Andro berdiri di depan rumah kakaknya, menarik napas dalam. Sudah bertahun-tahun ia tidak pulang. Dunia idol telah menyibukkannya, dan sekarang, ia akhirnya kembali.
Namun, bukan Sandi atau ibunya yang ingin ia temui lebih dulu. Sabrina. Wanita itu selalu ada di pikirannya, sahabat yang diam diam dia cintai namun lebih memilih kakaknya. Dengan langkah mantap, Andro mengetuk pintu. Tidak butuh waktu lama sebelum pintu terbuka, dan seseorang yang tidak ia kenali berdiri di ambang pintu. Seorang wanita muda, dengan wajah manis dan mata penuh pesona. Andro mengangkat alis. "Kau siapa?" Wanita itu terkejut sejenak, lalu matanya membesar. "Kau… Andro sang idol?" Andro mengerutkan kening. "Iya, kau siapa?" Wanita itu tersenyum, matanya berbinar seolah tak percaya. "Aku Karina. Istri kedua Sandi." Andro menegang. "Istri kedua?" Karina mengangguk pelan. "Ya. Sandi menikah lagi." Andro tidak langsung merespons. Ia tidak menyangka. Sabrina dimadu? Hatinya mencelos. Sementara itu, Karina masih menatapnya, wajahnya menyiratkan kekaguman. "Kau lebih tampan dari yang aku lihat di TV," ujar Karina tiba-tiba. Andro terkekeh kecil, mencoba mengalihkan pikirannya. "Terima kasih. Sandi ada di rumah?" "Sandi dikantor jawab karina. "Sabrina ada? Aku dan Sabrina teman satu sma," jelas Andro. Karina mengangguk. Masuklah, aku akan panggil dia." Andro melangkah masuk, tapi matanya mencari sosok yang benar-benar ingin ia temui. Sabrina. Tapi ia tidak melihatnya di mana pun. Sementara itu, Karina masih menatapnya dengan kagum, seolah ia sedang melihat seorang bintang jatuh dari langit. -- Andro duduk di ruang tamu rumah Sandi, merasakan suasana yang berbeda dari yang ia bayangkan. Rumah ini terasa lebih megah dibanding terakhir kali ia datang. Mungkin karena keberadaan Karina, istri kedua Sandi, yang tampak begitu glamor dalam balutan gaun rumah berwarna pastel. Karina duduk di seberangnya dengan tatapan penuh minat. "Aku tidak menyangka bisa bertemu langsung dengan seorang Andro, bintang terbesar di negeri ini,"ujarnya dengan nada kagum. Andro hanya tersenyum tipis. "Aku hanya Andro. Bukan siapa-siapa di sini." Karina tersenyum lebih lebar. "Kau terlalu rendah hati. Di luar sana, semua wanita tergila-gila padamu." Andro menatapnya sejenak sebelum mengalihkan pandangan. "Sandi pulangnya masi lama?" tanyanya, tak ingin berbasa-basi lebih lama. Karina menegakkan tubuhnya."Dia sebentar lagi pulang . Kau mau menunggunya?" Andro mengangguk. "Sabrina dimana?" Karina tampak sedikit terkejut, tapi dengan cepat menyembunyikan ekspresinya. "Dia di dalam, mungkin sedang mengurus anaknya." Jantung Andro berdegup lebih cepat. Anak? Rasanya seperti ditinju di dada. Kenyataan itu menghantamnya tanpa ampun. Sebelum ia bisa meresapi perasaannya, suara langkah kaki terdengar dari dalam rumah. Andro menoleh, dan di sana, berdiri seseorang yang sudah lama ingin ia temui. Sabrina. Wajahnya lebih tirus, tubuhnya lebih kurus dari yang ia ingat. Tapi matanya tetap sama, penuh ketegaran meski ada kepedihan yang tersirat di dalamnya. Sabrina berhenti di ambang pintu, terkejut melihat Andro. Sekilas, ada banyak emosi yang berkelebat di matanya—terkejut, gugup, bahkan mungkin takut. "Andro…" suaranya nyaris berbisik. Andro bangkit dari duduknya. "Sabrina." Mereka bertatapan, dan waktu seolah berhenti. Di ruangan itu, hanya ada mereka berdua dan perasaan yang tak pernah terselesaikan. -- Sabrina berdiri mematung di ambang pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Tatapan Andro begitu tajam, seolah menelanjangi segala rahasia yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam. Karina melirik mereka berdua dengan penuh ketertarikan. "Kalian sudah lama tidak bertemu, ya?"katanya dengan nada ringan. Andro mengabaikannya. Matanya tak lepas dari Sabrina. Perlahan, ia melangkah mendekat. "Aku dengar kau sudah punya anak," katanya, suaranya