Sabrina pulang ke rumah dengan hati yang hancur. Tidak ada yang berubah.
Saat melewati ruang tamu, Karina, istri kedua Sandi, menyambutnya dengan “Oh, kamu sudah pulang?” Karina melirik bayi dalam gendongan Sabrina. "Lucu sekali. Tapi… sepertinya dia tidak mirip Sandi ya?" Jantung Sabrina berdegup kencang. Karina tidak berbicara keras, tetapi nada suaranya penuh sindiran. Sabrina menarik napas panjang, memilih diam. Ibu mertuanya ternyata datang, ibu yang sejak tadi duduk di sofa ikut berbicara, suaranya penuh pelanggaran. "tentu saja tidak mirip. Sudah jelas itu bukan cucuku." Sabrina menggigit bibirnya. "Ta…tolong jangan katakan seperti itu." Ibu mertua berdiri dan melipat tangan di dada. "Lalu apa? Kau ingin aku menerima anak harammu ini? Menipu anakku untuk menikahmu saja sudah cukup terpana, sekarang kau ingin kami pura-pura tidak tahu bahwa ini bukan darah daging Sandi?" Air mata hampir jatuh dari mata Sabrina, tetapi ia menahannya. Tidak ada gunanya menangis. "Aku akan tinggal di kamar saja. Aku tidak akan mengganggu kalian." --- Hari itu, rumah keluarga Sandi kedatangan tamu yang tidak diundang—orang tua Sabrina. Pak Rendra dan Bu Lestari datang dengan wajah marah. Mereka sudah cukup lama bersabar, tetapi kali ini, kesabaran mereka habis. Begitu pintu dibuka, Bu Lestari langsung melangkah masuk tanpa permisi. Matanya mencari-cari sosok putrinya. "Mana Sabrina?" suaranya bergetar, menahan emosi. Ibu Sandi yang membuka pintu melipat tangan di dada, menatap mereka dengan sinis. "Oh, rupanya kalian masih peduli dengan anak kalian yang tidak tahu malu itu?" Pak Rendra mengepalkan tangan. "Jaga bicaramu! Apa maksud kalian menelantarkan Sabrina? Menantu kalian sendiri!" Dari lantai atas, Sandi muncul dengan ekspresi datar. "Sabrina baik-baik saja,dia punya kamar sendiri." "Punya kamar sendiri?" Bu Lestari hampir berteriak. "Kau pikir anak kami itu barang yang bisa kau singkirkan begitu saja setelah kau puas? Kau menelantarkannya setelah menikah lagi." Karina tiba-tiba keluar dari dapur dengan wajah penasaran. Ia berdiri di dekat ibu mertuanya, menikmati pertunjukan ini. "Sabrina itu wanita yang menipu anakku,"ibu Sandi berkata dengan nada meremehkan. "Hamil duluan, lalu menjebak Sandi menikahinya. Sudah jelas dia bukan wanita baik-baik." "Mulutmu kotor sekali!" suara Bu Lestari bergetar karena marah. "Kalian yang menerima Sabrina sebagai menantu, tapi sekarang malah memperlakukan dia seperti sampah? Apa kalian tidak punya hati?" Pak Rendra maju selangkah. "Kami datang ke sini untuk menuntut keadilan. Kami sudah cukup bersabar, Sandi. Kami tahu kau menikah dengan Sabrina tanpa cinta, tapi paling tidak, perlakukan dia dengan layak!" Sandi mendesah, seolah lelah menghadapi ini. "Aku sudah memberinya tempat tinggal,aku menerima sabrina dan anaknya. Aku tidak menyakitinya." "Tidak menyakitinya?! Kau menyia-nyiakan dia saat dia hamil! Kau lebih memilih istri barumu daripada menemaninya melahirkan!" Pak Rendra hampir menghantamkan tinjunya ke meja. Ibu Sandi mencibir. "Mungkin karena Karina lebih pantas mendapatkan perhatian Sandi." Bu Lestari menatap tajam ke arah Karina. "Dan kau? Bagaimana rasanya merebut suami orang?" Karina hanya tersenyum kecil. "Sandi yang memilihku, Bu." "Kau perempuan tidak tahu malu!"Bu Lestari menudingnya. Sandi mulai kehilangan kesabaran. "Ibu, Ayah, lebih baik kalian pulang. Ini rumah tangga kami, bukan urusan kalian." Pak Rendra tertawa sinis. "Rumah tangga? Rumah tangga macam apa? Kau memperlakukan Sabrina seperti budak, lalu kau menikahi perempuan lain saat dia sedang mengandung anakmu!" "Kami hanya ingin menuntut keadilan untuk putri kami,"Bu Lestari berkata lirih, suaranya penuh luka. "Sabrina bukan orang lain. Dia anak kami, Sandi. Dia istrimu. Tapi kau… kau memperlakukannya lebih buruk daripada pelayan." Sandi terdiam. Ada sedikit rasa bersalah di matanya, tetapi ia terlalu egois untuk mengakuinya. Ibu Sandi menatap sinis. "Kalau kalian tidak suka, bawa saja Sabrina kembali ke rumah kalian. Sandi sekarang punya Karina, wanita yang lebih baik untuknya. Air mata jatuh dari mata Bu Lestari. "Kalian sungguh kejam." Pak Rendra menarik napas panjang, berusaha menahan emosinya. "Baik. Kalau begitu, kami akan membawa Sabrina pulang." Saat mereka berbalik untuk pergi, Sandi sempat melirik ke arah ibunya, ragu. Tetapi ibu Sandi