تسجيل الدخولAra sudah terlihat aktif di dapur semenjak kejadian kemarin, mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, tanpa terganggu dengan tatapan sinis dari Sintia yang selalu mengintimidasinya. Sejak tadi, gadis itu terus berdekatan dengannya.
Mungkin, ingin memastikan Ara tidak dekat-dekat dengan Davin. Namun, nasib tak selalunya mulus, bukan? Davin kembali meminta Ara untuk melayaninya seperti kemarin. Ara sempat melirik Sintia, gadis itu melengos dengan wajah kesal. Ara menghela nafasnya pelan lalu mulai menyajikan sarapan untuk Davin. Kebetulan, pagi ini Davin pergi berolahraga, dia baru kembali setelah keluar pagi-pagi sekali untuk jogging. Rambutnya masih setengah basah, sedikit acak-acakan tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya, justru malah terlihat semakin tampan. "Maaf, Tuan muda.." Ara meletakkan piring berisi menu sarapan Davin pagi ini. Pria itu mengangkat sebelah alisnya, lalu mendongak menatap wajah Ara. "Kenapa begini?" "Maaf?" "Aku tidak biasa sarapan begini, Ara." Jawabnya, tangannya mendorong pelan piring berisi nasi dan lauk pauk itu. "Maaf, Tuan. Anda ingin sarapan yang lain? Roti atau sereal?" "Hmm, roti. Dipanggang kering." "Baik, Tuan. Maafkan atas kesalahan saya.." "Ya." Jawabnya singkat. Tapi dengan cepat, Sintia mengambil kesempatan. Dia tersenyum penuh kemenangan lalu berjalan mendekat dengan piring berisi roti panggang. Oke, dia sengaja membuat Ara terkesan bersalah di depan Davin. Itu rencananya. Sintia tersenyum, lalu menyenggol lengan Ara hingga membuat gadis itu sedikit meringis lalu memegangi lengannya, rasanya lumayan sakit karena Sintia menyenggolnya lumayan keras. "Ini roti panggangnya, Tuan muda.." Sintia meletakkan piring berisi roti panggang diatasnya dengan percaya diri, tersenyum penuh arti. Davin mengernyitkan keningnya, lalu membalikkan roti panggang di piring itu lalu mendorong piringnya, menolak. "Gosong. Kau yakin menyajiikannya untuk majikanmu?" Tanya Davin membuat senyuman gadis itu luntur seketika. "Maaf, Tuan muda. Tapi.." "Kau tidak perlu repot-repot, aku ingin Ara yang menyiapkan sarapanku." Ucap Davin. Nada suaranya cukup keras, sampai membuat Ara terkejut lalu bergegas memanggang roti tawar dan mengoleskan selai diatasnya, secepat mungkin. Sintia menatap tajam saat Ara menatapnya sekilas. Sekali lagi, Ara tidak takut sama sekali dengan gadis itu. Tapi.. "Aaaa.." tubuh Ara kehilangan keseimbangan saat kakinya tak sengaja tersandung sesuatu. Ternyata, itu kaki Sintia. Gadis itu sengaja mengulurkan kakinya agar langkah Ara limbung lalu berpura-pura menolongnya. "Aduh, hati-hati dong.." Sintia menolong Ara dengan memegangi lengannya, namun cekalan Sintia di lengannya terasa semakin kuat, membuat Ara meringis. "Yaahh, rotinya jatoh deh.." Sintia menatap roti buatan Ara dengan nanar, namun Ara menangkap raut wajah yang lain dari Sintia. "Ckk.." Davin berdecak lalu beranjak dari duduknya. Ara menunduk, tapi Sintia tetap menegakkan kepalanya, seolah tidak melakukan kesalahan apapun. Padahal, dia biang keladinya. "Saya lapar, bisakah kalian tidak ceroboh?" "Maaf, Tuan muda.." "Tahu nih, Ara.." bukannya minta maaf seperti yang dilakukan Ara, kentara betul Sintia menyalahkan Ara. "Kau juga sama." Sintia terkejut begitu mendengar suara Davin. Dia menatapnya tajam, tapi kemudian dia menarik tangan Ara hingga sedikit menjauh dari Sintia. "Pergi." "T-tapi sarapan anda—" "Pergi!" Tekannya sekali lagi. Sintia mendengus lalu pergi dari dapur, meninggalkan