تسجيل الدخول"Ada di belakang, Tuan muda. Dia sedang—"
"Panggil dia kemari." "Tapi, Tuan mu—" perkataan Sintia terpotong saat Davin menatapnya tajam. Akhirnya, tak ada pilihan lain, Sintia pun pergi memanggil Ara. "Ara!" "Iya, kenapa?" "Ke dapur sana." "Ngapain? Kerjaanku udah selesai." "Ditanyain Tuan muda." Jawabnya ketus, membuat Ara mengernyitkan keningnya. "Cepet sana, Tuan muda tidak suka menunggu." Ucap maid yang duduk di dekatnya, sambil menyenggol pelan sikutnya. Ara menghela nafasnya pelan, lalu beranjak dari duduknya, melewati Sintia yang kelihatan bete kuadrat. Ara menghembuskan nafasnya sedikit kasar, lalu berjalan mendekati meja makan, dimana ada Davin yang telah menunggu disana. "Permisi, Tuan muda. Anda memanggil saya?" "Hmm, siapkan makan malam untukku." "Baik, sebentar.." Ara mengambilkan makan malam untuk Davin. Sejujurnya, dia masih merasa takut pada Davin, apalagi setelah kejadian tadi pagi. "Teh chamomile." "Baik, Tuan." Ara kembali ke belakang saat mendengar permintaan Davin. Pria itu menyantap makan malamnya dengan tenang dan lahap, sesekali matanya menatap Ara yang sedang membuatkan teh untuknya. "Ara.." "Saya, Tuan." Ara meletakkan cangkir berisi teh chamomile di depan Davin, sebelum pria itu mencekal tangannya. "Kejadian tadi pagi, itu diluar kendaliku." Ucap Davin dengan wajah datarnya. Ara menghela nafasnya. "Baik, tuan muda. Tidak apa-apa.." lirihnya. Davin mendongak lalu menatap Ara dalam. "Duduk." "Hah?" "Temani saya makan." Ara tidak memiliki pilihan lain selain menuruti perintah Davin. Dia duduk di samping pria tampan itu dengan kaku. "Sudah makan?" "Sudah, Tuan muda." "Hmm, kalau begitu bantu aku makan." "Maksudnya?" "Suapi saya." Ara membulatkan kedua matanya, terkejut. Yang benar saja pria ini, ada-ada saja. Sungguh demi apapun, gebrakannya tak habis-habis. Ara masih mencerna semuanya, sedangkan Davin menunggu jawaban Ara. Tapi di lain sisi... Ara coba melawan dan tidak mau diperlakukan sebagai objek sekaligus obsesi Tuan Muda Davin. Dia lantas melangkah keluar, tapi suara Davin kembali membuatnya tak berkutik. "Ara.." "Saya, Tuan muda. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Ara. Beberapa saat yang lalu, pria itu telah pergi dari dapur setelah menyelesaikan makan malamnya. Tapi baru beberapa menit, dia kembali ke dapur. "Kau bertugas lagi malam ini?" "Benar." "Hmm, baiklah." Setelah mendapat jawaban, Davin pergi. Ara mengernyit, pria itu sedikit tidak jelas. Tapi Ara tak memiliki waktu untuk memikirkannya, dia memilih untuk segera menyelesaikan pekerjaannya. "Ehemm.." Ara menoleh, dia mendapati Sintia di ambang pintu. Kedua tangannya bersedekap, lengkap dengan tatapan sinis. "Belum ke belakang, Sin?" "Kenapa memangnya? Biar kamu bebas godain Tuan muda yaa?" Tanya Sintia. Ara mencuci tangannya, mengeringkannya dengan tisu lalu berbalik menatap Sintia. "Begini yaa, aku gak tahu kamu punya masalah apa sama aku. Sejak aku datang kesini, kamu selalu memojokkanmu seperti itu. Sebenernya apa yang kamu mau sih?" "Yang jelas, aku gak suka kamu caper sama Tuan muda." "Siapa yang caper coba, aku gak caper. Yang aku lakukan semuanya pure karena tuntutan pekerjaan. Jelas?" "Halah, bilang aja. Sejak kemarin kamu terus yang dicari Tuan muda, kamu kasih apa sama Tuan muda hah?" "Aku? Aku diem doang padahal, kenapa kamu bisa menyimpulkan seenaknya sih? Aku gak ada niatan caper atau apapun sama Tuan muda. Niatku kesini buat kerja, bukan buat menggatal." Jawab Ara tak mau kalah. Sintia masih menatapnya tajam, tapi kali ini Ara melawan. Heran juga, dimusuhi tanpa sebab lalu saat ditanya tapi dia hanya mengatakan tak suka? Terus menuduhnya caper pada Tuan muda di rumah ini? Padahal, Ara tidak melakukan apapun. Kejadian waktu itu pun, itu