"Cukup! Mas Dimas jaga sikapmu. Aku tidak suka posisi duduk kalian. Dan kau wanita yang bernama Wulan! Jangan memegang lengan suamiku. Jangan menyuapinya dan menempel padanya. Dia suamiku. Apa kau masih punya harga diri?" Ajeng bicara tegas, semua mata memandang Ajeng.
Tisna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ajeng, Ajeng! Ck, bodoh kok di piara!" cindir Tisna."Diam kak Tisna, aku bicara dengan suamiku! Mas Dimas, MENJAUH-DARI WANITA-ITU!" Ajeng meledak sejadinya. Berita sakit jantung Ibu dari mertuanya, sikap Bu Ida dan semua kekesalannya akhirnya tumpah tak tertahan."Hahaha, ada sapi ngamuk!" Tyas, Ida dan Wulan tertawa serentak. Dimas pun tersenyum."Ada apa? Apa yang kalian tertawakan?" Ajeng heran dijadikan lelucon.Wulan berdiri. "Baik Aku akan jelaskan. Aku tidak tega denganmu. Dengar wanita kampung, benarkan Mas Dimas dia wanita kampung?""Dimas mengangguk. "Iya, sayang!"Ajeng mendelik demi mendengar kata sayang, dari mulut Dimas. Dadanya terasa nyeri dan bergemuruh. Sakit tapi tak berdarah."Pertama, aku tidak akan menjauh dari Mas Dimas. Aku juga istrinya. Kau paham!""APALAGI INI MAS? JELASKAN!" Suara Ajeng kini menggelegar di ruangan."Ssst Ajeng sayang, kamu tidak usah bingung. Mama bilang aku cukup tampan dan layak mendapatkan istri lebih dari satu. Apalagi Wulan bersedia menjadi istri keduaku.""Jadi, kamu diam-diam menikah lagi Mas?" Suara Ajeng bergetar tak percaya.Wulan melipat tangannya di depan dada menatap dengan tatapan ejekan. "Bukan menikah, kau salah. Tapi, aku sudah menjadi adik madumu, mbal. Satu lagi kabar baiknya selain Mas Dimas mengajakku pindah ke sini tepatnya karena aku sedang hamil satu bulan." Tegas Wulan."Tempatmu bukan disini, wanita jalang!" Ajeng mendekat dan ingin menarik tangan Wulan dan ingin menampar wajah wanita itu. Wulan menutup wajahnya dan pada hitungan detik berikutnya sebuah tangan mencengkeram tangan Ajeng cukup keras."Lepaskan, Wulan!" teriak Dimas dan sorot mata Dimas penuh amarah menguasai relung hati Ajeng."Ajeng, kau harus merestui pernikahanku dengan Wulan. Wulan adalah, Istriku juga. Kalian memiliki hak yang sama. Jadi kamu harus terima pernikahan kami." Ujar Dimas tanpa beban.Rasanya bagai mendengar petir di siang bolong. Kaget luar biasa dan tulang di tubuhnya seakan hancur seiring sakit yang semakin dalam."Mas, apa katamu? Restu? Wulan istrimu? Kamu tega sudah membohongiku untuk kesekian kalinya mas. Aku berpikir dengan kesabaranku bisa merubah sikap keluarga termasuk tapi nyatanya kebaikan dan kesabaranku sudah dibalas dengan rasa sakit yang tidak pernah bisa di obati. Maafkan aku tidak merestui pernikahan kalian, apa ada wanita yang sanggup merestui suaminya menikah lagi. Aku tidak setuju Mas. Aku tidak terima!" ucap Ajeng lemah."Setuju atau tidak setuju. Kami tidak perlu restumu!" Bu Ida menyambut bicara. "Kamar disamping kamarmu dan Dimas menjadi milik Wulan sekarang ini. Silahkan malam ini kau bisa tidur di rumah ini, Wulan Sayang!" Kali ini Ida menatap kaca di pelupuk mata Ajeng dan tersenyum pada Wulan."Ajeng, kamu siapkan kamar untuk Wulan. Dia sedang mengandung, tau begini saja kamu pindah di kamar atas dan kamar utama biar jadi kamar Wulan dan Dimas. Adil kan?" ujar Bu Ida."Setuju dong, Bu. Ibu yang terbaik," Wulan, memeluk bu Ida."Bu, besok temani aku shopping ya. Kebetulan mama abis transfer lagi," ujarnya tersenyum dingin."Sayang, kamu tidur dengan 'ku kan?" Wulan berbisik manja pada Dimas dan Dimas mengangguk setuju.'Mas Dimas? Apa ini belangmu? Apa ini sifat aslimu? Aku sudah berulang kali mendapatkan firasat buruk dari awal akad nikah kita. Ternyata ini artinya. Aku, aku tidak terima Mas. Katakan padaku, ini bohong kan