Home / Rumah Tangga / Mahar Sepuluh Ribu / 3. Wanita Yang Di Bawa Dimas

Share

3. Wanita Yang Di Bawa Dimas

Author: Rafli123
last update Last Updated: 2024-03-18 00:39:13

Entah apa yang terjadi, setelah kejadian itu, Dimas dan keluarganya berlaku cukup baik.

Ajeng juga diperbolehkan kembali bekerja di toko kue.

Namun, setiap harinya ia harus bangun jam tiga pagi untuk memasak, membersihkan seluruh rumah yang besar itu dan mencuci dengan mesin cuci pakaian seluruh anggota keluarga.

"Jeng. Kamu sakit? Kok pucat." Aini teman kerja Ajeng tampak khawatir.

"Cuma lemah dan lesu aja kayaknya," ujar Ajeng.

Hanya saja, ia memang merasa sangat lemah hari ini. Di toko banyak orderan, sehingga Ajeng harus lembur.

"Eh kamu demam, Jeng. Astaga, sini adonan kuenya biar ku handle. Pulanglah aku akan lapor pada Bos bahwa kamu memang sakit. Aku bertanggung jawab atas keselamatan semua karyawan selama bekerja." Aini, tahu siapa Ajeng. Wanita yang bekerja keras namun, setelah menikah begitu banyak perubahan dalam dirinya termasuk ponsel yang sampai saat ini tidak dimiliki Ajeng.

Bukan tidak punya atau dijual, tapi lebih tepatnya disita ibu mertua.

Ajeng hanya bisa menurut. Terlebih, temannya itu sudah menatap tajam.

Jadi, dipesaannya taksi online untuk mengantarnya. 

Tak butuh waktu lama, dia sampai dan masuk ke rumah perlahan.

Hanya saja, ketika melewati ruang keluarga, Ajeng tertegun mendengar kalimat yang terdengar di telinganya.

"Gimana, kencan tadi? Kamu setuju kan untuk menikah lagi sama Wulan, Dim?" tanya Bu Ida.

"Iya, bu. Terserah ibu saja deh. Aku nurut, gimana baiknya," pasrah pria itu.

Deg!

Ajeng yang terpaku tak percaya reflek langsung bicara. "Apa Bu, mas? Kencan? Menikah? Maksud ibu sama mas Dimas apa?" Ajeng bergolak emosi

"Mas Dimas, kamu selingkuh?!" Suara Ajeng meninggi.

"Eh Ajeng, kenapa sudah pulang sayang? Pasti kamu salah dengar. Tadi ibu sama Dimas ngomongin Tisna, sama Tyas. Kamu tahu kan mereka lagi jatuh cinta, ibu cuma nyuruh Dimas ngikutin Tyas sama temannya yang lagi kencan." Bu Ida berdiri ngusap punggung Ajeng, mencoba untuk merayu.

"Jeng, yang di bilang itu benar. Mas tidak bohong sama kamu. Tunggu! Kamu kenapa sayang? Wajah kamu pucat sih?" Dimas menyentuh kening Ajeng, menggunakan punggung tangannya. Panas, itu yang di rasakan Dimas.

"Kamu sakit, sayang?" ucap Dimas.

Seperti biasa, senjata andalannya dalam menaklukan Ajeng merengkuhnya lalu bicara lembut tapi Ajeng sudah hafal perilaku seperti itu. Dengan fakta yang baru saja ia dengar ia kini meragukan apakah pelukan dan cumbuan Dimas tidak tulus. Dimas tadi mengiyakan dan setuju. Jadi Dimas tahu perilaku ibunya. Ajeng merasa iba pada ibunya di kampung.

Ingatannya kembali mengenai ibunya yang membiayai pesta itu butuh puluhan juta. Pesta pernikahannya bukan pesta sederhana bagi orang desanya. Dari mana Ibu mendapat uang? Apa Ibu berhutang. Sontak rasa sesal menguasai hati Ajeng.

"Jeng, diam tidak usah marah. Kamu sudah sah jadi istri Dimas sudah suatu kemujuran. Mengenai uang itu, Ibumu kok yang mau semua demi kamu. Bukan mau ibu atau Dimas."

"Aku tidak tuli bu, tadi ibu yang bilang. Ibu yang buat, Ibuku membayar semua." Kesal Ajeng.