lebih dalam dari biasanya. Sabrina menggigit bibirnya, lalu mengangguk pelan. "Iya." "Anak Sandi?" Sabrina tersentak, tapi segera menguasai ekspresinya. "Tentu saja,"jawabnya dengan suara setenang mungkin. Andro menatapnya lebih lama, seolah mencari kebohongan di wajahnya. "Selamat," katanya akhirnya, meskipun ada sesuatu yang terdengar berat di suaranya. Karina berdiri, tampak ingin menyudahi suasana canggung ini. "Mungkin kalian ingin berbicara lebih lama? Aku akan ke dapur sebentar." Setelah Karina pergi, ruangan itu terasa semakin sunyi. Sabrina menunduk, menghindari tatapan Andro. "Bagaimana kabarmu?"tanyanya lirih. Andro menyeringai tipis. "Aku? Aku baik. Sibuk. Tapi bukan itu yang ingin kutanyakan." Sabrina menggigit bibirnya. "soal apa." Andro mengepalkan tangannya. "pernikahanmu." Sabrina mengangkat wajahnya, menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Menikah dengan pria yang menduakanmu?" Sabrina terdiam. Dadanya terasa sesak mendengar kenyataan itu diucapkan Andro. "Aku datang ke sini tak bermaksud apa apa," Andro melanjutkan. "Aku hanya ingin tahu… apakah kau benar-benar bahagia, Sabrina?" Sabrina tersenyum tipis, meski air mata hampir jatuh dari matanya. "Bahagia atau tidak, ini hidup yang kupilih." Andro menatapnya lama sebelum menghela napas. "Kalau suatu saat kau butuh tempat untuk pergi… kau tahu ke mana harus mencariku." Hati Sabrina bergetar mendengar kata-kata itu. Tapi sebelum ia bisa membalas, Karina sudah kembali dengan nampan teh. Percakapan mereka terhenti, tapi hatinya tetap bergetar. Karena untuk pertama kalinya sejak pernikahannya, ada seseorang yang melihat kesedihannya yang tersembunyi. Dan orang itu adalah Andro. --Tanpa sadar sandi berjalan kearah jembatan, tatapannya kosong...ingatan terakhirnya adalah saat dia melamar sabrinaWaktu itu Sabrina berdiri dan tersenyum. "Kak Sandi? Tumben datang ke sini." Sandi melirik ke arah dalam rumah, memastikan suasana sepi. "Aku ingin bicara serius denganmu. Boleh?" Sabrina mengangguk, sedikit penasaran. Mereka pun duduk di bangku teras. Sandi terlihat tenang, tetapi ada ketegangan samar di sorot matanya. "Aku sudah bekerja selama beberapa tahun dan posisiku di kantor semakin baik. Aku punya rumah sendiri, tabungan cukup, dan hidup yang stabil," katanya, seolah membaca daftar pencapaian. Sabrina mengangguk, masih belum menangkap maksudnya. "Aku ingin menikah," lanjut Sandi, tatapannya menusuk langsung ke mata Sabrina. Sabrina mengerjap. "Oh. Selamat ya, Kak." Sandi tersenyum kecil. "Maksudku... aku ingin menikah denganmu, Sabrina." Jantung Sabrina berdetak lebih cepat. "Apa?" Sandi menyesap napas sebelum melanjutkan, suaranya semakin ma
Sandi terduduk di kursi tua ruang tamu. Bu Rina menatapnya dengan prihatin dari dapur.“Kamu masih belum bisa merelakan, ya?” suara ibunya lembut, tapi langsung menusuk ke dalam hatinya.Sandi tidak menjawab. Ia hanya mengusap wajahnya yang terasa panas.“Dulu kamu memilih Karina, memilih Nadine, San. Sekarang kamu harus menerima kenyataan bahwa Sabrina juga sudah memilih jalannya sendiri.”Sandi menghela napas panjang. “Aku nggak menyalahkan siapa-siapa, Ma… Aku cuma… aku nggak pernah berpikir semuanya akan berakhir begini.”Bu Rina duduk di sampingnya. “Hidup nggak bisa ditebak. Tapi satu hal yang pasti, kalau kamu terus melihat ke belakang, kamu nggak akan pernah maju. Andro memang keterlaluan tapi dia juga anak ibu, ”Sandi diam. Kata-kata ibunya benar, tapi apa yang bisa ia lakukan sekarang?Dunia sudah berubah. Semua orang sudah bergerak maju.Hanya ia yang masih tertinggal di tempat yang sama.-Malam itu, Sandi tidak bisa tidur. Ia bolak-balik di atas kasurnya, pikirannya dipen
