LOGINDavin tersenyum jahat, dia menunduk lalu mencium lehernya, menyesapnya kuat hingga meninggalkan bekas kemerahan. Tidak hanya satu, tapi ada beberapa yang dibuat Davin malam itu.
Ara meraung, dia menangis, menendang-nendangkan kakinya agar bisa lepas. Itu perlawanan terakhirnya, sebelum Davin melucuti seluruh pakaiannya. Pria itu menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. "Kau milikku, Ara." bisiknya di telinga Ara, gadis itu sesenggukan. Sejak tadi, dia menangis, memohon agar Davin melepaskannya tapi pria itu menulikan pendengarannya. "Tolong, lepaskan saya, Tuan." lirihnya, tapi Davin tetap melancarkan aksinya, menjamah tubuh Ara yang telah terpampang nyata, membuat Davin menggila. "Eunghhh.." Ara melenguh pelan, suara laknat itu membuat Davin tersenyum puas. Dia semakin gencar melancarkan aksinya. Davin melebarkan kedua kaki Ara, mengusap lembut permukaan kulit Ara yang terlampau sensitif. Ara bergidik, seluruh tubuhnya terasa merinding. Ini pertama kalinya. Pria itu mengambil semuanya untuk pertama kalinya. "Brengsek!" "Hahaha, yes i'am.." pria itu tertawa, dia mengungkung tubuh mungil itu, menyentuhnya namun Ara tak bereaksi, dia lelah melawan. Dia telah mengerahkan seluruh tenaganya, tapi tetap kalah oleh Davin. Ara menangis saat Davin mengoyak mahkota yang selama ini dijaganya sebaik mungkin. Tubuh Ara terhentak-hentak lemah saat Davin bergerak dengan cepat mengejar pelepasannya. Dia terlihat sangat menikmati permainannya sendiri, tapi Ara tidak. Dia masih meneteskan air matanya, meskipun Davin masih sedikit peduli dengan mengusap air matanya, tapi Ara tetap sakit. "Jangan menangis. Nikmati saja, harusnya kau mendesahkan namaku sekeras yang kau bisa.." Davin berkata dengan mudah, seolah itu bukanlah hal yang besar. "Su-dah.. Sa-kit, Tuan." "Tidak. Kau terlalu nikmat, Ara. Milikmu sempit, enak sekali." Davin kembali bergerak dengan cepat, mengejar pelepasan yang semakin dekat. Ara memejamkan kedua matanya, air matanya kembali menetes. Rasa sakit yang berpusat di bagian bawah tubuhnya benar-benar membuat air matanya terus mengalir. Kelopak matanya bengkak karena terlalu banyak menangis, Ara merasa hidupnya seakan telah berakhir. “Aaargghh..” Davin mengerang nikmat, pinggulnya semakin bergerak cepat mengejar pelepasan yang sudah di depan mata. Ara ingin menjerit namun suaranya habis, tenggorokannya terasa sakit. Davin mencium bibir Ara, gadis itu hanya diam membatu, membuat Davin melepaskan ciumannya. “Jangan menangis, Ara. Tak seharusnya kamu terus menangisi hal ini.” Plak.. Ara melayangkan tamparan di wajah tampan Davin dan tentu saja, hal itu menyulut emosi Davin. Pria itu menatap Ara tajam, lalu meraih kedua tangan Ara dan menguncinya diatas kepala. Ara sudah lelah, dia hanya diam saja, pasrah dengan apa yang akan dilakukan Davin terhadapnya. “Berani sekali kau menamparku, Ara? Lancang sekali, kau harus dihukum!” Ara memejamkan matanya saat Davin semakin mempercepat gerakan tubuhnya. “Sakit..” Ara menjerit saat Davin bergerak dengan sangat cepat, sampai akhirnya.. “Aaargghhh, damn it, Ara!” Davin berhasil meraih pelepasannya, dia menggeram di telinga Ara, lalu ambruk menindih tubuh Ara. “Nikmat sekali, Ara.” bisiknya, membuat Ara semakin sakit. Dia berusaha menyingkirkan tubuh besar Davin dari atasnya, tapi pria itu malah memeluknya erat, seolah tak membiarkannya lepas begitu saja. “Lepaskan. Kau sudah puas, kan?” “Tidak. Belum.” jawaban itu membuat Ara berontak, mengerahkan sisa tenaganya sampai akhirnya dia berhasil melepaskan diri. Ingin dia lari, tapi rasa sakit di area bawahnya membuatnya terduduk di sudut kamar, matanya menatap nyalang ke arah Davin, tangannya bergerak cepat menarik selimut untuk menutupi tubuh