Ara dan Davin disana. Sintia tersenyum senang, dia menebak bahwa Ara pasti dimarahi Davin. "Kau baik-baik saja?" Tanya Davin. Ara mengangguk pelan. "Jawab yang benar." "Iya, Tuan muda. Saya baik-baik saja.." "Kakimu?" Ara mendongak, dia terkejut tapi akhirnya mengerti bahwa Davin mengetahui kalau kakinya tersandung kaki Sintia yang sengaja menghalangi jalannya. Tujuannya, tentu saja biar Ara kelihatan ceroboh dan ujung-ujungnya dimarahi Tuan muda. "Baik-baik saja, Tuan muda." "Hmm, kau masih bisa buatkan sarapan untukku?" "Bisa, Tuan muda. Maaf membuat anda menunggu.." "Ya." Jawabnya singkat, lalu kembali duduk dan Ara membuatkan kembali roti panggang untuk Davin. Setelah berbagai macam drama, akhirnya Davin sarapan dan seperti biasa, pria itu meminta Ara menemaninya. Meskipun hanya diam-diaman, tapi Davin suka saat melihat Ara dengan wajah polosnya sesekali mencuri pandang ke arahnya. Baginya itu lucu, menggemaskan. Selepas sarapan, Davin meninggalkan dapur dan pergi ke ruang kerjanya. Mengerjakan pekerjaan rumahnnya, Davin memilih untuk work from home atau WFH. Alasannya? Entahlah, belakangan ini jadi malas untuk bepergian. Ara menghela nafasnya pelan, menyadari tatapan Sintia tajam ke arahnya. Poin utama kenapa Sintia melakukan hal itu adalah, dia merasa tersaingi. Sintia merasa Ara itu adalah saingannya untuk mendapatkan perhatian Tuan muda. Sinis, jutek, beberapa kali Sintia juga melakukan sesuatu untuk mempermalukannya, termasuk tadi pagi. Dan kali ini, dia melihat Sintia mengintimidasi Arina yang terlihat akrab dengannya. "Dilihat-lihat, kamu tuh akrab banget sama tuh maid gatel." "Maid gatel? Siapa?" "Gak usah pura-pura bego." Sintia ngegas, padahal Arina belum mengerti kemana arah pembahasan Sintia. Namun melihat ekspresi wajahnya itu, Arina paham kalau topik utama yang dibicarakan Sintia itu Ara, siapa lagi memangnya? "Aku sih akrab-akrab aja, lagian Ara anaknya baik. Gak banyak omong apalagi berulah." "Ckk, dia caper sama Tuan muda. Itu berulah namanya.." "Aduh, Sintia. Gini deh, Ara baru kerja disini tiga hari. Dibanding kau, dia masih sangat baru disini. Kalau ngomongin caper, justru kamu yang lebih dulu caper sama Tuan muda." celetuk Arina membuat Sintia mendelik. Tidak sesuai ekspektasi, niatnya ingin mengompori agar Arina juga berada di pihaknya. Tapi ternyata tidak. Arina terlihat peduli, bukan urusannya juga sebenarnya. "Dibelain banget, ngasih apa dia sama kamu?" "Aku gak belain siapapun, tapi memangnya kenapa sih? Aku gak punya masalah sama dia. Sekarang, aku mau tanya, dia ada salah sama kamu atau apa? Sampai segitu bencinya kamu sama dia." tanya Arina. "Gak suka aja. Hak aku juga." "Itu memang hakmu, Ara juga gak minta disukain orang sepertimu. Tapi jangan ganggu kerjaan juga, apalagi sampai bikin masalah." "Aihhh, dia kenapa sih?" Ara bergumam sendiri, mau heran tapi buang-buang waktu saja, kan? Bersikap bodo amat saja. Namun, ketika dia ingin menjauh dari perdebatan itu, tiba-tiba suara perempuan memanggilnya dari atas. "Ara!" "Saya, Nyonya." Ara mendekat begitu namanya disebut, itu Lucyana. Wanita itu menatapnya sedikit berbeda dari biasanya. "Kamu yang mecahin cangkir favorit saya?" tuduh Lucy. Ara terkejut bukan main, dia tidak memecahkan apapun selama bekerja disini. "Maaf, Nyonya. Cangkir favorit anda saja, saya tidak tahu." Ara menundukkan kepalanya. Dia memang tidak melakukannya, tapi rasa takutnya tetap mendominasi. "Yang ini lho, Ara." Itu bukan Lucy, tapi suara Sintia. Perempuan