Begitu Nayla dan Kenzo sampai di ruang makan, tatapan tajam dari keluarga yang lainnya tertuju pada Nayla. Nayla yang merasakan ketidaksukaan dari keluarga Kenzo yang lain pun hanya menunduk dan semakin mengeratkan genggaman tangannya pada Kenzo.
Kenzo yang menangkap gelagat gelisah dari Nayla pun melepas genggaman tangannya dan beralih merangkul Nayla.
“Halo semuanya. Setelah sempat mengira saya memiliki gangguan seksualitas atau bahkan hanya suka bergonta-ganti pasangan tanpa status yang jelas, sekarang saya datang membawa calon istri saya,” kata Kenzo membuka percakapan.
“Silahkan duduk Nayla. Ibu akan kenalkan satu per satu keluarga ini,” ucap Rose memecah ketegangan.
“Baik ibu,” kata Nayla.
Kenzo dengan sigap menarik kursi untuk Nayla. Nayla melihat sekilas ke arah Kenzo dan mengucapkan terima kasih singkat. Setelah Nayla duduk, Kenzo mengambil posisi tepat di sebelah Nayla.
“Kenalin yang paling pojok di sana adalah om Harry dan keluarga, kemudian di sebelah om Harry ada tante Betty, dan yang di sebelah Kenzo adalah om David,” kata Rose.
Nayla hanya menggangguk sembari tersenyum. Ia menatap keluarga Kenzo satu per satu walaupun rasa takut menghantui pikirannya.
Setelah berkenalan singkat, asisten rumah tangga menyiapkan makanan satu per satu dan mereka mulai makan. Obrolan mengalir seputar bisnis, tanpa menyinggung sedikit pun hubungan Kenzo dan Nayla. Nayla pun sudah tahu alasannya. Mereka tidak tertarik mengorek kehidupan gadis yang tidak jelas asal usulnya siapa.
“Ibu, saya permisi ke toilet,” ucap Nayla kepada Rose.
“Oke nak, asisten rumah tangga akan mengantar kamu ya,” kata Rose.
Nayla pun diantar oleh asisten rumah tangga masuk ke dalam toilet. Ia menghela napasnya yang terasa sesak.. Nayla pikir sambutan hangat dari orang tua Kenzo akan membuatnya tenang, tetapi suasana di meja makan jauh berbeda. Bahkan makanan lezat di meja makan tidak bisa dicerna dengan baik karena saking gugup dirinya.
Setelah merasa dirinya sedikit lebih tenang, Nayla berjalan perlahan untuk kembali ke ruang makan. Beberapa langkah sebelum sampai, Nayla mendengar percakapan di ruang makan yang membicarakan tentang dirinya.
“Om tidak paham ya kenapa kamu sembarangan mencium orang asing di acara seramai itu, kamu lupa keluarga kita seperti apa?” ucap Harry dengan nada marah.
“Sembarangan gimana? Nayla adalah pacar saya, dia bukan orang asing di hidup saya,” jawab Kenzo nyolot.
“Tante pikir kamu akan berpacaran dengan anak yang akan mewarisi kekayaan orang tuanya juga,” ucap Betty.
“Jangan bilang, Nayla itu juga tidak punya orang tua?” tambah David.
“Stop! Kalian terlalu meremehkan calon menantuku! Memang kalian pikir hidup anak kalian akan baik-baik saja? Pikirkan saja kehidupan anak masing-masing,” kata Rose dengan amarah yang sudah di atas ubun-ubun.
“Kak, aku tidak mau Kenzo terjebak dengan wanita murahan. Kita tidak pernah tahu bagaimana mereka bertemu bahkan sampai menjadi sepasang kekasih,” kata Betty.
Nayla pun akhirnya memberanikan diri untuk melanjutkan langkahnya memasuki ruang makan. Seketika keluarga Kenzo berdiri dan pamit pulang tanpa melihat ke arah Nayla sedikit pun.