Ida mendekat. Mencengkeram pipi Ajeng hingga Ajeng berontak. "Wanita udik, dari kampung sepertimu pantas untuk harga sepuluh ribu!"

Tangan Ida lalu mendorong Ajeng. Tubuh Ajeng terjengkang dilantai. "Pesta orang kumuh dibayar oleh orang kumuh juga. Itu wajar. Uangku bahkan terlalu bersih untuk membayar pernikahan dengan gadis rendahan macam kamu!" malas untuk merayu Ajeng, terlebih Ajeng mendengar semuanya lebih jelas.

Ajeng berderai air mata. Terbangun. Dimas hanya menatap istrinya. "Makanya Jeng, jangan suka curi dengar. Kepo, banget kamu. Aku nyesel nikahin kamu. Mama benar kamu tidak pantas menikah denganku." Dimas ikut menyalahkan Ajeng, dan meninggalkan ruang tamu dengan kesal.

Ajeng tak percaya. Tangan yang harusnya membantunya berdiri itu malah pergi meninggalkan dirinya begitu saja. "Kau tahu tempatmu sekarang? Masih untung Dimas boleh menikahimu!" Ida berteriak pada Ajeng dengan mendelik kan mata.

"Karena kau ada di rumah, siapkan makan malam untuk semua. Sekarang!"

Ajeng menggeleng. Badannya saja menggigil kedinginan. Suhu tubuhnya makin tinggi. Ia harus beristirahat.

"Tidak bu, aku sakit. Makanya aku pulang cepat. Dengan fakta bahwa ibu membuat Ibuku membayar semua biaya pernikahan, aku rasa aku tidak akan mau lagi membuat makanan untuk kalian semua!" Walau lemah Ajeng mencoba mempertahankan diri.

Pengakuan tentang biaya yang dikeluarkan ibu kandungnya saat menikah, dan mahar yang di dapatkan dari Dimas tak seberapa. Sering ia dengar tetapi hatinya tetap memanas.

PLAK! "Apa kau bilang? Tidak mau menyajikan makanan? Numpang tinggal dan makan enak gratis maumu, Hah? Iya? Otak pengemis tetaplah otak pengemis!"

Ajeng memegangi pipinya dan mundur, lari meninggalkan teriak mertuanya yang masih terdengar jelas. Hinaan dan caci-maki yang tidak terhitung banyaknya setiap hari sudah biasa ia dengar namun fakta bahwa Dimas akan menikah lagi mampu menghancurkan hatinya untuk kesekian kali. Dirinya boleh sakit tetapi tidak dengan Ibu. Kenapa Dimas begitu tega?

Ajeng tertidur setelah meminum obat dan memakan sedikit roti dan teh yang ia buat sendiri. Ajeng membuka matanya. Jam dua dini hari. Ia tertidur terlalu lama rupanya. Ia menatap sisi tempat tidurnya. Kosong. Kemana Dimas? Empat bulan terakhir ini Ajeng sering mendapati dirinya tertidur sendirian. Tangannya sudah berulang kali menghubungi ponsel Dimas. Ponselnya masih sama sengaja di matikan. Ajeng heran, hampir setiap hari Dimas selalu pulang larut bahkan pagi. Tidak seperti dulu yang selalu pulang tepat waktu dan tidur disisinya memeluk dirinya. Baru saja beranjak dari tempat tidur, Dimas membuka pintu.

"Mas, Dimas dari mana? Apa Mas Dimas sudah makan?" Ajeng merapikan rambutnya dan menjepitnya rapi. Jendela kamarnya masih terbuka. "AKU CARI UANG BUAT KITA, JANGAN IKUT CAMPUR APALAGI BERTANYA!" sentak Dimas.

"Mas, aku cuma ingin tahu lembur apa hingga harus setiap malam dan kenapa ponselmu tidak bisa dihubungi?" Ajeng masih sabar dengan bentakan Dimas.

"Perempuan itu cukup diam, selama aku kasih nafkah itu udah cukup. Aku lembur cari uang juga untuk masa depan kita. Kamu ngerti! Tutup mulutmu lalu DI-AM!" kata Dimas pergi ke kamar mandi dan menutup pintu kamar mandi dengan keras.

