Setelah Kenzo mengantarnya pulang, Nayla tidak langsung tidur. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian tadi malam—wajah-wajah misterius yang terlihat mengenal Kenzo, cara mereka berbicara dengan bahasa terselubung, serta bagaimana Kenzo seolah memiliki kendali penuh di dalam ruangan itu.
Duduk di tepi ranjang, Nayla meraih iPad-nya. Jarinya mengetik nama Kenzo Adinata di kolom pencarian G****e. Namun, hasilnya nihil. "Mustahil orang seperti dia gak punya jejak digital," gumamnya. Dia mencoba mencari dengan kata kunci lain: Kenzo Adinata perusahaan, Kenzo Adinata CEO, Kenzo Adinata media, namun hasilnya tetap samar. Nama itu memang muncul di beberapa berita bisnis, tapi hanya sebagai investor misterius yang jarang tersorot kamera. Nayla semakin curiga. Bagaimana mungkin pria sekharismatik Kenzo, yang jelas memiliki kekuasaan, hampir tidak memiliki eksistensi di internet? Merasa tidak puas, Nayla membuka aplikasi chat dan menghubungi Maia. Nayla: "Mai, lo lagi sibuk?" Maia: "Kalau lo nanya gitu, biasanya lo mau curhat." Nayla: "Kenzo kayaknya bukan orang biasa. Gue curiga dia ada di dunia yang... gak normal." Maia: "Hah? Maksud lo?" Nayla menghela napas. Setelah ragu beberapa saat, dia mengetik panjang lebar. Nayla: "Gue tadi malem ikut dia ke acara... semacam gathering orang-orang penting. Tapi atmosfernya aneh, Mai. Kayak mereka semua punya kekuasaan yang lebih dari sekadar bisnis. Lo pernah denger soal mafia media atau teknologi?" Pesan itu terkirim. Nayla menatap layar, menunggu balasan. Butuh beberapa menit sebelum Maia akhirnya menjawab. Maia: "Gue gak tau pasti, tapi pernah denger soal perusahaan-perusahaan bayangan yang ngontrol banyak hal di dunia digital. Lo yakin Kenzo terlibat?" Nayla: "Gue gak yakin... tapi ada sesuatu di matanya, Mai. Dia bukan orang sembarangan." Maia: "Kalau lo udah curiga, lo harus hati-hati. Jangan gegabah." Nayla: "Masalahnya gue udah terlalu dekat sama dia." Belum sempat Maia membalas, suara notifikasi lain muncul. Kali ini dari nomor yang tidak dikenal. Nomor Tidak Dikenal: "Berhenti mencari tahu." Jantung Nayla berdegup kencang. Siapa ini? Dia menelan ludah, merasa ada sesuatu yang tidak beres. Apakah ini kebetulan, atau... seseorang sedang mengawasinya? Tiba-tiba, suara ketukan terdengar di pintu apartemennya. Nayla tersentak. Jam segini, siapa? Dengan hati-hati, dia berjalan ke pintu dan mengintip melalui lubang kecil. Begitu melihat siapa yang berdiri di luar, napasnya tertahan. Kenzo. Mata pria itu tampak tajam, ekspresinya sulit dibaca. Seolah dia tahu persis apa yang sedang Nayla lakukan. "Lo lagi sibuk nyari sesuatu?" tanyanya begitu pintu terbuka, suaranya terdengar tenang, tapi ada nada bahaya di dalamnya. Nayla hanya bisa diam, jantungnya masih berdebar kencang. Dia tahu. Dan untuk pertama kalinya, Nayla merasa bahwa dirinya benar-benar berada di tempat yang tidak seharusnya. Nayla mencoba bertindak biasa. Dia menyilangkan tangan di depan dada, pura-pura cuek. "Nyari inspirasi buat make-up ke acara pernikahan," jawabnya setengah asal. Kenzo menatapnya lebih lama, seolah menimbang apakah dia akan mempercayai jawaban itu atau tidak. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia menghela napas dan masuk ke dalam apartemen Nayla begitu saja. "Gue udah bilang lo gak perlu khawatir soal acara itu," katanya, duduk santai di sofa, seolah ini adalah rumahnya sendiri. Nayla berdiri di dekat pintu, merasa posisinya mulai tidak menguntungkan. "Kenzo," panggilnya, mencoba terdengar tenang. "Lo beneran siapa, sih?" Kenzo mengangkat sebelah alis. "Maksud lo?" "Lo CEO perusahaan media, tapi hampir gak ada info tentang lo di internet. Lo punya banyak koneksi ke orang-orang yang bukan cuma sekadar pebisnis. Terus, tiba-tiba ada nomor gak dikenal ngechat gue nyuruh gue berhenti nyari tahu." Kenzo tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap Nayla dalam-dalam, sebelum akhirnya tersenyum miring. "Lo harusnya gak kaget, Nay. Lo udah tahu dari awal gue bukan orang biasa." "Tapi gue juga gak nyangka lo sedeket ini sama dunia..." Nayla ragu menyelesaikan kalimatnya. Dunia mafia. Kenzo tertawa pelan, tapi tidak ada humor di matanya. "Gue kerja di industri media dan teknologi. Tapi industri ini lebih kejam dari yang lo kira, Nay. Lo pikir semua berita yang lo baca di internet itu netral? Lo pikir data pribadi lo aman? Lo pikir perusahaan-perusahaan media gede itu gak punya permainan kotor?" Nayla terdiam. Dia tahu kenyataan tidak seideal itu, tapi mendengar Kenzo mengatakannya langsung tetap terasa mengejutkan. "Jadi, lo sebenernya apa?" tanyanya akhirnya. Kenzo berdiri dari sofa, melangkah mendekat. Dia berhenti hanya beberapa inci dari Nayla, menatapnya dalam. "Gue adalah orang yang bikin dunia maya bergerak," bisiknya. "Dan kalau lo mau tetap aman, lo harus berhenti bertanya." Jantung Nayla berdegup kencang. Di satu sisi, dia tahu ini peringatan. Tapi di sisi lain... dia merasa semakin tertarik. Dan itu yang paling berbahaya. Nayla menatap Kenzo dengan perasaan campur aduk. Seharusnya dia takut. Seharusnya dia berhenti. Tapi alih-alih menjauh, dia malah semakin ingin tahu. "Lo nyuruh gue berhenti bertanya, tapi lo gak sadar kan kalau justru bikin gue makin penasaran?" suara Nayla terdengar lebih mantap daripada yang dia rasakan. Kenzo mendengus pelan, senyum miring khasnya masih terpasang. "Lo terlalu pintar buat jadi polos, Nay. Tapi lo juga terlalu keras kepala buat sadar kapan harus mundur." Nayla menyilangkan tangan, menantang. "Lo pikir gue bakal mundur?" Kenzo diam sejenak, lalu menatapnya dengan intens. "Enggak." Dia berbalik dan berjalan menuju dapur apartemen Nayla, tanpa meminta izin, tanpa basa-basi. Nayla hanya bisa mengikuti dengan dahi mengernyit. "Lo mau ngapain?" tanyanya, melihat Kenzo membuka kulkas dan mengambil botol air mineral, menuangnya ke gelas, lalu meneguknya santai. "Gue haus," jawabnya simpel. Nayla hampir tertawa saking absurdnya situasi ini. Pria yang baru saja mengaku berbahaya, sekarang malah santai minum di dapurnya seolah mereka teman lama. "Kenzo, lo itu siapa sebenernya?" Nayla bertanya lagi. Kenzo meletakkan gelasnya ke meja dapur dengan pelan, tapi ekspresinya berubah lebih serius. "Lo tahu, Nay, di dunia ini ada dua jenis kekuasaan. Satu, yang bisa lo lihat—kayak politikus, CEO perusahaan besar, pemilik saham. Dan dua, yang ada di balik layar, yang cuma dikendalikan segelintir orang." Kenzo menatap Nayla dengan tajam. "Gue ada di antara dua dunia itu. Gue bukan cuma CEO perusahaan media dan teknologi. Gue ngontrol informasi, Nay. Gue bisa bikin satu orang