"Kenapa kau malah bengong di situ? Kau bisa masak atau tidak? Jika kau tidak bisa masak maka kau akan gugur!" Albertina menatap tajam pada Ara. "Kau tahu kan lowongan kerja apa yang sedang kami cari?"
"Anda sedang mencari Chef," jawab Ara tegas kala tersadar. "Lalu kenapa kau masih bengong di situ? Kau bisa memasak?" "Eh--anu--itu---" "Ganti!" sela Albertina. "Tunggu! Maafkan Aku." "Masih banyak yang antri dan kau tidak masuk dalam kriteria." "Bagaimana bisa anda bilang jika aku tidak termasuk dalam kriteria, sedangkan anda sama sekali belum mempekerjakan ku." "Semua keputusan ada di tanganku." "Hmm ... jika kau mencari yang sempurna, maka semua yang antri di sini tidak ada yang masuk dalam kriteria," celetuk Ara membela dirinya sendiri juga yang lainnya. Pelayan di samping Albertina berbisik disusul senyum manis di bibir Albertina. "Baiklah. Kau diterima bekerja di sini."....
"A-apa? Aku diterima?" Ara terlihat tidak percaya. "Tidak diterima salah, diterima juga salah. Apa kau ingin protes lagi?" Albertina bangkit dari duduknya. "Ti-tidak. Terima kasih atas kesempatan yang anda berikan untuk saya," kata Ara sambil menundukkan kepalanya. Namun, begitulah yang terjadi.Awal yang baik untuk Ara.
Dia mendapatkan pekerjaan dan dia tidak akan merepotkan Barnes lagi.
Bagi Ara menjadi tukang masak tidaklah buruk, yang penting Ara tidak merepotkan orang lain dan dia tetap bisa melanjutkan kehidupannya. Berkutat di dapur bukan lah hal baru bagi Ara, tapi bekerja di rumah yang begitu besar bak istana dengan banyak pelayan bagi Ara itu adalah hal baru.****
"Akhirnya aku tidak tidak tidur sendirian lagi. Akhirnya aku punya teman satu kamar." Jean memeluk Ara dengan erat. Dia mengantarkan Ara ke kamar. "Ara, kau bisa tidur di ranjang itu," tunjuk Jean pada sebuah ranjang kosong dan belum terpasang seprai. Ranjang itu saling berhadapan dengan ranjang milik Jean. Ara masuk ke dalam dan menaruh tas jinjing yang dia bawa. "Maaf, ruang kamar kita tidak terlalu lebar," lanjut Jean. "Tidak masalah, Jean. Yang penting aku punya tempat untuk berteduh dan melepas lelah setelah seharian bekerja," balas Ara tersenyum. Jean membuka lemari plastik atom dan mengeluarkan seprai dan sarung bantal guling. "Pakailah ini untuk ranjangmu itu." "Terima kasih, Jean. Maaf merepotkanmu." "Tidak masalah, Ara. Aku justru senang kau diterima kerja di sini. Baiklah. Aku akan kembali bekerja. Kau bisa membereskan ranjang mu dan beristirahat. Kamar mandi ada di samping. Jika kau lapar, di dalam lemari kayu dekat ranjang ku ada beberapa cemilan. Kau bisa memakannya." Lalu Jean meninggalkan Ara di kamar sendirian. Ara berdiri berkacak pinggang melihat ranjangnya. Terbesit dalam pikiran Ara untuk merapikan ranjangnya terlebih dahulu setelah itu dia akan menyusun pakaiannya di lemari. Ara juga mendapatkan lemari plastik atom untuk tempat pakaiannya. Selesai merapikan semuanya Ara membuka lemari kayu yang ada di samping ranjang Jean. Ara melihat beberapa cemilan tapi perut Ara masih kenyang. "Lebih baik aku istirahat sebentar. Tenagaku terkuras habis saat sesi wawancara tadi," keluh Ara. Ara pun membaringkan tubuhnya di atas ranjang barunya yang sudah di desain sedemikian rupa bahkan wangi kopi aroma terapi yang dia gantungkan di pojok ranjangnya sudah menyebar dan menambah ketenangan dalam diri Ara. *** Tak terasa, ini hari kedua Ara bekerja.Ara yang notabene-nya adalah gadis yang mudah berbaur dengan orang lain bahkan dengan mudahnya Ara dikenal dengan cepat oleh para maid senior di rumah itu. Kecantikan Ara pun menjadi buah bibir dikalangan maid terutama maid laki-laki.
