"Kenapa kau kunci pintunya?" ucap Barnes. Ara menepuk jidatnya sendiri, gadis itu benar-benar lupa jika pintunya dia kunci.
"Ma-af, aku menguncinya karena tadi aku pergi mandi dan aku lupa membuka kuncinya," tutur Ara.Wajahnya menjadi merah seperti tomat, tapi selang beberapa menit Ara mengubah mimik wajahnya saat melihat gadis yang ada di belakang Bernas.
"Oiya ... Ara, perkenalkan ini adikku." Bernas menarik tangan gadis itu hingga berdiri berjajar dengannya. "Halo ...," sapa gadis itu dengan ramah. Gadis itu tersenyum dan mengulurkan tangannya pada Ara. Justru Ara terlihat masih sedikit canggung. Namun, akhirnya Ara membalas uluran tangan dari gadis itu. "Namaku Jean," lanjutnya tersenyum. "Aku———Ara," balas Ara sambil tersenyum.Dibalik senyuman itu, Ara mengira jika Jean adalah sosok gadis yang jutek.
***
"Kau sedang mencari pekerjaan?" tanya Jean disela-sela makan malamnya bersama dengan Barnes dan juga Ara. "Eh, serius makanan ini enak sekali," lanjut Jean memuji masakan Ara. Jean dan Barnes kompakan menatap Ara. Pujian dari Jean dibenarkan oleh Barnes. Laki-laki itu pun mengacungkan jempol kanannya. "Sepertinya kau sangat berbakat di dunia perdapuran," celoteh Jean dengan memasukkan sendok ke mulutnya. Suapan terakhir dan sempurna masuk ke dalam perut. "Kau punya pengalaman kerja di mana?" lanjutnya. "Restoran," jawab Ara singkat. "Mungkin kau bisa membantunya, Jean. Tempat kerjaku sedang membutuhkan tenaga pria. Jika yang dibutuhkan tenaga wanita, aku akan membawa Ara untuk bekerja di tempatku." Barnes menatap Ara, lalu berpindah ke Jean. "Bolehkah aku memakan habis sayuran ini?" tunjuk Barnes pada piring yang isinya sayur brokoli. "Tentu saja. Lagi pula aku sudah kenyang. Mungkin Ara iki makan lagi?" Jean memegangi perutnya. "Ti-tidak. Aku sudah kenyang. Kau boleh menghabiskan sayuran itu. Tidak baik juga membuang sayuran," tukas Ara. Setelah makan malam mereka bertiga duduk santai di ruang depan. Mereka terlihat sedang serius. Tentu saja mereka bertiga sedang membahas masalah pekerjaan. "Kau sangat pandai di dapur. Kau memang cocok kerja di restoran atau mungkin juga kerja rumahan," cicit Barnes. "Hmm ... Ara, apa kau pernah bekerja di rumahan?" tanya Jean. Ara menggelengkan kepalanya. "Jika kau minat kerja rumahan, aku akan coba mencari info di tempatku kerja. Seminggu yang lalu aku sempat mendengar bahwa majikan ku akan mencari asisten maid." "Asisten maid?" Ara mengulang kata-kata itu. Jean pun menganggukkan kepalanya. "Aku akan mencoba mencari tahu infonya terlebih dahulu. Nanti jika info yang aku dapat sudah akurat, aku akan mengirim kabar pada Kak Barnes, tapi tentunya kau harus siap tidur di dalam." "Aku tidak masalah jika harus tidur di dalam asalkan aku bisa bekerja," balas Ara. "Baiklah. Aku tidak bisa lama-lama di sini. Aku harus segera kembali ke rumah majikan ku," jelas Jean. "Aku pikir kau akan menginap dan pulang besok," kata Barnes. "Tidak bisa. Tadi aku izin keluar hanya sampai jam 8 malam. Hari ini sudah ada beberapa maid yang izin pulang," imbuh Jean dengan wajah yang sedikit letih. "Perlu aku antar?" tawar Barnes. "Tidak perlu kak. Jarak dari sini ke rumah majikan juga tidak terlalu jauh jadi aku bisa pulang sendiri." Jean bangkit dari duduknya. Setelah berpamitan Jean kembali pulang ke tempat kerjanya. Tinggallah Ara dan Barnes yang sedang membereskan ruang depan. "Kau tidak khawatir dengan adikmu itu?" tanya Ara mencairkan suasana agar tidak sepi. "Tidak. Jean sudah terbiasa dengan kehidupannya. Tadinya aku tidak mengizinkan Jean untuk bekerja. Aku ingin dia kuliah dan biar aku saja yang bekerja, tapi Jean tidak mau. Justru dia ingin segera bekerja agar bisa membantu keuangan keluarga di kampung." Ara mengangguk.Setelah mereka menyelesaikan membersihkan ruang depan. Keduanya masuk ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Di dalam kamar Ara terbaring di atas ranjang milik Jean. Dalam hati Ara, dia berharap akan mendapatkan kabar baik dari Jean.