jadi terkenal dalam semalam atau hancur dalam hitungan detik. Dan gue juga tahu semua orang yang gak boleh lo cari tahu." Nayla merasakan bulu kuduknya meremang. Ada sesuatu di balik kata-kata Kenzo yang terdengar terlalu nyata, terlalu dalam. "Jadi... lo semacam shadow leader?" Kenzo mengangkat bahu. "Terserah lo mau nyebutnya apa." "Terus... kenapa lo repot-repot deketin gue?" suara Nayla nyaris berbisik. Kenzo menatapnya lama. "Karena lo masuk ke dunia gue, sadar atau enggak. Dan sekarang, gue gak bisa biarin lo keluar." Dunia tiba-tiba terasa lebih kecil dan lebih gelap.Setelah Kenzo mengantarnya pulang, Nayla tidak langsung tidur. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian tadi malam—wajah-wajah misterius yang terlihat mengenal Kenzo, cara mereka berbicara dengan bahasa terselubung, serta bagaimana Kenzo seolah memiliki kendali penuh di dalam ruangan itu.Duduk di tepi ranjang, Nayla meraih iPad-nya. Jarinya mengetik nama Kenzo Adinata di kolom pencarian Google. Namun, hasilnya nihil."Mustahil orang seperti dia gak punya jejak digital," gumamnya.Dia mencoba mencari dengan kata kunci lain: Kenzo Adinata perusahaan, Kenzo Adinata CEO, Kenzo Adinata media, namun hasilnya tetap samar. Nama itu memang muncul di beberapa berita bisnis, tapi hanya sebagai investor misterius yang jarang tersorot kamera.Nayla semakin curiga. Bagaimana mungkin pria sekharismatik Kenzo, yang jelas memiliki kekuasaan, hampir tidak memiliki eksistensi di internet?Merasa tidak puas, Nayla membuka aplikasi chat dan menghubungi Maia.Nayla: "Mai, lo lagi sibuk?"Maia: "Kalau lo na
Nayla mengernyit menatap layar ponselnya. Sebuah undangan digital muncul di sana, menampilkan acara eksklusif yang bahkan nggak pernah terpikirkan olehnya untuk dihadiri."Datang ke acara ini. Gue jemput jam tujuh."Itu pesan dari Kenzo. Singkat, padat, dan nggak membuka ruang untuk penolakan.Nayla mengetik balasan cepat. "Kenapa lo tiba-tiba ngajakin gue?"Ceklis dua. Dibaca. Tapi nggak ada balasan.Sialan.Pukul 19.00Sebuah mobil hitam mengilap berhenti tepat di depan apartemen Nayla. Dia melirik ke luar jendela dan, tentu saja, Kenzo ada di sana. Pria itu keluar dari mobil, mengenakan kemeja hitam yang menggulung di lengan, memperlihatkan jam tangan mahal yang melekat di pergelangannya."Lo udah turun atau harus gue jemput langsung ke atas?" Suaranya terdengar santai, tapi ada nada menekan di dalamnya.Nayla menghela napas panjang, lalu mengambil clutch bag-nya dan berjalan keluar. Begitu dia sampai di depan mobil, Kenzo membukakan pintu untuknya."Lo belum jawab pertanyaan gue,"
Nayla duduk di sofa apartemennya, ngelepas high heels yang udah bikin kakinya pegal setengah mati. Dia ngelempengin punggungnya, ngambil bantal, terus meluk itu kayak guling.Di sebelahnya, Maia lagi asik ngemil keripik sambil nonton serial di laptop. Tapi Nayla nggak bisa fokus. Pikirannya masih berkecamuk soal satu orang.Kenzo Adinata.Dia narik napas panjang sebelum akhirnya buka suara. "Gue nggak ngerti, Mai."Maia ngelirik sebentar, terus lanjut ngunyah. "Nggak ngerti apaan?""Kenzo." Nayla ngelus jidatnya, nyoba merangkai kata. "Dia tuh kayak terlalu effort buat sesuatu yang dia nggak dapet untungnya. Maksud gue, dia nggak gue bayar, tapi bener-bener niat bantuin gue. Dari mulai belanja baju, ngajarin cara bersikap, bahkan nyuruh gue latihan pegangan tangan, senyum, segala macem. Kayak... serius banget."Maia langsung nyengir usil. "Jangan-jangan dia beneran suka sama lo?"Nayla mendelik. "Jangan mulai, Mai.""Tapi masuk akal, lho." Maia naruh keripiknya dan ngebalik badan biar