hanya mengangguk, seolah memberi restu agar dia membiarkan Sabrina pergi. Sabrina yang sejak tadi hanya diam di kamar, mendengar semuanya dari balik pintu. Hatinya hancur. Akhirnya, dia benar-benar tak punya tempat lagi di rumah itu. -- Sabrina menatap kedua orang tuanya yang berdiri di ambang pintu. Matanya sembab, tetapi dia menggeleng dengan tegas. "Aku tidak akan pulang, Bu, Ayah." Bu Lestari terkejut. "Sabrina, kau masih mau bertahan di sini setelah semua yang mereka lakukan padamu?" Sabrina mengangguk. "Aku masih istri Sandi, Bu. Aku ingin tetap di sini, aku mencintai sandi." Pak Rendra mengepalkan tangan. "Sabrina! Harga dirimu di mana?! Kau tidak dihargai di rumah ini!" Sabrina tersenyum lemah. "Ayah, tidak semua hal tentang harga diri. Aku hanya ingin bertahan." Ibu Sandi mendengus. "Lihat? Dia sendiri yang memilih tinggal. Jadi, jangan salahkan kami lagi!" Bu Lestari menatap putrinya dengan mata berkaca-kaca. "Baiklah, Nak. Jika itu keputusanmu… kami hanya bisa berdoa agar kau kuat." Dengan berat hati, kedua orang tua Sabrina pergi. Setelah mereka pergi, rumah kembali sunyi. Karina duduk di sofa sambil memainkan ponselnya, seolah tidak peduli dengan yang baru saja terjadi. Sementara Sandi berdiri di dekat tangga, menatap Sabrina dengan tatapan sulit ditebak. "Kenapa kau tetap bertahan?" suara Sandi terdengar datar. Sabrina menunduk. "Karena aku istrimu." Karina tertawa kecil. "Bukan cuma kau istrinya. Aku juga." Sabrina menelan ludah. "Aku tahu." Sandi menghela napas panjang. "Terserah kau, Sabrina. Tapi aku tidak mau mendengar keluhan darimu." Sabrina mengangguk pelan. "Aku tidak akan mengeluh." -- Sejak hari itu, Sabrina benar-benar hidup bertiga dengan Sandi dan Karina. Sandi lebih sering menghabiskan waktu dengan Karina. Saat malam, Sabrina mendengar tawa dan candaan mereka dari kamar sebelah. Saat makan malam, Karina duduk di sebelah Sandi, menyendokkan makanan ke piring suaminya dengan penuh manja. Sabrina? Dia hanya duduk diam, makan dalam sunyi. Terkadang, Sandi masih berbicara padanya. Tapi suaranya dingin, seperti orang yang berbicara dengan orang asing. "Jangan lupa bersihkan kamarnya Karina,"kata Sandi suatu hari. Sabrina hanya mengangguk. "Tolong buatkan teh untukku, Sabrina," pinta Karina dengan senyum manis. Sabrina bangkit dan menuruti permintaan itu. Begitulah hari-harinya. Punya bayi, tapi tetap harus mengurus rumah, mengurus kebutuhan Sandi dan Karina. Dan yang paling menyakitkan, dia harus melihat Sandi yang dulu miliknya, sekarang milik wanita lain. --Tanpa sadar sandi berjalan kearah jembatan, tatapannya kosong...ingatan terakhirnya adalah saat dia melamar sabrinaWaktu itu Sabrina berdiri dan tersenyum. "Kak Sandi? Tumben datang ke sini." Sandi melirik ke arah dalam rumah, memastikan suasana sepi. "Aku ingin bicara serius denganmu. Boleh?" Sabrina mengangguk, sedikit penasaran. Mereka pun duduk di bangku teras. Sandi terlihat tenang, tetapi ada ketegangan samar di sorot matanya. "Aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan posisiku di kantor semakin baik. Aku punya rumah sendiri, tabungan cukup, dan hidup yang stabil," katanya, seolah membaca daftar pencapaian. Sabrina mengangguk, masih belum menangkap maksudnya. "Aku ingin menikah," lanjut Sandi, tatapannya menusuk langsung ke mata Sabrina. Sabrina mengerjap. "Oh. Selamat ya, Kak." Sandi tersenyum kecil. "Maksudku... aku ingin menikah denganmu, Sabrina." Jantung Sabrina berdetak lebih cepat. "Apa?" Sandi menyesap napas sebelum melanjutkan, suaranya semakin ma
Sandi terduduk di kursi tua ruang tamu. Bu Rina menatapnya dengan prihatin dari dapur.“Kamu masih belum bisa merelakan, ya?” suara ibunya lembut, tapi langsung menusuk ke dalam hatinya.Sandi tidak menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya yang terasa panas.“Dulu kamu memilih Karina, memilih Nadine, San. Sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Sabrina juga sudah memilih jalannya sendiri.”Sandi menghela napas panjang. “Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, Ma… Aku cuma… aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir begini.”Bu Rina duduk di sampingnya. “Hidup nggak bisa ditebak. Tapi satu hal yang pasti, kalau kamu terus melihat ke belakang, kamu nggak akan pernah maju. Andro memang keterlaluan tapi dia juga anak ibu, ”Sandi diam. Kata-kata ibunya benar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?Dunia sudah berubah. Semua orang sudah bergerak maju.Hanya ia yang masih tertinggal di tempat yang sama.-Malam itu, Sandi tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di atas kasurnya, pikirannya dipen
