Share

Bab 9

Keesokan paginya, kala sudah menyiapkan makan untuk bapak--yang dibantu oleh sang asisten rumah tangga--dan melayani suaminya seperti biasa, Nazwa berencana menemui Nabila. Ya, sejak kemarin dia memang ingin berjumpa perempuan itu.

Dia harus cepat bertindak sebelum terlalu jauh. Dia akan melakukan apa saja untuk memperbaiki rumah tangganya. Dia harap apa yang dia lakukan ini yang terbaik demi rumah tangganya. 

"Mumpung sekarang Mas Reza lagi mandi. Aku harus cari nomornya Nabila di handphone-nya," ucap Nazwa sambil meraih ponsel sang suami yang terletak di atas nakas.

Dan kebetulan ponsel Reza tidak diberi password seperti biasa. Nazwa tersenyum menatap ponsel yang ada di genggamannya itu. Pelan, dia mengklik daftar kontak sang suami. Lalu meng-scroll-nya.

Seketika dia semringah kala menemukan kontak bernama Nabila. Dia pun menyalin nomor tersebut di ponselnya dengan cepat. Ketika dia hendak meletakkan kembali benda pipih itu di atas meja, dia tiba-tiba terpikirkan sesuatu, membuatnya urung meletakkan ponsel tersebut. 

Kembali dia mengotak-atik ponsel tersebut. "Maaf, Mas, bukannya aku lancang buka WA-mu, tapi aku harus tahu."

Nazwa membuka aplikasi chat berwarna hijau milik suaminya, apakah suaminya masih chatingan dengan perempuan itu?

"Kok nggak ada? Apa dia sengaja hapus chatnya?" Nazwa menghela napas. "Ya udah lah. Yang penting aku udah dapat nomor Nabila." Nazwa kembali meletakkan ponsel suaminya di atas nakas.

Dia pun bersiap-siap ganti pakaian.

***

Pagi itu sekitar pukul sembilan, Nabila sedang menikmati sarapan bersama keluarganya di rumah, ketika ponselnya di atas meja makan, berdenting. Nabila melongokkan kepala, mengintip ponselnya, ada pesan masuk dari nomor tak dikenal.

From 085233xxxxxx

Maaf mengganggu waktunya. Kamu Nabila? Ini aku Nazwa. Aku mau kita ketemuan sekarang di kafe tempat biasa kamu dan suamiku ketemu. Ada hal penting yang harus kita bicarakan. Kalau kamu bukan pengecut, temui aku!

Bagai guntur di siang bolong, Nabila terkejut luar biasa mendapati pesan semacam itu. Jantungnya spontan berdegup kencang bersamaan dengan matanya membelalak sempurna. Dahinya lantas berkernyit. "Ini Nazwa istrinya Reza? Nggak salah dia ngirim pesan begini ke aku?"

"Kenapa Nabila?" Ibu Nabila yang duduk di sampingnya sejak tadi, bertanya.

Nabila sontak menatap ibunya dengan raut tegang masih tersisa di mimik wajahnya. Dia memasukkan ponsel di saku celana. "Eng ...."

"Urusan pekerjaan, ya?" tanya ibunya lagi ketika Nabila malah kebingungan.

Nabila mengangguk cepat dan berusaha menetralkan raut wajahnya. "Aku harus pergi ke RS sekarang, Bu, Pak, nggak pa-pa kan?" Nabila langsung minta izin, memandangi ibu dan bapaknya bergantian. "Ada operasi dadakan soalnya."

"Ya udah kalau gitu pergi saja." Bapaknya mempersilakan.

"Nggak pa-pa, Nak," tambah ibunya lagi. "Pekerjaanmu juga penting."

Nabila tersenyum. "Makasih, ya, Bu, Pak. Kalau gitu aku pergi dulu."

"Iya, hati-hati."

Nabila berdiri dari duduknya, tergesa menuju kamar untuk mengambil tas tangan, kunci mobil dan snelli agar orang tuanya tak curiga. Berteriak pamit sekali lagi. Lantas bergegas ke luar rumah.

Jujur saja, menghabiskan waktu dengan orang tua bagi Nabila agak sulit. Dia tak seperti orang lain yang mempunyai waktu yang banyak bersama keluarga karena dirinya yang selalu sibuk.

"Nazwa, aku buktikan kalau aku bukan pengecut!" Nabila menggeram kesal. Kata-kata Nazwa di chat tadi sungguh menyinggungnya membuat harga dirinya jatuh. Dia juga penasaran apa yang ingin wanita itu bicarakan.

Pikiran Nabila benar-benar kalut. Hanya dipenuhi Nazwa dan reaksi apa yang harus dia beri nanti. Bahkan ketika dia tengah menyetir pun.

Nabila menambah kecepatan mobilnya dan fokus menyetir. Sepuluh menit kemudian, dia sampai di kafe yang dimaksud. Sebelum turun, dia mencoba menarik napas dan menghembuskannya, beberapa kali sampai dirinya tenang.

Apa pun yang terjadi semoga dia bisa menghadapinya dengan tenang. Dia menatap kaca spion depan yang menampakkan wajah cantiknya. "Kamu nggak boleh kalah, Nabila. Kamu juga nggak boleh gegabah. Kamu harus tenang. Oke?" Dia menyemangati diri. Lalu perempuan mengenakan pakaian bebas rapi--blush warna kuning dengan bawahan jins super ketat--itu turun dari mobilnya. Kaki jenjangnya yang berbalut jins melenggang menuju pintu kafe yang berbilah ganda.

Begitu dia memasuki kafe tersebut, dilihatnya perempuan berpenampilan syar'i yang amat dia kenal duduk di salah satu kursi dekat pojokan dinding. Perempuan itu asyik menunduk menatap ponsel dengan segelas minuman di hadapannya.

Nabila mendatangi meja tersebut bersamaan dengan Nazwa menatap ke arahnya. Nazwa tersenyum dan membenarkan posisi duduknya. "Hei, akhirnya kamu datang juga, silakan duduk."

Nabila menarik kursi dan duduk di hadapan Nazwa.

"Mau pesan minum dulu? " tawar Nazwa lagi dengan masih tersenyum ramah. Nabila justru terheran-heran memperhatikannya. Dilihat dari gelagatnya, perempuan itu sama sekali tidak terlihat tegang atau ingin marah. Sangat berbeda jauh dengan nada bicaranya waktu di chat.

"Nggak usah. Langsung to the point aja. Kamu manggil saya ada apa?"

Aprillia D

Apa ya yang mau Nazwa bicarakan? Ikuti terus kelanjutannya, ya, Gaes.

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status