Share

Peony

Author: Soju Kimchizz
last update Last Updated: 2025-03-24 10:23:43

Hari minggu biasanya jadi waktu favorit Nayla untuk menikmati film drama Korea sambil memakai masker charcoal di wajah, tapi hari ini hidup berkata lain. Sebuah pesan dari Rose Kingsley langsung membuatnya terpaksa menekan tombol pause pada kehidupannya yang damai.

Ibu Kenzo ingin bertemu. Di mansion.

Tidak ada pilihan lain. Nayla membuka lemari, memilih baju satu per satu—tidak terlalu formal, tidak terlalu kasual. Ia ingin tampil sopan, tapi juga tidak terlihat seperti sedang melamar kerja.

Nayla turun ke lantai dasar setelah memilih baju yang sesuai. Selama berjalan melewati beberapa koridor, ia mendengar bisik-bisik hinaan dari tetangganya. Mereka menghina Nayla karena berhasil mendekati Kenzo yang notabenenya bukan orang sembarangan. Tetangganya makin kepanasan setelah melihat Nayla dijemput oleh seorang sopir berpakaian rapi dengan mobil mewah milik keluarga Kenzo.

Selama perjalanan, Nayla merenungkan hinaan demi hinaan yang dia dengar tentang hubungannya dengan Kenzo. Menurut Nayla mereka semua berlebihan. Memang apa salahnya wanita miskin memiliki hubungan spesial dengan konglomerat? Nayla merasa hatinya sakit. Walaupun hubungannya hanya kontrak, tapi hinaan yang dia dapat nyata adanya.

Begitu tiba di mansion keluarga Kingsley, aroma wangi mawar dan camelia langsung menyambutnya, begitu juga senyum ramah Rose yang tampil anggun dengan dress floral berwarna lembut.

"Makasih ya, Nayla. Sudah mau datang menemani ibu di hari minggu yang selalu sepi," ucap Rose sambil menggandeng lengannya masuk ke halaman belakang.

Di sana, telah tertata rapi beberapa keranjang penuh bunga potong: peony, hydrangea, baby's breath, dan tentunya—roses.

"Biasanya, ayahnya Kenzo dan Kenzo sendiri sibuk main golf dengan rekan-rekan bisnis mereka. Ibu paling malas ikut. Terlalu banyak basa-basi dan ngebahas saham. Membosankan," jelas Rose sambil tertawa kecil.

Nayla ikut tertawa, walau gugup. Tangannya menyentuh kelopak peony sambil menjawab, "Aku senang kok bisa menemani ibu. Terima kasih sudah mengundang aku."

Rose tersenyum lalu duduk di bangku taman sambil mulai merangkai bunga. Nayla ikut duduk di sampingnya. Beberapa menit hanya diisi dengan aroma wangi bunga dan suara gunting pemotong batang. Lalu Rose membuka topik dengan nada yang lebih tenang, hampir seperti bisikan rahasia.

"Nayla... sebelum kamu datang ke dalam hidupnya, Kenzo itu hanya tahu satu hal: bekerja."

Nayla menoleh. Rose tetap sibuk merangkai bunga.

"Dia tidak tahu rasanya masa muda yang bebas, hangout di arcade, road trip impulsif, atau bahkan... cinta monyet," lanjutnya.

Nayla diam. Itu... terdengar menyedihkan. Tapi juga menjelaskan banyak hal tentang sikap Kenzo yang selalu kaku, sulit didekati.

"Ibu tahu, saat dia kuliah di Amerika, banyak rumor aneh yang muncul. Katanya Kenzo itu gonta-ganti pasangan lah, katanya dia penyendiri, bahkan ada yang bilang dia gay, atau punya penyakit aneh makanya gak pernah pacaran. Tapi semua itu tidak benar," tutur Rose, kini menatap Nayla dengan mata lembut tapi tajam, seolah sedang menilai responsnya.

Nayla menelan ludah. "Lalu... apa yang benar?"

Rose tersenyum tipis. "Yang benar adalah... anak itu sangat menjaga hatinya. Terlalu menjaga, sampai-sampai tidak tahu caranya menyerahkannya pada orang lain."

Diam lagi. Nayla hanya bisa mengangguk kecil. Di dadanya, ada sesuatu yang terasa menghangat sekaligus menggelisahkan.

Lalu Rose menambahkan, dengan suara yang lebih pelan.

