Nazwa mengingat malam di mana Reza pertama kali melamarnya. Pria itu datang bersama kedua orang tuanya, mengkhitbahnya langsung di depan bapaknya.
Sebenarnya Nazwa dan Reza sudah mengenal sejak kecil. Karena kedua orang tua mereka berteman baik dan memang berencana menjodohkan anak mereka. Namun, sejak kecil keduanya hanya sebatas tahu nama. Mereka tidak pernah dekat bahkan sekadar untuk berteman. Menjelang dewasa pun demikian. Nazwa hanya tahu sifat-sifat Reza sepintas lalu berdasarkan cerita orang tuanya waktu mendiang ibunya belum meninggal.
Yang Nazwa tahu, Reza bukan sosok yang agamis. Banyak wanita yang pernah menjadi pacarnya waktu remaja. Namun, terlepas dari itu semua, Reza juga merupakan sosok pria yang baik, lembut dan penuh perhatian. Pun sebaliknya, Reza mengenal sosok Nazwa yang sholeha dari cerita orang tuanya.
Sebagai anak yang berbakti pada orang tua, Nazwa menerima perjodohan itu karena dia percaya pilihan orang tua tidak pernah salah.
Satu hari sebelum pernikahan mereka terlaksana, malam harinya mereka berdua pernah bercakap-cakap melalui telepon.
"Aku tahu Nazwa, aku bukan lelaki sempurna dan sholeh yang pantas mendampingimu. Tapi aku mau berusaha menjadi lebih baik lagi dan pantas untukmu. Kamu mau kan bantu aku?" ucap Reza kala itu.
Nazwa tertawa mendengarnya. Lalu wanita itu menjawab. "Kita akan saling membantu. Kita punya banyak waktu untuk belajar ...."
"Kamu nanti yang akan menjadi guruku, Nazwa."
"Tapi memangnya kamu nggak malu belajar ilmu agama dari seorang wanita? Bukankah harusnya pria yang membimbing wanita-nya?" tanya Nazwa kemudian.
"Kenapa aku harus malu? Aku siap belajar apa aja bersama kamu, Nazwa," jawab Reza tanpa ragu.
"Alhamdulillah. Semoga Allah memberkati langkah kita."
"Aku nggak sabar deh nunggu hari besok."
Nazwa hanya tertawa pelan mendengarnya. Dan seiring berjalannya waktu, Nazwa semakin jatuh cinta pada Reza karena sifat baik yang ada dalam diri pria itu adalah dambaannya. Dan dia sama sekali tidak menyesal dan justru bersyukur menerima pilihan orang tuanya. Tapi hari ini semuanya berbanding terbalik.
Nazwa menangis dalam shalatnya di sepertiga malam. Wanita itu tak dapat tidur lantaran banyak masalah yang dia pikirkan belakangan ini. Hingga wanita itu memutuskan sholat tajahud, mengungkapkan perasaannya pada Allah.
Banyak hal yang dia pertanyakan dalam hatinya. Kenapa takdir pernikahannya seperti ini? Sejak awal dia tahu Reza memang jauh dari agama, tapi dia percaya pria itu bisa berubah. Dia selalu membayangkan, jika Reza berubah menjadi sosok yang sholeh, maka suaminya itu akan menjadi sosok paling sempurna yang pernah dia temukan. Sayangnya Nazwa lupa, tidak ada manusia sempurna di dunia ini.
Lantas apakah tindakannya menerima pinangan Reza tiga tahun lalu itu salah?
Di kepalanya berkelabatan adegan demi adegan. Termasuk kenangan manisnya bersama sang suami dulu. Sangat manis. Anomali dengan suasana saat ini. Dia sungguh tak menyangka, suaminya berselingkuh.
"Pernikahan itu adalah ibadah terpanjang, Nazwa. Hampir seumur hidup kita bersama pasangan kita." Nasihat bapaknya tentang pernikahan sebelum dia menikah terngiang di ingatan. "Sama halnya dengan sholat, maka melaksanakannya harus khusyuk. Tidak boleh asal, apalagi main-main. Hidup itu penuh ujian. Dan setiap pernikahan ada ujiannya masing-masing. Kuatkan iman, sabar dan ikhlas dalam menjalaninya."
"Ya Allah jika bukan karena-Mu, hamba nggak akan kuat. Kuatkanlah hamba menerima ujian ini," do'a Nazwa di sela isak tangisnya sambil menengadahkan kedua telapak tangannya dengan linangan air mata.
"Ya, Allah, bukakanlah pintu hati suami hamba, sadarkanlah dia atas kesalahan yang dia perbuat, semoga dia mau berubah dan hubungan pernikahan kami kembali baik-baik aja."
Diam-diam, Reza yang terbangun, mendengar do'a istrinya. Dan itu membuatnya merasa bersalah.
Ikuti terus bab-bab selanjutnya, ya. Terima kasih.
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya