ログイン
‘Ada tamu penting datang ke restoran! Cepat ke sini sebelum Bos marah!’
Emily menatap layar ponselnya, pesan singkat itu membuat jantungnya hampir meloncat keluar. “Serius?! Kenapa baru bilang sekarang?!” serunya panik, wajahnya memucat. “Aku bisa telat—gawat!” Tanpa sempat berpikir panjang, ia berlari di trotoar, melewati kerumunan orang yang berlalu-lalang, hampir menabrak beberapa di antaranya. Napasnya memburu, rambutnya berantakan, tapi ia tak peduli. Setiap langkah hanya diiringi satu kalimat yang terus terngiang di kepalanya. Jangan sampai telat. Namun, nasib memang suka bercanda. Di tengah langkah yang terburu dan pandangan yang tak fokus, Emily tanpa sengaja menabrak seseorang. Tubuhnya oleng, dan detik berikutnya, Bruk! Ia jatuh tepat di bawah kaki seorang pria. “Ah, pinggangku…!” pekiknya sambil mengelus bagian yang nyeri. Ketika pandangannya jatuh pada sepasang sepatu hitam yang berkilap, Emily sempat terdiam. Ia perlahan mendongak, dan di hadapannya berdiri seorang pria tinggi, tegap, membuat napasnya tertahan sesaat. Astaga… kenapa orang ini berdiri di tengah jalan seperti patung? “Hei, Paman! Kenapa berdiri di tengah jalan, sih? Jalan ini luas sekali! Apa Paman pikir jalan ini warisan nenek moyang Paman? Seenaknya berdiri di tengah jalan!” Pria itu menghentikan pembicaraan di telepon. Emily melihat tangannya bergerak santai menurunkan ponsel, lalu matanya beralih padanya. Tatapan itu dingin, hingga membuat tengkuknya menegang. “Kenapa malah menyalahkanku atas kecerobohanmu sendiri?” Tatapan sinis dan dingin dari pria itu membuatnya geram—ia bisa merasakan jelas kesombongan yang memancar dari sorot mata pria itu. Tangan Emily terkepal kuat, menahan emosi yang mulai mendidih mendengar ucapan pria itu. “Dasar menyebalkan,” gumamnya pelan, tapi nada kesalnya jelas terdengar. Seketika pria itu membungkuk sedikit, membuat Emily spontan mendorong tubuhnya ke belakang, berusaha memberi jarak agar tidak terlalu dekat. Namun tatapan pria itu terasa begitu menusuk, dingin, tajam, dan membuat bulu kuduknya berdiri. Hingga akhirnya, suara pria itu terdengar. Berat, dalam, dan entah kenapa membuat jantung Emily berdegup lebih cepat. “Kalau kamu tidak bisa memakai matamu dengan baik, lebih baik serahkan saja matamu padaku. Biar kujual ke pelelangan pasar gelap.” Emily terpaku. Kalimat itu terdengar begitu absurd hingga otaknya butuh waktu beberapa detik untuk mencerna maksudnya. Apa tadi dia bilang... menjual mata? “Apa maksudmu, Paman? Tega sekali. Tidak punya rasa perikemanusiaan.” “Memang. Kamu mau apa kalau aku tidak punya rasa perikemanusiaan?” pria itu menjawab, nadanya jelas menjengkelkan untuk di dengar. Emily mendengus pelan, membuang pandangannya. Namun pria itu kembali bersuara dingin. “Dan satu lagi. Jangan pernah panggil aku ‘Paman’. Apa kamu tidak tahu siapa aku? Dasar lancang.” Alis Emily terangkat, tidak tahu siapa dia? Sungguh sangat menggemaskan sekali mendengar pertanyaan itu. “Cih, lucu sekali pertanyaan, Paman. Tidak punya cermin di rumah, ya? Sampai harus bertanya begitu?” Wajah pria itu menegang, tapi Emily lebih cepat mengangkat tangannya, memberi isyarat agar ia tidak banyak bicara. “Apa? Mau bertanya lagi?” suaranya meninggi. “Nih, aku bantu jawab. Paman itu pria paling menyebalkan yang kutemui hari ini!” “Rupanya kamu memang belum tahu siapa aku.” Emily menatapnya dengan mata membulat, bisa merasakan jantungnya berdetak tak karuan. Pria itu menyeringai—senyum yang membuat bulu kuduknya meremang. Tatapannya menyapu wajah Emily perlahan, seolah ingin menghafal setiap detailnya. “Kutandai wajahmu, Nona kecil.” Emily tak sempat merespons ketika pria itu sudah berujar lagi. “Semoga kita bertemu kembali.” Punggung pria yang berjalan pergi dengan langkah tenang namun angkuh adalah pemandangan terakhirnya. Emily masih terpaku di tempat, napasnya belum juga stabil. Dada terasa sesak menahan emosi yang belum reda. Ia mengepalkan tinjunya ke udara dan berteriak lantang, “HEI! DASAR PAMAN MENYEBALKAN SEDUNIA! SEMOGA PAMAN MENDAPATKAN ISTRI