"Itu sebabnya, saat kami tahu dia mencium seseorang di tempat umum... kami justru lega. Karena akhirnya, untuk pertama kalinya, dia melakukan sesuatu yang... gila."

"Maaf ya, bu. Hubungan kami justru lebih dulu diendus media sebelum sempat memberitahukannya langsung pada Ibu."

Kalimat itu meluncur cepat dari mulut Nayla dengan suara pelan. Ia sedikit panik ketika Rose membahas perihal hubungannya dengan Kenzo, karena nyatanya hal itu hanyalah skenario yang dirinya dan Kenzo buat.

Rose menoleh dengan senyum tenang lalu menggeleng pelan. "Tidak masalah, nak. Malah, Ibu bersyukur. Artikel itu setidaknya berhasil membungkam mulut-mulut tajam keluarga besar yang gemar menyudutkan Kenzo." Nada bicaranya tenang, tapi mengandung getir tersembunyi.

Nayla terdiam. Ia tidak menyangka wanita elegan seperti Rose menyimpan luka-luka kecil di balik senyumannya.

Beberapa saat kemudian, Rose kembali pada rangkaian bunga yang sedang ia rapikan. "Kamu tahu, merangkai bunga seperti ini dulu adalah kegiatan rutin ibu setiap hari minggu. Ibu melakukannya bersama sahabat ibu... bunga kesukaannya Peony."

Suara Rose meredup, seolah sedang menyingkap sebuah memori yang tersimpan rapi di dasar hatinya.

Nayla tersenyum kecil. "Wah, kebetulan sekali. Itu juga bunga kesukaan mama aku," jawabnya lembut.

Rose menoleh, tampak terkejut namun matanya langsung berbinar. "Benarkah? Wah, kita bisa pilih peony warna blush pink untuk rangkaian kali ini."

Mereka lalu lanjut merangkai bunga dengan indah sembari berbincang ringan tentang banyak hal.

Beberapa saat kemudian, suara mobil yang berhenti di pelataran membuat Nayla dan Rose menoleh. Kenzo dan ayahnya baru saja tiba dari sesi golf mereka. Langkah Kenzo santai memasuki rumah, tapi matanya langsung terbelalak saat melihat Nayla sedang duduk di halaman belakang, merangkai bunga bersama ibunya.

"Loh, sayang, kok nggak ngabarin aku kalau ke sini?" ucap Kenzo ringan, menyapa dengan nada sok akrab dan panggilan yang membuat jantung Nayla refleks berdebar.

Nayla menenangkan dirinya sejenak dan menatap Kenzo datar tapi bibirnya mengulas senyum keterpaksaan. "Ibu yang ngajakin aku tiba-tiba, jadi gak sempat kabarin kamu,"

Kenzo lalu mengisyaratkan dengan matanya agar Nayla mengikutinya. "Sini. Aku mau bicara. Kangen juga seharian kamu nggak kabarin aku," katanya masih dalam mode akting, tapi dengan nada yang samar terdengar seperti serius.

Setelah mereka menjauh dari pandangan orang tua Kenzo dan cukup berada di sudut taman, Kenzo bersandar pada pohon dan menatap Nayla dengan alis terangkat.

"Besok-besok kabari saya. Jangan bikin kejutan gini," katanya singkat, tapi tegas.

"Iya," jawab Nayla ketus, tanpa menatapnya.

Kenzo menyipitkan mata. "Kenapa kamu jutek begini?"

“Biasanya kan aku emang jutek. Kita ramah dan akrab kan cuma karena kebutuhan akting aja,” jawab Nayla berbohong.

“Saya masih gak percaya, pasti ada sesuatu yang terjadi,” telisik Kenzo. Matanya menatap Nayla tajam dengan penuh selidik.

Nayla menghembuskan napas keras dan menatap pria di hadapannya dengan kesal. "Tadi sebelum ke sini, aku dapat hinaan lagi dari tetangga. Mereka terus jelekin aku karena pacarana sama kamu. Kamu mah enak tetap dengan penilaian bagus dari sekitar kamu,” jelas Nayla.

"Dan yang kena cibiran? Aku. Bukan kamu," lanjut Nayla, "Aku dihina karena orang-orang nggak ngerti kenapa cewek 'biasa' kayak aku bisa deket sama kamu. Mereka bilang... aku pasti tidur sama kamu buat bisa deket."

Kenzo menegang. Matanya menatap Nayla lebih serius sekarang.

Lalu Kenzo melangkah lebih dekat. Jarak di antara mereka mengecil dan matanya menatap Nayla tajam. Tapi bukan marah—lebih kepada kecewa, entah pada dirinya sendiri atau pada dunia luar yang menyakiti perempuan di hadapannya.

"Nayla... kamu pikir saya gak peduli? Saya tahu ini semua berat buat kamu. Tapi percaya sama saya, saya juga bukan lagi main-main," katanya pelan, tapi nadanya mantap.

"Kamu cek sekarang di media sosial. Ada gak artikel yang jelekin kamu? Itu semua saya yang take down. Negara ini aja bisa saya acak-acak dengan berbagai berita akurat dari perusahaan media saya, masa buat take down artikel yang mencemooh kamu, saya gak bisa?" Kata Kenzo.

Nayla mengerjap. Tidak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulut Kenzo.

"Satu hal yang saya benci adalah kalau ada orang nyakitin orang yang lagi bantu saya. Jadi kalau ada yang nyebar rumor, sebut nama mereka. Saya sendiri yang turun tangan," lanjut Kenzo, matanya kini menyimpan kemarahan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Main Api dengan Mafia   Mencintainya

    Jam dinding berdetak pelan. Di balik tirai putih yang melambai ringan diterpa angin dari ventilasi, cahaya lampu kota menari samar-samar. Di dalam kamar rumah sakit itu, sunyi menyelimuti. Rose tertidur di sofa dengan selimut menyelimuti tubuhnya. Hanya suara mesin monitor yang mengukur detak jantung dan ritme napas yang terus bergema, mengisi kekosongan malam.Namun, Nayla masih terjaga.Ia duduk bersandar di atas ranjangnya, memandangi pria di sebelah ranjangnya. Kenzo. Pria yang dulu menjadi musuh dalam hidupnya, yang ia hindari, benci, dan tolak. Namun kini, hanya ada satu perasaan yang membuncah setiap ia menatap wajah itu: takut kehilangan.Dengan hati-hati, Nayla menyibak selimut, melangkah pelan menuju sisi ranjang Kenzo. Ia duduk di tepi tempat tidur itu, menatap wajah Kenzo yang pucat, dengan luka perban di perutnya, dan lengan yang masih ditancap selang infus. Tangannya terulur, ragu-ragu... lalu akhirnya menggenggam tangan Kenzo erat-erat, seolah takut jika pria itu kembal

  • Main Api dengan Mafia   Tersirat

    Cahaya putih menyilaukan menyelimuti ruang IGD. Aroma antiseptik menusuk tajam, menyatu dengan hiruk-pikuk langkah kaki dan suara peralatan medis yang tak henti-hentinya berbunyi.Di tengah kekacauan itu, Kenzo terbaring lemah dengan wajah pucat dan baju penuh darah. Selang infus menusuk lengannya, monitor jantung menunjukkan detak yang tak stabil, dan perawat bergerak cepat menahan perdarahannya.“Tekanan darah turun drastis!”“Stabilisasi segera, kita kehilangan dia—!”Pintu IGD terbuka keras. Kingsley masuk dengan napas memburu, matanya menyapu ruangan hingga akhirnya menatap tubuh putranya yang hampir tak bernyawa. Wajahnya mengeras. Ia menoleh tajam ke arah pasukan pengawalnya.“Dengar baik-baik,” desisnya. “Jangan ada yang melaporkan ini ke pihak berwajib. Polisi akan tunduk pada keluarga presiden. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun di luar lingkaran ini.”Semua pengawal mengangguk serempak. Ketegangan makin menebal, seolah rumah sakit pun tahu bahwa perang besar sedang diam-

  • Main Api dengan Mafia   Pertarungan

    Udara di dalam ruangan itu terasa lembap dan menyesakkan. Aroma apek dan debu menyatu menjadi satu, membuat dada Nayla semakin sesak. Ia duduk di kursi kayu tua yang sudah mulai rapuh, tubuhnya lemah terikat erat, pergelangan tangannya membiru karena gesekan tali kasar.Air matanya sudah mengering di pipi. Ia menatap nanar ke langit-langit gelap yang retak dan penuh sarang laba-laba, mencoba menenangkan diri… mencoba berpikir jernih… tapi yang ia rasakan hanya satu—takut“Apa ini jalan satu-satunya agar semuanya aman?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Tangannya bergerak lemah, mencoba lagi melepaskan ikatan, meskipun perihnya seperti ditusuk-tusuk duri. Tapi tak ada yang berhasil. Tidak ada celah, tidak ada harapan.“Apa lebih baik aku mati… daripada harus menyerah dan membuat Kenzo dalam bahaya?” pikirnya lagi. Matanya memejam, menahan rasa bersalah dan keputusasaan yang menyesakkan dada.Sementara itu, jauh di tempat berbeda, Kenzo masih belum berhenti bergerak.Apartemen tempa

