"Apa maksud kamu ngomong begitu di depan Bapak, Mas?"
Setelah berdiskusi dengan bapak, akhirnya disepakatilah Nazwa memaafkan suaminya dan Pak Rahman meminta mereka menyelesaikan masalah secara baik-baik.
Dan Pak Rahman terus menasihati anaknya tentang hakikat pernikahan. Juga menasihati Reza bahwa sang menantu harus banyak-banyak memahami agama lagi. Banyak-banyak membaca Al-Qur'an dan bermuhasabah diri serta bertobat pada Allah atas dosa yang dia perbuat.
Dan serentetan ceramah lainnya yang membuat Reza jengah mendengarnya. Tapi beruntunglah dia, bapak mertuanya itu baik dan bijaksana. Tidak memarahi dan menyudutkannya yang sudah berselingkuh.
Kini suami-istri itu berdiskusi dalam kamar. Nazwa tidak bisa lagi leluasa marah pada suaminya karena takut di dengar bapak yang menginap di rumah mereka selama beberapa hari ke depan.
"Yang mana?" Reza bertanya balik dengan santai.
Nazwa yang sedang menatap cermin sambil melepas kerudungnya, berbalik menghadap suaminya yang baring di kasur.
"Kenapa kamu bilang menyesal dan berani berjanji nggak akan selingkuh lagi?"
"Ya, karena aku memang menyesal," jawab Reza masih santai.
Nazwa menggeleng. "Aku tahu kamu nggak benar-benar menyesal. Kamu bohong sama Bapak! Mas, Bapak itu datang ke sini bela-belain dari kampung buat jengukin kamu. Tapi kamu malah--"
"Lihatlah, kenapa kamu nggak mempercayai suamimu, Nazwa? Kalau Bapak aja bisa percaya sama aku, kenapa kamu nggak?"
"Karena aku tahu sifat-sifatmu, Mas. Sedangkan Bapak enggak. Kamu bisa bodohin Bapak, tapi aku enggak!"
"Kamu udah su'udzan sama suamimu sendiri, lho."
Tangan Nazwa terkepal geram meremas baju tidurnya. "Aku bukan su'udzan, tapi nyatanya kamu masih berhubungan sama Nabila kan? Tadi siang dia neleponin kamu."
"Dia yang neleponin aku, bukan aku yang nelepon dia."
"Kamu bisa jauhin Nabila?"
"Aku kan udah bilang jangan kasih tahu masalah ini pada siapa pun. Kalau orang tuaku nggak tahu, orang tuamu juga nggak boleh tahu. Dan aku hanya berusaha agar rumah tangga kita terlihat baik-baik aja." Reza malah membahas hal lain.
Nazwa kembali menatap cermin, menatap pantulan wajahnya polosnya dengan rambut tergerai panjang. Jawaban itu memberitahunya bahwa suaminya tidak bisa meninggalkan wanita itu. Nazwa memejamkan mata seiring dengan air mata meleleh di pipi.
'Kalau kamu mau rumah tangga kita baik-baik aja, harusnya kamu nggak berulah, Mas' batin Nazwa.
Dia sudah tak kuasa lagi berdebat dengan suaminya. Hingga dia hanya bisa menahannya dengan tangis.
"Nazwa, aku minta kamu nggak bersikap dingin sama suamimu sendiri. Kamu nggak cuek sama suamimu yang lagi sakit," ucap Reza lagi. "Kamu tetap harus berbakti pada suamimu."
'Termasuk sama suami yang berselingkuh?'
Reza menarik selimutnya. Tanpa sepengetahuan Nazwa, dalam selimut, Reza mengetikkan pesan untuk seseorang.
To: Nabila
Saat ini keadaannya masih kacau. Jangan hubungi aku dulu sampai beberapa bulan ke depan.
Reza lalu meletakkan ponselnya di atas nakas. Dan mencoba tidur.
***Di seberang sana, Nabila yang membaca pesan itu merengut kesal. Teleponnya tadi siang baru digubris oleh Reza malam ini. Pesan yang dikirim Reza juga terdengar tidak menyenangkan. Reza masih saja mementingkan perasaan istrinya.Padahal sejak kemarin dia mengkhawatirkan pria itu. Pria itu tidak memberi kabar sudah sembuh atau belum. Ternyata Reza memang sudah sembuh tapi tak memberi kabar padanya. Ketika dia menelepon malah dijawab seperti itu.
