LOGINPesta itu akhirnya selesai. Namun kekacauannya tidak. Ayu merasa hancur lebur. Rasanya seperti seisi kota menyaksikan kejatuhannya.
Semua tatapan sinis, semua bisikan tajam. Sasha datang dengan gaun yang membuat semua orang terperangah. Ayu seperti bunga yang layu di sampingnya.
Yang paling menyakitkan, Bima. Ia menyapa Sasha dengan hangat. Pelukan biasa, tetapi di mata Ayu, itu terasa sangat lama. Hatinya tercabik-cabik.
Ayu mencoba bertahan. Tersenyum sampai pipi terasa sakit. Tetapi Ratna terus mencari cara untuk menjatuhkannya.
“Ayu, tolong ambilkan sampanye,” perintahnya di depan tamu. Seolah-olah Ayu adalah seorang pelayan.
Bima melihat, tetapi hanya diam saja. Ayu merasa harga dirinya diinjak-injak. Namun ia tetap berjalan, mengambilkan sampanye.
Malam itu, rumah sunyi senyap. Bima langsung masuk kamar. Seolah tidak terjadi apa-apa. Ayu tidak bisa tidur.
Ia turun ke ruang kerja Bima. Mungkin ia mencari sesuatu. Apa saja. Bukti bahwa perasaannya tidak salah. Ruang kerja itu biasanya terkunci, tetapi malam ini tidak.
Ayu masuk perlahan-lahan. Jantungnya berdebar kencang. Ini pertama kalinya ia masuk tanpa izin. Rasanya seperti pencuri.
Ia melihat meja kerja yang rapi. Komputer, beberapa berkas. Lalu matanya tertuju pada laci kecil di samping. Laci itu sedikit terbuka.
Ayu menarik laci itu. Isinya uang receh. Klip kertas, pulpen, nota-nota kecil. Ia membongkarnya perlahan-lahan. Tangannya terus gemetar.
Tiba-tiba, jarinya menyentuh kertas yang agak tebal. Ia mengambilnya. Itu adalah kuitansi. Dari hotel mewah di sudut kota. Namanya The Grand Lavender.
Ayu membaca detailnya. Kamar suite untuk satu malam. Atas nama Bima. Tanggal pemesanannya... Ayu membacanya lagi.
Tidak mungkin. Itu adalah tanggal di mana Bima berkata ada rapat mendadak di luar kota. Ia pamit pagi-pagi, pulang besok siang.
“Aku harus menginap,” katanya waktu itu. Ayu sangat ingat. Karena ia sempat khawatir. “Hati-hati di jalan,” pesannya. Bima hanya mencium keningnya dengan cepat, lalu pergi.
Sekarang kuitansi ini menceritakan kisah lain. Ia tidak rapat di kota lain. Ia menginap di hotel mewah, hanya 30 menit dari rumah mereka.
Ayu memegang kuitansi itu kuat-kuat. Kertasnya hampir sobek. Napasnya menjadi berat. Ia tidak bisa berpikir jernih. Ia mencoba mencari lagi di laci.
Mungkin ada bukti lain. Tapi tidak ada. Hanya kuitansi hotel itu. Tetapi itu sudah cukup. Bom waktu.
Ayu membawa kuitansi itu ke kamarnya. Ia menyembunyikannya di balik buku hariannya yang lama. Tempat yang aman. Tidak ada yang akan mencari.
Keesokan paginya, Bima sarapan seperti biasa. Ayu memperhatikannya baik-baik. Ia terlihat tenang. Seolah tidak punya dosa.
“Kemarin kamu pulang bareng siapa?” tanya Ayu mencoba. Suaranya dibuat santai. Bima terkejut sedikit.
"Lho? Aku pulang sendiri. Kenapa?”
“Aku liat ada mobil merah ngikutin kamu,” bohong Ayu.
Bima langsung bersikap defensif. “Mana mungkin? Kamu lagi ngelamun ya?”
“Mungkin aku salah liat,” Ayu mundur.
Tetapi ia menambahkan, “Rapat di luar kota kemarin itu lancar?” Bima mengangguk, sambil terus makan.
“Iya, lancar. Capek aja di jalan.” Ayu tidak tahan.
“Di hotel mana kamu menginap? Kalau ada apa-apa, aku bisa telepon.”
Bima menyahut, “Hotel biasa. Kamu nanya-nanya banget sih akhir-akhir ini.” Ia mulai kesal. Ayu merasa harus berhenti. Bima menggerutu,
“Urusan kantor, kamu nggak akan ngerti.”
