Seminggu usai pernikahan Dimas dan Wulan di ketahui oleh Ajeng, wanita berhijab itu kembali dengan aktivis mengerjakan semua tugas di rumah dan bekerja di toko. Uang gaji yang di dapat dari toko kue cukup untuk ia tabung dan memenuhi kebutuhan pribadinya.
Apa kabar Dimas? Sejak pertengkaran itu tak pernah Ajeng melihatnya. Janji untuk adil hanya di bibir saja, sampai detik ini Dimas tak pernah adil pada Ajeng. Nafkah tetap sehari sepuluh ribu, menurut ibu dan Dimas nafkah sesuai dengan mahar yang di berikan Dimas pada Ajeng."Ajeng tunggu!" Bu Ida, berjalan cepat mendekati menantu pertamanya."Ada apa Bu?" ujar Ajeng, mengerutkan keningnya. Tidak seperti biasanya Bu Ida datang menunggunya berangkat, apa ini ada sesuatu?"Jeng, kamu udah gajian kan? Ibu minta dong, Wulan belum kasih ibu uang belanja. Kamu tahu kan Dimas lagi sayang-sayangnya sama Wulan jadi mereka lupa jatah belanja," Bu Ida, memasang wajah lembut dan iba pada Ajeng.'sudah aku duga, ada maunya,' batin Ajeng."Kenapa Bu? Kenapa mas Dimas, Wulan sampai lupa memberikan uang belanja sama ibu?" tanya Ajeng, pura-pura terkejut."Udah kamu jangan tanya yang lain. Cepetan kasih ibu uang. Kamu kan kerja pasti uang kamu banyak, secara kebutuhan kamu kan di tanggung sama anakku." Timpal Bu Ida.Ajeng menghela napasnya melihat sikap ibu mertuanya. Uang untuk apa? Jika kebutuhan di dapur masih tersedia cukup untuk sebulan belum lagi yang yang di berikan Dimas tentu masih ada, karena bukan hanya dari Dimas tapi juga dari Wulan. Menantu baru sesuai keinginannya."Eh, bengong lagi! Mana uangnya, cepetan ibu butuh Jeng!" desak Bu Ida."Maaf Bu, aku tidak ada yang. Ibu tahu sendiri berapa gaji aku di toko kue, lagi pula Wulan ada di rumah ini kenapa tidak tunggu sampai dia bangun. Ibu kan bisa–" ucapan Ajeng terhenti, saat Bu Ida mendelik."Ajeng kalau tidak ada uang ngomong dong! Rugi ibu udah baikin kamu. Pergi sana, kerja tidak ada hasil aja belagu!" gerutu Bu Ida.Gagal sudah meminta uang dari Ajeng, gegas Bu Ida ke kamar Tyas, putri bungsunya bilang kalau Ajeng abis gajian."Tyas, bangun kamu! Anak kurang ajar, bikin malu ibu aja. Bisa-bisa Ajeng gede kepala gara-gara kamu." Bu Ida membangunkan Tyas lebih kasar."Ih, Ibu apa-apaan sih!" Tyas membuka matanya malas. Sepagi ini ibunya sudah membangunkannya."Eh, berani kamu sama ibu? Bangun cepetan. Katakan kenapa kamu bohong sama ibu?" Bu Ida menggoyangkan tubuh Tyas, sehingga putri bungsunya terbangun dengan mata tertutup."Ada apa sih Bu?" tanya Tyas.Bu Ida yang sudah kesal memukul lengan putrinya. Semalam setelah pulang sehabis pergi putrinya mengadu kalau Ajeng memiliki uang banyak karena tanpa sengaja Tyas melihat Ajeng diberikan uang oleh bos-nya."Kamu bilang Ajeng punya uang, mana buktinya? Tadi Ibu minta uang tidak dikasih dia bilang tidak punya uang bikin malu Ibu saja. Lagi pulang dari mana uangnya. Dia kerja gajinya cuma rp500.000 kamu pikir cukup untuk memenuhi kebutuhan dia? Apalagi ongkosnya kalau Ibu minta, jelas tidak ada." Kesal Bu Ida."Aku tidak bohong Bu, aku lihat sendiri Ajeng itu dapat uang dari bosnya. Kenapa Ibu tidak percaya? Coba aja Ibu tanya lagi nanti saat dia pulang. Ke mana uang gajinya sebanyak itu." Tyas tidak mau disalahkan oleh ibunya, karena Tyas melihat sendiri Ajeng mendapatkan uang banyak dari bosnya. Itu artinya Ajeng mendapat gajinya.Bu Ida memikirkan cara untuk meminta uang itu dari Ajeng. Jika benar yang dikatakan oleh Tyas itu artinya Ajeng berbohong padanya.Bu Ida tahu cara bagaimana menemukan uang Ajeng. Tidak mungkin dia bekerja membawa semua uangnya."Ibu mau kemana?" tanya Tyas, melihat ibunya beranjak dari tempatnya."Anak kecil