YANG LEBIH MENYEBALKAN DARI DIRIMU!” Suara itu menggema, tapi pria itu sama sekali tidak menoleh. Seolah teriakannya hanya dihembus angin. Emily mendengus kesal. Tangannya cepat merogoh ponsel dari saku rok, dan matanya langsung membesar. “Ya ampun! Hampir telat!” Ia berdiri terburu-buru, menepuk roknya yang kotor sambil bergumam pelan, “Semua gara-gara pria itu. Semoga aku gak ketemu lagi sama dia.” Tanpa pikir panjang, Emily berlari sekuat tenaga menuju restoran tempatnya bekerja, sementara sisa rasa kesal masih menggelayut di dadanya. .... Di menit-menit terakhir, Emily tiba di restoran, napasnya tersengal dan penampilannya berantakan. “Akhirnya sampai juga,” bisiknya lirih. Tangannya menekan dada, berusaha meredakan detak jantung yang menggila. Tenang, Emily, tenang. Namun, belum sempat ia menarik napas lega... Suara langkah sepatu pantofel mendekat, berhenti tepat di depannya. Emily mendongak dan mendapati tatapan Meliana menelusurinya dari ujung kaki hingga kepala. Tatapan menilai itu membuatnya kesal. “Astaga, Emily. Habis dikejar anjing?” “Diam! Ini semua gara-gara kamu memberitahuku mendadak,” jawab Emily, nada suaranya lebih tajam dari yang ia inginkan. Meliana terkekeh pelan, menutupi mulutnya dengan tangan. Tawa itu membuat Emily semakin kesal. Menyebalkan sekali! “Baiklah, baiklah, maaf.” Meliana tersenyum geli, tapi Emily bisa melihat sedikit rasa bersalah di matanya. Emily masih kesal. Dalam hati, ia menyalahkan Meliana yang mendadak memberitahunya soal tamu penting. Kenapa tidak dari kemarin saja? Sekarang, dia harus bergegas memperbaiki penampilan dan bersikap profesional. Sangat menyebalkan. Meliana tersenyum geli, lalu Emily merasakan tepukan ringan di bahunya. “Cepat bersiap, Emily.” Meliana menuntunnya memutar badan, lalu mendorongnya pelan. Sebuah bisikan terdengar di telinga Emily. “Kita akan berkumpul sebentar lagi untuk rapat singkat, dan aku sudah menjadikanmu partnerku untuk melayani mereka.” Seketika mata Emily membesar. Apa? Tidak, ini tidak mungkin. “A... apa katamu tadi?” “Sudah, cepat bersiap!” “Ingat, tamunya bukan orang sembarangan!” seru Meliana.Beberapa hari sudah Emily berkeliling mencari pekerjaan—dari rumah makan kecil, restoran ternama, hingga perusahaan besar maupun kecil. Namun, yang ia dapatkan hanyalah penolakan, bahkan tak jarang pengusiran.Apakah Emily ingin menyerah?Tentu saja. Tapi setiap kali keputusasaan itu mulai menghampiri, bayangan wajah adiknya, Elowen, selalu muncul di benaknya—seolah menjadi alasan terbesar untuk tetap bertahan. Jika bukan demi Elowen, mungkin ia sudah lama menyerah, mengikuti jejak kedua orang tuanya yang telah tiada.... Malam itu, pukul setengah delapan.Emily menatap Elowen yang kini memandang semangkuk mi instan di depannya seolah sedang menatap harta karun. Ada kelegaan kecil di dada Emily—setidaknya malam ini, adiknya masih bisa makan.“Maaf ya, malam ini cuma ini yang bisa Kakak masak. Kakak belum mendapatkan pekerjaan sama sekali,” ucap Emily pelan. Elowen tak menjawab. Emily hanya memperhatikan Elowen makan, dengan tatapan yang lembut sekaligus getir. Tanganmya kemudian te
Matahari terbit dari ufuk timur, sinarnya menembus kaca jendela yang terbuka lebar. Emily berdiri di depan pintu, berpamitan pada Elowen yang hanya membalas dengan anggukan dan jempol terangkat. Senyum tipis terukir di wajahnya sebelum ia benar-benar melangkah pergi, membawa surat lamaran yang sudah disiapkannya sejak malam sebelumnya. ... Kini di pusat kota, pandangan Emily menelusuri deretan toko yang berjajar di sepanjang jalan, berharap menemukan papan bertuliskan ‘Dibutuhkan Karyawan’. Langkahnya terhenti di depan sebuah toko pakaian wanita. Ia sempat menatap sekeliling sebelum akhirnya melangkah masuk. “Permisi, Kak.” “Iya, bisa saya bantu, Nona?” tanya wanita tersebut. “Di sini ada lowongan? Mungkin untuk posisi sales atau kasir?” ucap Emily dengan harapan kecil. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Kasir itu justru menatapnya dari atas ke bawah, seolah sedang menilai. ‘Apa ada yang salah?’ pikir Emily tak nyaman. “Ada, tapi boleh saya lihat surat lamarannya?” akhir