Mas?' batin Ajeng.Luruh air mata Ajeng mendapatkan kenyataan pahit dalam pernikahannya."Jeng, aku minta maaf. Tapi aku butuh penerus, aku ingin punya anak. Tapi kamu? Kamu jangan khawatir aku menafkahi mu dengan cukup. Apa lagi? Waktuku akan di bagi dua, aku akan bersikap adil pada kalian berdua." Ujar Dimas, memastikan Ajeng mendengar dengan jelas."Adil? Apa baginya uang sepuluh ribu cukup untuk memenuhi kebutuhan aku, mas? Kamu bisa mencukupi kebutuhan keluarga kamu aku diam, tetapi kamu lupa akan tanggung jawab sebagai suami. Kamu lupa akan nafkah untuk istrimu, dan sekarang kamu berpoligami? Bahkan kamu menikah tanpa izin dari aku sebagai istri tua." Ajeng, mengungkapkan keluh kesah pada Dimas meski hal itu tak akan merubah apapun."Lantas mau kamu apa sekarang? Cerai? Tidak masalah, aku turuti kemauan kamu. Dan pulang ke kampung dengan status janda, ibumu akan kena serangan jantung dan mati. Itu yang kamu mau Ajeng?" Dimas mendekati Ajeng, berbisik di telinga Ajeng."Dia lebih menggairahkan dan tubuhnya lebih seksi darimu, Ajeng." Lirihnya di telinga Ajeng.Plaakk!!Tangan Dimas mendorong Ajeng. Ajeng terjerembab ke lantai terlalu lemah, ia limbung karena tubuhnya memang sedang sakit."Kau berani menamparku, Ajeng? Kurang ajar, kamu." Cetus Dimas."Hahaha, lihat benalu itu berani menampar mas Dimas. Wah! Siap-siap di usir dari sini, dasar benalu, miskin, mandul tak berguna!" cemooh Tyas, Tisna dan Ida serta Wulan bergemuruh. Dimas menatap kesal."Dengar Ajeng, merestui atau tidak kami sudah menikah siri ibu juga tahu. Silahkan urus surat cerai sendiri, aku tidak perduli, kau memang sudah mulai membosankan!" kata yang keluar dari bibir Dimas bagai belati yang menusuk jantung Ajeng."Ssst, Dimas diam, Nak. Ajeng tidak akan cerai darimu. Dia akan tetap disini sebagai menantu pertama ibu, Iyakan?" Ida bertanya lembut dengan senyumnya yang licik.Bu Ida memberikan kode pada anak-anaknya untuk mengikuti permainannya. Mereka tidak membutuhkan menantu seperti Ajeng, tapi mereka membutuhkan tenaganya.Ajeng menunduk, meratapi nasibnya dalam isak diam. Kehidupan bahagia setelah menikah hanyalah impian semu."Mbak Ajang, kau harus pilih di madu atau janda? Aku tahu ini tidak mudah untukmu. Tapi, aku juga istri mas Dimas, aku butuh kasih sayang dan perhatian darinya terlebih ada janin dalam perutku. Kamu tahu kan rasanya ngidam? Maaf, aku lupa kamu belum pernah hamil." ucap Wulan menyiramkan air garam di luka Ajeng'Tuhan apakah aku harus bertahan di rumah ini?' bisik Ajeng dalam hati.Tanpa menjawab perkataan Wulan, Ajeng beranjak pergi meninggalkan mereka yang saling tersenyum bahagia. Membereskan pakaian dan pindah ke kamar atas, kamar yang tak pernah terpakai. Beruntung Ajeng selalu membersihkan b sehingga debu tak ada."Aku tidak kan menyerah, jika aku pergi bukankah mereka senang? Tidak, aku akan membalas mereka. Dan meminta hak 'ku yang di rampas keluarga mas Dimas. Terbukti siapa yang benalu, aku atau mereka." Gumam Ajeng, sekarang tak lagi menangis. Membalas perlakuan mereka dengan cantik.Seminggu usai pernikahan Dimas dan Wulan di ketahui oleh Ajeng, wanita berhijab itu kembali dengan aktivis mengerjakan semua tugas di rumah dan bekerja di toko. Uang gaji yang di dapat dari toko kue cukup untuk ia tabung dan memenuhi kebutuhan pribadinya.Apa kabar Dimas? Sejak pertengkaran itu tak pernah Ajeng melihatnya. Janji untuk adil hanya di bibir saja, sampai detik ini Dimas tak pernah adil pada Ajeng. Nafkah tetap sehari sepuluh ribu, menurut ibu dan Dimas nafkah sesuai dengan mahar yang di berikan Dimas pada Ajeng."Ajeng tunggu!" Bu Ida, berjalan cepat mendekati menantu pertamanya."Ada apa Bu?" ujar Ajeng, mengerutkan keningnya. Tidak seperti biasanya Bu Ida datang menunggunya berangkat, apa ini ada sesuatu?"Jeng, kamu udah gajian kan? Ibu minta dong, Wulan belum kasih ibu uang belanja. Kamu tahu kan Dimas lagi sayang-sayangnya sama Wulan jadi mereka lupa jatah belanja," Bu Ida, memasang wajah lembut dan iba pada Ajeng.'sudah aku duga, ada maunya,' batin Ajeng."Kenapa B
