Share

6. Pembalasanku Yang Cantik

Seminggu usai pernikahan Dimas dan Wulan di ketahui oleh Ajeng, wanita berhijab itu kembali dengan aktivis mengerjakan semua tugas di rumah dan bekerja di toko. Uang gaji yang di dapat dari toko kue cukup untuk ia tabung dan memenuhi kebutuhan pribadinya.

Apa kabar Dimas? Sejak pertengkaran itu tak pernah Ajeng melihatnya. Janji untuk adil hanya di bibir saja, sampai detik ini Dimas tak pernah adil pada Ajeng. Nafkah tetap sehari sepuluh ribu, menurut ibu dan Dimas nafkah sesuai dengan mahar yang di berikan Dimas pada Ajeng.

"Ajeng tunggu!" Bu Ida, berjalan cepat mendekati menantu pertamanya.

"Ada apa Bu?" ujar Ajeng, mengerutkan keningnya. Tidak seperti biasanya Bu Ida datang menunggunya berangkat, apa ini ada sesuatu?

"Jeng, kamu udah gajian kan? Ibu minta dong, Wulan belum kasih ibu uang belanja. Kamu tahu kan Dimas lagi sayang-sayangnya sama Wulan jadi mereka lupa jatah belanja," Bu Ida, memasang wajah lembut dan iba pada Ajeng.

'sudah aku duga, ada maunya,' batin Ajeng.

"Kenapa Bu? Kenapa mas Dimas, Wulan sampai lupa memberikan uang belanja sama ibu?" tanya Ajeng, pura-pura terkejut.

"Udah kamu jangan tanya yang lain. Cepetan kasih ibu uang. Kamu kan kerja pasti uang kamu banyak, secara kebutuhan kamu kan di tanggung sama anakku." Timpal Bu Ida.

Ajeng menghela napasnya melihat sikap ibu mertuanya. Uang untuk apa? Jika kebutuhan di dapur masih tersedia cukup untuk sebulan belum lagi yang yang di berikan Dimas tentu masih ada, karena bukan hanya dari Dimas tapi juga dari Wulan. Menantu baru sesuai keinginannya.

"Eh, bengong lagi! Mana uangnya, cepetan ibu butuh Jeng!" desak Bu Ida.

"Maaf Bu, aku tidak ada yang. Ibu tahu sendiri berapa gaji aku di toko kue, lagi pula Wulan ada di rumah ini kenapa tidak tunggu sampai dia bangun. Ibu kan bisa–" ucapan Ajeng terhenti, saat Bu Ida mendelik.

"Ajeng kalau tidak ada uang ngomong dong! Rugi ibu udah baikin kamu. Pergi sana, kerja tidak ada hasil aja belagu!" gerutu Bu Ida.

Gagal sudah meminta uang dari Ajeng, gegas Bu Ida ke kamar Tyas, putri bungsunya bilang kalau Ajeng abis gajian.

"Tyas, bangun kamu! Anak kurang ajar, bikin malu ibu aja. Bisa-bisa Ajeng gede kepala gara-gara kamu." Bu Ida membangunkan Tyas lebih kasar.

"Ih, Ibu apa-apaan sih!" Tyas membuka matanya malas. Sepagi ini ibunya sudah membangunkannya.

"Eh, berani kamu sama ibu? Bangun cepetan. Katakan kenapa kamu bohong sama ibu?" Bu Ida menggoyangkan tubuh Tyas, sehingga putri bungsunya terbangun dengan mata tertutup.

"Ada apa sih Bu?" tanya Tyas.

Bu Ida yang sudah kesal memukul lengan putrinya. Semalam setelah pulang sehabis pergi putrinya mengadu kalau Ajeng memiliki uang banyak karena tanpa sengaja Tyas melihat Ajeng diberikan uang oleh bos-nya.

"Kamu bilang Ajeng punya uang, mana buktinya? Tadi Ibu minta uang tidak dikasih dia bilang tidak punya uang bikin malu Ibu saja. Lagi pulang dari mana uangnya. Dia kerja gajinya cuma rp500.000 kamu pikir cukup untuk memenuhi kebutuhan dia? Apalagi ongkosnya kalau Ibu minta, jelas tidak ada." Kesal Bu Ida.