Walaupun Nayla sudah membeli pakaian melalui toko online, tampaknya Kenzo tidak puas dengan pilihannya. Tanpa banyak bicara, pria itu membawanya ke salah satu butik mahal di pusat kota."Kita sudah beres. Gue udah beli semuanya," protes Nayla saat mereka memasuki butik yang dipenuhi koleksi busana eksklusif.Kenzo meliriknya dengan tatapan santai tapi tajam. "Lo pikir dress yang lo beli online cukup buat bikin mereka terdiam?"Nayla mengerutkan kening. "Itu dress branded.""Tapi bukan 'statement piece'," balas Kenzo cepat. "Percaya deh, kalau lo mau datang ke pernikahan mantan pacar dan sahabat lo sendiri, lo butuh sesuatu yang lebih dari sekadar bagus. Lo harus kelihatan luar biasa."Nayla tidak bisa menyangkal kalau pria itu ada benarnya.Maka, di sinilah dia, berdiri di depan cermin butik, mengenakan salah satu gaun yang Kenzo pilihkan untuknya.Gaun malam berwarna emerald membalut tubuhnya dengan sempurna. Potongannya pas, sedikit terbuka di bagian punggung, menonjolkan sisi elega
Nayla duduk di meja kerjanya, menatap layar ponselnya dengan tatapan bimbang. Nama Kenzo Adinata masih terpampang jelas di layar. Maia sudah mengirimkan beberapa informasi singkat tentang pria itu, termasuk beberapa foto candid yang diambil entah dari mana.Tapi satu hal yang jelas—Kenzo bukan pria biasa.Dari ekspresi wajahnya yang selalu tenang dan dingin, hingga cara dia berdiri yang memancarkan kepercayaan diri, semuanya menunjukkan bahwa pria ini berbahaya.Maia tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa berurusan dengan Kenzo bisa membawa konsekuensi yang tidak bisa diprediksi.Tapi Nayla butuh dia.Atau setidaknya, butuh seseorang yang bisa membuatnya tidak terlihat menyedihkan saat datang ke pernikahan itu.Tangannya mengetik pesan dengan ragu-ragu.📩 "Bisakah kita bertemu? Aku ingin membicarakan sesuatu."Pesan terkirim.Tiga menit berlalu.Tidak ada balasan.Lima menit.Masih tidak ada reaksi.Nayla mulai berpikir ulang. Mungkin ini ide buruk. Mungkin aku harus mencari pria l
Suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lorong apartemen saat Nayla berjalan menuju unitnya. Hari itu terasa panjang—terlalu panjang. Presentasi yang melelahkan, atasan yang terlalu banyak menuntut, dan klien yang mendadak berubah pikiran di detik terakhir membuat kepalanya hampir meledak.Saat akhirnya tiba di depan pintu, ia menghela napas panjang sebelum membuka kunci. Begitu pintu terbuka, aroma lembut lilin vanila menyambutnya, memberikan sedikit rasa nyaman setelah hari yang melelahkan.Nayla melepaskan high heels dengan asal, membiarkan tubuhnya terjatuh ke sofa empuk di ruang tengah. Ia menarik karet rambutnya, membiarkan rambut panjangnya tergerai, lalu meraih remote TV. Tapi sebelum sempat menyalakan drama Korea yang sudah menunggu untuk ditonton, ponselnya bergetar di atas meja.Notifikasi email. Satu pesan masuk.📩 "Undangan Pernikahan: Reza & Alana"Mata Nayla membeku di layar. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak sebelum kembali berpacu lebih cepat dari sebe