Ajeng yang tersentak dengan ucapan pria di depan memaksakan dirinya mengangkat wajahnya. Pria tampan dengan setelah jas berdiri melihatnya penuh intimidasi. "Maaf, tapi saya benar. Tidak mungkin saya panggil ibu, anda kan seorang laki-laki." Ujar Ajeng, tak ingin mengalah."Aku tahu, aku laki-laki. Tapi tidak seharusnya kamu panggil aku pak, bisa kan kamu panggil aku, mas atau apa gitu. Pak itu untuk orang tua," ujar pria itu.Ajeng menggeleng acuh, tak habis pikir dengan pria di depannya. Menolak tua? Atau tidak ingin terlihat memiliki istri? Sedetik kemudian senyum indah Ajeng dan sikap ramah tak hilang meski kesal pada pria yang kini menatapnya."Baik silahkan, mas mau pilih yang mana? Ada berapa varian baru dan rasanya lebih enak tentu dengan harga yang lebih tinggi." Jelas Ajeng."Oke, aku pilih varian baru tolong bawa ke kantor. Satu lagi, tetap tersenyum seperti itu." Ujar pria di depannya, pergi begitu saja.Meski penasaran dan kesal Ajeng tetap melakukan perintah pria yang s
Ajeng memilih untuk pulang ke rumah, mengabaikan bos baru yang diam dengan keadaan yang membuatnya sulit untuk membela diri. Walau semua tumbuhan itu tidak benar.Sampai di rumah mobil Dimas sudah terparkir di halaman, Ajeng menguatkan hati dan mentalnya untuk menghadapi keluarga Dimas yang menunggunya di dalam termasuk Wulan.Dan benar saja saat kakinya melangkah di teras mereka menatap tajam Ajeng terlebih lagi Dimas kini berdiri dan menyeretnya dengan kasar.Tanpa bertanya tangannya terkepal kuat, melayang di wajahnya."Katakan anak siapa yang kamu kandung hah? Apa pria yang menghantarkan kamu ke rumah sakit? Jadi selama ini kamu sudah berselingkuh di belakang aku, Ajeng? Katakan!" suara Dimas meninggi, begitu tinggi hingga tubuh Ajeng bergetar. Belum hilang rasa sakit di wajahnya kini suara Dimas yang berhasil menggetarkan tubuhnya nyari. Ini adalah kali pertama Dimas marah dengan suara yang cukup keras, meskipun mereka kerap kali bertengkar, suara di Dimas tak setinggi sekarang
Sampai di kost Aini, Ajeng mencecar pertanyaan yang sejak tadi ia simpan berharap sang sahabat bersedia menjelaskan saat bertemu."Mana yang harus aku jawab dulu, Jeng? Banyak banget pertanyaannya," Aini tertawa, melihat tingkah sahabatnya."Duduk dulu, minum abis itu istirahat baru cerita. Kalau sekarang, aku juga laper. Makan dulu yu," Aini membuatkan teh hangat, ia tahu apa yang terjadi pada sahabatnya.Aini menunggu berapa saat Ajeng yang membersihkan diri dan shalat. Kini berdua duduk saling berhadapan tak ada yang mengeluarkan suara. Sebelum air matanya tumpah terlebih melihat wajah Ajeng yang merah akibat tamparan."Sekarang sudah tenang, Jeng?" "Ya, Ai, sekarang kamu jawab pertanyaan aku. Siapa yang memberitahukan kamu tentang aku? Bagaimana kamu tahu kalau aku di usir?" tanya Ajeng.Aini menepuk tangan sahabatnya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kalau bos mereka yang melihat dan memintanya untuk memberikan tawaran tinggal di kost."Kebetulan tadi ada tetangga kamu,
