เข้าสู่ระบบIa tidak bisa menahan diri lagi. Ayu sudah tahu terlalu banyak. Ia tidak mau hidup dalam kebohongan. Keputusannya sudah bulat: ia akan berkonfrontasi.
Pertama, ia butuh bukti yang lebih konkret. Kuitansi hotel dan rambut pirang itu belum cukup. Bima pasti akan beralibi dengan mudah.
Ayu mencari ‘detektif swasta terpercaya’ di G****e. Ia sedikit takut. Tetapi ia nekat. Ia memilih satu yang alamatnya jauh dari rumahnya. Ia bertemu detektifnya di sebuah kafe sepi. Pria tua, terlihat biasa saja.
“Saya perlu tahu kebenaran,” kata Ayu langsung to the point. Detektif itu mengangguk.
“Targetnya?” tanyanya sambil menyalakan rekaman kecil.
“Suami saya. Bima. Saya curiga dia selingkuh.” Ayu memberikan foto Bima, nomor pelat mobil, dan jadwal rutinnya. Juga nama Sasha Kirana.
“Cek hubungan mereka,” pinta Ayu.
Detektif itu berjanji akan memberikan perkembangan. Ayu membayar deposit. Sekembalinya, ia merasa campur aduk. Lega sudah mengambil tindakan, tetapi juga takut akan hasilnya.
Tiga hari kemudian, ia menerima paket. Tanpa nama pengirim. Isinya satu map cokelat. Ayu membukanya dengan tangan gemetar.
Isinya foto-foto. Hitam putih, tetapi sangat jelas. Foto pertama: Bima dan Sasha sedang makan malam di restoran mewah.
Mereka duduk berdua di sudut yang romantis. Lilin, anggur, bunga di meja. Sasha sedang tertawa. Bima tersenyum, tatapannya penuh perhatian.
Foto kedua: mereka sedang berpegangan tangan di atas meja. Sangat intim. Bukan hubungan bisnis. Ini jelas kencan.
Foto ketiga: mereka keluar restoran berdua. Bima memegangi jaket Sasha. Lalu... ia mencium pipi Sasha. Bukan ciuman biasa. Lama.
Ayu tidak bisa bernapas. Foto-foto itu seperti pukulan bertubi-tubi. Bukti yang ia minta sudah ada. Sekarang, ia harus menghadapi kenyataan.
Malam itu, Ayu menunggu Bima pulang kerja. Ia menyiapkan semua bukti: foto-foto, kuitansi hotel, rambut pirang.
Di meja ruang tamu. Bima pulang agak malam. Terlihat lelah. Ia melepas sepatu, dan berniat langsung ke kamar. Bima berhenti, meliriknya.
“Lagi capek nih. Besok aja ya.” “Nggak. Sekarang,” desak Ayu. Ia berdiri, menghalangi jalan Bima ke kamar. Bima terlihat terkejut. Ayu jarang bersikap seperti ini.
“Apa sih yang penting banget?” Bima mulai kesal. Ayu menarik napas dalam.
“Aku tau soal kamu dan Sasha.” Bima terdiam sesaat. Wajahnya sedikit berubah. Tetapi ia mencoba tenang.
“Sasha? Dia cuma rekan bisnis. Kamu jangan parno.”
“Reakan bisnis nggak kencan berduaan di restoran romantis,” balas Ayu. Ia melempar foto pertama ke sofa. Bima melihat, matanya terbelalak.
“Kamu... kamu nyuruh orang ikutin aku?” suaranya meninggi. Ia marah bercampur terkejut. Ayu mengangguk.
“Aku perlu tahu kebenaran.” “Ini nggak etis! Kamu gila ya?” teriak Bima. Ayu tidak gentar. “Yang nggak etis itu kamu selingkuh, Bima.”
Ia melempar foto lainnya. Yang mereka berpegangan tangan. Yang Bima mencium pipi Sasha. Bima diam, wajahnya memerah. Marah atau malu?
“Ini bisa dijelasin,” kata Bima lemah. Ayu tertawa getir.
“Jelasin apa? Kalau ciuman di pipi itu salam bisnis?” Bima mengambil foto-foto itu. Dia mau sobek.