benar-benar bukan ulah Ara, Davin sudah mengakuinya dan meminta maaf. "Kalau masalah Tuan muda yang mencariku, itu diluar kendaliku. Aku tidak tahu kenapa, kau bisa tanyakan sendiri pada Tuan muda untuk hal itu. Tapi, berhenti bersikap seolah-olah aku punya salah sama kamu, Sintia." "Cukup-cukup, ada apa sih?" Tanya Arina, dia salah satu maid yang seringkali bersama Ara. Dia maid yang bertugas di bagian dapur juga. "Dia yang mulai duluan, kak. Aku diem aja, masih kena tuduh. Aku gak caper yaa sama Tuan muda." "Sudah-sudah, kita disini itu kerja, kita sama-sama maid disini, kerja yang akur, bisa kan? Gak enak sama Nyonya kalau kalian begini." "Tapi dia tuh gatel banget—" Sintia masih menggebu-gebu, sebelum suara berat dari seseorang membuatnya terdiam. "Apa apa ini?" Itu suara Davin, pria itu mendengar suara gaduh dari dapur dan mendekat. Sintia yang tadi terlihat marah, tiba-tiba semringah? What? Secepat itu ekspresi wajahnya berubah? Bahkan Ara dan Arina saja sampai terheran-heran melihat perubahan mimik wajah itu. "Tidak apa-apa kok, Tuan muda." Sintia menebar senyum manisnya di depan Davin. Pria itu mengerutkan keningnya, lalu mendengus. "Kalau tidak ada apa-apa, gak usah berisik." "Maaf, Tuan muda." Ara meminta maaf sambil menunduk. Davin melirik gadis itu dengan sebelah alis yang terangkat. Berbeda lagi dengan Sintia, dia tetap mempertahankan senyuman lebarnya. "Buatkan teh chamomile." "Saya saja, Tuan muda." Sintia mengajukan diri dengan cepat. "Tanpa gula, Ara." "H-aahh?" "Tuan muda, tapi.." "Buatkan saya teh chamomile tanpa gula, Arabella." Ucap Davin membuat Ara sedikit terkejut, tapi kemudian dia menerima cangkir besar dari tangan Davin dan bergegas membuatkan teh chamomile. Sintia yang melihat hal itu semakin kebakaran rasanya, tapi buru-buru tangannya ditarik Arina sebelum membuat masalah lagi. "Ada apa, Ara?" "Maaf, Tuan muda?" "Saya dengar, tapi saya ingin mendengarnya darimu. Bilang saja yang sebenarnya." Ucap Davin, matanya menatap intens ke arah Ara yang tengah menuang air panas ke dalam cangkir berisi teh chamomile. "Dia menuduh saya caper, Tuan muda." "Caper sama siapa?" "Anda, Tuan muda." Jawab Ara pelan. Dia meletakkan cangkir didepan Davin, tehnya masih mengepulkan uap karena baru saja diseduh. Aroma khas teh chamomile menguar memenuhi dapur. "Haha, bukankah dia sendiri yang caper?" "Saya tidak tahu. Tapi dia mengatakan hal itu, dia juga bertanya kenapa anda selalu mencari saya, ingin dilayani saya, katanya dikasih apa biar tuan muda terus nyariin saya.." lirih Ara membuat Davin berdecak. Ini bukan pertama kalinya maid itu berlaku seperti ini. Sudah beberapa kali dan yaa, Davin tidak peduli, tidak tertarik juga. "Lalu?" "Saya gak tahu, tapi sejak pertama kali saya datang kesini pun, air mukanya itu kayak gak bersahabat, sinis terus jutek gitu.." "Tapi kamu merasa caper di depan saya?" Tanya Davin. Ara menggelengkan kepalanya, dia tidak merasa cari perhatian sama sekali. Dia fokus bekerja, tidak cari muka didepan siapapun. Niatnya kesini untuk bekerja, mencari uang, bukan mencari masalah dengan maid lain. "Saya rasa.. tidak." "Hmm, kamu tidak caper tapi berhasil mendapatkan ciuman?" "T-tuan muda.." "Wajahmu merah, kau alergi?" "Bisa tidak, jangan membahas yang itu?" Cicitnya, membuat Davin terkekeh pelan. Dia mengaduk tehnya, lalu meminumnya pelan. "Kalau kau memang tidak merasa atas tuduhan yang dilayangkan maid lain, lawan. Jangan diam saja. Semakin kau diam, maka semakin gencar pula bersikap semaunya." "Iya, Tuan muda.." "Persaingan dunia kerja memang ketat, terkadang kejam. Banyak orang rela menghalalkan cara demi uang, demi mempertahankan pekerjaan atau jabatan. Bahkan bekerja jadi maid pun beresiko, apalagi kau baru bekerja beberapa hari disini." Davin