponsel Dimas. Ponsel itu terkunci namun notifikasi yang masuk sekilas bisa ia baca. [Sudah sampai mas? Tapi aku masih kangen! Besok on time lagi, ya.] Emoticon wajah memberi kecupan. Hati Ajeng berdentang hebat."Sepertinya, aku salah memberikan kesempatan untuk keluarga ini...."
Belum sempat Ajeng menyimpan ponsel pintu kamar mandi terbuka. Terlambat, hati masih mengetahui apa yang dilakukan oleh Ajeng."Kamu apapun ponsel aku, Ajeng? Kamu memeriksa ponselku? Lancang, sekali kamu Ajeng." Dimas merebut paksa ponsel yang ada di tangan Ajeng, dan menyembunyikannya.Ajeng yang begitu lelah dengan kondisi tubuhnya kurang fit memutuskan untuk tidak memancing emosi Dimas mengalah untuk kesekian kalinya sudah menjadi hal terbiasa untuknya namun Ajeng ingin apa yang sudah mereka lakukan padanya tentu mereka menyesalinya."Aku tidak membaca ponsel kamu Mas hanya saja aku memindahkan karena baju yang kamu letakkan di sini tanpa sengaja aku tarik dan ponsel kamu hampir jatuh dan aku mengambilnya untuk menyelamatkan agar puasa kamu tidak jatuh dan hancur,"Hanya bertanya saja Dimas akan marah. Tentang akad jelas-jelas dia salah juga marah bahkan keluarganya ikut memarahinya. Apalagi ini mengenai ponsel dan pesan yang sudah ia baca.'Apa yang harus aku lakukan Ya Tuhan?' b
"Cukup! Mas Dimas jaga sikapmu. Aku tidak suka posisi duduk kalian. Dan kau wanita yang bernama Wulan! Jangan memegang lengan suamiku. Jangan menyuapinya dan menempel padanya. Dia suamiku. Apa kau masih punya harga diri?" Ajeng bicara tegas, semua mata memandang Ajeng.Tisna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ajeng, Ajeng! Ck, bodoh kok di piara!" cindir Tisna."Diam kak Tisna, aku bicara dengan suamiku! Mas Dimas, MENJAUH-DARI WANITA-ITU!" Ajeng meledak sejadinya. Berita sakit jantung Ibu dari mertuanya, sikap Bu Ida dan semua kekesalannya akhirnya tumpah tak tertahan. "Hahaha, ada sapi ngamuk!" Tyas, Ida dan Wulan tertawa serentak. Dimas pun tersenyum. "Ada apa? Apa yang kalian tertawakan?" Ajeng heran dijadikan lelucon. Wulan berdiri. "Baik Aku akan jelaskan. Aku tidak tega denganmu. Dengar wanita kampung, benarkan Mas Dimas dia wanita kampung?""Dimas mengangguk. "Iya, sayang!" Ajeng mendelik demi mendengar kata sayang, dari mulut Dimas. Dadanya terasa nyeri dan bergemuruh. Sa
Seminggu usai pernikahan Dimas dan Wulan di ketahui oleh Ajeng, wanita berhijab itu kembali dengan aktivis mengerjakan semua tugas di rumah dan bekerja di toko. Uang gaji yang di dapat dari toko kue cukup untuk ia tabung dan memenuhi kebutuhan pribadinya.Apa kabar Dimas? Sejak pertengkaran itu tak pernah Ajeng melihatnya. Janji untuk adil hanya di bibir saja, sampai detik ini Dimas tak pernah adil pada Ajeng. Nafkah tetap sehari sepuluh ribu, menurut ibu dan Dimas nafkah sesuai dengan mahar yang di berikan Dimas pada Ajeng."Ajeng tunggu!" Bu Ida, berjalan cepat mendekati menantu pertamanya."Ada apa Bu?" ujar Ajeng, mengerutkan keningnya. Tidak seperti biasanya Bu Ida datang menunggunya berangkat, apa ini ada sesuatu?"Jeng, kamu udah gajian kan? Ibu minta dong, Wulan belum kasih ibu uang belanja. Kamu tahu kan Dimas lagi sayang-sayangnya sama Wulan jadi mereka lupa jatah belanja," Bu Ida, memasang wajah lembut dan iba pada Ajeng.'sudah aku duga, ada maunya,' batin Ajeng."Kenapa B
Ajeng yang tersentak dengan ucapan pria di depan memaksakan dirinya mengangkat wajahnya. Pria tampan dengan setelah jas berdiri melihatnya penuh intimidasi. "Maaf, tapi saya benar. Tidak mungkin saya panggil ibu, anda kan seorang laki-laki." Ujar Ajeng, tak ingin mengalah."Aku tahu, aku laki-laki. Tapi tidak seharusnya kamu panggil aku pak, bisa kan kamu panggil aku, mas atau apa gitu. Pak itu untuk orang tua," ujar pria itu.Ajeng menggeleng acuh, tak habis pikir dengan pria di depannya. Menolak tua? Atau tidak ingin terlihat memiliki istri? Sedetik kemudian senyum indah Ajeng dan sikap ramah tak hilang meski kesal pada pria yang kini menatapnya."Baik silahkan, mas mau pilih yang mana? Ada berapa varian baru dan rasanya lebih enak tentu dengan harga yang lebih tinggi." Jelas Ajeng."Oke, aku pilih varian baru tolong bawa ke kantor. Satu lagi, tetap tersenyum seperti itu." Ujar pria di depannya, pergi begitu saja.Meski penasaran dan kesal Ajeng tetap melakukan perintah pria yang s