"Aku tidak bohong Bu, aku lihat sendiri Ajeng itu dapat uang dari bosnya. Kenapa Ibu tidak percaya? Coba aja Ibu tanya lagi nanti saat dia pulang. Ke mana uang gajinya sebanyak itu." Tyas tidak mau disalahkan oleh ibunya, karena Tyas melihat sendiri Ajeng mendapatkan uang banyak dari bosnya. Itu artinya Ajeng mendapat gajinya.

Bu Ida memikirkan cara untuk meminta uang itu dari Ajeng. Jika benar yang dikatakan oleh Tyas itu artinya Ajeng berbohong padanya.

Bu Ida tahu cara bagaimana menemukan uang Ajeng. Tidak mungkin dia bekerja membawa semua uangnya.

"Ibu mau kemana?" tanya Tyas, melihat ibunya beranjak dari tempatnya.

"Anak kecil tidak usah ikut campur. Informasi yang kamu berikan pada ibu tidak berguna sama sekali. Tapi, Ibu tahu cara menemukan uang itu." ucapnya, pasti.

Sementara itu Ajeng yang berada di toko sibuk dengan adonan yang membuatnya melupakan masalah rumah tangganya yang penuh dengan ujian dan air mata.

"Jeng, kamu ada masalah? Cerita dong. Siapa tahu aku bisa bantu kamu," Aini duduk di samping Ajeng.

Adonan telah masuk ke dalam oven besar, sehingga Ajeng bisa santai. Sepagi ini dua puluh kue telah ia selesaikan. Dan berapa kue ukuran kecil telah rapih siap untuk di jajakan.

"Aku baik-baik saja Aini, mungkin itu hanya perasaan kamu," Ajeng kembali terdiam.

Aini tahu kalau sahabatnya tidak baik-baik saja dalam rumah tangganya. Tubuhnya yang dulu berisi dan cantik kini tubuh kurus bagaikan tulang tertutup kulit. Walau memakai pakaian longgar tidak mampu menutupi hal itu terlebih Tyas. Itu awal pertemuan mereka setelah lima bulan pernikahan Ajeng yang sempat memutuskan untuk resign dari pekerjaannya.

"Ceritakan beban kamu padaku Jeng, tidak semuanya kamu anggap remeh tidak semuanya kamu bisa menyelesaikannya, setidaknya jika kamu bercerita padaku itu akan mengurangi beban yang kamu pikul seorang diri. Aku tahu ada yang tidak beres dalam rumah tangga kamu meskipun kamu berusaha untuk menutupinya terlebih saat pengakuan kamu mengenai ponsel kamu yang hilang aku rasa kamu sudah berbohong. Apa keluarga Dimas menyita ponsel kamu?" Ajeng terkejut mendengar ucapan Aini, tak berselang lama Ajeng menundukkan kepalanya bulir bening keluar tanpa meminta izin padanya.

"Aku lelah Ai, aku tidak sanggup lagi menjalankan rumah tangga ini. Sejak awal menikah aku tidak mempedulikan masalah ini. Bagaimana sikap mereka padaku tapi ini sudah melantaui batas kesabaranku. Mas Dimas, diam-diam menikah lagi dan–" tangis Ajeng kembali pecah. Tangisan yang mampu membuat orang lain pun merasakan nyeri seperti yang dirasakan oleh Ajeng.

Puas menangis Ajeng tersenyum melihat sahabatnya mengusap matanya. Aini adalah sahabatnya sejak sekolah dan bekerja di toko kue yang sama.

"Lepaskan, jangan membuat hatimu tersiksa Jeng. Pengorbanan kamu sudah cukup, sudah waktunya kamu membahagiakan dirimu sendiri dan ibumu. Pulanglah, ibumu menunggu anak manjanya." Aini memeluk tubuh Ajeng yang kurus dan wajahnya yang pucat. Meski tertutup dengan senyum indah Ajeng, sorot matanya menyiratkan luka dalam.

"Aku tidak mungkin bercerai sekarang Ai, aku lama berkorban satu tahun lebih bersabar berada di sana tapi perlakukan mereka sungguh keterlaluan. Aku akan membalas sakit hati aku Ai, walau hal itu bertentangan dengan hati." Ajeng ingin hak yang terampas oleh keluarga Dimas harus kembali. Setidaknya mereka meminta maaf pada ibunya.

Ajeng melayani pembeli yang semakin ramai dengan sabar Ajeng menjelaskan rasa dan aromanya yang khas.

"Mau pesan apa, pak?" tanya Ajeng sopan.

"Apa aku menikah dengan ibumu, sampai kamu memanggilmu pak?"

Degh!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status