Nayla hanya terdiam melihat kepergian keluarga Kenzo. Hingga akhirnya ruang makan tersebut hanya tersisa Kenzo dan orang tuanya, Nayla masih berdiam diri. Rose yang merasa tidak enak hati dengan Nayla pun membawa Nayla ke taman belakang mansion.
“Nak… ibu tahu kamu pasti mendengar semuanya,” kata Rose.
Rose membawa Nayla untuk duduk di sebuah gazebo bernuansa putih. Taman yang asri dan sejuk membuat suasana menjadi lebih sendu.
“Hm iya ibu, maaf aku membuat ibu dan ayah malu,” ucap Nayla sembari menunduk, merasa tidak setara dengan keluarga Kenzo.
“Tidak nak… itu bukan salah kamu, jangan minta maaf. Mereka semua memang seperti itu, merasa diri mereka paling sempurna,” kata Rose sembari menggenggam tangan Nayla dengan hangat.
“Sebenarnya semenjak artikel tentang kamu dan Kenzo muncul di berbagai media sosial, ibu penasaran dengan kamu. Boleh ibu bertanya?” ucap Rose.
“Silahkan ibu. Aku akan menjawab apa pun yang ingin ibu ketahui,” kata Nayla sambil tersenyum ke arah Rose.
“Ibu ingin tahu kamu dari keluarga siapa dan berasal dari mana,” ucap Rose dengan nada lembut. Tidak ada kesan mengintimidasi di nada suaranya membuat Nayla merasa lega.
“Aku sekarang yatim piatu bu. Mama sudah meninggal dan papa… jujur, terakhir tahu papa saat usia aku 5 tahun dan tidak banyak kenangan soal papa. Mama juga tidak pernah menceritakan lebih banyak soal papa,” jelas Nayla.
“Astaga nak… maaf ibu menanyakan hal yang sensitif. Mulai sekarang, kamu tidak sendiri. Ada ibu, ayah, dan Kenzo,” ucap Rose. Ia mengeratkan genggaman tangannya di tangan Nayla.
Air mata Nayla menggenang. Ia merasa haru sekaligus bersalah karena orang tua Kenzo sangat baik. Nayla dan Kenzo akan sangat berdosa telah membohongi orang tua sebaik mereka dengan hubungan palsu.
Kenzo tiba-tiba datang menghampiri mereka. Ia kemudian menanggalkan jasnya dan menaruhnya di pundak Nayla, “Pakai, dingin,” ucapnya singkat.
Rose memperhatikan anaknya yang kini sudah semakin dewasa mampu memperlakukan seorang wanita dengan baik. Ia tersenyum berseri-seri setelah melihat tingkah Kenzo sebelumnya.
“Jaga Nayla dengan baik ya, Ken. Dia tidak punya siapapun selain kamu,” kata Rose membuat Kenzo terdiam sesaat. Alisnya mengernyit sedikit, membuat Nayla menduga kalau pria itu akan bertanya lebih lanjut tapi ucapannya selanjutnya membuat Nayla tercenung.
“Tenang ibu, aku akan menjaga Nayla dengan baik. Sekarang maaf, kita harus kembali karena besok aku ada rapat penting di pagi hari.” Kata Kenzo.
“Ibu, terima kasih hari ini karena sudah menerima aku dengan baik. Maaf karena aku harus pamit dulu,” ucap Nayla berpamitan kepada Rose.
“Iya nak, kita masih ada waktu di lain hari untuk mengobrol,” jawab Rose dengan tatapan penuh perhatian. Mereka beranjak dari gazebo dan berjalan menuju depan rumah.
“Kenzo, hati-hati bawa mobilnya,” ucap Kingsley memperingati anak semata wayangnya.
“Iya ayah, jangan khawatir,” jawab Kenzo sembari membukakan pintu mobil untuk Nayla.
Setelah masuk ke dalam mobil, suasana canggung menyelimuti mereka. Kenzo dan Nayla saling berdiam diri.
“Saya tidak tahu kalau keluarga kamu sudah tidak ada,” ucap Kenzo dengan hati-hati, memecah keheningan di antara mereka.