"Sepandai-pandanya orang menyimpan bangkai, lama-kelamaan bau busuknya akan tercium juga. Itu pribahasa yang tepat buatmu, Reza," gumam perempuan berambut sebahu itu sambil menatap pesan yang enggan dia balas. "Akhirnya ya istrinya yang sok alim dan si paling bahagia itu merasakan sakit juga. Gimana rasanya dikhianati? Enak?" Nabila tertawa licik.
Sudah lama Nabila ingin merebut Reza dari Nazwa. Dia bahkan ingin membongkar perselingkuhan Reza di depan Nazwa, tapi Reza selalu menghalanginya. Benci hatinya mengingat Reza yang sangat tidak ingin kehilangan Nazwa, tapi masih mau berhubungan dengannya. Dan kini semua sudah terbongkar, dengan sendirinya.
"Aku mau lebih. Aku mau mereka bercerai aja. Kayaknya aku harus lakukan sesuatu, deh, biar Nazwa makin benci sama suaminya dan menceraikan suaminya."
Semua pasang mata yang ada di sana menatap Nazwa, tidak terkecuali Hanif. "I-iya, Nazwa, maaf kalau ini mengejutkanmu, dan mungkin juga terlalu cepat buatmu setelah apa yang barusan kamu alami. Kalau kamu memang butuh waktu buat menjawab, aku siap menunggu." Nazwa malah terdiam. Begitu pun yang lainnya. Suasana ruangan itu seketika jadi hening. Hingga tiba-tiba Bi Ifah menjawab. "Gimana kalau kita beri Nazwa dan Hanif ruang? Biarkan mereka bicara dari hati ke hati. Iya kan, Nazwa?" *** Akhirnya Nazwa dan Hanif berbicara empat mata sambil berkeliling di sekitar lingkungan rumahnya. Sesekali melihat anak-anak mengejar layangan di tanah kosong yang dipenuhi ilalang. "Aku pikir kamu syok karena ini terlalu cepat bagimu," ucap Hanif yang berjalan di sisi Nazwa sejak tadi. Nazwa yang sejak tadi hanya menunduk, menggeleng pelan. "Bukan masalah waktu. Hanya saja ada banyak hal yang tiba-tiba mengganggu pikiranku," jawabnya. "Apa itu?" Nazwa mendongak menatap Hanif. "Aku nggak nyangka k
Lima bulan kemudian.Seminggu setelah perceraian mereka, seperti yang telah direncanakan, Nazwa memutuskan pulang ke kampung halaman bibinya di Cikidang. Beberapa hari setelah itu dia mendengar kabar bahwa Reza menikah dengan Nabila.Di Cikidang, Nazwa menyibukkan diri dengan mengajar mengaji bagi anak-anak sekitar desa itu di sebuah mushola. Di samping itu, Nazwa juga melanjutkan novelnya, novel yang dulu sempat tertunda. Novel yang terinspirasi dari pernikahannya dengan Reza."Shadaqallahul-'adzim' ...." Nazwa menyudahi bacaan Al-Qur'annya seraya menutup mushafnya. Dan diikuti oleh anak-anak didiknya. "Alhamdulillah sudah selesai." Nazwa lalu menatap anak-anak didiknya yang duduk bersila di hadapannya. "Ngajinya lanjut besok lagi ya anak-anak. Jangan lupa pe-er yang Ibu kasih tadi, hapalan surah Al-Kahfi-nya, ya. Besok boleh disetor.""Baik, Bu ....""Kalau begitu kalian boleh siap-siap pulang, ya."Anak-anak itu pun mulai memasukkan mushaf ke dalam tas masing-masing, bersalaman de
