Keesokan paginya, kala sudah menyiapkan makan untuk bapak--yang dibantu oleh sang asisten rumah tangga--dan melayani suaminya seperti biasa, Nazwa berencana menemui Nabila. Ya, sejak kemarin dia memang ingin berjumpa perempuan itu.
Dia harus cepat bertindak sebelum terlalu jauh. Dia akan melakukan apa saja untuk memperbaiki rumah tangganya. Dia harap apa yang dia lakukan ini yang terbaik demi rumah tangganya.
"Mumpung sekarang Mas Reza lagi mandi. Aku harus cari nomornya Nabila di handphone-nya," ucap Nazwa sambil meraih ponsel sang suami yang terletak di atas nakas.
Dan kebetulan ponsel Reza tidak diberi password seperti biasa. Nazwa tersenyum menatap ponsel yang ada di genggamannya itu. Pelan, dia mengklik daftar kontak sang suami. Lalu meng-scroll-nya.
Seketika dia semringah kala menemukan kontak bernama Nabila. Dia pun menyalin nomor tersebut di ponselnya dengan cepat. Ketika dia hendak meletakkan kembali benda pipih itu di atas meja, dia tiba-tiba terpikirkan sesuatu, membuatnya urung meletakkan ponsel tersebut.
Kembali dia mengotak-atik ponsel tersebut. "Maaf, Mas, bukannya aku lancang buka WA-mu, tapi aku harus tahu."
Nazwa membuka aplikasi chat berwarna hijau milik suaminya, apakah suaminya masih chatingan dengan perempuan itu?
"Kok nggak ada? Apa dia sengaja hapus chatnya?" Nazwa menghela napas. "Ya udah lah. Yang penting aku udah dapat nomor Nabila." Nazwa kembali meletakkan ponsel suaminya di atas nakas.
Dia pun bersiap-siap ganti pakaian.
***
Pagi itu sekitar pukul sembilan, Nabila sedang menikmati sarapan bersama keluarganya di rumah, ketika ponselnya di atas meja makan, berdenting. Nabila melongokkan kepala, mengintip ponselnya, ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.
From 085233xxxxxx
Maaf mengganggu waktunya. Kamu Nabila? Ini aku Nazwa. Aku mau kita ketemuan sekarang di kafe tempat biasa kamu dan suamiku ketemu. Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Kalau kamu bukan pengecut, temui aku!
Bagai guntur di siang bolong, Nabila terkejut luar biasa mendapati pesan semacam itu. Jantungnya spontan berdegup kencang bersamaan dengan matanya membelalak sempurna. Dahinya lantas berkernyit. "Ini Nazwa istrinya Reza? Nggak salah dia ngirim pesan begini ke aku?"
"Kenapa Nabila?" Ibu Nabila yang duduk di sampingnya sejak tadi, bertanya.
Nabila sontak menatap ibunya dengan raut tegang masih tersisa di mimik wajahnya. Dia memasukkan ponsel di saku celana. "Eng ...."
"Urusan pekerjaan, ya?" tanya ibunya lagi ketika Nabila malah kebingungan.
Nabila mengangguk cepat dan berusaha menetralkan raut wajahnya. "Aku harus pergi ke RS sekarang, Bu, Pak, nggak pa-pa kan?" Nabila langsung minta izin, memandangi ibu dan bapaknya bergantian. "Ada operasi dadakan soalnya."
"Ya udah kalau gitu pergi saja." Bapaknya mempersilakan.
"Nggak pa-pa, Nak," tambah ibunya lagi. "Pekerjaanmu juga penting."
Nabila tersenyum. "Makasih, ya, Bu, Pak. Kalau gitu aku pergi dulu."
"Iya, hati-hati."
Nabila berdiri dari duduknya, tergesa menuju kamar untuk mengambil tas tangan, kunci mobil dan snelli agar orang tuanya tak curiga. Berteriak pamit sekali lagi. Lantas bergegas ke luar rumah.
Jujur saja, menghabiskan waktu dengan orang tua bagi Nabila agak sulit. Dia tak seperti orang lain yang mempunyai waktu yang banyak bersama keluarga karena dirinya yang selalu sibuk.