kembali menyesap tehnya, sesekali melirik gadis di sampingnya yang tengah menunduk. "Tujuanmu disini, bekerja kan? Fokus dengan itu, tapi kalau kau merasa risih, katakan. Jangan dipendam." "Baik, Tuan muda. Saya mengerti.." "Kalau kau sungkan dengan Mommy atau Daddy, kau bisa bicara denganku." Davin memberi senyum kecilnya. Ini pertama kalinya. Padahal Davin itu bukan tipe orang yang peduli pada orang lain, dia terkesan cuek, bodo amat. Ara menatap punggung lebar Davin menjauh dari ruang makan. Entah apa yang terjadi pada hatinya, yang jelas beberapa menit bicara dengan pria itu membuat perasaannya aneh. Ara berniat untuk pergi ke kamarnya, tapi.. "Aawwsshhh.." kepalanya terdongak menatap langit-langit. Rambutnya ditarik keras dari belakang. "Aku peringatkan, jangan mendekati Tuan muda!" Ucapnya penuh penekanan. Itu Sintia. Ara meringis, berusaha melepaskan tangan Sintia dari rambutnya, tapi bukannya telerpas, jambakan itu terasa semakin kuat. "Sa-kit.." "Jangan caper sama Tuan muda, Ara." "I-iya.." "Cihh.." Sintia melepaskan jambakannya dari rambut Ara, sampai rambutnya rontok di tangan gadis itu. Ara memegangi kepalanya yang terasa sakit. "Ini peringatan, Ara. Jangan dekat-dekat atau caper di depan Tuan muda. Paham?" "Y-yaa.." jawabnya pelan, nada suaranya bergetar. Bukan takut. Tapi menahan sakit. Seumur hidup, Ara tak pernah merasakan hal seperti ini. Tapi sekarang? Dia merasakannya dari orang luar. Benar kata Davin, dunia kerja itu kejam."Yang bohong akan terlihat takut, tapi sebaliknya, yang jujur akan terlihat tenang, Mom." "Ya, Mommy juga berpikir begitu. Ya sudahlah, Mommy cek cctv dulu.""T-tapi, Nyonya.." Sintia gelagapan, berusaha menghalangi langkah Lucy untuk mengecek cctv. Tapi Ara, masih menundukkan kepalanya. "Kalau gak ngerasa, lawan. Jangan diam-diam aja.""Iya, Tuan muda.""Saya tidak suka perempuan lemah. Ingat itu." Davin pergi meninggalkan dapur setelah mengatakan hal itu. Yang sebenarnya terjadi, kemarin malam Sintia mencuci cangkir kesukaan Lucyana tapi naasnya cangkir itu terjatuh dan pecah berhamburan. Dia tahu cangkir itu berharga, mahal pula harganya. Alhasil, dia berpikir untuk menjebak Ara tapi Davin malah datang dan membuat rencananya gagal total. Tadi pagi, memang Ara yang membuang sisa pecahan itu tapi hanya serpihan kecil, dia tidak tahu menahu itu cangkir atau apa, Sintia yang memintanya membersihkan area itu. Entah apa yang teradi, Ara diminta Davin untuk tenang saja karena Lucyana
Ara sudah terlihat aktif di dapur semenjak kejadian kemarin, mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, tanpa terganggu dengan tatapan sinis dari Sintia yang selalu mengintimidasinya. Sejak tadi, gadis itu terus berdekatan dengannya.Mungkin, ingin memastikan Ara tidak dekat-dekat dengan Davin.Namun, nasib tak selalunya mulus, bukan? Davin kembali meminta Ara untuk melayaninya seperti kemarin.Ara sempat melirik Sintia, gadis itu melengos dengan wajah kesal. Ara menghela nafasnya pelan lalu mulai menyajikan sarapan untuk Davin. Kebetulan, pagi ini Davin pergi berolahraga, dia baru kembali setelah keluar pagi-pagi sekali untuk jogging. Rambutnya masih setengah basah, sedikit acak-acakan tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya, justru malah terlihat semakin tampan. "Maaf, Tuan muda.." Ara meletakkan piring berisi menu sarapan Davin pagi ini. Pria itu mengangkat sebelah alisnya, lalu mendongak menatap wajah Ara. "Kenapa begini?""Maaf?""Aku tidak biasa sarapan begini, Ara." Jawabnya,