Hati ibu mana yang tidak sakit saat putrinya pulang dalam keadaan kurus dan wajahnya yang pucat bahkan beberapa lebam di wajahnya. Berbeda jauh saat Bu Sekar melepaskan putrinya pergi bersama laki-laki yang sudah menjadi suaminya dan keluarganya. Satu setengah tahun bahkan itu terhitung Ajeng menikah. Pengantin baru bagi sebagian orang namun, kenyataan pahit yang didapatkan wanita yang masih terlihat cantik meski usianya yang tidak mudah lagi."Jangan sembarangan bicara seperti itu besan, aku tahu bagaimana Ajeng. Anakku mana mungkin dia melakukan hal yang serendah itu aku tahu kalian pasti berbohong," Bu Sekar menentang keras tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Ida pada Ajeng. "Lah, memang benar. Anda mau nuduh saya bohong, begitu? Hei, punya anak itu di didik dengan baik dan benar. Jangan kayak anak anda ini punya suami baik, kaya, malah selingkuh sampai hamil, pula!" suara Bu Ida, yang keras sehingga tetangga Ajeng berdatangan untuk melihat apa yang terjadi pada Ajeng dan ibunya.Mere
Bertiga menolah ke arah pintu di mana seorang laki-laki tinggi berdiri menatap mereka. Bu Sekar dan Ajeng saling melepaskan pelukan mereka dan saling menatap satu sama lainnya."A – Aini," lirih Ajeng, terbata. Menuntut kejelasan pada Aini, tidak mungkin pemilik toko dan perusahaan bersedia datang ke rumahnya yang sederhana bahkan di bilang kumuh oleh keluarga Dimas.Aini menggeleng bukti jika dirinya pun tak tahu soal bos mereka yang tiba-tiba sudah di rumah Ajeng."Nak siapa, dia? Kenapa mengaku sebagai bos kalian? Apa kalian mengenalnya?" tanya Bu Sekar. Di lihatnya dua wanita muda yang mengangguk bersamaan.Bu Sekar tersenyum itu artinya pria yang berdiri di ambang pintu adalah orang yang baik dan tidak menyebar fitnah di kemudian hari. Namun, sesaat bibirnya kembali murung jika benar pria itu bos mereka itu artinya yang di katakan besannya itu benar. Apa mungkin putrinya berhubungan dengan bosnya?"Astaghfirullahaladzim," gumam Bu Sekar."Assalamualaikum, Bu, maaf sudah lancang
"Wulan ada apa, nak? Apanya yang kotor?" Bu Ida, menghampiri Wulan yang berdiri di atas kursi."I – itu, kenapa kotor? Ada kecoa lagi, jorok banget sih! Apa nggak ada yang niat bersihin?" Wulan menunjuk kecoa di bawah meja, berapa plastik bekas makanan berserakan di lantai dan meja. Kompor yang berminyak, piring kotor dimana-mana. "Oh, itu gampang. Biar Dimas buang ya," Bu Ida menepuk lengan Dimas, menyuruhnya mengambil sapu untuk membuang kecoa."Jangan! Kenapa harus nyuruh mas Dimas? Kan ada ibu sama mbak Tisna, Tyas juga ada. Untuk apa nyuruh mas Dimas? Bisa 'kan kalian yang buang?" sergah Wulan. Sapu yang ada tangan Dimas, diambil dan di berikan pada Bu Ida yang hanya diam terpaku. Sudah lama ia tidak memegang sapu sejak Ajeng tinggal di rumahnya. Jangankan untuk mengerjakan hal berat. Sekedar mengambil minum, itu pun Bu Ida selalu meminta Ajeng menyiapkan di kamar."A– apa harus, ibu?" gumam Bu Ida, bingung harus bagaimana cara membuang kecoa yang ada di bawah kaki Wulan. Dima
"Oke, aku setuju. Tapi ingat kamar dia nggak boleh di atas. Tapi, di bawah lebih tepatnya di samping dapur. Kita bongkar gudang itu untuk jadi kamarnya Ajeng. Jangan ada yang dekat sama dia selama di sini!" ujar Wulan, mengiyakan ucapan Tyas dengan nada mengancam."Itu hal yang gampang. Tapi, bagaimana caranya membawa Ajeng kembali ke rumah?" kali ini Tyas mengangkat bahunya menyerah untuk memikirkan cara agar bisa membawa Ajeng ke rumah mereka lagi.Berbeda dengan ibu, istri dan saudaranya Dimas terdiam tanpa menimpali ucapan mereka enggan untuk berkomentar baginya diam yang terbaik. Memikirkan bagaimana perasaan Ajeng jika harus di jemput kembali ke tempat yang tidak seharusnya, karena ia telah menjatuhkan talak dan membiarkan Ajeng kembali atau tetap tinggal. Justru keluarganya yang mengusir Ajeng termasuk dirinya. Semua yang di lakukan Ajeng sudah ditolak olehnya, terlebih sosok pria yang berada di samping Ajeng meski tidak melihat wajahnya namun hal itu membuat Dimas cemburu."D