Sandi melemparkan tubuhnya ke atas kasur tua, menatap langit-langit kamar yang penuh dengan noda lembab. Hari ini sama seperti kemarin—panas, melelahkan, dan penuh dengan rasa kecewa. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk bangkit, tapi dunia seolah tak lagi menginginkannya. Tiba-tiba, suara dari televisi di ruang tamu menarik perhatiannya. Suara riuh penggemar, teriakan histeris, dan dentuman musik memenuhi rumah kecil itu. Sandi bangkit perlahan, berjalan menuju ruang tamu dengan rasa penasaran. Di layar, sebuah konser besar sedang disiarkan secara langsung. Lampu sorot berkedip, dan di tengah panggung, seorang pria muda berdiri dengan penuh percaya diri. Seorang pria yang sangat ia kenal. Andro. Adiknya yang dulu selalu tertinggal di sekolah. Yang dulu sering dihina karena tidak secerdas Sandi. Yang dulu selalu berlindung di balik bayangannya. Kini, Andro berdiri di atas panggung megah, dikelilingi oleh ribuan penggemar yang meneriakkan namanya. Dengan jaket kulit, rambut
Langit sore memancarkan warna jingga yang suram ketika Sandi melangkahkan kakinya ke halaman rumah orang tuanya. Sudah bertahun-tahun ia tidak menginjakkan kaki di sini, dan kini, pulang dalam keadaan seperti ini terasa seperti kekalahan. Dulu, ia adalah kebanggaan keluarga. Si jenius yang selalu menjadi nomor satu di sekolah, yang membangun bisnisnya sendiri dari nol dan pernah masuk dalam jajaran pengusaha muda paling berpengaruh. Sekarang? Ia hanya seorang mantan narapidana yang bahkan tidak bisa mencari pekerjaan. Sandi mengetuk pintu dengan ragu. Tak lama, pintu terbuka, menampilkan wajah ibunya—Bu Rina. Mata perempuan itu membesar, seolah tak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya. "Sandi..." suaranya bergetar. Sandi menunduk, merasa terlalu malu untuk menatap ibunya. "Ma... Boleh aku tinggal di sini sebentar?" Bu Rina menutup mulutnya dengan tangan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ya Allah, anakku..." Tanpa banyak tanya, ia langsung menarik Sandi ke dalam pelukan
Sandi melangkah keluar dari gerbang penjara dengan langkah berat. Matahari menyengat kulitnya, mengingatkan bahwa dunia di luar masih berjalan tanpa dirinya. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar. Di dalam sana, hari-harinya berlalu lambat, dipenuhi rasa bersalah dan kemarahan yang ia telan sendiri. Kini ia bebas. Tapi kebebasan ini terasa kosong. Tak ada siapa pun yang menjemput. Tak ada sahabat, keluarga, atau bahkan Nadine, mantan istrinya. Ia menghela napas panjang, lalu melangkah menuju halte bus terdekat. Tangannya merogoh saku jaket tua yang ia bawa sejak masuk ke dalam penjara. Isinya hanya beberapa lembar uang yang diberikan petugas sebelum ia keluar. Cukup untuk ongkos bus dan mungkin sebungkus rokok. Selama perjalanan, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke saat-saat di mana ia masih punya segalanya—keluarga, bisnis, dan kehormatan. Semua itu hancur karena satu kesalahan. Perusahaannya bangkrut, lalu kasus hukum menjeratnya. Namun, yang paling menyakitkan bukanlah kehil
Di sebuah jalan sepi yang diterangi lampu jalan temaram, Sandi melaju dengan mobil hitamnya yang tersisa. Hatinya berdegup kencang saat ia menuju sebuah vila kecil yang pernah menjadi tempat Karina menghabiskan waktu bersama. Setiap tikungan jalan diiringi dengan bisikan amarah dan dendam yang telah lama terpendam.Sesampainya di depan pintu gerbang vila, Sandi keluar dari mobil dengan langkah cepat dan penuh tekad. Ia menyelinap ke pekarangan, mendekati pintu utama dengan hati-hati. Di balik jendela, terlihat sosok Karina yang sedang membaca di ruang tamu dengan lampu meja menyinari wajahnya.Dengan napas tercekik, Sandi menekan pintu dengan keras. Pintu terbuka, dan tanpa sempat Karina berteriak, Sandi sudah mendekat dengan pisau terhunus di tangannya."Karina!" teriak Sandi, suaranya penuh kebencian. "Kau pikir aku akan terus terpuruk karena ulahmu?"Karina terkejut, segera bangkit dan melangkah mundur. "Sandi, apa yang kau lakukan? Tenanglah!" serunya, berusaha menjauh dari ancama