“Ya… mana mungkin kamu tahu. Kondisi orang sepertiku ini tidak menarik perhatian siapa pun. Lihat saja gimana komentar keluarga kamu tentang aku,” kata Nayla datar.
“Untuk itu saya minta maaf,” ucap Kenzo membuat Nayla sedikit tidak percaya. Seorang Kenzo meminta maaf?
“Oh, jadi kamu sadar itu menyakitiku ya? Baguslah akhirnya kamu sadar harus memperlakukan aku lebih baik lagi,” ucap Nayla dengan sarkas.
“Soal keluarga saya, bukan cuma kamu yang dihina, tapi saya juga. Mereka hanya iri karena saya lebih pintar dan kaya daripada anak mereka,” ucap Kenzo, tidak memedulikan perkataan sarkas Nayla sebelumnya.
“Oh… orang kaya juga dihina ya,” kata Nayla sarkas. Kenzo tidak lagi menjawab. Ia terus melajukan mobilnya dengan fokus.
Tanpa terasa mereka telah sampai di depan apartemen Nayla. Sebelum turun, Nayla bertanya, “Gaun ini harus dikembalikan atau tidak? Mengingat harganya sangat mahal,”
“Tidak usah, simpan saja dan kamu akan dapat lebih banyak lagi karena masih banyak pertemuan yang harus kita lakukan,” kata Kenzo.
Setelah Nayla turun dari mobil, ia berjalan gontai memasuki unitnya dan kaget karena mendapati ada sepatu Luna di sana. Ia segera berlari menuju ruang tamu dan memeluk Luna membuat sahabatnya tersentak kaget. Iya, Luna memang terbiasa datang dan pergi ke apartemen Nayla seolah pemilik unit itu.
“Lun… gue capek banget begini,” keluh Nayla.
“Kenapa Nay? Gue udah duga lo pasti diajak keluar sama Kenzo,” ucap Luna. Ia menepuk-nepuk pelan punggung Nayla, berusaha menenangkan.
“Iya gue baru aja ketemu keluarga besar Kenzo,” ucap Nayla. Matanya menerawang membayangkan kembali bagaimana suasana pertemuan tadi.
“Orang tuanya… baik sih. Tapi keluarga besarnya,” Nayla menghela napas sejenak, “Keliatan banget gak suka sama guenya.” Lanjut Nayla sendu. Luna yang menyadari betapa beratnya perasaan Nayla sekarang membalas pelukan sahabatnya itu.
“Maafin gue ya Nay, gara-gara gue semuanya berantakan,” kata Luna penuh sesal.
“Udahlah Lun, semua udah terjadi, dan gue harus jalani semuanya semampu gue,” ucap Nayla.
Jam dinding berdetak pelan. Di balik tirai putih yang melambai ringan diterpa angin dari ventilasi, cahaya lampu kota menari samar-samar. Di dalam kamar rumah sakit itu, sunyi menyelimuti. Rose tertidur di sofa dengan selimut menyelimuti tubuhnya. Hanya suara mesin monitor yang mengukur detak jantung dan ritme napas yang terus bergema, mengisi kekosongan malam.Namun, Nayla masih terjaga.Ia duduk bersandar di atas ranjangnya, memandangi pria di sebelah ranjangnya. Kenzo. Pria yang dulu menjadi musuh dalam hidupnya, yang ia hindari, benci, dan tolak. Namun kini, hanya ada satu perasaan yang membuncah setiap ia menatap wajah itu: takut kehilangan.Dengan hati-hati, Nayla menyibak selimut, melangkah pelan menuju sisi ranjang Kenzo. Ia duduk di tepi tempat tidur itu, menatap wajah Kenzo yang pucat, dengan luka perban di perutnya, dan lengan yang masih ditancap selang infus. Tangannya terulur, ragu-ragu... lalu akhirnya menggenggam tangan Kenzo erat-erat, seolah takut jika pria itu kembal
