ログイン“Jadi Emily,” lanjut Meliana. “Tolong jaga sikapmu. Aku tahu betul mulutmu bisa lebih tajam dari pisau.”
Emily mendengus kecil. “Iya, iya, aku tahu. Aku tidak sebodoh itu.” Meski dalam hati, ia mengakui bahwa mulutnya memang kadang tidak terkontrol. Tanpa menunggu, Emily bergegas menuju ruang ganti, setengah kesal. Meliana benar-benar cari gara-gara! … Sekarang sudah pukul setengah sebelas siang. Di ruang VIP, Emily sibuk menata hidangan. Sesekali, matanya mencuri pandang pada Meliana yang tengah berbincang dengan para tamu. Ia tak bisa memungkiri, melihat betapa profesionalnya Meliana. Hingga derit pintu terbuka terdengar, Emily terhenti sejenak, rasa penasaran menyergapnya. Suara langkah sepatu pantofel bergema di ruangan, membuat hampir semua kepala menoleh—kecuali Emily dan Meliana. Mereka tetap fokus pada posisi masing-masing, tangan sigap melayani, tapi hati Emily sulit menahan rasa ingin tahu. Dari telinganya, Emily menangkap percakapan di meja utama, tanpa benar-benar memahami konteks percakapan itu, meski ia berusaha tetap terlihat sibuk. “Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga.” “Sudah lama?” “Hampir berabad-abad kami menunggumu. Kamu dari mana saja?” Kemudian suara pria lain— Adrian, ikut menimpali, “Kamu seperti tidak tahu Vincent saja.” Vincent, nama itu sekilas terdengar di telinganya. Siapa itu? Namun suasana di ruangan itu tiba-tiba berubah hening. Percakapan terputus begitu saja. Emily tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi perlahan perasaan aneh menjalari tubuhnya—seperti ada sepasang mata yang menatap lurus ke arahnya. Entah siapa. Kemudian suara dari pria yang terdengar, Dominic—bertanya dengan nada bingung. “Vin, kenapa berhenti?” Tak ada jawaban. Hanya hening. Lalu suara berat dan dingin itu memecah keheningan. “Nona kecil… kemarilah.” Emily terpaku, menghentikan aktivitasnya sesaat. Nona kecil? Panggilan itu terdengar begitu familiar, seperti pernah ia dengar sebelumnya. Ia melirik sekilas ke arah Meliana—namun perempuan itu hanya menatap balik dengan dahi berkerut, sama bingungnya. Emily segera menunduk lagi dan masih dengan aktivitasnya, detak jantungnya berdebar tak karuan saat ini. Apa mungkin... yang dimaksud adalah dirinya? Emily belum menoleh, hanya berusaha mencuri dengar—terutama saat pria bernama Adrian bertanya tentang siapa yang pria bernama Vincent maksud. “Yang bertubuh tidak terlalu tinggi itu,” jawab Vincent. Tubuh Emily refleks menegang. Tidak terlalu tinggi? Apa... dirinya? Ia melirik sekilas ke arah Meliana yang berada tak jauh darinya, lalu kembali menunduk. Meliana memang sedikit lebih tinggi darinya. Tapi tetap saja... Tenggorokannya terasa kering. Ia menelan ludah dengan susah payah, mencoba meyakinkan diri bahwa yang dimaksud bukan dirinya. Tidak mungkin! Dirinya pasti hanya terlalu ketakutan. “Nona Emily?” Ia terdiam saat mendengar pria itu—Adrian, menyebut namanya. Dan jawaban pria bernama Vincent setelahnya membuat napasnya tertahan. Degup di dadanya terasa semakin cepat, bergema di telinga. Berbagai pertanyaan berputar dalam pikirannya. Apakah dirinya melakukan sesuatu yang salah? Ia tak berani menatap Meliana. Wanita itu pasti tengah menatap dengan kebingungan, tapi Emily tak sanggup memastikan. Lalu suara Dominic terdengar memanggil dirinya, “Nona Emily, Tuan Vincent memanggil Anda.” Emily menarik napas perlahan, mencoba menenangkan diri, meski tubuhnya tetap kaku. Tenang, Emily. Semua akan baik-baik saja. Emily menoleh dan melangkah maju. Tatapannya membulat saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya. “K–KAMU!” Tidak mungkin! Emily menatap pria yang tak asing itu. Senyum miringnya tertuju tepat ke arah Emily, dan nada suaranya terdengar tenang, tapi tetap menyebalkan di telinganya. Hatinya berdebar, meski wajahnya mencoba tetap tenang. “Ternyata dunia ini sempit sekali, ya, Nona kecil? Siapa sangka kita bertemu lagi.” Emily menelan ludah perlahan. Berbagai pertanyaan muncul dalam benaknya. Kenapa harus bertemu dengannya lagi? Dan kenapa dia bisa ada di sini? Apa yang dia lakukan di sini? Apa Paman ini stalker? “Kenapa diam saja?” suara itu kembali terdengar, kini dengan nada mengejek. “Masih belum