tidak usah ikut campur. Informasi yang kamu berikan pada ibu tidak berguna sama sekali. Tapi, Ibu tahu cara menemukan uang itu." ucapnya, pasti.Sementara itu Ajeng yang berada di toko sibuk dengan adonan yang membuatnya melupakan masalah rumah tangganya yang penuh dengan ujian dan air mata."Jeng, kamu ada masalah? Cerita dong. Siapa tahu aku bisa bantu kamu," Aini duduk di samping Ajeng.Adonan telah masuk ke dalam oven besar, sehingga Ajeng bisa santai. Sepagi ini dua puluh kue telah ia selesaikan. Dan berapa kue ukuran kecil telah rapih siap untuk di jajakan."Aku baik-baik saja Aini, mungkin itu hanya perasaan kamu," Ajeng kembali terdiam.Aini tahu kalau sahabatnya tidak baik-baik saja dalam rumah tangganya. Tubuhnya yang dulu berisi dan cantik kini tubuh kurus bagaikan tulang tertutup kulit. Walau memakai pakaian longgar tidak mampu menutupi hal itu terlebih Tyas. Itu awal pertemuan mereka setelah lima bulan pernikahan Ajeng yang sempat memutuskan untuk resign dari pekerjaannya."Ceritakan beban kamu padaku Jeng, tidak semuanya kamu anggap remeh tidak semuanya kamu bisa menyelesaikannya, setidaknya jika kamu bercerita padaku itu akan mengurangi beban yang kamu pikul seorang diri. Aku tahu ada yang tidak beres dalam rumah tangga kamu meskipun kamu berusaha untuk menutupinya terlebih saat pengakuan kamu mengenai ponsel kamu yang hilang aku rasa kamu sudah berbohong. Apa keluarga Dimas menyita ponsel kamu?" Ajeng terkejut mendengar ucapan Aini, tak berselang lama Ajeng menundukkan kepalanya bulir bening keluar tanpa meminta izin padanya."Aku lelah Ai, aku tidak sanggup lagi menjalankan rumah tangga ini. Sejak awal menikah aku tidak mempedulikan masalah ini. Bagaimana sikap mereka padaku tapi ini sudah melantaui batas kesabaranku. Mas Dimas, diam-diam menikah lagi dan–" tangis Ajeng kembali pecah. Tangisan yang mampu membuat orang lain pun merasakan nyeri seperti yang dirasakan oleh Ajeng.Puas menangis Ajeng tersenyum melihat sahabatnya mengusap matanya. Aini adalah sahabatnya sejak sekolah dan bekerja di toko kue yang sama."Lepaskan, jangan membuat hatimu tersiksa Jeng. Pengorbanan kamu sudah cukup, sudah waktunya kamu membahagiakan dirimu sendiri dan ibumu. Pulanglah, ibumu menunggu anak manjanya." Aini memeluk tubuh Ajeng yang kurus dan wajahnya yang pucat. Meski tertutup dengan senyum indah Ajeng, sorot matanya menyiratkan luka dalam."Aku tidak mungkin bercerai sekarang Ai, aku lama berkorban satu tahun lebih bersabar berada di sana tapi perlakukan mereka sungguh keterlaluan. Aku akan membalas sakit hati aku Ai, walau hal itu bertentangan dengan hati." Ajeng ingin hak yang terampas oleh keluarga Dimas harus kembali. Setidaknya mereka meminta maaf pada ibunya.Ajeng melayani pembeli yang semakin ramai dengan sabar Ajeng menjelaskan rasa dan aromanya yang khas."Mau pesan apa, pak?" tanya Ajeng sopan."Apa aku menikah dengan ibumu, sampai kamu memanggilmu pak?"Degh!Ajeng yang tersentak dengan ucapan pria di depan memaksakan dirinya mengangkat wajahnya. Pria tampan dengan setelah jas berdiri melihatnya penuh intimidasi. "Maaf, tapi saya benar. Tidak mungkin saya panggil ibu, anda kan seorang laki-laki." Ujar Ajeng, tak ingin mengalah."Aku tahu, aku laki-laki. Tapi tidak seharusnya kamu panggil aku pak, bisa kan kamu panggil aku, mas atau apa gitu. Pak itu untuk orang tua," ujar pria itu.Ajeng menggeleng acuh, tak habis pikir dengan pria di depannya. Menolak tua? Atau tidak ingin terlihat memiliki istri? Sedetik kemudian senyum indah Ajeng dan sikap ramah tak hilang meski kesal pada pria yang kini menatapnya."Baik silahkan, mas mau pilih yang mana? Ada berapa varian baru dan rasanya lebih enak tentu dengan harga yang lebih tinggi." Jelas Ajeng."Oke, aku pilih varian baru tolong bawa ke kantor. Satu lagi, tetap tersenyum seperti itu." Ujar pria di depannya, pergi begitu saja.Meski penasaran dan kesal Ajeng tetap melakukan perintah pria yang s