itu datang dengan wajah angkuhnya, lalu menunjukkan salah satu cangkir yang sama persis. "Maaf, Nyonya. Saya tidak pernah melihat cangkir dengan warna atau motif seperti ini." "Bukan kau yang mencucinya kemarin?" "Bukan, Nyonya. Saya memang bertugas mencuci piring kemarin, tapi tak ada cangkir itu di wastafel." Jawab Ara lirih. "Ngaku aja kali. Bohong pun, nantinya bakal ketahuan." Celetuk Sintia, membuat Ara mendongak. Dia paham poin utamanya, ini fitnah yang dilakukan oleh Sintia agar membuat namanya jelek di depan majikan. "Cek aja, Mom. Di dapur ada cctv kan?" Bukan Sintia, Lucy atau Ara. Tapi itu Davin, pria dengan setelan rumahan itu muncul dengan menunjukkan wajah datarnya. "Mommy lupa ada cctv disini. Baiklah, akan Mommy cek." "H-aahh.." Sintia terlihat kelabakan sendiri, takut mungkin. "Biar ketahuan siapa yang bohong, kelihatan juga siapa yang mecahin cangkir Mommy. Jangan asal percaya sama siapapun, tak ada yang tahu bagaimana hati manusia." Itu Davin dan dia datang untuk menyelamatkan Ara!"Yang bohong akan terlihat takut, tapi sebaliknya, yang jujur akan terlihat tenang, Mom." "Ya, Mommy juga berpikir begitu. Ya sudahlah, Mommy cek cctv dulu.""T-tapi, Nyonya.." Sintia gelagapan, berusaha menghalangi langkah Lucy untuk mengecek cctv. Tapi Ara, masih menundukkan kepalanya. "Kalau gak ngerasa, lawan. Jangan diam-diam aja.""Iya, Tuan muda.""Saya tidak suka perempuan lemah. Ingat itu." Davin pergi meninggalkan dapur setelah mengatakan hal itu. Yang sebenarnya terjadi, kemarin malam Sintia mencuci cangkir kesukaan Lucyana tapi naasnya cangkir itu terjatuh dan pecah berhamburan. Dia tahu cangkir itu berharga, mahal pula harganya. Alhasil, dia berpikir untuk menjebak Ara tapi Davin malah datang dan membuat rencananya gagal total. Tadi pagi, memang Ara yang membuang sisa pecahan itu tapi hanya serpihan kecil, dia tidak tahu menahu itu cangkir atau apa, Sintia yang memintanya membersihkan area itu. Entah apa yang teradi, Ara diminta Davin untuk tenang saja karena Lucyana
Ara sudah terlihat aktif di dapur semenjak kejadian kemarin, mengerjakan pekerjaannya seperti biasa, tanpa terganggu dengan tatapan sinis dari Sintia yang selalu mengintimidasinya. Sejak tadi, gadis itu terus berdekatan dengannya.Mungkin, ingin memastikan Ara tidak dekat-dekat dengan Davin.Namun, nasib tak selalunya mulus, bukan? Davin kembali meminta Ara untuk melayaninya seperti kemarin.Ara sempat melirik Sintia, gadis itu melengos dengan wajah kesal. Ara menghela nafasnya pelan lalu mulai menyajikan sarapan untuk Davin. Kebetulan, pagi ini Davin pergi berolahraga, dia baru kembali setelah keluar pagi-pagi sekali untuk jogging. Rambutnya masih setengah basah, sedikit acak-acakan tapi tidak mengurangi kadar ketampanannya, justru malah terlihat semakin tampan. "Maaf, Tuan muda.." Ara meletakkan piring berisi menu sarapan Davin pagi ini. Pria itu mengangkat sebelah alisnya, lalu mendongak menatap wajah Ara. "Kenapa begini?""Maaf?""Aku tidak biasa sarapan begini, Ara." Jawabnya,