menyangka kalau kita bertemu lagi?” “Kenapa Paman ada di sini? Apa Paman menguntitku?” Emily memperhatikan pria itu memijat pangkal hidungnya. Hingga suara heran terdengar dari pria lain, Ethan. “Kamu mengenalnya, Vin?” Emily menatap Vincent. Sekilas, ia melihat pria itu menoleh ke arah Ethan sebelum kembali menyandarkan tubuhnya ke kursi. Senyum miring Vincent membuat Emily bingung—harus marah atau merasa penasaran dengan jawaban Vincent mengenai dirinya. “Tentu saja kenal. Karena nona kecil ini yang menabrak ku beberapa waktu lalu. Bahkan perkataannya yang lancang pun berani menyalahkan aku atas kecerobohannya sendiri.” Rasa panas menjalar ke wajah Emily, bukti jelas kekesalannya pada pria itu. Emily membela diri—bagaimana tidak? Ia seorang perempuan dan tak mau disalahkan. “Itu karena Pam… maksud saya, Anda yang berdiri di tengah jalan!” Hingga hela napas panjang Vincent terdengar jelas sampai ke telinganya. Namun, tatapan Vincent yang menyorot tajam ke arah Emily. Kenapa dia menatapku seperti itu? Melihat pria itu mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suara rendah tapi tegas terdengar. “Nona kecil, berikan aku air hangat. Ingat… air hangat.” Kata terakhirnya menekan. Emily menyipit curiga. Pasti dia ingin mengerjaiku, pikir Emily. “Baik, Pam… maksud saya, Tuan." Lalu ia berbalik pergi mengambil minuman yang di minta pria itu. Dan sekilas, Emily menangkap senyum Vincent dari balik kaca, tapi dia tak tahu maksudnya. Rasanya sedikit tidak nyaman. Senyum itu... firasat buruk. Sepanjang langkah, ia mendengar obrolan mereka, membahas tentang seorang yang entah siapa yang mereka bahas. Tak peduli. Tak lama kemudian, Emily kembali dengan secangkir air hangat di nampan. Ia meletakkan gelas itu di depan Vincent, sambil menatap tak suka pada pria itu. “Silakan diminum, Tuan. Saya pastikan suhunya tidak akan membuat Tuan mati tersedak." Semoga dia tidak suka. Atau lebih baik, semoga dia tersedak! Emily melihat gerakan tangan pria itu yang terulur hendak mengambil gelas, tapi begitu ujung jarinya menyentuhnya, ia menarik tangan itu kembali. “Ah! Panas sekali! Apa kamu sengaja, huh? Ganti!” Emily terkejut, menatapnya tak percaya. Panas? Dia pasti berbohong! “Panas? Maksudnya apa, Tuan? Suhunya sudah sesuai—” Vincent segera menyela, “Aku bilang ganti. Dan aku tak peduli berapa suhunya. Apa kamu tidak mengerti bahasa manusia?” Emily memejamkan mata sejenak, menahan diri agar tidak meledak.Beberapa hari sudah Emily berkeliling mencari pekerjaan—dari rumah makan kecil, restoran ternama, hingga perusahaan besar maupun kecil. Namun, yang ia dapatkan hanyalah penolakan, bahkan tak jarang pengusiran.Apakah Emily ingin menyerah?Tentu saja. Tapi setiap kali keputusasaan itu mulai menghampiri, bayangan wajah adiknya, Elowen, selalu muncul di benaknya—seolah menjadi alasan terbesar untuk tetap bertahan. Jika bukan demi Elowen, mungkin ia sudah lama menyerah, mengikuti jejak kedua orang tuanya yang telah tiada.... Malam itu, pukul setengah delapan.Emily menatap Elowen yang kini memandang semangkuk mi instan di depannya seolah sedang menatap harta karun. Ada kelegaan kecil di dada Emily—setidaknya malam ini, adiknya masih bisa makan.“Maaf ya, malam ini cuma ini yang bisa Kakak masak. Kakak belum mendapatkan pekerjaan sama sekali,” ucap Emily pelan. Elowen tak menjawab. Emily hanya memperhatikan Elowen makan, dengan tatapan yang lembut sekaligus getir. Tanganmya kemudian te
Matahari terbit dari ufuk timur, sinarnya menembus kaca jendela yang terbuka lebar. Emily berdiri di depan pintu, berpamitan pada Elowen yang hanya membalas dengan anggukan dan jempol terangkat. Senyum tipis terukir di wajahnya sebelum ia benar-benar melangkah pergi, membawa surat lamaran yang sudah disiapkannya sejak malam sebelumnya. ... Kini di pusat kota, pandangan Emily menelusuri deretan toko yang berjajar di sepanjang jalan, berharap menemukan papan bertuliskan ‘Dibutuhkan Karyawan’. Langkahnya terhenti di depan sebuah toko pakaian wanita. Ia sempat menatap sekeliling sebelum akhirnya melangkah masuk. “Permisi, Kak.” “Iya, bisa saya bantu, Nona?” tanya wanita tersebut. “Di sini ada lowongan? Mungkin untuk posisi sales atau kasir?” ucap Emily dengan harapan kecil. Beberapa detik berlalu tanpa jawaban. Kasir itu justru menatapnya dari atas ke bawah, seolah sedang menilai. ‘Apa ada yang salah?’ pikir Emily tak nyaman. “Ada, tapi boleh saya lihat surat lamarannya?” akhir