“Jangan!” teriak Ayu.
“Itu copy-an. Aslinya ada di tempat aman.” Bima berhenti. Ia merasa terjebak.
“Apa maumu, Ayu? Uang? Mau ancam aku?” Ayu menggeleng pelan. “Aku mau jawaban jujur.”
“Siapa Sasha buat kamu?” tanya Ayu, suaranya kecil. Suaranya mulai gemetar. Air mata sudah hampir meluap. Tetapi ia menahannya. Bima diam lama. Ruangan sangat sunyi. Akhirnya, ia berbicara.
“Dulu... dia cuma mantan. Tapi sekarang...”
“Sekarang apa?” desak Ayu. Bima menarik napas dalam.
“Sekarang dia lebih dari itu. Kami... masih punya perasaan.”
Ayu seperti dipukul secara fisik. Padahal sudah tahu, tetapi mendengar pengakuan sendiri terasa sangat sakit.
“Jadi selama ini, kamu bohong.”
“Aku coba move on,” kata Bima.
“Tapi nggak bisa. Setiap lihat kamu, aku ingat...” ia berhenti.
“Ingat apa?” tanya Ayu.
“Ingat kalau pernikahan kita cuma paksaan,” ucap Bima akhirnya. Ayu mundur selangkah.
“Paksaan? Dari siapa?” “Ayahku. Sebelum meninggal, dia maksa aku nikah sama kamu. Itu permintaan terakhirnya,” jelas Bima, tidak melihat mata Ayu.
Ayu tidak percaya. “Kenapa? Kenapa harus aku?” Bima mengangkat bahu.
“Dia bilang, itu buat tebus dosa. Aku nggak tau detailnya.”
“Dan kamu nurut aja?” Ayu tidak paham.
“Dia ayahku. Aku nggak bisa nolak,” jawab Bima.
“Tapi aku nggak pernah cinta kamu, Ayu.” Kalimat itu. Terakhir. Tajam seperti pisau silet.
“Aku nggak pernah menginginkanmu,” ulang Bima, kali ini melihat mata Ayu.
Ayu tidak bisa menangis. Ia mati rasa. Sekarang ia mengerti. Semua sikap dingin Bima, semua penghinaan Ratna. Mereka tidak menginginkannya.
Ia hanya alat. Untuk menghibur orang tua yang sekarat. Untuk menutupi dosa keluarga yang ia tidak mengerti. Ia hanyalah istri 'di atas kertas'.
“Jadi selama ini... kamu sama Sasha terus?” tanya Ayu, suaranya kecil. Bima mengangguk pelan.
“Kami coba putus, tapi nggak bisa.”
“Hotel The Grand Lavender itu?” Ayu mengingatkan. Bima mengangguk.
“Iya. Kami ketemuan di sana. Soalnya aman.” Ayu tertawa. Tawa yang sangat getir.
“Aman dari aku. Istri yang nggau kamu inginkan.” Bima hanya diam. Ia terlihat tidak punya penyesalan.
“Apa rencanamu? Cerai?” tanya Ayu. Bima menggeleng.
“Belum. Ibu belum setuju. Masalah keluarga, reputasi.”
“Oh, jadi aku harus terus jadi patung di rumah ini? Lihat kamu selingkuh?” Ayu mulai naik pitam.
“Aku nggak tahan lagi, Bima!”
“Kamu bisa apa?” tantang Bima tiba-tiba.
“Kamu nggak punya apa-..."
... “Kamu nggak punya apa-apa, Ayu. Nggak punya keluarga, uang, atau kekuatan.” Ia maju selangkah.
“Terima saja keadaan ini. Tetap di sini, hidup enak, tapi jangan pernah mengharapkan cintaku.” Ayu tidak menyangka tingkat kekejaman Bima. Ia berharap Bima sedikit merasa bersalah. Ternyata tidak. Ia bersikap acuh tak acuh.
“Aku nggak mau hidup kayak gini,” bisik Ayu. Bima tertawa sinis. “Pilihan ada di tanganmu. Tapi ingat, keluar dari sini, kamu akan miskin.”