Ajeng memilih untuk pulang ke rumah, mengabaikan bos baru yang diam dengan keadaan yang membuatnya sulit untuk membela diri. Walau semua tumbuhan itu tidak benar.Sampai di rumah mobil Dimas sudah terparkir di halaman, Ajeng menguatkan hati dan mentalnya untuk menghadapi keluarga Dimas yang menunggunya di dalam termasuk Wulan.Dan benar saja saat kakinya melangkah di teras mereka menatap tajam Ajeng terlebih lagi Dimas kini berdiri dan menyeretnya dengan kasar.Tanpa bertanya tangannya terkepal kuat, melayang di wajahnya."Katakan anak siapa yang kamu kandung hah? Apa pria yang menghantarkan kamu ke rumah sakit? Jadi selama ini kamu sudah berselingkuh di belakang aku, Ajeng? Katakan!" suara Dimas meninggi, begitu tinggi hingga tubuh Ajeng bergetar. Belum hilang rasa sakit di wajahnya kini suara Dimas yang berhasil menggetarkan tubuhnya nyari. Ini adalah kali pertama Dimas marah dengan suara yang cukup keras, meskipun mereka kerap kali bertengkar, suara di Dimas tak setinggi sekarang
Sampai di kost Aini, Ajeng mencecar pertanyaan yang sejak tadi ia simpan berharap sang sahabat bersedia menjelaskan saat bertemu."Mana yang harus aku jawab dulu, Jeng? Banyak banget pertanyaannya," Aini tertawa, melihat tingkah sahabatnya."Duduk dulu, minum abis itu istirahat baru cerita. Kalau sekarang, aku juga laper. Makan dulu yu," Aini membuatkan teh hangat, ia tahu apa yang terjadi pada sahabatnya.Aini menunggu berapa saat Ajeng yang membersihkan diri dan shalat. Kini berdua duduk saling berhadapan tak ada yang mengeluarkan suara. Sebelum air matanya tumpah terlebih melihat wajah Ajeng yang merah akibat tamparan."Sekarang sudah tenang, Jeng?" "Ya, Ai, sekarang kamu jawab pertanyaan aku. Siapa yang memberitahukan kamu tentang aku? Bagaimana kamu tahu kalau aku di usir?" tanya Ajeng.Aini menepuk tangan sahabatnya tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya kalau bos mereka yang melihat dan memintanya untuk memberikan tawaran tinggal di kost."Kebetulan tadi ada tetangga kamu,
Hati ibu mana yang tidak sakit saat putrinya pulang dalam keadaan kurus dan wajahnya yang pucat bahkan beberapa lebam di wajahnya. Berbeda jauh saat Bu Sekar melepaskan putrinya pergi bersama laki-laki yang sudah menjadi suaminya dan keluarganya. Satu setengah tahun bahkan itu terhitung Ajeng menikah. Pengantin baru bagi sebagian orang namun, kenyataan pahit yang didapatkan wanita yang masih terlihat cantik meski usianya yang tidak mudah lagi."Jangan sembarangan bicara seperti itu besan, aku tahu bagaimana Ajeng. Anakku mana mungkin dia melakukan hal yang serendah itu aku tahu kalian pasti berbohong," Bu Sekar menentang keras tuduhan yang dilontarkan oleh Bu Ida pada Ajeng. "Lah, memang benar. Anda mau nuduh saya bohong, begitu? Hei, punya anak itu di didik dengan baik dan benar. Jangan kayak anak anda ini punya suami baik, kaya, malah selingkuh sampai hamil, pula!" suara Bu Ida, yang keras sehingga tetangga Ajeng berdatangan untuk melihat apa yang terjadi pada Ajeng dan ibunya.Mere
