Share

5. Di Madu Atau Janda

"Cukup! Mas Dimas jaga sikapmu. Aku tidak suka posisi duduk kalian. Dan kau wanita yang bernama Wulan! Jangan memegang lengan suamiku. Jangan menyuapinya dan menempel padanya. Dia suamiku. Apa kau masih punya harga diri?" Ajeng bicara tegas, semua mata memandang Ajeng.

Tisna menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ajeng, Ajeng! Ck, bodoh kok di piara!" cindir Tisna.

"Diam kak Tisna, aku bicara dengan suamiku! Mas Dimas, MENJAUH-DARI WANITA-ITU!" Ajeng meledak sejadinya. Berita sakit jantung Ibu dari mertuanya, sikap Bu Ida dan semua kekesalannya akhirnya tumpah tak tertahan.

"Hahaha, ada sapi ngamuk!" Tyas, Ida dan Wulan tertawa serentak. Dimas pun tersenyum.

"Ada apa? Apa yang kalian tertawakan?" Ajeng heran dijadikan lelucon.

Wulan berdiri. "Baik Aku akan jelaskan. Aku tidak tega denganmu. Dengar wanita kampung, benarkan Mas Dimas dia wanita kampung?"

"Dimas mengangguk. "Iya, sayang!"

Ajeng mendelik demi mendengar kata sayang, dari mulut Dimas. Dadanya terasa nyeri dan bergemuruh. Sakit tapi tak berdarah.

"Pertama, aku tidak akan menjauh dari Mas Dimas. Aku juga istrinya. Kau paham!"

"APALAGI INI MAS? JELASKAN!" Suara Ajeng kini menggelegar di ruangan.

"Ssst Ajeng sayang, kamu tidak usah bingung. Mama bilang aku cukup tampan dan layak mendapatkan istri lebih dari satu. Apalagi Wulan bersedia menjadi istri keduaku."

"Jadi, kamu diam-diam menikah lagi Mas?" Suara Ajeng bergetar tak percaya.

Wulan melipat tangannya di depan dada menatap dengan tatapan ejekan. "Bukan menikah, kau salah. Tapi, aku sudah menjadi adik madumu, mbal. Satu lagi kabar baiknya selain Mas Dimas mengajakku pindah ke sini tepatnya karena aku sedang hamil satu bulan." Tegas Wulan.

"Tempatmu bukan disini, wanita jalang!" Ajeng mendekat dan ingin menarik tangan Wulan dan ingin menampar wajah wanita itu. Wulan menutup wajahnya dan pada hitungan detik berikutnya sebuah tangan mencengkeram tangan Ajeng cukup keras.

"Lepaskan, Wulan!" teriak Dimas dan sorot mata Dimas penuh amarah menguasai relung hati Ajeng.

"Ajeng, kau harus merestui pernikahanku dengan Wulan. Wulan adalah, Istriku juga. Kalian memiliki hak yang sama. Jadi kamu harus terima pernikahan kami." Ujar Dimas tanpa beban.

Rasanya bagai mendengar petir di siang bolong. Kaget luar biasa dan tulang di tubuhnya seakan hancur seiring sakit yang semakin dalam.

"Mas, apa katamu? Restu? Wulan istrimu? Kamu tega sudah membohongiku untuk kesekian kalinya mas. Aku berpikir dengan kesabaranku bisa merubah sikap keluarga termasuk tapi nyatanya kebaikan dan kesabaranku sudah dibalas dengan rasa sakit yang tidak pernah bisa di obati. Maafkan aku tidak merestui pernikahan kalian, apa ada wanita yang sanggup merestui suaminya menikah lagi. Aku tidak setuju Mas. Aku tidak terima!" ucap Ajeng lemah.

"Setuju atau tidak setuju. Kami tidak perlu restumu!" Bu Ida menyambut bicara. "Kamar disamping kamarmu dan Dimas menjadi milik Wulan sekarang ini. Silahkan malam ini kau bisa tidur di rumah ini, Wulan Sayang!" Kali ini Ida menatap kaca di pelupuk mata Ajeng dan tersenyum pada Wulan.

"Ajeng, kamu siapkan kamar untuk Wulan. Dia sedang mengandung, tau begini saja kamu pindah di kamar atas dan kamar utama biar jadi kamar Wulan dan Dimas. Adil kan?" ujar Bu Ida.

"Setuju dong, Bu. Ibu yang terbaik," Wulan, memeluk bu Ida.

"Bu, besok temani aku shopping ya. Kebetulan mama abis transfer lagi," ujarnya tersenyum dingin.