Sementara itu, dengan langkah pelan, Emily meninggalkan taman yang mulai sepi. Entah sudah berapa lama ia duduk di sana, namun mentari sore yang mulai condong ke barat menjadi pengingat bahwa ia harus segera pulang. ... Jarak beberapa meter dari pintu rumahnya, Emily terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri setelah hari yang panjang dan melelahkan. ‘Tidak boleh terlihat sedih.’ Satu tarikan napas lagi, lalu ia kembali melangkah. Begitu tiba di dalam, pandangannya tertuju pada seorang gadis yang tengah terduduk, sibuk bermain dengan bonekanya. Emily tersenyum tipis; pemandangan itu selalu bisa menenangkan hatinya yang gundah. “Sudah jam berapa ini, Owen?” tanya Emily lembut. “Owen lapar sekali, Kak Ely,” jawab Elowen lirih, menyiratkan alasan yang disembunyikannya. Emily berpura-pura berpikir. “Kalau begitu, mau makan apa malam ini?” "Nasi goreng!" seru Elowen riang. Emily menjentikkan jari, tanda setuju. “Sekarang mandi dulu, baru makan,”
Di ruang ganti, Emily sedang membereskan barang-barangnya ketika suara Meliana terdengar dari belakang, membuatnya menghentikan aktivitas sejenak. “Lihat kan? Seandainya saja kamu diam dan menuruti ucapanku, kamu tak akan dipecat dengan cara tidak hormat seperti ini,” ucap Meliana. Emily menghela napas pelan. “Kalau aku hanya diam, berarti aku mengakui aku pengecut dan bersalah. Jadi aku memilih membela diri, karena aku memang tidak bersalah.” “Keras kepala sekali… tapi setidaknya pikirkan nasibmu ke depan dan juga janji kamu sama Owen,” kata Meliana. “Tenang saja, aku akan cari pekerjaan lain,” jawab Emily dengan tenang, mencoba menenangkan dirinya sendiri meski hati masih panas. “Terserah kamu. Tapi nanti kalau sudah dapat pekerjaan baru, jangan ulangi kesalahan yang sama. Mengerti?” Emily tersenyum kecil. “Siap.” Namun saat ia melihat Meliana menggeleng pelan, rasa bersalah menyergap. Ia tahu tindakannya telah memutus sedikit kepercayaan Meliana padanya, dan hal itu m
Keheningan menyelimuti meja itu, sampai akhirnya Emily kembali dengan nampan di tangannya. Ia melangkah tenang, mencoba mengabaikan tatapan tajam para pria di meja, termasuk Vincent. Emily meletakkan gelas di hadapan Vincent sedikit kasar. “Silakan diminum, Tuan. Suhunya sudah sesuai, tidak terlalu panas, juga tidak terlalu dingin.” Emily menatap Vincent, bingung dengan senyum sinis—tidak tahu apa maksud di baliknya. Yang pasti, pria itu membalas dengan dingin dan nada sedikit tegas: “Pelayanannya tidak ramah… bintang satu.” Bintang satu? Emily menatapnya tak percaya. “Apa?! Katakan sekali lagi?” Namun yang dilihatnya, Vincent hanya mengambil segelas air hangat dan meneguk sedikit, tanpa membalas pertanyaannya. Geram saat melihat pria itu masih sempat-sempatnya meminum air yang baru saja ia hidangkan, Emily kembali bersuara, nadanya naik satu oktaf. “Katakan sekali lagi!” Dan yang ia dapatkan hanyalah tatapan dingin dan nada tegas Vincent. “Panggil manajer kemari.” Kenapa ha
“Jadi Emily,” lanjut Meliana. “Tolong jaga sikapmu. Aku tahu betul mulutmu bisa lebih tajam dari pisau.”Emily mendengus kecil. “Iya, iya, aku tahu. Aku tidak sebodoh itu.”Meski dalam hati, ia mengakui bahwa mulutnya memang kadang tidak terkontrol.Tanpa menunggu, Emily bergegas menuju ruang ganti, setengah kesal. Meliana benar-benar cari gara-gara!…Sekarang sudah pukul setengah sebelas siang.Di ruang VIP, Emily sibuk menata hidangan. Sesekali, matanya mencuri pandang pada Meliana yang tengah berbincang dengan para tamu. Ia tak bisa memungkiri, melihat betapa profesionalnya Meliana.Hingga derit pintu terbuka terdengar, Emily terhenti sejenak, rasa penasaran menyergapnya. Suara langkah sepatu pantofel bergema di ruangan, membuat hampir semua kepala menoleh—kecuali Emily dan Meliana. Mereka tetap fokus pada posisi masing-masing, tangan sigap melayani, tapi hati Emily sulit menahan rasa ingin tahu.Dari telinganya, Emily menangkap percakapan di meja utama, tanpa benar-benar memahami