Seminggu kemudian. "Jadi apa yang mau kamu bicarakan?" Reza datang ke rumah orang tuanya dan mengabarkan bahwa dia ingin membicarakan sesuatu yang penting pada orang tuanya. Kini mereka berkumpul di ruang tamu. Kini kedua orang tuanya menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku tahu mungkin Papa dan Mama nggak akan setuju dengan keputusan ini. Mama terutama Papa mungkin marah besar, tapi ini keputusanku. Dan aku udah bulat dengan keputusanku. Jadi aku harap Mama dan Papa harus setuju dan merestuiku." "Langsung saja katakan," potong Galih. "Aku ... bakal ngelamar Nabila, Pa, Ma." Reza menatap kedua orang tuanya bergantian. "Nabila?" Mama Rissa tampak terkejut. "Selingkuhanmu itu?" Sementara Galih tampak tenang saja. "Iya, Ma ...." Rissa menoleh menatap suaminya. "Bagaimana, Pa? Papa setuju?" Rissa berbisik, tapi Reza bisa mendengar. Wajah mamanya juga terlihat tidak senang. "Kenapa kamu harus menikahi dia?" tanya Galih setelah lama dia terdiam. "Ya iyalah, Pa. Aku sekarang juga uda
Proses sidang perceraian itu berjalan lancar. Nazwa dan Reza datang menghadirinya. Kedua orang tua Reza dan adiknya, Risma, ikut hadir di sana. Keduanya tidak menginginkan perdamaian dan mediasi. Keduanya mendukung perceraian itu diputuskan secepatnya. Bahkan ketika sang hakim menanyakan kasus perselingkuhan yang Reza lakukan, Reza pun mengakuinya, sama sekali tidak membantah tuduhan tersebut meskipun Nazwa tidak ada membawa bukti apa pun mengenai perselingkuhan suaminya. Semua yang hakim tanyakan diiyakan saja oleh kedua belah pihak seolah sidang perceraian itu hanyalah sebuah formalitas. Hingga akhirnya sang hakim memutuskan mereka resmi bercerai dengan mengetuk palu tiga kali. Dan semuanya selesai begitu saja dengan mudah secepat kedipan mata, tanpa sanggahan, tanpa penolakan, tanpa pertengkaran. Nazwa keluar dari ruangan itu dengan kesedihan meliputi hati. Dia sungguh tak percaya, pernikahannya benar-benar berakhir. Padahal rasanya baru kemarin dia menikah dengan pria pilihan ora
Mobil yang dikendarai Reza memasuki halaman rumahnya yang luas. Dia baru saja pulang dari rumah sakit. Begitu dia memasuki rumah, Bi Juminten muncul, mendatanginya tergesa-gesa. "Ada apa, Bi?" tanya Reza heran. "Eng ini, Pak." Bi Juminten merogoh saku dasternya. "Tadi ada surat panggilan buat Pak Reza." Bi Juminten menyodorkan amplop di hadapan Reza. "Surat panggilan buat saya?" Reza mengernyit sambil menerima surat itu. "Iya. Dari Pengadilan Agama." Seketika jantung Reza berdebar lebih kencang. Bergegas dia membuka amplop tersebut seiring dengan rasa penasaran yang membesar. Bi Jum pamit mundur dari hadapannya, kembali ke dapur. Reza mulai membentang dan membaca surat itu pelan-pelan. Benar, surat itu adalah surat gugatan cerai dari pengadilan agama untuknya. Reza lalu meremas surat itu dengan perasaan kesal yang tak dapat didiskripsikan. Percakapannya dengan Nazwa tempo hari pun terngiang. " .... Aku mantap untuk bercerai dari kamu." "Kamu nggak akan bisa melakukannya, Nazw
"Eh, gosip Dokter Nabila selingkuh sama Dokter Reza itu bener nggak sih?" "Ya benar lah. Itu bukan gosip lagi, tapi fakta. Bahkan katanya Dokter Reza terancam bercerai dari istrinya." "Dokter Reza cerai karena Dokter Nabila?" "Ya iyalah." "Kita tahu sih mereka dari dulu emang deket, kirain teman ternyata mereka ada udang di balik batu." "Dokter Nabila kan mantannya Dokter Reza dulu." "Ehem." Kedua koas manggang yang sedang menjaga IGD itu seketika terdiam mendengar suara dehaman yang amat familier itu. Mereka menoleh menemukan gadis yang baru saja mereka bicarakan. Gadis itu menatap mereka tak suka. Mungkin dia sudah mendengar bisik-bisik itu. "Eh, ada Bu Dokter Nabila," lirih salah satunya cengengesan. Sedangkan yang satunya lagi pura-pura sibuk merapikan lembar kertas di tangannya. "Selamat pagi, Bu. Pagi-pagi udah cantik aj--" "Ngomongin apa kalian barusan?" tanya Nabila menatap kedua cewek itu tajam. "Eng enggak, Bu ...." "Ingat, ya, kalian itu anak magang di sini! Saya