  • Main Api dengan Mafia   Habisnya Kesabaran

    Kesadarannya masih kabur ketika Nayla membuka mata. Ruangan itu kosong dan lembap, berbau tanah tua dan kayu lapuk. Dinding-dindingnya retak, jendela ditutup rapat dengan papan kayu, dan hanya cahaya temaram dari satu bola lampu menggantung di langit-langit yang membuat segalanya tampak lebih menyeramkan.Kepalanya berdenyut. Pergelangan tangannya terasa perih, diikat kasar dengan tali yang mengikatnya kuat ke kursi kayu reyot. Nafasnya memburu, tubuhnya mulai gemetar. Namun ketakutan itu bukan hanya karena tempat itu—melainkan karena sosok yang perlahan melangkah dari balik bayangan.Reza.Wajah yang dulu pernah ia percayai, kini berubah menjadi topeng kebencian yang menjijikkan. Matanya memancarkan kesenangan aneh melihat Nayla dalam kondisi tak berdaya.“Selamat datang, Nay.” Suara Reza terdengar ringan, tapi nadanya mengandung racun. “Sudah kubilang ini penting, tapi kamu menolak datang baik-baik. Jadi ya… aku terpaksa.”Nayla mencoba tetap tenang. Tapi air mata sudah menggenang d

  • Main Api dengan Mafia   Nayla Menghilang

    Malam itu langit mendung. Hujan belum turun, tapi udara terasa berat. Nayla memandangi layar ponselnya yang kembali menyala untuk ketiga kalinya malam itu—nama yang muncul di layar bukan nama asing.Reza.Tangannya gemetar ringan saat akhirnya ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang kerja apartemen. Di balik pintu, Kenzo sedang menatap layar laptop dengan ekspresi serius, dikelilingi dokumen dan peta digital.Nayla mengetuk pelan.Kenzo menoleh. “Ada apa?” tanyanya, suaranya tenang, tapi matanya langsung membaca bahwa Nayla tidak datang hanya untuk mengobrol santai.“Reza… dia menghubungiku lagi,” ucap Nayla dengan suara pelan.Seketika rahang Kenzo mengeras. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menyatukan kedua tangannya di bawah dagu. “Apa lagi maksudnya kali ini? Di tengah kekacauan yang belum selesai juga…” gumamnya dengan geram.“Aku juga tidak tahu. Tapi dia bilang ini penting. Dia terus mengirim pesan. Seolah… mendesak,” jelas Nayla, menyerahkan ponselnya.Kenzo me

  • Main Api dengan Mafia   Mawas

    Setelah menghabiskan waktu menelusuri kenangan di rumah masa kecil Nayla, Kenzo membawa Nayla menuju mansion keluarga Kingsley. Bangunan megah yang berdiri kokoh di balik pagar besi hitam itu memancarkan aura keagungan sekaligus misteri yang menyelimuti sejarah keluarga mereka. Ketika mobil berhenti di depan pintu utama, Rose dan Kingsley telah berdiri menyambut mereka di depan pintu, seolah sudah tahu bahwa percakapan malam ini bukanlah percakapan biasa.Setelah duduk di ruang keluarga yang hangat dan tenang, Rose membuka percakapan. Suaranya lembut, tapi mengandung tekanan emosional yang dalam."Nayla... sebelum ibumu menghilang, dia sempat bilang padaku bahwa suatu saat kamu akan menemukan surat wasiat dari mendiang ayahmu. Tapi dia tidak pernah memberitahuku di mana surat itu disimpan. Seolah... dia sengaja membuatmu menemukan sendiri, saat kamu sudah siap."Nayla menelan ludah, pikirannya mulai menghubungkan potongan-potongan mimpi, bisikan dari masa lalu, dan kenyataan yang kini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status