Ara sangat kagum dengan keadaan rumah itu. Rumah yang begitu besar dan sangat luas serta taman-taman yang begitu indah. Saat tengah berjalan Ara tak henti-hentinya mendongak ke atas menatap ornamen dinding dengan pahatan demi pahatan yang begitu indah. "Selera Tuan Chase sangat tinggi," cicitnya membuat Jean yang berjalan di depan menoleh ke belakang. "Hah? Apa kau bilang?" tanya Jean. "Sepertinya majikan kita punya selera yang sangat tinggi," kata Ara mengulangnya dengan memegang ornamen yang ada di dinding. "Eh, hati-hati," tukas Jean memegang tangan Ara. "Apa? Kenapa?" ujar Ara terkejut. "Hati-hati. Jangan sembarangan menyentuh ornamen ini. Kotor sedikit nanti Nyonya Marry akan marah," jelas Jean. "Ketat sekali peraturan di rumah ini?" "Benar. Parahnya jika beliau sudah tidak suka dengan salah satu maid yang bekerja di sini, siap-siap saja maid itu angkat kaki dari rumah ini," beber Jean. "Hah? Angkat kaki? Maksudmu dipecat?" kata Ara, disambut anggukan dari Jean. "Iya. Jika masih ingin bekerja di rumah ini harus menaati peraturan yang ada di rumah ini karena nyonya besar satu dan dua, mereka tidak suka dengan orang-orang yang suka usil, cari perhatian, atau cari muka. Kalau tuan besar, beliau selalu sibuk di kantor jadi jarang sekali ikut campur." "Rumah ini begitu besar. Berapa orang yang tinggal di sini?" tanya Ara penasaran karena rumah itu begitu besar seperti sebuah istana. "Ratusan," jawab Jean sambil menarik tangan Ara yang masih berdiri menatap taman yang ada di samping dekat dengan dapur. "Hah? Serius? Ratusan?" Ara tampak terkejut mendengar penuturan dari Jean. "Aku jadi ingin jalan-jalan melihat sekeliling rumah ini," lanjut Ara antusias. "Ara, sebenarnya bukan kapasitas kita untuk jalan-jalan mengelilingi rumah karena sebagai asisten chef tentu saja garis batas kita hanya di sekitaran dapur saja." Ara menghela napas panjang. "Masa sih? Bahkan di jam istirahat pun tidak boleh?" "Seperti yang aku bicarakan tadi. Jangankan kau yang masih baru. Aku yang sudah satu tahun kerja di sini pun sama sekali belum pernah menjelajahi setiap sudut yang ada di rumah ini bahkan wajah majikan kita pun aku belum pernah melihatnya," ungkap Jean. Ara jadi merasa heran pada Jean. "Ah, merepotkan sekali. Apakah sesulit itu? Mereka membangun rumah ini dengan sangat megah dan indah, tapi kenapa para pelayan tampak seperti tinggal di penjara," cicit Ara. "Hush, jangan bicara seperti itu. Di sini banyak CCTV." Jean menepuk bahu Ara dengan pelan. Ara pun mendongakkan kepalanya dan dia hanya melihat satu kamera. "Hanya satu saja kok," tunjuk Ara dengan sangat polosnya. "Eits ... bukan CCTV itu, tapi CCTV orang yang suka cari muka." Jean memegang tangan Ara. "Maksudmu orang yang suka lapor ini dan itu." "Tepat sekali. Jadi kita harus hati-hati dalam bertutur kata atau berbuat!" Ara memutarkan kedua bola matanya.Padahal, dia hanya pekerja di dapur, tapi sulit sekali!