Akhirnya ia masuk ke kamar tidur. Ayu ditinggalkan sendirian. Ia berjongkok, memeluk dirinya sendiri.
Baru kali ini ia menangis sejadi-jadinya. Namun, di tengah tangisannya, ada sesuatu yang berubah. Rasa sakit itu bertransformasi menjadi kekuatan.
Bima mengatakan ia tidak punya apa-apa. Mungkin saat ini iya, tetapi ia bisa mendapatkannya. Ia akan mencari cara. Ia akan melawan.
Mereka mengira ia lemah? Mereka salah besar. Ayu mengumpulkan semua bukti tadi, menyimpannya dengan rapi. Ini akan menjadi senjatanya nanti.
Ia akan mencari tahu soal ‘dosa’ yang ditebus oleh ayah Bima. Mengapa ia dipaksa menikah? Apa hubungannya dengan masa lalunya?
Sasha Kirana datang ke kantor Ayu tanpa janji temu. Wajahnya memancarkan senyum ramah yang terlalu sempurna untuk dipercaya.“Ayu! Lama banget nggak ketemu,” ujarnya sambil merentangkan tangan untuk sebuah pelukan.Ayu menghindar dengan halus, hanya memberikan jabat tangan yang singkat. “Nama saya Anastasia. Dan ada yang bisa saya bantu?”Sasha tertawa kecil, memainkan rambut pirangnya. “Masih sakit hati, ya? Aku datang sebagai teman, kok. Bukan sebagai musuh.”Mereka duduk di sofa ruang kerja yang luas. Sasha memandang sekeliling dengan mata yang penuh penilaian.“Kantor yang bagus. Lebih baik dari yang punya Bima dulu,” komentarnya sambil menyilangkan kaki.“Apa keperluanmu, Sasha? Saya punya jadwal yang padat.” Ayu tidak ingin bermain-main.“Aku cuma ingin mengucapkan selamat. Sekaligus menawarkan kerja sama.” Sasha membuka tas Chanel-nya, mengeluarkan proposal
Bima menelepon tiga hari setelah percakapan singkat di kantor. “Aku di bawah apartemenmu. Bisa turun? Atau aku boleh naik?” suaranya serius.Ayu hampir nolak. Tapi penasaran juga. Apa lagi yang mau dia omongin? “Aku turun. 5 menit.” Dia gak mau Bima masuk ke ruang pribadinya.Mereka ketemu di lobby cafe apartemen yang sepi. Bima keliatan kecapekan, tapi matanya lebih jernih. “Makasih udah mau ketemu,” katanya sambil pesen dua kopi.“Saya cuma punya waktu 30 menit,” kata Ayu langsung batasin. Bima manggut. “Cukup. Aku mau cerita yang bener. Semuanya. Gak ada yang ditutup-tutupi lagi.”“Aku mulai dari pernikahan kita,” mulai Bima, tangan nya megang gelas panas. “Ayahku sekarat waktu itu. Kanker. Dia panggil aku, Dion, Ibu.”Ayu dengerin, wajah datar. Dia udah dengar versi ini sebelumnya. Tapi mungkin ada detil yang dia lewatin.“Dia bilang, ‘Kamu ha
Besoknya, Ayu langsung eksekusi. Dia dateng ke kantor jam 7 pagi, sebelum siapa pun dateng. Langsung menuju ke lantai direksi.Kantor direktur utamanya gede banget. Seluas apartemen studio. View ke seluruh kota. Selama ini jadi kerajaan kecil buat Bima (dan sebelumnya ayahnya).Ayu kasih instruksi ke asistennya. "Keluarin semua barang personal Bima. Pindahin ke ruang wakil direktur di lantai 6. Dengan hati-hati ya."Asistennya bingung, tapi nurut. Mereka pindahin foto keluarga, piala golf, buku-buku Bima. Dalam sejam, kantor itu udah kosong melompong.Ayu masuk, hirup udaranya. Ini sekarang wilayah dia. Dia duduk di kursi empuk direktur. Rasanya... powerful banget. Dari istri yang diabaikan jadi pemilik segalanya.Jam 9, karyawan pada berdatangan. Gosip langsung meletus. "Kantor pak Bima dikosongin!" "Katanya sih yang masuk cewek baru?" "Ih, siapa tuh?"Mereka pada penasaran banget. Lalu mereka liat Ayu jalan ke ruang rapat besar, dikeliling