Sandi melemparkan tubuhnya ke atas kasur tua, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembab. Hari ini sama seperti kemarin—panas, melelahkan, dan penuh dengan rasa kecewa. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk bangkit, tapi dunia seolah tak lagi menginginkannya. Tiba-tiba, suara dari televisi di ruang tamu menarik perhatiannya. Suara riuh penggemar, teriakan histeris, dan dentuman musik memenuhi rumah kecil itu. Sandi bangkit perlahan, berjalan menuju ruang tamu dengan rasa penasaran. Di layar, sebuah konser besar sedang disiarkan secara langsung. Lampu sorot berkedip, dan di tengah panggung, seorang pria muda berdiri dengan penuh percaya diri. Seorang pria yang sangat ia kenal. Andro. Adiknya yang dulu selalu tertinggal di sekolah. Yang dulu sering dihina karena tidak secerdas Sandi. Yang dulu selalu berlindung di balik bayangannya. Kini, Andro berdiri di atas panggung megah, dikelilingi oleh ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Dengan jaket kulit, rambut
Langit sore memancarkan warna jingga yang suram ketika Sandi melangkahkan kakinya ke halaman rumah orang tuanya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini, pulang dalam keadaan seperti ini terasa seperti kekalahan. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarga. Si jenius yang selalu menjadi nomor satu di sekolah, yang membangun bisnisnya sendiri dari nol dan pernah masuk dalam jajaran pengusaha muda paling berpengaruh. Sekarang? Ia hanya seorang mantan narapidana yang bahkan tidak bisa mencari pekerjaan. Sandi mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah ibunya—Bu Rina. Mata perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. "Sandi..." suaranya bergetar. Sandi menunduk, merasa terlalu malu untuk menatap ibunya. "Ma... Boleh aku tinggal di sini sebentar?" Bu Rina menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya Allah, anakku..." Tanpa banyak tanya, ia langsung menarik Sandi ke dalam pelukan
Sandi melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah berat. Matahari menyengat kulitnya, mengingatkan bahwa dunia di luar masih berjalan tanpa dirinya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Di dalam sana, hari-harinya berlalu lambat, dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan yang ia telan sendiri. Kini ia bebas. Tapi kebebasan ini terasa kosong. Tak ada siapa pun yang menjemput. Tak ada sahabat, keluarga, atau bahkan Nadine, mantan istrinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah menuju halte bus terdekat. Tangannya merogoh saku jaket tua yang ia bawa sejak masuk ke dalam penjara. Isinya hanya beberapa lembar uang yang diberikan petugas sebelum ia keluar. Cukup untuk ongkos bus dan mungkin sebungkus rokok. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke saat-saat di mana ia masih punya segalanya—keluarga, bisnis, dan kehormatan. Semua itu hancur karena satu kesalahan. Perusahaannya bangkrut, lalu kasus hukum menjeratnya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kehil
Di sebuah jalan sepi yang diterangi lampu jalan temaram, Sandi melaju dengan mobil hitamnya yang tersisa. Hatinya berdegup kencang saat ia menuju sebuah vila kecil yang pernah menjadi tempat Karina menghabiskan waktu bersama. Setiap tikungan jalan diiringi dengan bisikan amarah dan dendam yang telah lama terpendam.Sesampainya di depan pintu gerbang vila, Sandi keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh tekad. Ia menyelinap ke pekarangan, mendekati pintu utama dengan hati-hati. Di balik jendela, terlihat sosok Karina yang sedang membaca di ruang tamu dengan lampu meja menyinari wajahnya.Dengan napas tercekik, Sandi menekan pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan tanpa sempat Karina berteriak, Sandi sudah mendekat dengan pisau terhunus di tangannya."Karina!" teriak Sandi, suaranya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan terus terpuruk karena ulahmu?"Karina terkejut, segera bangkit dan melangkah mundur. "Sandi, apa yang kau lakukan? Tenanglah!" serunya, berusaha menjauh dari ancama