"Sudahlah, Ara. Nikmati saja pekerjaan ini. Dari pada kau jadi pengangguran dan dikejar-kejar penagih hutang, kau mau pilih yang mana? Kau aman tinggal di sini, tidak ada penagih hutang yang berani masuk ke rumah ini. Keamanan terjaga dengan ketat. Kau bisa melihat para pengawal yang menjaga pintu gerbang depan," cicit Jean.
Ara hanya menganggukkan kepalanya beberapa kali. Sebenarnya dia tidak fokus mendengar celotehan Jean. Apa yang diucapkan oleh Jean masuk ke telinga kanan Ara lalu keluar dari telinga kiri. Sama sekali tidak terekam di otak Ara.
"Ara--kau mendengarkan apa yang aku ucapkan?"
Akhir hidup yang mengenaskan. Wanita paruh baya itu jatuh menggelinding di jurang dan Jacob pun melaporkannya sebagai kecelakaan. Tak butuh menunggu lama di tempat kejadian, Jacob pun menyuruh TJ untuk segera pergi dari sana."Tuan, bagaimana dengan dokumen ini?" tanyanya sebelum pergi dari sana. Jacob melihat dokumen palsu itu berceceran di jalanan. "Bukankah dokumen itu ada nama anda? Jika semua dokumen itu tidak dibawa, maka anda bisa jadi tersangka utama," jelasnya.Jacob menarik napas panjang. "Tenang saja. Itu dokumen palsu. Tidak ada namaku di sana. Hanya ada nama Mandy," jelasnya.Setelah itu mobil pun bergegas pergi dari sana. Sebelum kembali ke rumah sakit, Jacob meminta TJ untuk tidak memakai mobil itu dalam jangka lama, karena pastinya polisi akan mengusut tuntas kasus kematian wanita tua itu.Satu persatu orang yang ada di belakang Nyonya Merry ditangkap termasuk Joey. Namun, tidak dengan TJ yang memang dia memakai identitas palsu.***Satu masalah sudah selesai. Tinggal
Memang tidak ada yang bisa disalahkan atas takdir yang terjadi, tapi peran utama-lah yang bisa disalahkan, karena dia tidak tegas dalam mengambil keputusan serta masih labil. Ara yang dari pertama sudah diberi nasihat oleh ibunya untuk tidak gegabah dengan seseorang, akan tetapi nasihat itu sirna saat Ara terperdaya oleh rayuan Jacob.Karma memang nyata. Entah itu datang lebih cepat atau lebih lambat, tapi itulah yang akan membuatmu merasa sangat berdosa pada diri sendiri."Semua memang salahku. Aku harus bagaimana jika bertemu dengan ibu?" ***Tawa keras membahana mengisi ruangan tersebut. Dia begitu sangat puas. Dia merasa jika hal itu begitu sangat gampang."Dasar wanita serakah. Begitu mudahnya kau masuk dalam perangkapku. Baiklah, aku harus bermain manis demi kelancaran kerjasama ini."Wanita paruh baya itu telah mengambil keputusan. Justru di sinilah semua orang berupaya berakting untuk saling menjebak. Semua orang sibuk mencari satu orang dan satu orang itu mendadak menjadi se
Keadaan Ara begitu sangat mengenaskan. Perceraian yang dia alami membuatnya begitu sangat down. Semua memang salah dirinya sendiri hingga dia teringat bagaimana dulu dia bisa bertemu dengan Jacob.Flashback on.Ada pertemuan pasti akan ada perpisahan dan itu sudah pasti. Ara sangat sedih akan hal itu, tapi dia pun tidak mungkin berlama-lama tinggal di rumah Barnes. Namun, justru Barnes terlihat sedih. Laki-laki itu berpikiran jika dia tidak akan pernah bertemu dengan Ara lagi. Ara malah meledek Barnes hingga mereka berdua tertawa bersama.Ara benar-benar merasa terbantu, bahkan dia bisa melupakan kejadian yang telah menimpanya. Terlebih lagi dia bisa melupakan Ryan.Saat tiba di sebuah rumah yang elegan, Barnes berhenti. Barnes mengangkat kepalanya dan menatap rumah tersebut. Masih terlihat sepi, tapi di dalam sana pasti sudah disibukan dengan segala aktivitas."Apa kita sudah sampai?" kata Ara."Belum," balas Barnes."Lalu kenapa kita berhenti? Aku pikir kita sudah sampai tempat tuj