"Ada di belakang, Tuan muda. Dia sedang—""Panggil dia kemari.""Tapi, Tuan mu—" perkataan Sintia terpotong saat Davin menatapnya tajam. Akhirnya, tak ada pilihan lain, Sintia pun pergi memanggil Ara. "Ara!""Iya, kenapa?""Ke dapur sana.""Ngapain? Kerjaanku udah selesai.""Ditanyain Tuan muda." Jawabnya ketus, membuat Ara mengernyitkan keningnya. "Cepet sana, Tuan muda tidak suka menunggu." Ucap maid yang duduk di dekatnya, sambil menyenggol pelan sikutnya. Ara menghela nafasnya pelan, lalu beranjak dari duduknya, melewati Sintia yang kelihatan bete kuadrat. Ara menghembuskan nafasnya sedikit kasar, lalu berjalan mendekati meja makan, dimana ada Davin yang telah menunggu disana. "Permisi, Tuan muda. Anda memanggil saya?""Hmm, siapkan makan malam untukku.""Baik, sebentar.." Ara mengambilkan makan malam untuk Davin. Sejujurnya, dia masih merasa takut pada Davin, apalagi setelah kejadian tadi pagi. "Teh chamomile.""Baik, Tuan." Ara kembali ke belakang saat mendengar perminta
“Davin!”"Yes, Mom.." Davin mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, pria itu menatap sang ibu dengan kerutan di keningnya. "Kenapa belum turun? Yang lain sudah menunggu.""Mommy tau sendiri kan, aku tidak bisa sarapan, aku tidak terbiasa. Duluan saja.." jawab Davin dengan wajah datarnya, memang Davin ini jarang sekali sarapan apalagi dengan makanan berat. Paling hanya buah, susu atau yoghurt. Paling sereal atau granola, itu sudah cukup untuknya di pagi hari. Maka dari itu, badannya terbentuk sempurna. "Kamu bertemu dengan Ara?""Ara? Siapa itu?""Maid baru yang semalam berjaga, kamu pasti bertemu dengannya tadi malam.""Oh, namanya Ara?""Hmm..""Aku sudah menyuruhnya turun, apa dia tidak kembali ke ruang makan?" Tanya Davin lagi. Lucyana menggelengkan kepalanya, dia tidak bertemu Ara, atau berpapasan dengan gadis itu."Ya sudah, nanti sarapan yaa. Mommy mau ke kantor dulu sama Daddy." Ucap Lucyana. Davin hanya mengiyakan, jawaban singkat dan meyakinkan. Selepas kepergian Lucy,
"Maaf, Tuan muda." Ara membantu membawakan barang bawaan tuan muda yang baru saja datang itu dengan perlahan. Pria itu hanya memberi celah dan membiarkan gadis itu membawakan barang bawaannya. Hanya satu koper, tak ada lagi. Ara terlihat canggung, begitu pria itu masuk, buru-buru dia menutup pintu dan menguncinya. Kemudian mengikuti langkah tegap pria tampan dengan kacamata transparan itu, demi apapun dia adalah orang tampan pertama yang pernah dilihatnya seumur hidup. Jemian Ardavin Suseno, putra sulung keluarga Suseno. Usianya 29 tahun, dia pria yang cerdas, tampan, memiliki banyak sekali kemampuan, tak heran dia dipercaya untuk memegang perusahaan sang ayah. Kemarin, pria itu harus pergi kunjungan ke luar negeri selama dua bulan penuh karena ada permasalahan dengan cabang perusahaan disana, sekaligus mencari relasi baru untuk bisnisnya. Davin duduk di sofa, melonggarkan dasi yang mengikat ketat lehernya, menyugar rambutnya pelan lalu mengacaknya. Pemandangan itu tak luput dari
"Tolong..""Tolong, Pak. Ibu jatuh di kamar mandi.." ucapnya dengan derai air mata, dia tak bisa menahan rasa khawatir dan paniknya, dia takut. Beberapa orang masuk ke dalam rumah sederhana itu dan akhirnya membawa Ratih ke klinik terdekat. Namun, sepertinya benturan di kepala membuat Ratih kritis. Ara shock, dia menjerit histeris. Mau tak mau, Ratih harus dirujuk ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang lebih intensif. Tangisannya terdengar pilu, dia menangis di ruang tunggu, bajunya bergetar menahan tangisan. Sampai akhirnya, pundaknya di tepuk pelan. Ara mendongak, dia mendapati Ratna ada disana. "Bibi, Ibu bi.." "Iya, bibi tahu.." Ratna memeluk tubuh lemah itu, mengusap punggungnya, menenangkan gadis yang tengah berduka dengan keadaan sang ibu saat ini."Bi, kalau ibu gak ada, Ara sama siapa?""Jangan bicara seperti itu, Ibumu pasti sembuh, Ara. Doakan dia agar bisa melewati semuanya." "Bi, di rumah itu ada lowongan jadi maid nggak?" tanya Ara pelan. “Ara bingung haru