"Nazwa, aku buktikan kalau aku bukan pengecut!" Nabila menggeram kesal. Kata-kata Nazwa di chat tadi sungguh menyinggungnya membuat harga dirinya jatuh. Dia juga penasaran apa yang ingin wanita itu bicarakan.
Pikiran Nabila benar-benar kalut. Hanya dipenuhi Nazwa dan reaksi apa yang harus dia beri nanti. Bahkan ketika dia tengah menyetir pun.
Nabila menambah kecepatan mobilnya dan fokus menyetir. Sepuluh menit kemudian, dia sampai di kafe yang dimaksud. Sebelum turun, dia mencoba menarik napas dan menghembuskannya, beberapa kali sampai dirinya tenang.
Apa pun yang terjadi semoga dia bisa menghadapinya dengan tenang. Dia menatap kaca spion depan yang menampakkan wajah cantiknya. "Kamu nggak boleh kalah, Nabila. Kamu juga nggak boleh gegabah. Kamu harus tenang. Oke?" Dia menyemangati diri. Lalu perempuan mengenakan pakaian bebas rapi--blush warna kuning dengan bawahan jins super ketat--itu turun dari mobilnya. Kaki jenjangnya yang berbalut jins melenggang menuju pintu kafe yang berbilah ganda.
Begitu dia memasuki kafe tersebut, dilihatnya perempuan berpenampilan syar'i yang amat dia kenal duduk di salah satu kursi dekat pojokan dinding. Perempuan itu asyik menunduk menatap ponsel dengan segelas minuman di hadapannya.
Nabila mendatangi meja tersebut bersamaan dengan Nazwa menatap ke arahnya. Nazwa tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. "Hei, akhirnya kamu datang juga, silakan duduk."
Nabila menarik kursi dan duduk di hadapan Nazwa.
"Mau pesan minum dulu? " tawar Nazwa lagi dengan masih tersenyum ramah. Nabila justru terheran-heran memperhatikannya. Dilihat dari gelagatnya, perempuan itu sama sekali tidak terlihat tegang atau ingin marah. Sangat berbeda jauh dengan nada bicaranya waktu di chat.
"Nggak usah. Langsung to the point aja. Kamu manggil saya ada apa?"
Apa ya yang mau Nazwa bicarakan? Ikuti terus kelanjutannya, ya, Gaes.
"Nggak usah. Langsung to the point aja. Kamu manggil saya ada apa?" Nabila tersenyum tenang. "Oh." Nazwa tertawa renyah. "Kamu pasti kaget, ya, aku tiba-tiba hubungin kamu dan ngajak ketemuan begini? Dan kamu mau datang takut dikira pengecut?" Nazwa menaikkan sebelah alisnya. Lagi, Nabila tersenyum tenang walau dia merasa janggal dengan perubahan sikap Nazwa yang selama ini dia kenal baik dan lembut. Nazwa di hadapannya sekarang tidak seperti Nazwa yang dia kenal pertama kali. Apa karena perempuan itu marah? "Nggak juga. Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" "Aku minta kamu jauhi suamiku." Nabila tertegun mendengar kalimat tak terduga itu. "Kenapa? Nggak bisa?" Nabila memasang ekspresi tak mengerti lantas terkekeh pelan. "Excuse me. Jauhi gimana maksudnya? Kamu kan tahu aku sama Reza temenan--" "Kamu lupa apa yang udah pernah aku lihat tempo hari di hotel? Dan Mas Reza sudah mengakui semuanya. Jadi kamu terus terang aja. Kalian bukan hanya sekadar teman kan?" Nabila terdiam. Jadi