Brak!

Suara keras itu pintu yang dibanting akhirnya membuat air mata Ajeng menetes juga. Demamnya masih tinggi dan bukannya dia diobati, di jaga dan diperhatikan malah mendapatkan perilaku kasar.

"Tuhan, apa yang salah dengan pernikahan ini?" Ajeng menunduk. Memilih mengambil minum dan bersiap menjalankan ibadah shalat sunah malam.

Sebuah notifikasi masuk ponsel Dimas. Ponsel itu terkunci namun notifikasi yang masuk sekilas bisa ia baca. [Sudah sampai mas? Tapi aku masih kangen! Besok on time lagi, ya.] Emoticon wajah memberi kecupan. Hati Ajeng berdentang hebat.

"Sepertinya, aku salah memberikan kesempatan untuk keluarga ini...."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mahar Sepuluh Ribu    116. SAH

    "Itu tidak sebanding dengan kamu yang menerima cintaku, Aisha. Aku berjanji akan membuatmu bahagia selamanya. Tidak ada lagi mahar Sepuluh Ribu atau pun nafkah sepuluh ribu padamu. Ingatkan aku jika lalai dalam memberimu nafkah," ucap Khandra lembut."Kamu adalah segalanya untukku. Dan padamu aku berlabuh, menyerahkan segalanya, cintai aku jika aku layak untuk kamu cintai. Sebaliknya jika aku tak layak maka –" Khandra terdiam. Tatapan Aisha tak biasa."Kamu bicara apa, sih, Dra? Ngelantur aja. Aku suka cincin ini, akan aku pakai.""Alhamdulillah, ayok. Kita pulang, jadi mau ke rumah Wina? Apa bunda tadi, ya?""Mas anterin aku ke pabrik aja ya. Tadi ada telpon katanya ada masalah di sana.""Oke. Jangan lupa sebentar lagi kita akan tunangan. Aku tidak mau kamu lelah.""Ya. Kamu jangan khawatir."Wina yang menikmati hari-harinya sebagai istri dari Arga putra bungsu dari keluarga Rayyan. Tidak ada hari terlewat untuk saling berbagi cerita. Seperti siang ini setelah menyelesaikan pekerjaa

  • Mahar Sepuluh Ribu    115. Cincin Berlian

    Jawaban Aisha membuat semua yang ada di ruang keluarga pun bersorak bahagia sebab penantian panjang Khandra berakhir dengan manis. Aisha wanita yang ia cintai sejak lama menerima cintanya tanpa syarat. Tidak ingin menunggu lagi Khandra pun meminta pada kedua orang tua Aisha untuk mempercepat pernikahan mereka tentu saja hal itu disambut bahagia oleh kedua orang tua Aisha dan keluarga besarnya. Mengingat mereka sangat mengenal siapa Khandra yang sebenarnya namun sayang dibalik kabar bahagia itu ada rasa rindu dan sedih Khandra tidak bisa memberitahukan kabar bahagia itu pada sang Ibu sebab wanita yang sangat mendukung hubungannya dengan Aisha telah pergi untuk selamanya tepat Aisha pergi ke luar negeri. Mereka sudah sepakat jika seminggu lagi mereka akan bertunangan keluarga ingin mereka segera menikah namun Aisha menginginkan mereka tunangan untuk sementara waktu sampai tiga bulan. Bukan tidak mungkin Aisha hanya menyiapkan semua bukan hanya hatinya tapi juga kesiapan lahirnya.

  • Mahar Sepuluh Ribu    114. Lamaran

    Suara Aisha kembali terdengar setelah menyelesaikan lantunan ayat suci. Kini wanita bergamis jingga berdiri menghampiri keluarganya yang terdiam di sana menatap tak percaya jika di hadapan mereka adalah Aisha. Keterkejutan dan kesedihan di wajah mereka berubah menjadi air mata bahagia mendapati sosok yang kini tengah berjalan ke arah mereka.Satu tahun mereka menahan rindu, meski mereka mampu untuk datang menemui Aisha namun mereka mengurungkannya mengingat sang putri menolak untuk di temui. Tidak bermaksud untuk membuat kedua orang tuanya tersinggung akan penolakannya tetapi Aisha memiliki alasan sendiri mengapa ia tidak ingin ditemui sebab jika sudah bertemu dengan keluarganya tentu membuat Aisha ingin segera kembali ke rumah. "Sayang kenapa kamu tidak memberi kabar jika pulang?""Kalau aku memberitahu Bunda namanya bukan kejutan. Apa kabar bunda, ayah dan kamu Arga, ah, lupa adik Iparku yang cantik. Bagaimana dengan kalian semua aku merindukan kalian semua.""Kabar kami baik, kak.