Mencari musuh memang sangat mudah dibandingkan mencari Damai. Banyak orang yang tidak sadar dengan kesalahan-kesalahan atau perlakuan buruk yang dilakukan oleh dirinya sendiri. Apalagi musuh dalam selimut.Seperti halnya Joey yang memang selalu bermain sangat manis di depan Nyonya Merry, dia yang dulu begitu patuh dan nurut sekarang justru berbelot mengkhianati sang tuannya.Kini kembali Joey akan memainkan aktingnya. "Kau ingin membunuhnya?""Ya, benar. Aku ingin membunuhnya,""Begitu bencinya kau dengannya?" "Kau tidak perlu banyak bicara! Aku tidak suka dengan orang yang hanya omong kosong saja!""Aku tidak pernah bicara seperti itu. Bicara ku sesuatu fakta. Jika kau ingin bertemu dengannya, aku bisa mengatur jadwalnya," jelas Joey.Orang itu mengerutkan kedua alisnya seperti meragukan perkataan Joey. Kedua matanya tampak menatap Joey dari ujung rambut ke ujung kaki. "Meragukan!""Kenapa? Kau tidak mempercay
Wajah wanita paruh baya itu terlihat pucat. Dia berusaha menjauhi dari sana. Dari tempat arah pintu kayu tersebut tampak debu halus berjatuhan seperti di atas sana ada orang yang berjalan.Memang di atas sana ada dua orang yang sedang berjalan mondar-mandir seperti sedang mencari seseorang dan itupun terdengar dari bawah sana."Bagaimana? Ada?" "Tidak ada!""Tapi di sini ada jejak kaki. Mungkin dia pernah datang kemari, tapi setelah itu dia pergi,""Kita pergi dari sini. Kita bisa cari ke tempat lainnya."Setelah beberapa menit. Suasana kembali hening. Nyonya Merry dengan susah payah menenangkan kegalauan hatinya. "Siapa mereka? Apakah mereka anak buah Jacob? Ah——tidak mungkin. Anak buah Jacob tidak tahu tempat ini atau———" Nyonya Merry menggantungkan kalimatnya. Dia tidak percaya jika anak buahnya berkhianat. "Yang mengetahui tempat ini hanyalah dia, tapi dia pun tidak tahu jika di sini ada ruang rahasia."Nyonya Merry bangun dan melangkah pelan ke sebuah sofa. Rasa mabuknya mendad
Jacob dibuat terkejut dengan suara itu. Dia panik dan berlari keluar. Saat hendak membuka pintu, pintu itu sudah terbuka duluan dan para dokter masuk ke dalam."Dok, putraku kenapa?" tanya Jacob khawatir."Lebih baik Tuan Jacob menunggu di luar saja. Kami akan memeriksa pasien." Sang dokter meminta Jacob untuk keluar, tapi Jacob kekeh ingin tetap di sana. Terjadilah keributan di ruangan itu yang memancing Jaden untuk bergerak mendekati. Bocah tampan itu melangkah masuk melewati keributan antara dokter dengan ayahnya. Dia melangkah sambil memperhatikan ketika orang yang tengah sibuk menarik satu dengan yang lainnya. Ada beberapa perawat yang berdiri di samping kanan dan kiri sisi Harry serta seorang dokter yang menekan-nekan dadanya. Jaden melihat semua aktivitas mereka tanpa berkedip sedikit pun.Jaden terus melangkah mendekati ranjang yang di mana di sana tergeletak tubuh lemas dan dalam keadaan kritis. Tidak ada yang menghalangi Jaden untuk menuju ke arah sana. Dia terus melangkah