Reza keluar dari kamar dengan kursi rodanya ketika dia melihat Nazwa berlari-lari kecil sambil menangis. Wanita itu duduk di kursi ruang tengah. Reza tahu, istrinya itu pasti baru pulang dari menemui Nabila. Reza pun memutar kursi rodanya, mendekat ke sang istri. "Kamu kenapa, Nazwa?" Dia pura-pura tidak tahu. Nazwa yang sedang menangis, menatap suaminya terkejut. Cepat dia menghapus air matanya. "Kamu nemuin Nabila kan?" Reza akhirnya memutuskan to the point saja karena dia tahu Nazwa takkan mau berterus terang. Nazwa lebih terkejut lagi mendengarnya. "Dari mana kamu tahu, Mas?" "Aku tahu. Nabila yang cerita semuanya. Tadi kamu bilang ke aku kamu cuma mau ke pasar. Ternyata kamu malah nemuin Nabila. Kamu udah pintar bohong sekarang, Nazwa." Reza menggeleng tak habis pikir. "Kamu juga sering bohongin aku. Kamu minta aku untuk nggak terus terang sama orang tuamu itu juga kebohongan kan?" Reza tak memedulikan pertanyaan Nazwa dan malah bertanya hal lain. "Kenapa? Kenapa kamu nemu
Akhirnya Pak Rahman di bawa ke rumah sakit menggunakan ambulans. Selama di ambulans, Nazwa terus menangis. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan bapaknya. Bahkan ketika bapaknya tiba di rumah sakit pun dia masih menangis. Dia setia duduk di sisi ranjang, sesekali menciumi tangan krisut bapaknya yang sejak tadi belum sadarkan diri. Barusan dokter mengatakan bahwa Pak Rahman terkena serangan jantung. Awalnya, Nazwa syok mendengarnya. Pasalnya selama ini dia tidak pernah tahu jika bapaknya menderita sakit jantung. Dokter juga mengatakan bahwa sakit jantungnya Pak Rahman kambuh sebab stres dan syok yang berlebihan. Nazwa tahu, bapaknya begini pasti karena melihat dirinya dan suaminya bertengkar. Bapaknya sudah semakin tua, sudah banyak menderita berbagai macam penyakit. Dia takut bapaknya meninggalkan dirinya seperti ibunya. Pasalnya banyak kasus di luar sana orang tua meninggal karena serangan jantung mendadak. Tapi untunglah, dokter sudah memeriksanya dan mengatakan kalau Pak Rahman ba
"Ka-kamu? Ngapain kamu ke sini?" "Kamu kok nanya nya gitu, Reza? Ini aku lho yang datang?" respons perempuan itu tidak terima. Lantas perempuan itu memperhatikan sekujur tubuh Reza yang duduk di atas kursi roda dan menggenggam tangan pria itu yang bertengger di atas lengan kursi. "Ya ampun Reza, kondisi kamu sekarang begini? Pakai kursi roda? Untunglah kamu masih bisa sembuh, nggak kenapa-kenapa. Aku kangen banget sama kamu. Aku udah lama nggak liat kamu." Tanpa diduga, Reza malah menarik tangannya dari genggaman perempuan itu. Wajahnya terlihat panik. "Ngapain kamu ke sini ngapain? Untung aja rumah aku nggak ada orang." Perempuan itu yang tak lain adalah Nabila tertawa. "Kamu takut, ya. Kamu bilang rumahmu nggak ada orang? Emangnya istrimu ke mana? Lagian kalau pun ada istrimu, aku malah senang ketemu dia." "Nazwa lagi di rumah sakit, bapaknya terkena serangan jantung mendadak." Nabila tampak terkejut. "Oh ada bapak mertuamu juga?" "Iya, kamu ngapain ke sini?" "Aku jengukin kam
Jam baru menunjukkan pukul sembilan malam. Tapi ruang rawat inap Pak Rahman terasa begitu sunyi senyap. Menyisakan deru AC--yang dinginnya memenuhi ruangan VIP itu--dan suara detak jam di dinding. Di ruang itu hanya ada mereka berdua--Nazwa dan Pak Rahman. Sembari menemani bapaknya yang sedang tidur, Nazwa hanya merenung sejak tadi, duduk di kursi sofa yang ada di ruangan itu, menangis memikirkan masalah yang menderanya. Perselingkuhan suaminya, pertemuannya dengan Nabila tadi pagi, dan bapaknya yang kini menderita penyakit jantung. Masalah bertubi-tubi mendera hidupnya membuat kepalanya pening. Percakapannya dengan Nabila tadi pagi tiba-tiba kembali terngiang. "Kalau udah nyangkut perasaan itu apa pun jadi rumit, Nazwa. Karena cinta nggak ada logika." "Sekarang aku cuma minta kamu jauhi suamiku. Aku minta dengan cara baik-baik. Aku mohon jauhi suamiku. Biarkan kami bahagia." "Kalau saya nggak mau, kamu mau apa? Tanya juga suamimu, mau nggak jauhi saya?" "Tamu itu nggak akan mas