Rapat dewan perusahaan Bima Kencana akhirnya digelar. Suasananya so formal, berisik banget. Dion yang pimpin rapat, sombongnya minta ampun.Dia duduk di kursi direktur utama, gaya-gaya pengusaha sukses. Padahal selama ini cuma numpang nama keluarga. Kerjanya cuma cari sensasi.Ayu dateng tepat waktu, masuk tanpa gebrak-gebruk. Dia pake business suit abu-abu, tas kulit, keliatan banget beda. Semua orang pada nengok.Mereka bingung. Kenapa si "istri Bima" yang disia-siain ini dateng? Pasti cuma mau cari perhatian lagi. Beberapa anggota dewan bahkan cemberut.Dion langsung ngedumel. "Ini rapat tertutup. Cuma untuk anggota dewan dan direksi," katanya sinis. Kayak lagi ngusir anak kecil.Ayu cuma senyum tipis. "Saya tau. Makanya saya datang." Dia jalan ke meja panjang, cari tempat duduk. Tapi nggak ada yang kosong.Dion ketawa dikit. "Kursi udah penuh, Mbak. Mungkin salah ruangan? Rapat arisan ibu-ibu ada di lantai bawah." Beberapa orang ikut ketawa.Tapi Ayu nggak tersinggung. Dia malah j
Belum sempat Ayu mencari surat itu, masalah baru sudah datang lebih dulu. Ratna ternyata tidak tinggal diam; dia masih punya kartu terakhir.Pagi-pagi, bel rumah berbunyi. Ayu sedang sarapan sendiri. Pelayan membuka pintu, dan ada dua orang di sana: satu pengacara tua yang Ayu kenal, dan satu pengawal.Ratna sendiri tidak datang, mungkin malu atau takut. Namun, dia mengirim wakilnya. "Selamat pagi, Ibu Ayu," kata pengacara itu, terkesan sok santai."Mau apa?" tanya Ayu, tidak mau basa-basi. Dia tahu ini tidak akan baik. Pengacara itu mengeluarkan map dari tas kulit mahal."Atas nama Nyonya Ratna, saya membawa dokumen penting. Mohon dibaca dan... ditandatangani." Dia menggeser map itu ke meja Ayu.Ayu membukanya. Judulnya besar: "PERJANJIAN PRA-PERCERAIAN DAN PENYELESAIAN HAK." Isinya membuat darahnya mendidih. Intinya: Ayu harus pergi dengan sukarela.Dengan syarat, dia tidak membawa apa-apa dari rumah ini. Bukan cuma harta, bahkan baju dan perhiasan pribadi pun tidak boleh dibawanya.
Seminggu setelah menemukan surat-surat itu, Ayu masih sangat penasaran. Meskipun sudah ada bukti, semua masih berupa teka-teki. Dia membutuhkan kunci jawaban.Ayu akhirnya menelepon detektif yang dulu pernah ia hubungi, yang memberinya foto Bima dan Sasha. "Saya butuh bantuan lagi," katanya langsung to the point."Mau selidiki apa lagi? Suami masih bandel?" canda detektif itu. "Lebih dari itu. Saya mau selidiki kecelakaan 20 tahun lalu, yaitu kematian orang tua saya."Detektif itu langsung serius. "Itu berat, Bu. Sudah sangat lama. Arsip polisi mungkin sudah hilang atau tersimpan." "Tapi bisa dicoba kan? Saya bayar dua kali lipat."Uang sekarang bukan lagi masalah bagi Ayu. Sebagai pemilik mayoritas perusahaan, akses dananya menjadi mudah. Paman Li juga setuju untuk mendanai investigasi ini.Dua hari kemudian, detektif itu datang ke apartemen baru Ayu. Dia membawa map tebal, raut wajahnya terlihat sangat serius. "Saya nemu sesuatu. Tapi ini... sensitif."Ayu menyuruhnya duduk dan memb