“Coba aja jelasin,” desak Ayu. Bima langsung meledak. Ia meletakkan sendoknya dengan keras.
“Apa sih maumu? Sekarang kamu mau memata-matai aku?” Suaranya keras. Ayu terkejut.
Ia tidak menyangka reaksinya sebesar itu. “Aku cuma...”
“Cuma apa? Cuma nggak percaya sama aku?” potong Bima.
“Keluargaku sudah bilang. Kamu nggak cocok sama dunia kami. Sekarang aku yang ngerasain.” Kata-katanya seperti pisau.
Ayu tidak bisa menjawab. Ia hanya bisa melihat Bima mengambil kuncinya dan pergi. Pintu dibanting. Ayu sendirian lagi di meja makan.
Sepanjang hari itu, Ayu tidak tenang. Kuitansi hotel itu seperti membakar pikirannya. Ia bolak-balik melihat barang bukti itu.
Akhirnya sore harinya, ia memutuskan. Ia akan mengecek hotelnya. Mungkin ada informasi lain. Atau hanya agar ia yakin.
Tetapi sebelum sempat pergi, Bima pulang lebih awal. Hal yang sangat jarang terjadi. Wajahnya tegang.
“Aku ada meeting dadakan malam ini,” katanya.
“Meeting malam?” tanya Ayu.
“Iya, sama klien dari luar negeri. Mereka baru sampai.” Bima buru-buru berganti baju. Hanya memakai kemeja biasa.
“Kok nggak pakai jas?” tanya Ayu lagi. Bima terlihat kesal ditanya.
“Kliennya santai. Nggak perlu formal.” Ia mencium kening Ayu dengan cepat.
“Jangan tungguin aku tidur,” katanya. Lalu ia pergi.
Ayu berdiri di depan jendela. Ia melihat mobil Bima keluar dari garasi. Tetapi anehnya, ia tidak berbelok ke arah kantor. Ia berbelok ke kiri. Menuju ke arah pusat kota.
Ayu sadar. Jantungnya berdebar kencang. Ia buru-buru mengambil jaket dan tas. Lari ke garasi, mengambil mobilnya yang kecil. Ia harus tahu. Ia tidak bisa hanya diam saja.
Ayu mengikutinya dari jarak yang aman. Jauh di belakang. Lampu merah, lampu hijau. Mobil Bima akhirnya masuk ke jalan besar.
Kemudian, ia berbelok ke sebuah jalan khusus. Di ujung jalan, terdapat bangunan megah dengan lampu-lampu neon. The Grand Lavender. Persis seperti di kuitansi.
Mobil Bima masuk ke parkiran hotel. Ayu parkir di seberang jalan. Tangannya dingin, berkeringat. Ia melihat Bima turun dari mobil. Lalu ada seorang wanita datang menyambut.
Dari kejauhan, Ayu bisa mengenalinya. Rambut panjang pirang. Bahasa tubuh yang percaya diri. Itu Sasha. Bima memeluknya. Lalu mereka masuk ke hotel berdua.
Ayu tidak bisa bergerak. Ia seperti patung. Padahal ia sudah menduga. Tetapi melihat dengan mata kepala sendiri... itu sangat berbeda. Sakitnya tidak bisa dideskripsikan.
Seperti ditusuk-tusuk di dada. Ia tidak bisa menangis. Hanya bisa terpaku, melihat pintu hotel yang mereka masuki.
Berapa lama ia di sana? Ayu tidak tahu. Yang ia tahu, dunianya benar-benar hancur sekarang. Semua kecurigaannya terbukti.
Suaminya, orang yang ia cintai, sedang bersama mantan pacarnya. Di hotel mewah. Sementara ia duduk sendirian di mobil butut.
Ayu akhirnya menyalakan mesin. Ia pulang. Perjalanan pulang terasa seperti mimpi buruk. Semuanya buram. Ia tidak ingat jalan yang dilewati.
Sampai di rumah, ia langsung masuk kamar. Ratna sudah tidur. Rumahnya gelap dan sunyi. Sesuai dengan hatinya.
Ia mengambil kuitansi hotel dan rambut pirang tadi. Ia menyimpannya di plastik klip. Lalu ia mengambil satu barang lagi. Foto pernikahan mereka. Ia melihat foto itu. Ia tersenyum bahagia di foto. Bima juga.