Ajeng memilih untuk pulang ke rumah, mengabaikan bos baru yang diam dengan keadaan yang membuatnya sulit untuk membela diri. Walau semua tumbuhan itu tidak benar.Sampai di rumah mobil Dimas sudah terparkir di halaman, Ajeng menguatkan hati dan mentalnya untuk menghadapi keluarga Dimas yang menunggunya di dalam termasuk Wulan.Dan benar saja saat kakinya melangkah di teras mereka menatap tajam Ajeng terlebih lagi Dimas kini berdiri dan menyeretnya dengan kasar.Tanpa bertanya tangannya terkepal kuat, melayang di wajahnya."Katakan anak siapa yang kamu kandung hah? Apa pria yang menghantarkan kamu ke rumah sakit? Jadi selama ini kamu sudah berselingkuh di belakang aku, Ajeng? Katakan!" suara Dimas meninggi, begitu tinggi hingga tubuh Ajeng bergetar. Belum hilang rasa sakit di wajahnya kini suara Dimas yang berhasil menggetarkan tubuhnya nyari. Ini adalah kali pertama Dimas marah dengan suara yang cukup keras, meskipun mereka kerap kali bertengkar, suara di Dimas tak setinggi sekarang
Sampai di kost Aini, Ajeng mencecar pertanyaan yang sejak tadi ia simpan berharap sang sahabat bersedia menjelaskan saat bertemu."Mana yang harus aku jawab dulu, Jeng? Banyak banget pertanyaannya," Aini tertawa, melihat tingkah sahabatnya."Duduk dulu, minum abis itu istirahat baru cerita. Kalau sekarang, aku juga laper. Makan dulu yu," Aini membuatkan teh hangat, ia tahu apa yang terjadi pada sahabatnya.Aini menunggu berapa saat Ajeng yang membersihkan diri dan shalat. Kini berdua duduk saling berhadapan tak ada yang mengeluarkan suara. Sebelum air matanya tumpah terlebih melihat wajah Ajeng yang merah akibat tamparan."Sekarang sudah tenang, Jeng?" "Ya, Ai, sekarang kamu jawab pertanyaan aku. Siapa yang memberitahukan kamu tentang aku? Bagaimana kamu tahu kalau aku di usir?" tanya Ajeng.Aini menepuk tangan sahabatnya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kalau bos mereka yang melihat dan memintanya untuk memberikan tawaran tinggal di kost."Kebetulan tadi ada tetangga kamu,
Hati ibu mana yang tidak sakit saat putrinya pulang dalam keadaan kurus dan wajahnya yang pucat bahkan beberapa lebam di wajahnya. Berbeda jauh saat Bu Sekar melepaskan putrinya pergi bersama laki-laki yang sudah menjadi suaminya dan keluarganya. Satu setengah tahun bahkan itu terhitung Ajeng menikah. Pengantin baru bagi sebagian orang namun, kenyataan pahit yang didapatkan wanita yang masih terlihat cantik meski usianya yang tidak mudah lagi."Jangan sembarangan bicara seperti itu besan, aku tahu bagaimana Ajeng. Anakku mana mungkin dia melakukan hal yang serendah itu aku tahu kalian pasti berbohong," Bu Sekar menentang keras tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Ida pada Ajeng. "Lah, memang benar. Anda mau nuduh saya bohong, begitu? Hei, punya anak itu di didik dengan baik dan benar. Jangan kayak anak anda ini punya suami baik, kaya, malah selingkuh sampai hamil, pula!" suara Bu Ida, yang keras sehingga tetangga Ajeng berdatangan untuk melihat apa yang terjadi pada Ajeng dan ibunya.Mere
Bertiga menolah ke arah pintu di mana seorang laki-laki tinggi berdiri menatap mereka. Bu Sekar dan Ajeng saling melepaskan pelukan mereka dan saling menatap satu sama lainnya."A – Aini," lirih Ajeng, terbata. Menuntut kejelasan pada Aini, tidak mungkin pemilik toko dan perusahaan bersedia datang ke rumahnya yang sederhana bahkan di bilang kumuh oleh keluarga Dimas.Aini menggeleng bukti jika dirinya pun tak tahu soal bos mereka yang tiba-tiba sudah di rumah Ajeng."Nak siapa, dia? Kenapa mengaku sebagai bos kalian? Apa kalian mengenalnya?" tanya Bu Sekar. Di lihatnya dua wanita muda yang mengangguk bersamaan.Bu Sekar tersenyum itu artinya pria yang berdiri di ambang pintu adalah orang yang baik dan tidak menyebar fitnah di kemudian hari. Namun, sesaat bibirnya kembali murung jika benar pria itu bos mereka itu artinya yang di katakan besannya itu benar. Apa mungkin putrinya berhubungan dengan bosnya?"Astaghfirullahaladzim," gumam Bu Sekar."Assalamualaikum, Bu, maaf sudah lancang