Bertiga menolah ke arah pintu di mana seorang laki-laki tinggi berdiri menatap mereka. Bu Sekar dan Ajeng saling melepaskan pelukan mereka dan saling menatap satu sama lainnya."A – Aini," lirih Ajeng, terbata. Menuntut kejelasan pada Aini, tidak mungkin pemilik toko dan perusahaan bersedia datang ke rumahnya yang sederhana bahkan di bilang kumuh oleh keluarga Dimas.Aini menggeleng bukti jika dirinya pun tak tahu soal bos mereka yang tiba-tiba sudah di rumah Ajeng."Nak siapa, dia? Kenapa mengaku sebagai bos kalian? Apa kalian mengenalnya?" tanya Bu Sekar. Di lihatnya dua wanita muda yang mengangguk bersamaan.Bu Sekar tersenyum itu artinya pria yang berdiri di ambang pintu adalah orang yang baik dan tidak menyebar fitnah di kemudian hari. Namun, sesaat bibirnya kembali murung jika benar pria itu bos mereka itu artinya yang di katakan besannya itu benar. Apa mungkin putrinya berhubungan dengan bosnya?"Astaghfirullahaladzim," gumam Bu Sekar."Assalamualaikum, Bu, maaf sudah lancang
"Wulan ada apa, nak? Apanya yang kotor?" Bu Ida, menghampiri Wulan yang berdiri di atas kursi."I – itu, kenapa kotor? Ada kecoa lagi, jorok banget sih! Apa nggak ada yang niat bersihin?" Wulan menunjuk kecoa di bawah meja, berapa plastik bekas makanan berserakan di lantai dan meja. Kompor yang berminyak, piring kotor dimana-mana. "Oh, itu gampang. Biar Dimas buang ya," Bu Ida menepuk lengan Dimas, menyuruhnya mengambil sapu untuk membuang kecoa."Jangan! Kenapa harus nyuruh mas Dimas? Kan ada ibu sama mbak Tisna, Tyas juga ada. Untuk apa nyuruh mas Dimas? Bisa 'kan kalian yang buang?" sergah Wulan. Sapu yang ada tangan Dimas, diambil dan di berikan pada Bu Ida yang hanya diam terpaku. Sudah lama ia tidak memegang sapu sejak Ajeng tinggal di rumahnya. Jangankan untuk mengerjakan hal berat. Sekedar mengambil minum, itu pun Bu Ida selalu meminta Ajeng menyiapkan di kamar."A– apa harus, ibu?" gumam Bu Ida, bingung harus bagaimana cara membuang kecoa yang ada di bawah kaki Wulan. Dima
"Oke, aku setuju. Tapi ingat kamar dia nggak boleh di atas. Tapi, di bawah lebih tepatnya di samping dapur. Kita bongkar gudang itu untuk jadi kamarnya Ajeng. Jangan ada yang dekat sama dia selama di sini!" ujar Wulan, mengiyakan ucapan Tyas dengan nada mengancam."Itu hal yang gampang. Tapi, bagaimana caranya membawa Ajeng kembali ke rumah?" kali ini Tyas mengangkat bahunya menyerah untuk memikirkan cara agar bisa membawa Ajeng ke rumah mereka lagi.Berbeda dengan ibu, istri dan saudaranya Dimas terdiam tanpa menimpali ucapan mereka enggan untuk berkomentar baginya diam yang terbaik. Memikirkan bagaimana perasaan Ajeng jika harus di jemput kembali ke tempat yang tidak seharusnya, karena ia telah menjatuhkan talak dan membiarkan Ajeng kembali atau tetap tinggal. Justru keluarganya yang mengusir Ajeng termasuk dirinya. Semua yang di lakukan Ajeng sudah ditolak olehnya, terlebih sosok pria yang berada di samping Ajeng meski tidak melihat wajahnya namun hal itu membuat Dimas cemburu."D
"Siapa Bu?" Ajeng menghampirinya Bu Sekar. Yang makan berdiri di depan pintu.Reaksi yang sama saat melihat seseorang yang berdiri di sana. Wajahnya mencelos pria yang menancapkan ribuan belati di hatinya kini berdiri tanpa bersalah."Apa kabar, Jeng? Boleh mas, masuk?" Masuk? Bukankah ibunya sudah mengizinkannya untuk masuk? Ajeng hanya mengangguk. Gegas pergi ke dapur membuatkan teh hangat untuk pria yang masih berstatus suaminya secara hukum."Untuk apa kamu datang ke sini? Belum puas kamu sakiti hati Ajeng? Kamu lupa janji kamu sama ibu?" ucap Bu Sekar, lirih. Sangat lirih sehingga terdengar hanya di telinga Dimas.Bu Sekar tidak lupa apa yang pernah di ucapkan Dimas padanya, sebagai bentuk rasa terima kasihnya yang sudah memberikan restu. Namun, semua hilang begitu saja seiring Ajeng yang di bawanya pulang ke rumah.Janji yang di ucapkan di depan Bu Sekar tanpa sepengetahuan oleh siapapun. Termasuk Ajeng."Bu, aku ingat dan tujuan aku ke sini ingin meminta maaf pada ibu dan juga