  • Mahar Sepuluh Ribu    113. Kejutan

    Perjalanan hidup seseorang tidak ada yang tahu bagaimana kedepannya. Seperti yang dialami oleh Aisha setelah pernikahan adiknya dengan sang sahabat dia pun memutuskan untuk pergi ke luar negeri untuk menyembuhkan luka hatinya akibat pengkhianatan dilakukan oleh suaminya. Walau hal itu terjadi sudah cukup lama namun luka itu sangat membekas di hatinya sehingga ia memilih untuk menenangkan diri. Lamaran dari sahabat kecilnya pun dia abaikan bukan berarti tidak ada perasaan apapun ia hanya ingin menyelami perasaannya apakah ia benar-benar sudah melupakan Ferdi mantan suaminya, apakah hanya rasa iba yang kelak akan menjadi permasalahan baru jika dia menerima cinta Khandra. Satu tahun berlalu setelah dia pergi ke negeri orang bukan untuk menghindari akan tetapi ia ingin mengobati lukanya sendiri. Senyumnya mengembang melihat seseorang yang sudah menunggunya. "Apa aku terlambat datang?" "Tidak. Justru sebaliknya sepertinya kamu terlalu cepat sehingga kamu harus menunggu aku datan

  • Mahar Sepuluh Ribu    112. Pesta

    Kesibukan terlihat di salah satu hotel ternama di ibukota bukan hanya pengantinnya saja tetapi pihak keluarga dari pembelai pria pun sangat sibuk bukan karena tidak percaya dengan orang lain, tetapi mereka ingin memberikan kesan tersendiri untuk salah satu keluarga mereka yang tidak lain adalah Arga yang akan menikah dengan Wina. Pernikahan berlangsung dengan hikmah pagi tadi dan malam nanti dimulainya pesta yang tentu dengan meriah dan mewah. Mengingat Wina hidup sebatang kara sebab sang Bibi yang dulu mengurusnya telah meninggal beberapa tahun yang lalu sehingga semua disiapkan oleh keluarga Ajeng. Aisha orang yang menyatukan hubungan mereka justru kini ia disibukkan dengan segala kerempongan yang dilakukan adik iparnya yang begitu cemas mengingat mereka akan menghabiskan malam untuk pertama kalinya dengan seorang pria. Berulang kali Aisha menjelaskan bahwa hal itu lumrah terjadi karena ia pun pernah merasakan hal yang sama yang kini dirasakan oleh Wina sebab saat itu Aisha begit

  • Mahar Sepuluh Ribu    111. Menikahlah Denganku

    Hari berlalu begitu cepat minggu berganti bulan dan kini setahun sudah setelah kejadian di mana keluarga mantan suaminya datang ke rumah bersama ibu dan istrinya. Aisha sudah memutuskan untuk menjalani kehidupan tanpa ada rasa dendam dalam hati.Kabar hukuman tiga puluh tahun sampai di telinganya, namun Aisha yang diam-diam meminta pihak berwajib untuk mengurangi hukuman jika terbukti Wulan telah sadar dan bertaubat. Semua ia lakukan mengingat wanita yang berusaha untuk menyingkirkan dirinya seusia Ibunya, mana mungkin Aisha tega melakukan hal itu. Menghabiskan waktu lama di dalam penjara hal yang sangat ia takutkan."Kamu yakin nak?""Ya, bund, kasihan. Bund tahu kan Tante Wulan itu sudah cukup umur. Melihat Tante Wulan, aku ingat Bunda,"Ajeng tersenyum begitu beruntung memiliki anak seperti Aisha dan Arga yang selalu memikirkan perasaan orang lain meski hatinya terluka. "Apa Bunda tidak setuju, dengan keputusan yang aku ambil ini?""Tentu tidak sayang. Justru sebaliknya Bunda sang

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status