Sekarang ia tahu, senyum itu palsu dari sisi Bima. Ayu meletakkan foto itu di laci. Ia tidak mau melihatnya lagi. Mungkin besok ia akan membuangnya. Atau membakarnya. Tetapi belum sekarang.
Malam itu, Bima tidak pulang. Ayu menerima SMS pukul satu pagi. “Meeting molor. Aku nginep di dekat kantor. Jangan tunggu.” Ayu membaca SMS itu berkali-kali.
“Aku nginep di dekat kantor.” Bohong. Ia menginap di The Grand Lavender. Bersama Sasha.
Ayu menghapus SMS itu. Ia tidak mau ada jejak kebohongan di ponselnya. Tetapi di hatinya, jejak itu sudah tidak bisa dihapus. Ia akhirnya menangis.
Menangis tersedu-sedu. Sendirian di ranjang besar yang dingin. Tidak ada yang mendengar. Tidak ada yang peduli.
Keesokan harinya, ia harus kembali menjadi istri yang tersenyum. Tetapi Ayu tahu, sesuatu sudah berubah.
Ia tidak bisa terus seperti ini. Ia butuh rencana. Butuh bukti lebih banyak. Butuh kekuatan untuk melawan. Karena jika tidak, ia akan benar-benar dihancurkan. Dan ia tidak mau menjadi korban selamanya.
Waktunya untuk bertindak. Diam-diam, tetapi pasti. Ini adalah perang, dan Ayu tidak mau kalah.
Sasha Kirana datang ke kantor Ayu tanpa janji temu. Wajahnya memancarkan senyum ramah yang terlalu sempurna untuk dipercaya.“Ayu! Lama banget nggak ketemu,” ujarnya sambil merentangkan tangan untuk sebuah pelukan.Ayu menghindar dengan halus, hanya memberikan jabat tangan yang singkat. “Nama saya Anastasia. Dan ada yang bisa saya bantu?”Sasha tertawa kecil, memainkan rambut pirangnya. “Masih sakit hati, ya? Aku datang sebagai teman, kok. Bukan sebagai musuh.”Mereka duduk di sofa ruang kerja yang luas. Sasha memandang sekeliling dengan mata yang penuh penilaian.“Kantor yang bagus. Lebih baik dari yang punya Bima dulu,” komentarnya sambil menyilangkan kaki.“Apa keperluanmu, Sasha? Saya punya jadwal yang padat.” Ayu tidak ingin bermain-main.“Aku cuma ingin mengucapkan selamat. Sekaligus menawarkan kerja sama.” Sasha membuka tas Chanel-nya, mengeluarkan proposal
Bima menelepon tiga hari setelah percakapan singkat di kantor. “Aku di bawah apartemenmu. Bisa turun? Atau aku boleh naik?” suaranya serius.Ayu hampir nolak. Tapi penasaran juga. Apa lagi yang mau dia omongin? “Aku turun. 5 menit.” Dia gak mau Bima masuk ke ruang pribadinya.Mereka ketemu di lobby cafe apartemen yang sepi. Bima keliatan kecapekan, tapi matanya lebih jernih. “Makasih udah mau ketemu,” katanya sambil pesen dua kopi.“Saya cuma punya waktu 30 menit,” kata Ayu langsung batasin. Bima manggut. “Cukup. Aku mau cerita yang bener. Semuanya. Gak ada yang ditutup-tutupi lagi.”“Aku mulai dari pernikahan kita,” mulai Bima, tangan nya megang gelas panas. “Ayahku sekarat waktu itu. Kanker. Dia panggil aku, Dion, Ibu.”Ayu dengerin, wajah datar. Dia udah dengar versi ini sebelumnya. Tapi mungkin ada detil yang dia lewatin.“Dia bilang, ‘Kamu ha
Besoknya, Ayu langsung eksekusi. Dia dateng ke kantor jam 7 pagi, sebelum siapa pun dateng. Langsung menuju ke lantai direksi.Kantor direktur utamanya gede banget. Seluas apartemen studio. View ke seluruh kota. Selama ini jadi kerajaan kecil buat Bima (dan sebelumnya ayahnya).Ayu kasih instruksi ke asistennya. "Keluarin semua barang personal Bima. Pindahin ke ruang wakil direktur di lantai 6. Dengan hati-hati ya."Asistennya bingung, tapi nurut. Mereka pindahin foto keluarga, piala golf, buku-buku Bima. Dalam sejam, kantor itu udah kosong melompong.Ayu masuk, hirup udaranya. Ini sekarang wilayah dia. Dia duduk di kursi empuk direktur. Rasanya... powerful banget. Dari istri yang diabaikan jadi pemilik segalanya.Jam 9, karyawan pada berdatangan. Gosip langsung meletus. "Kantor pak Bima dikosongin!" "Katanya sih yang masuk cewek baru?" "Ih, siapa tuh?"Mereka pada penasaran banget. Lalu mereka liat Ayu jalan ke ruang rapat besar, dikeliling