"Ada di belakang, Tuan muda. Dia sedang—""Panggil dia kemari.""Tapi, Tuan mu—" perkataan Sintia terpotong saat Davin menatapnya tajam. Akhirnya, tak ada pilihan lain, Sintia pun pergi memanggil Ara. "Ara!""Iya, kenapa?""Ke dapur sana.""Ngapain? Kerjaanku udah selesai.""Ditanyain Tuan muda." Jawabnya ketus, membuat Ara mengernyitkan keningnya. "Cepet sana, Tuan muda tidak suka menunggu." Ucap maid yang duduk di dekatnya, sambil menyenggol pelan sikutnya. Ara menghela nafasnya pelan, lalu beranjak dari duduknya, melewati Sintia yang kelihatan bete kuadrat. Ara menghembuskan nafasnya sedikit kasar, lalu berjalan mendekati meja makan, dimana ada Davin yang telah menunggu disana. "Permisi, Tuan muda. Anda memanggil saya?""Hmm, siapkan makan malam untukku.""Baik, sebentar.." Ara mengambilkan makan malam untuk Davin. Sejujurnya, dia masih merasa takut pada Davin, apalagi setelah kejadian tadi pagi. "Teh chamomile.""Baik, Tuan." Ara kembali ke belakang saat mendengar perminta
“Davin!”"Yes, Mom.." Davin mengusap rambutnya yang basah dengan handuk, pria itu menatap sang ibu dengan kerutan di keningnya. "Kenapa belum turun? Yang lain sudah menunggu.""Mommy tau sendiri kan, aku tidak bisa sarapan, aku tidak terbiasa. Duluan saja.." jawab Davin dengan wajah datarnya, memang Davin ini jarang sekali sarapan apalagi dengan makanan berat. Paling hanya buah, susu atau yoghurt. Paling sereal atau granola, itu sudah cukup untuknya di pagi hari. Maka dari itu, badannya terbentuk sempurna. "Kamu bertemu dengan Ara?""Ara? Siapa itu?""Maid baru yang semalam berjaga, kamu pasti bertemu dengannya tadi malam.""Oh, namanya Ara?""Hmm..""Aku sudah menyuruhnya turun, apa dia tidak kembali ke ruang makan?" Tanya Davin lagi. Lucyana menggelengkan kepalanya, dia tidak bertemu Ara, atau berpapasan dengan gadis itu."Ya sudah, nanti sarapan yaa. Mommy mau ke kantor dulu sama Daddy." Ucap Lucyana. Davin hanya mengiyakan, jawaban singkat dan meyakinkan. Selepas kepergian Lucy,
"Maaf, Tuan muda." Ara membantu membawakan barang bawaan tuan muda yang baru saja datang itu dengan perlahan. Pria itu hanya memberi celah dan membiarkan gadis itu membawakan barang bawaannya. Hanya satu koper, tak ada lagi. Ara terlihat canggung, begitu pria itu masuk, buru-buru dia menutup pintu dan menguncinya. Kemudian mengikuti langkah tegap pria tampan dengan kacamata transparan itu, demi apapun dia adalah orang tampan pertama yang pernah dilihatnya seumur hidup. Jemian Ardavin Suseno, putra sulung keluarga Suseno. Usianya 29 tahun, dia pria yang cerdas, tampan, memiliki banyak sekali kemampuan, tak heran dia dipercaya untuk memegang perusahaan sang ayah. Kemarin, pria itu harus pergi kunjungan ke luar negeri selama dua bulan penuh karena ada permasalahan dengan cabang perusahaan disana, sekaligus mencari relasi baru untuk bisnisnya. Davin duduk di sofa, melonggarkan dasi yang mengikat ketat lehernya, menyugar rambutnya pelan lalu mengacaknya. Pemandangan itu tak luput dari
"Tolong..""Tolong, Pak. Ibu jatuh di kamar mandi.." ucapnya dengan derai air mata, dia tak bisa menahan rasa khawatir dan paniknya, dia takut. Beberapa orang masuk ke dalam rumah sederhana itu dan akhirnya membawa Ratih ke klinik terdekat. Namun, sepertinya benturan di kepala membuat Ratih kritis. Ara shock, dia menjerit histeris. Mau tak mau, Ratih harus dirujuk ke rumah sakit agar mendapatkan penanganan yang lebih intensif. Tangisannya terdengar pilu, dia menangis di ruang tunggu, bajunya bergetar menahan tangisan. Sampai akhirnya, pundaknya di tepuk pelan. Ara mendongak, dia mendapati Ratna ada disana. "Bibi, Ibu bi.." "Iya, bibi tahu.." Ratna memeluk tubuh lemah itu, mengusap punggungnya, menenangkan gadis yang tengah berduka dengan keadaan sang ibu saat ini."Bi, kalau ibu gak ada, Ara sama siapa?""Jangan bicara seperti itu, Ibumu pasti sembuh, Ara. Doakan dia agar bisa melewati semuanya." "Bi, di rumah itu ada lowongan jadi maid nggak?" tanya Ara pelan. “Ara bingung haru