"Aku lupa sesuatu. Aku belum kasih tahu Mas Reza tentang keadaan Bapak, ya ampun." Nazwa menatap jam dinding yang menunjukkan jam sembilan. "Udah jam segini lagi. Mas Reza pasti khawatir nungguin aku, nih." Dia mengotak-atik ponselnya untuk menelepon, tapi tiba-tiba dia terpikirkan sesuatu yang membuatnya ragu. Apa benar Reza mengkhawatirkannya? Apa Reza menunggu kabar darinya? Apa dia harus memberitahu Reza? Sesaat Nazwa terdiam menatap ponselnya. Kenyataannya suaminya tidak ada meneleponnya. Ya Allah seandainya Reza tidak selingkuh. Sulit sekali rasanya dia menerima kenyataan itu. Nazwa menarik napas dalam-dalam lantas menghembuskannya pelan. "Biar bagaimana pun Mas Reza suamiku, aku tetap harus beritahu dia. Semoga dia nggak marah aku baru kasih tahu sekarang." Nazwa mengklik nomor ponsel suaminya dan meneleponnya. "Halo, Assalamua'alaikum, Mas." "Wa'alaikumussalam, Sayang. Kenapa baru nelepon sekarang? Aku nungguin dari tadi, lho. Keadaan Bapak gimana? Bapak baik-baik aja, kan?
Jam sudah menunjukkan pukul tengah malam. Reza sudah tidur di sofa ruangan. Sedangkan Nazwa entah kenapa dia tidak bisa tidur. Dia sudah mencoba berbaring di sofa seberang suaminya, memejamkan mata, tapi pikirannya ke mana-mana. Dia terus mengingat percakapannya dengan suaminya di depan ruangan tadi. Suaminya berkali-kali meyakinkannya kalau pria itu tak selingkuh lagi. Tapi Nazwa masih ragu dan malah sedih. Entah kenapa dia sulit untuk percaya lagi pada suaminya itu. Hingga akhirnya wanita itu memutuskan terjaga dan menghabiskan waktu menekuni hobi barunya menggunakan laptop. Ya, belakangan ini Nazwa punya kebiasaan baru, lebih tepatnya dia sedang mempelajari sebuah skill baru yaitu menulis. Menulis apa saja terutama sebuah cerita. Dan saat ini dia sedang mencurahkan isi hatinya ke dalam kata-kata mutiara yang memotivasi. Ya, Nazwa juga punya sosial media. Sosial media itu dia gunakan untuk berdakwah melalui statusnya. "Ketika tidak ada bahu untuk bersandar. Masih ada sajadah unt
Nazwa terkejut kala melihat wajah suaminya tampak tegang. Namun, sedetik kemudian dia menyadari sesuatu. Langsung saja dia mengambil alih laptopnya dan menutupnya. Wajahnya pun terlihat panik. "Kamu baca, Mas?" Nazwa menatap suaminya takut-takut. Dia mengerti Reza pasti tersinggung dan marah jika membaca tulisannya. Wajah tegang Reza perlahan berubah tenang. Pria itu lalu tersenyum menenangkan. "Iya, aku baca. Kamu mau nulis cerita, ya?" Nazwa mengangguk, masih dengan raut takut-takut. "Kamu marah?" "Ya, nggak dong." Reza melebarkan senyumnya, berusaha terlihat semeyakinkan mungkin. "Coba jawab kenapa aku harus marah?" Ditanya demikian, Nazwa malah makin tergugup. Dia menundukkan pandangan. Reza mendekat ke istrinya. "Kamu pasti masih mengira aku selingkuh, ya?" Reza menilik lekat-lekat wajah istrinya yang kini membisu. "Harus berapa kali aku bilang. Aku nggak selingkuh lagi. Aku nggak ada hubungan apa pun lagi sama Nabila. Kamu harus percaya itu. Aku harus lakuin apa supaya kam