"Semoga saja aku segera mendapatkan pekerjaan. Aku tidak ingin membuat ibuku di kampung khawatir. Dia pasti akan sedikit saat mendengarkan kabar berita tentang ujiannya yang menimpaku. Ya Tuhan, kenapa engkau memberiku cobaan yang begitu sangat berat." Ara meraupkan kedua tangan ke wajahnya.Dan begitulah Ara mulai mempersiapkan segalanya untuk melamar pekerjaan sebagai tukang masak di Keluarga Chase, hingga hari seleksi pun tiba.
Pagi itu ditemani oleh Barnes, Ara berangkat menuju alamat di mana Jean bekerja di sana.
Kebetulan, tempat kerja Barnes dan Jean hanya selisih beberapa blok saja.
Tak terasa, Barnes berhenti.
Jantung Ara berdegup kencang kala melihat rumah yang mereka tuju sudah mulai ramai dengan gadis-gadis yang hendak melamar kerja.
Ara begitu takjub dengan keadaan rumah mewah itu. Bak istana di negeri dongeng, rumah itu sangat megah dan indah.
"Rumah ini besar sekali," ucapnya tanpa sadar.
Barnes tertawa pelan mendengarkan celotehan Ara. Barnes begitu sangat lega, akan tetapi di balik itu semua dia merasa sedih karena akan berpisah dengan Ara.
Sepertinya, rumahnya akan kembali sepi seperti semula.
"Ara, kau bisa bergabung dengan lainnya di sana. Sebentar lagi mungkin akan dimulai penyeleksiannya."
Ara mengangguk, "Kau akan menunggu di sini?"
"Tidak, Ara. Aku harus kerja. Aku sudah memberitahu Jean," terang Barnes. "Ara, ingatlah pesanku padamu. Hidup ini keras, kau harus bisa menjaga dirimu sendiri dan tetap berhati-hati. Untuk seleksi ini kau harus percaya diri jika kau akan diterima bekerja di rumah ini. Jika ada waktu luang main lah ke rumah," lanjut Barnes.
Hal itu dijawab dengan anggukan kepala dari Ara. "Kita pasti bertemu kembali. Lagi pula aku dan Jean kerja di satu tempat."
Ara melangkah penuh percaya diri bergabung dengan para peserta lainnya.
Hanya saja, peserta yang mendaftar tampaknya semakin banyak.
Ara tampak pesimis, dia berpikir jika dirinya tidak akan lolos seleksi.
Sebab gadis-gadis lain yang berdatangan mereka semua tampak berpenampilan cantik dan modis, sedangkan dirinya berpenampilan sederhana!
"Tolong berbaris yang rapi!"
Suara wanita yang begitu lantang dan tegas mendadak terdengar.
Manik mata wanita paruh baya itu memperhatikan para gadis yang melamar kerja di rumah megah tersebut.
Semua pelamar kerja, termasuk Ara sontak menurut, mereka merapikan barisan masing-masing.
"Kami akan memulai menyeleksi. Kami hanya membutuhkan dua orang saja," lanjutnya lagi.
Mendadak suasana menjadi riuh. Semua pelamar langsung protes. Dari sekian banyak pelamar hanya dua orang yang akan beruntung kerja di istana megah itu?
"Maaf. Bukannya di selembaran tertera membutuhkan lima orang. Kenapa anda bilang hanya membutuhkan dua orang?" sela seseorang yang memprotes.
Albertina langsung menoleh ke arah suara tersebut dan menatap tajam gadis itu. Para pelayan yang ada di dalam ruangan tersebut langsung memberi kode dengan jari telunjuk menempel di mulut mereka masing-masing, bahkan ada yang menggeleng-gelengkan kepalanya. Albertina terus menatap gadis itu hingga gadis tersebut menundukkan kepalanya.
"Ma-maaf."
Kemudian wanita paruh baya tersebut menatap lainnya. "Masih ada yang ingin protes?" teriak Albertina. "Jika masih ada yang protes, maka aku akan langsung mencoretnya dari daftar. Termasuk dia!" Albertina menunjuk gadis yang pertama kali protes.