telanjangnya. Davin menggelengkan kepalanya, menepuk-nepuknya pelan mengusir rasa pusing di kepalanya. Dahsyatnya efek minuman membuat kepalanya terasa seperti berputar. Davin menatap Ara, tapi pandangannya mengabur. “Ara..” panggilnya serak, Ara masih menangis sesenggukan. Begitu Davin memanggil namanya, tubuhnya menggigil, rasa sakit kembali menderanya. Davin ingin mendekati Ara, tapi pandangannya semakin kabur, rasa pusing di kepalanya tak bisa ditoleransi lagi, akhirnya tubuh pria itu limbung, kehilangan kesadarannya. Ara menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong. Tubuhnya terasa remuk, bagian bawahnya terasa basah, sakit, ada sedikit sisa darah disana. Saksi bahwa keperawanan yang telah dia jaga selama ini, hancur sudah. Cairan sisa pelepasan Davin bersemayam di tubuhnya, entah apa yang akan terjadi padanya setelah ini, saat ini dia hancur. Ara kembali merasakan sesak di dadanya. Perlahan, dia bangkit dari posisinya, melirik ke arah Davin yang tertidur dengan tubuh telanjang. Ara bergidik, lalu berjalan tertatih, memunguti pakaiannya dan segera memakainya. Pelan, Ara berjalan dengan berpegangan pada dinding meninggalkan kamar khusus maid yang menjadi saksi bisu dimana kehormatannya terenggut dengan begitu kejamnya. Gadis itu mencoba menahan rasa sakit di bagian bawah tubuhnya. Itu sakit. Sakit sekali. Ara meremat ujung pakaiannya, dia tidak tahu harus meluapkan rasa sakitnya dengan cara apa.Arabella meraba bibirnya, masih terasa basah bekas ciuman Davin beberapa saat yang lalu. Sekarang, dia kembali ke dapur dengan perasaan kesal tapi jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ada sedikit perasaan suka yang entah dia menyukai apa. Ciuman Davin, mungkin. “Ara, kenapa bengong terus?”“A-aahh, gapapa kok.” Arabella tersenyum kikuk. Ketahuan sudah, untungnya itu Arina bukan orang lain. “Awas lho, jangan kebiasaan bengong, takutnya kesurupan.”“Isshh, jangan nakutin. Lagian, dirumah besar dan mewah seperti ini, mana ada hantunya sih..” Arabella terkekeh pelan, sambil mencuci piring dan peralatan yang dipakainya beberapa saat lalu. “Gimana? Tuan muda mau makan?”“Iya, mau. Udah minum obat juga, kelihatannya sudah sedikit membaik.” jawab Ara sambil tersenyum kecil. Baguslah jika Davin sembuh dengan cepat, artinya dia tidak harus berduaan dengan pria itu dengan modus mengantarkan sarapan, makan siang atau makan malam. Jujur saja, Davin itu tidak bisa ditebak. Dia bisa dengan m
Sintia berjalan menuruni anak tangga dengan perlahan, tangannya memegangi bagian belakangnya, rasanya lumayan sakit, tapi ada sedikit rasa malu juga. Tanpa sengaja, saat berjalan ke arah dapur, Sintia malah bertemu dengan Arabella yang baru saja kembali setelah mengantar bolu ketan dari pos satpam. Keningnya mengernyit saat melihat Sintia berjalan sedikit tertatih sambil memegangi pinggangnya. Ara menghela nafasnya, ingin sekali rasanya tak peduli tapi naluri kemanusiaannya berkata lain. “Kenapa?” Ara mendekat, lalu membantu Sintia berjalan. “Jatoh.”“Oh.” singkat dan selesai begitu saja, obrolannya terhenti tapi Sintia tidak menolak pertolongan Ara. Keduanya kembali ke dapur. “Lah, kenapa nih orang?” itu suara Arina. Dia heran melihat Sintia meringis dan Ara yang membantunya.“Jatoh, katanya.”“Hadeeuh, padahal gak usah ditolong, Ra. Biarin aja.” celetuk Arina yang membuat Ara terkekeh pelan. “Gapapa, nambah pahala.” “Ckk..” Sintia berdecak sebal, lalu melepas paksa tangan Ar