Rapat dewan perusahaan Bima Kencana akhirnya digelar. Suasananya so formal, berisik banget. Dion yang pimpin rapat, sombongnya minta ampun.Dia duduk di kursi direktur utama, gaya-gaya pengusaha sukses. Padahal selama ini cuma numpang nama keluarga. Kerjanya cuma cari sensasi.Ayu dateng tepat waktu, masuk tanpa gebrak-gebruk. Dia pake business suit abu-abu, tas kulit, keliatan banget beda. Semua orang pada nengok.Mereka bingung. Kenapa si "istri Bima" yang disia-siain ini dateng? Pasti cuma mau cari perhatian lagi. Beberapa anggota dewan bahkan cemberut.Dion langsung ngedumel. "Ini rapat tertutup. Cuma untuk anggota dewan dan direksi," katanya sinis. Kayak lagi ngusir anak kecil.Ayu cuma senyum tipis. "Saya tau. Makanya saya datang." Dia jalan ke meja panjang, cari tempat duduk. Tapi nggak ada yang kosong.Dion ketawa dikit. "Kursi udah penuh, Mbak. Mungkin salah ruangan? Rapat arisan ibu-ibu ada di lantai bawah." Beberapa orang ikut ketawa.Tapi Ayu nggak tersinggung. Dia malah j
Belum sempat Ayu mencari surat itu, masalah baru sudah datang lebih dulu. Ratna ternyata tidak tinggal diam; dia masih punya kartu terakhir.Pagi-pagi, bel rumah berbunyi. Ayu sedang sarapan sendiri. Pelayan membuka pintu, dan ada dua orang di sana: satu pengacara tua yang Ayu kenal, dan satu pengawal.Ratna sendiri tidak datang, mungkin malu atau takut. Namun, dia mengirim wakilnya. "Selamat pagi, Ibu Ayu," kata pengacara itu, terkesan sok santai."Mau apa?" tanya Ayu, tidak mau basa-basi. Dia tahu ini tidak akan baik. Pengacara itu mengeluarkan map dari tas kulit mahal."Atas nama Nyonya Ratna, saya membawa dokumen penting. Mohon dibaca dan... ditandatangani." Dia menggeser map itu ke meja Ayu.Ayu membukanya. Judulnya besar: "PERJANJIAN PRA-PERCERAIAN DAN PENYELESAIAN HAK." Isinya membuat darahnya mendidih. Intinya: Ayu harus pergi dengan sukarela.Dengan syarat, dia tidak membawa apa-apa dari rumah ini. Bukan cuma harta, bahkan baju dan perhiasan pribadi pun tidak boleh dibawanya.
Seminggu setelah menemukan surat-surat itu, Ayu masih sangat penasaran. Meskipun sudah ada bukti, semua masih berupa teka-teki. Dia membutuhkan kunci jawaban.Ayu akhirnya menelepon detektif yang dulu pernah ia hubungi, yang memberinya foto Bima dan Sasha. "Saya butuh bantuan lagi," katanya langsung to the point."Mau selidiki apa lagi? Suami masih bandel?" canda detektif itu. "Lebih dari itu. Saya mau selidiki kecelakaan 20 tahun lalu, yaitu kematian orang tua saya."Detektif itu langsung serius. "Itu berat, Bu. Sudah sangat lama. Arsip polisi mungkin sudah hilang atau tersimpan." "Tapi bisa dicoba kan? Saya bayar dua kali lipat."Uang sekarang bukan lagi masalah bagi Ayu. Sebagai pemilik mayoritas perusahaan, akses dananya menjadi mudah. Paman Li juga setuju untuk mendanai investigasi ini.Dua hari kemudian, detektif itu datang ke apartemen baru Ayu. Dia membawa map tebal, raut wajahnya terlihat sangat serius. "Saya nemu sesuatu. Tapi ini... sensitif."Ayu menyuruhnya duduk dan memb