"Sayang, kamu tidur dengan 'ku kan?" Wulan berbisik manja pada Dimas dan Dimas mengangguk setuju.

'Mas Dimas? Apa ini belangmu? Apa ini sifat aslimu? Aku sudah berulang kali mendapatkan firasat buruk dari awal akad nikah kita. Ternyata ini artinya. Aku, aku tidak terima Mas. Katakan padaku, ini bohong kan Mas?' batin Ajeng.

Luruh air mata Ajeng mendapatkan kenyataan pahit dalam pernikahannya.

"Jeng, aku minta maaf. Tapi aku butuh penerus, aku ingin punya anak. Tapi kamu? Kamu jangan khawatir aku menafkahi mu dengan cukup. Apa lagi? Waktuku akan di bagi dua, aku akan bersikap adil pada kalian berdua." Ujar Dimas, memastikan Ajeng mendengar dengan jelas.

"Adil? Apa baginya uang sepuluh ribu cukup untuk memenuhi kebutuhan aku, mas? Kamu bisa mencukupi kebutuhan keluarga kamu aku diam, tetapi kamu lupa akan tanggung jawab sebagai suami. Kamu lupa akan nafkah untuk istrimu, dan sekarang kamu berpoligami? Bahkan kamu menikah tanpa izin dari aku sebagai istri tua." Ajeng, mengungkapkan keluh kesah pada Dimas meski hal itu tak akan merubah apapun.

"Lantas mau kamu apa sekarang? Cerai? Tidak masalah, aku turuti kemauan kamu. Dan pulang ke kampung dengan status janda, ibumu akan kena serangan jantung dan mati. Itu yang kamu mau Ajeng?" Dimas mendekati Ajeng, berbisik di telinga Ajeng.

"Dia lebih menggairahkan dan tubuhnya lebih seksi darimu, Ajeng." Lirihnya di telinga Ajeng.

Plaakk!!

Tangan Dimas mendorong Ajeng. Ajeng terjerembab ke lantai terlalu lemah, ia limbung karena tubuhnya memang sedang sakit.

"Kau berani menamparku, Ajeng? Kurang ajar, kamu." Cetus Dimas.

"Hahaha, lihat benalu itu berani menampar mas Dimas. Wah! Siap-siap di usir dari sini, dasar benalu, miskin, mandul tak berguna!" cemooh Tyas, Tisna dan Ida serta Wulan bergemuruh. Dimas menatap kesal.

"Dengar Ajeng, merestui atau tidak kami sudah menikah siri ibu juga tahu. Silahkan urus surat cerai sendiri, aku tidak perduli, kau memang sudah mulai membosankan!" kata yang keluar dari bibir Dimas bagai belati yang menusuk jantung Ajeng.

"Ssst, Dimas diam, Nak. Ajeng tidak akan cerai darimu. Dia akan tetap disini sebagai menantu pertama ibu, Iyakan?" Ida bertanya lembut dengan senyumnya yang licik.

Bu Ida memberikan kode pada anak-anaknya untuk mengikuti permainannya. Mereka tidak membutuhkan menantu seperti Ajeng, tapi mereka membutuhkan tenaganya.

Ajeng menunduk, meratapi nasibnya dalam isak diam. Kehidupan bahagia setelah menikah hanyalah impian semu.

"Mbak Ajang, kau harus pilih di madu atau janda? Aku tahu ini tidak mudah untukmu. Tapi, aku juga istri mas Dimas, aku butuh kasih sayang dan perhatian darinya terlebih ada janin dalam perutku. Kamu tahu kan rasanya ngidam? Maaf, aku lupa kamu belum pernah hamil." ucap Wulan menyiramkan air garam di luka Ajeng

'Tuhan apakah aku harus bertahan di rumah ini?' bisik Ajeng dalam hati.

Tanpa menjawab perkataan Wulan, Ajeng beranjak pergi meninggalkan mereka yang saling tersenyum bahagia. Membereskan pakaian dan pindah ke kamar atas, kamar yang tak pernah terpakai. Beruntung Ajeng selalu

membersihkan b sehingga debu tak ada.

"Aku tidak kan menyerah, jika aku pergi bukankah mereka senang? Tidak, aku akan membalas mereka. Dan meminta hak 'ku yang di rampas keluarga mas Dimas. Terbukti siapa yang benalu, aku atau mereka." Gumam Ajeng, sekarang tak lagi menangis. Membalas perlakuan mereka dengan cantik.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status