Sementara itu, dengan langkah pelan, Emily meninggalkan taman yang mulai sepi. Entah sudah berapa lama ia duduk di sana, namun mentari sore yang mulai condong ke barat menjadi pengingat bahwa ia harus segera pulang. ... Jarak beberapa meter dari pintu rumahnya, Emily terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah hari yang panjang dan melelahkan. ‘Tidak boleh terlihat sedih.’ Satu tarikan napas lagi, lalu ia kembali melangkah. Begitu tiba di dalam, pandangannya tertuju pada seorang gadis yang tengah terduduk, sibuk bermain dengan bonekanya. Emily tersenyum tipis; pemandangan itu selalu bisa menenangkan hatinya yang gundah. “Sudah jam berapa ini, Owen?” tanya Emily lembut. “Owen lapar sekali, Kak Ely,” jawab Elowen lirih, menyiratkan alasan yang disembunyikannya. Emily berpura-pura berpikir. “Kalau begitu, mau makan apa malam ini?” "Nasi goreng!" seru Elowen riang. Emily menjentikkan jari, tanda setuju. “Sekarang mandi dulu, baru makan,”
Di ruang ganti, Emily sedang membereskan barang-barangnya ketika suara Meliana terdengar dari belakang, membuatnya menghentikan aktivitas sejenak. “Lihat kan? Seandainya saja kamu diam dan menuruti ucapanku, kamu tak akan dipecat dengan cara tidak hormat seperti ini,” ucap Meliana. Emily menghela napas pelan. “Kalau aku hanya diam, berarti aku mengakui aku pengecut dan bersalah. Jadi aku memilih membela diri, karena aku memang tidak bersalah.” “Keras kepala sekali… tapi setidaknya pikirkan nasibmu ke depan dan juga janji kamu sama Owen,” kata Meliana. “Tenang saja, aku akan cari pekerjaan lain,” jawab Emily dengan tenang, mencoba menenangkan dirinya sendiri meski hati masih panas. “Terserah kamu. Tapi nanti kalau sudah dapat pekerjaan baru, jangan ulangi kesalahan yang sama. Mengerti?” Emily tersenyum kecil. “Siap.” Namun saat ia melihat Meliana menggeleng pelan, rasa bersalah menyergap. Ia tahu tindakannya telah memutus sedikit kepercayaan Meliana padanya, dan hal itu m
Keheningan menyelimuti meja itu, sampai akhirnya Emily kembali dengan nampan di tangannya. Ia melangkah tenang, mencoba mengabaikan tatapan tajam para pria di meja, termasuk Vincent. Emily meletakkan gelas di hadapan Vincent sedikit kasar. “Silakan diminum, Tuan. Suhunya sudah sesuai, tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin.” Emily menatap Vincent, bingung dengan senyum sinis—tidak tahu apa maksud di baliknya. Yang pasti, pria itu membalas dengan dingin dan nada sedikit tegas: “Pelayanannya tidak ramah… bintang satu.” Bintang satu? Emily menatapnya tak percaya. “Apa?! Katakan sekali lagi?” Namun yang dilihatnya, Vincent hanya mengambil segelas air hangat dan meneguk sedikit, tanpa membalas pertanyaannya. Geram saat melihat pria itu masih sempat-sempatnya meminum air yang baru saja ia hidangkan, Emily kembali bersuara, nadanya naik satu oktaf. “Katakan sekali lagi!” Dan yang ia dapatkan hanyalah tatapan dingin dan nada tegas Vincent. “Panggil manajer kemari.” Kenapa ha
“Jadi Emily,” lanjut Meliana. “Tolong jaga sikapmu. Aku tahu betul mulutmu bisa lebih tajam dari pisau.”Emily mendengus kecil. “Iya, iya, aku tahu. Aku tidak sebodoh itu.”Meski dalam hati, ia mengakui bahwa mulutnya memang kadang tidak terkontrol.Tanpa menunggu, Emily bergegas menuju ruang ganti, setengah kesal. Meliana benar-benar cari gara-gara!…Sekarang sudah pukul setengah sebelas siang.Di ruang VIP, Emily sibuk menata hidangan. Sesekali, matanya mencuri pandang pada Meliana yang tengah berbincang dengan para tamu. Ia tak bisa memungkiri, melihat betapa profesionalnya Meliana.Hingga derit pintu terbuka terdengar, Emily terhenti sejenak, rasa penasaran menyergapnya. Suara langkah sepatu pantofel bergema di ruangan, membuat hampir semua kepala menoleh—kecuali Emily dan Meliana. Mereka tetap fokus pada posisi masing-masing, tangan sigap melayani, tapi hati Emily sulit menahan rasa ingin tahu.Dari telinganya, Emily menangkap percakapan di meja utama, tanpa benar-benar memahami