Saat siang hari, maid senior memerintahkan Ara untuk kembali mengantar makan siang untuk Davin. Tapi, gadis itu tengah kerepotan melakukan pekerjaan lain dan juga seperti biasanya, ada Sintia yang akan dengan senang hati menawarkan diri untuk mengantarkan makan siang ke kamar Davin. “Maaf, saya gak bisa. Ini gak bisa ditinggal, Bu. Maid lain saja kalau begitu..” ucap Ara dengan sopan. Dia tengah membuat adonan bolu ketan yang tengah viral dan maid lain juga sedang sibuk dengan tugas masing-masing. “Saya aja, Bu.” Sintia mengajukan diri dengan senyuman manisnya. “Yaudah. Bawain ke kamar Tuan muda yaa, ingat jangan bikin huru-hara.”“Huru-hara apa sih, Bu? Giliran aku aja pake peringatan segala, Ara tuh yang gatel gak dikasih peringatan tadi.” ucap Sintia sewot, membuat Ara mengernyitkan keningnya. Masih saja Sintia menuduhnya gatal, padahal tidak sama sekali. “Ngaca!” bukan Ara, tapi Arina. Enek juga lama-lama melihat tingkah Sintia, mulutnya itu benar-benar minta di sambelin. “I
“Ara..” pria itu membulatkan matanya, namun suaranya terdengar begitu lirih. Dia benar-benar merasa pusing, sekujur tubuhnya terasa lemas bukan main. “Maaf saya lancang memasuki kamar anda, Tuan muda. Saya diminta senior untuk mengantar sarapan dan obat.” “Ya, tidak apa-apa.” balasnya pelan. Ara tetap berada di posisi awal, dia tidak berani mendekat. Dia takut. Tentu saja, dia tidak akan pernah lupa saat pertama kali dirinya mengganggu Davin saat pria itu tengah beristirahat.“Kalau begitu, saya permisi.” Ara bersiap pergi, tapi suara lirih Davin membuat gadis itu menghentikan langkahnya. “Bisa bantu aku makan? Kepalaku sakit, pusing juga.” pintanya dengan nada sendu, bahkan matanya sedikit berkaca-kaca, membuat Ara tak tega. Pada akhirnya, dia luluh. Kaki jenjangnya membawa dirinya mendekat ke arah ranjang tempat pria itu tergolek lemah. Ara memilih duduk di sisi kasur, membantu Davin untuk duduk bersandar dengan bantal sebagai penopangnya. Wajahnya terlihat pucat, berkeringat da
Pukul sepuluh malam, Davin memutuskan untuk pulang. Dia tak ingin pulang larut, kepalanya terasa ingin pecah, berat dan tak nyaman. Davin tidak minum, dia seratus persen sadar saat ini. Pria itu mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan sedang membelah jalan raya yang terlihat lumayan lengang setelah hujan mengguyur lumayan deras beberapa saat yang lalu. Davin memarkir kendaraannya di garasi, lalu berjalan keluar dengan langkah pelan. Davin membuka pintu utama dan seperti dugaannya, rumahnya telah sepi. “Selamat malam, Tuan muda.” ucap seorang maid sambil menundukkan kepalanya. Davin mengernyitkan keningnya, rasa-rasanya ada sedikit trauma yang membekas dalam ingatannya. “Arina?”“Saya, Tuan muda.”“Arabella kemana? Bukankah hari ini harusnya dia yang berjaga?” tanya Davin. Sedikit banyak, dia mengetahui jadwal gadis itu untuk jaga malam. Harusnya, malam ini bagiannya untuk shift malam. “Ara belum terlalu sehat, jadi saya menggantikannya.” jawab Arina pelan. “Dia masih sakit?”
Wajah Theo memucat, sama pula dengan David. Keduanya sama-sama pucat setelah mendengar penuturan Davin. Tentu saja, mereka tidak menyangka Davin bisa melakukan hal itu. “Gimana ceritanya bisa ons sama maid?” tanya David. Berkali-kali, dia menelan ludahnya kepayahan, sedangkan Davin terlihat datar padahal dalam hati dia juga masih pusing karena Arabella belum memaafkan kesalahannya. “Gak tahu. Tapi pas kalian nganter pulang, ada maid yang bantuin gue kan?”“Jadi, maidnya yang itu?”“Iyee..” balas Davin sambil menghembuskan asap rokoknya ke udara. Untungnya, cafe ini memang disediakan smoking room dan tentu saja, ketiganya pasti memilih untuk nongkrong disana. “Tapi maidnya cakep, masih muda juga kelihatannya.”“Itukah poin utamanya, bastard?” tanya Davin tak habis pikir, kedua temannya malah terfokus dengan kecantikan maid di rumahnya. Meskipun memang benar, Ara itu cantik dan Davin tidak menampik hal itu. “Haha, sorry sorry. Jadi, gimana? Jatuhnya pemerkosaan dong?” David bertany