"Kalau Nazwa nggak mau, Papa nggak akan anggap kamu anak!" Kalimat itu terus bertalu-talu di kepala Reza. Reza berharap papanya tidak serius dengan ucapannya. Tapi waktu itu Reza bisa melihat wajah papanya serius saat mengatakan hal itu. Reza takut bagaimana seandainya papanya benar-benar serius membuangnya dari keluarga? Sial! "Ini semua gara-gara Nazwa. Seandainya dia nggak ngomong di depan Mama semuanya nggak akan jadi begini." Reza menggebrak meja di hadapannya. "Nggak ada cara lain. Aku harus bisa bujuk Nazwa buat berbaikan denganku dan membatalkan rencana perceraiannya." Sejak saat itu hampir setiap hari Reza berulang ke rumah orang tuanya, menemui Nazwa dan membujuk istrinya untuk pulang. Namun, percakapan mereka selalu berakhir dengan penolakan Nazwa atau pertengkaran. "Buat apa kamu ngelakuin semua ini, Mas?" tanya Nazwa. "Buat apa lagi kamu memperjuangkan aku setelah apa yang udah kamu lakuin. Kamu tuh sadar nggak? Kamu itu udah nggak waras, ya?! Sakit kamu?!" "Aku mi
"Dulu waktu Mama sedang hamil kamu dan hendak melahirkan, kami pergi ke rumah sakit terdekat, tapi tiba-tiba mobil kami mengalami kecelakaan. Papa berusaha keluar dari mobil dan menggendong Mama yang tengah kesakitan. Waktu itu tengah malam dan sepi. Sama sekali tidak ada orang lewat yang bisa dimintai tolong. Tapi Papa terus berteriak minta tolong. Sampai akhirnya ada orang yang menemui kami. Dialah Pak Rahman. Papa bercerita panjang lebar dengannya bahwa Papa ingin mengantar Mama ke rumah sakit, tapi kami mengalami kecelakaan. Dia yang katanya hendak pulang ke rumah majikan untuk mengantarkan mobil nggak keberatan membawa kami ke rumah sakit sebentar. Singkat cerita kami pergi ke rumah sakit menggunakan mobil majikannya. Satu detik setelah kami pergi, mobil kami di belakang meledak. Waktu itu terjadi Papa terkejut sekaligus bersyukur. Sedikit saja kalau kami nggak pergi dari tempat itu kami bisa-bisa ikut terbakar. Di dalam mobil Mama terus berteriak kesakitan. Air ketubannya bahkan
"Maaf, Mas, aku nggak bisa tinggal sama kamu lagi. Aku mohon kamu hargai keputusanku buat tinggal di rumah Mama. Jadi jangan tahan-tahan aku ...." Kalimat terakhir yang Nazwa ucapkan terngiang-ngiang di telinga Reza seakan membekas dan bertalu-talu. Sakit dan benci hatinya tiap kali mengingatnya. Harga dirinya seakan jatuh di hadapan keluarganya sendiri. Apalagi mengingat wajah Mama dan Risma terakhir kali menatapnya penuh kekecewaan. Dia tak menyangka kesalahan yang dia lakukan kini berdampak parah. Tidak hanya menyakiti perasaan Nazwa, perempuan itu bahkan minta cerai. Bahkan ikut mengecewakan perasaan keluarganya. Lagi pula kenapa Nazwa tega membongkar perselingkuhannya yang sudah tertutup rapat selama ini? Pernikahannya dengan Nazwa benar-benar di ujung tanduk. Apakah pernikahan ini masih bisa dipertahankan? Apakah masih ada harapan? Dering ponsel tiba-tiba berbunyi yang seketika membuyarkan lamunan Reza yang tengah duduk merenung di ruang keluarga. Tatapan Reza lalu mengarah ke