Deg!
Tidak ada yang berani menjawab atau menatap Albertina. Semua menunduk ke bawah termasuk Ara. Albertina pun memulai penyeleksian.
Dari penyeleksian itu banyak pelamar kerja yang gugur. Entah tes apa yang diberikan oleh wanita paruh baya tersebut hingga banyak yang berguguran. Hal itu membuat nyali Ara semakin menciut dan pasrah.
Hingga pada akhirnya orang yang berdiri di depan Ara maju ke depan. Ara semakin gemetaran dan gugup serta dia merasa takut jika dirinya akan gugur juga seperti yang lainnya. Termasuk gadis yang berdiri di depannya. Gadis itu tidak lolos seleksi. Gadis itu melangkah lesu dengan wajah yang sangat sedih dan sekarang giliran Ara.
Ara maju ke depan dengan langkah pelan dan gemetaran. Dia berdiri di depan Albertina.
"Siapa namamu?"
"Ara Shanelly," ujar Ara sambil memperhatikan Albertina yang tengah membaca sebuah kertas.
Di sisi lain, Albertina menatap Ara, wanita paruh baya itu memperhatikan gadis cantik yang sedang berdiri di depannya, dari ujung rambut sampai ujung kaki.
"Pergilah ke dapur dan buatkan aku menu masakan yang spesial," pinta Albertina pada Ara.
Ara terkejut mendengarkannya. Dia berdiri mematung di sana. Tiba-tiba Ara diserang rasa gugup yang teramat sangat. Padahal selama kerja di restoran Ara tidak pernah merasa gugup!
Tanpa mereka sadari. Kejadian nahas yang menimpa Ara disaksikan langsung oleh Jaden. Di mana Jacob memang sengaja mengajak Jaden untuk menjemput ibunya pagi itu. Namun, karena sesuatu yang tertinggal di mobil, dia harus kembali dan melihat pertengkaran yang terjadi diantara mereka. Jaden hanya diam dan tidak berekspresi, tidak menangis atau bahkan panik. Jaden hanya diam seakan tubuhnnya mati rasa dan tidak bisa lagi memperlihatkan ekspresi marahnya. Mungkin karena terlalu sakit yang dia rasa dan terlalu hancur hati kecil malaikat tampan itu melihat sang ibu kini tergeletak bersimbah darah di sisi jalan. "Ara!" Kaki Jacob serasa lemas tidak bertenaga. Sama halnya dengan Tobey, tetapi dia segera bergegas menerjang mobil yang berkeliaran lalu lalang di jalan raya. Dia segera menghampiri Ara. Ara terlihat terkulai lemas dengan ekspresi wajah tersenyum. Sulit untuk membayangkan melihat orang-orang yang kita cintai pergi dengan cepat. "Ara," ucap lirih Tobey dengan suara sendu. T
Hati Tobey sungguh hancur dan dia begitu terlihat sangat menyedihkan. Begitu pula dengan Ara. Namun, dia harus segera pergi dari sana untuk menuntaskan segala penderitaannya. Tobey segera membelakangi Ara dan berjalan cepat pergi meninggalkan wanita yang dia cintai sejak kecil. Ara menangis sejadi-jadinya. Tangannya tidak mampu lagi menghalangi kepergian Tobey yang telah jauh meninggalkannya. Sementara di luar sana, ada tangan hangat Jean yang segera membantu Tobey mengusap kepiluan hati yang selama ini dia sembunyikan. Saking hancurnya hati itu, bahkan Tobey terlihat begitu lemah di hadapan Jean. Pria itu segera menangis sekuat-kuatnya sambil memeluk tubuh Jean, mengingat setiap waktu yang dia buang sia-sia untuk mengambil cinta pada Ara. "Harusnya aku sadar sejak awal," ungkap Tobey lirih dengan suara bergetar dan bulir bening menetes di pipinya. "Kau pria baik, kau pria hebat," ungkap Jean yang juga tidak bisa menahan sedih. Dua orang yang dia kasihi harus berakhir tragis
Berita ditemukan sesosok mayat disekitar jurang membuat Harry dan Jaden terperanjat. Berita itu muncul di televisi dan sempat lupa disensor sehingga wajah korban terpampang jelas. Tentunya hal itu membuat Harry bertanya pada Jacob. Berhubung berita di televisi dengan gamblangnya menyebutkan bahwa itu adalah murni kecelakaan tunggal. Jacob tidak banyak bicara dalam menjelaskan pada sang putra, Harry. Terlebih lagi, Jaden sang putra kandungnya hanya cuek dan tidak bertanya hal yang aneh. Mungkin karena Jaden belum begitu mengenal sosok sang nenek. "Harry, kau sekarang bisa tenang, karena sudah tidak ada orang yang membuatku takut," jelas Jacob. "Ayah--bolehkan--hmm, kita menjenguknya untuk terakhir kali," celetuknya dengan kepala menunduk ke bawah dan jari jemarinya bermain di sana. Jacob menoleh menatap sang putra yang tertunduk. Pria itu begitu heran pada putra angkatnya. Padahal dia adalah termasuk korban yang hampir saja kehilangan nyawanya karena racun serangga yang sengaja dit
Akhir hidup yang mengenaskan. Wanita paruh baya itu jatuh menggelinding di jurang dan Jacob pun melaporkannya sebagai kecelakaan. Tak butuh menunggu lama di tempat kejadian, Jacob pun menyuruh TJ untuk segera pergi dari sana."Tuan, bagaimana dengan dokumen ini?" tanyanya sebelum pergi dari sana. Jacob melihat dokumen palsu itu berceceran di jalanan. "Bukankah dokumen itu ada nama anda? Jika semua dokumen itu tidak dibawa, maka anda bisa jadi tersangka utama," jelasnya.Jacob menarik napas panjang. "Tenang saja. Itu dokumen palsu. Tidak ada namaku di sana. Hanya ada nama Mandy," jelasnya.Setelah itu mobil pun bergegas pergi dari sana. Sebelum kembali ke rumah sakit, Jacob meminta TJ untuk tidak memakai mobil itu dalam jangka lama, karena pastinya polisi akan mengusut tuntas kasus kematian wanita tua itu.Satu persatu orang yang ada di belakang Nyonya Merry ditangkap termasuk Joey. Namun, tidak dengan TJ yang memang dia memakai identitas palsu.***Satu masalah sudah selesai. Tinggal
Memang tidak ada yang bisa disalahkan atas takdir yang terjadi, tapi peran utama-lah yang bisa disalahkan, karena dia tidak tegas dalam mengambil keputusan serta masih labil. Ara yang dari pertama sudah diberi nasihat oleh ibunya untuk tidak gegabah dengan seseorang, akan tetapi nasihat itu sirna saat Ara terperdaya oleh rayuan Jacob.Karma memang nyata. Entah itu datang lebih cepat atau lebih lambat, tapi itulah yang akan membuatmu merasa sangat berdosa pada diri sendiri."Semua memang salahku. Aku harus bagaimana jika bertemu dengan ibu?" ***Tawa keras membahana mengisi ruangan tersebut. Dia begitu sangat puas. Dia merasa jika hal itu begitu sangat gampang."Dasar wanita serakah. Begitu mudahnya kau masuk dalam perangkapku. Baiklah, aku harus bermain manis demi kelancaran kerjasama ini."Wanita paruh baya itu telah mengambil keputusan. Justru di sinilah semua orang berupaya berakting untuk saling menjebak. Semua orang sibuk mencari satu orang dan satu orang itu mendadak menjadi se
Keadaan Ara begitu sangat mengenaskan. Perceraian yang dia alami membuatnya begitu sangat down. Semua memang salah dirinya sendiri hingga dia teringat bagaimana dulu dia bisa bertemu dengan Jacob.Flashback on.Ada pertemuan pasti akan ada perpisahan dan itu sudah pasti. Ara sangat sedih akan hal itu, tapi dia pun tidak mungkin berlama-lama tinggal di rumah Barnes. Namun, justru Barnes terlihat sedih. Laki-laki itu berpikiran jika dia tidak akan pernah bertemu dengan Ara lagi. Ara malah meledek Barnes hingga mereka berdua tertawa bersama.Ara benar-benar merasa terbantu, bahkan dia bisa melupakan kejadian yang telah menimpanya. Terlebih lagi dia bisa melupakan Ryan.Saat tiba di sebuah rumah yang elegan, Barnes berhenti. Barnes mengangkat kepalanya dan menatap rumah tersebut. Masih terlihat sepi, tapi di dalam sana pasti sudah disibukan dengan segala aktivitas."Apa kita sudah sampai?" kata Ara."Belum," balas Barnes."Lalu kenapa kita berhenti? Aku pikir kita sudah sampai tempat tuj