Cahaya putih menyilaukan menyelimuti ruang IGD. Aroma antiseptik menusuk tajam, menyatu dengan hiruk-pikuk langkah kaki dan suara peralatan medis yang tak henti-hentinya berbunyi.Di tengah kekacauan itu, Kenzo terbaring lemah dengan wajah pucat dan baju penuh darah. Selang infus menusuk lengannya, monitor jantung menunjukkan detak yang tak stabil, dan perawat bergerak cepat menahan perdarahannya.“Tekanan darah turun drastis!”“Stabilisasi segera, kita kehilangan dia—!”Pintu IGD terbuka keras. Kingsley masuk dengan napas memburu, matanya menyapu ruangan hingga akhirnya menatap tubuh putranya yang hampir tak bernyawa. Wajahnya mengeras. Ia menoleh tajam ke arah pasukan pengawalnya.“Dengar baik-baik,” desisnya. “Jangan ada yang melaporkan ini ke pihak berwajib. Polisi akan tunduk pada keluarga presiden. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun di luar lingkaran ini.”Semua pengawal mengangguk serempak. Ketegangan makin menebal, seolah rumah sakit pun tahu bahwa perang besar sedang diam-
Udara di dalam ruangan itu terasa lembap dan menyesakkan. Aroma apek dan debu menyatu menjadi satu, membuat dada Nayla semakin sesak. Ia duduk di kursi kayu tua yang sudah mulai rapuh, tubuhnya lemah terikat erat, pergelangan tangannya membiru karena gesekan tali kasar.Air matanya sudah mengering di pipi. Ia menatap nanar ke langit-langit gelap yang retak dan penuh sarang laba-laba, mencoba menenangkan diri… mencoba berpikir jernih… tapi yang ia rasakan hanya satu—takut“Apa ini jalan satu-satunya agar semuanya aman?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Tangannya bergerak lemah, mencoba lagi melepaskan ikatan, meskipun perihnya seperti ditusuk-tusuk duri. Tapi tak ada yang berhasil. Tidak ada celah, tidak ada harapan.“Apa lebih baik aku mati… daripada harus menyerah dan membuat Kenzo dalam bahaya?” pikirnya lagi. Matanya memejam, menahan rasa bersalah dan keputusasaan yang menyesakkan dada.Sementara itu, jauh di tempat berbeda, Kenzo masih belum berhenti bergerak.Apartemen tempa
Kesadarannya masih kabur ketika Nayla membuka mata. Ruangan itu kosong dan lembap, berbau tanah tua dan kayu lapuk. Dinding-dindingnya retak, jendela ditutup rapat dengan papan kayu, dan hanya cahaya temaram dari satu bola lampu menggantung di langit-langit yang membuat segalanya tampak lebih menyeramkan.Kepalanya berdenyut. Pergelangan tangannya terasa perih, diikat kasar dengan tali yang mengikatnya kuat ke kursi kayu reyot. Nafasnya memburu, tubuhnya mulai gemetar. Namun ketakutan itu bukan hanya karena tempat itu—melainkan karena sosok yang perlahan melangkah dari balik bayangan.Reza.Wajah yang dulu pernah ia percayai, kini berubah menjadi topeng kebencian yang menjijikkan. Matanya memancarkan kesenangan aneh melihat Nayla dalam kondisi tak berdaya.“Selamat datang, Nay.” Suara Reza terdengar ringan, tapi nadanya mengandung racun. “Sudah kubilang ini penting, tapi kamu menolak datang baik-baik. Jadi ya… aku terpaksa.”Nayla mencoba tetap tenang. Tapi air mata sudah menggenang d
Malam itu langit mendung. Hujan belum turun, tapi udara terasa berat. Nayla memandangi layar ponselnya yang kembali menyala untuk ketiga kalinya malam itu—nama yang muncul di layar bukan nama asing.Reza.Tangannya gemetar ringan saat akhirnya ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang kerja apartemen. Di balik pintu, Kenzo sedang menatap layar laptop dengan ekspresi serius, dikelilingi dokumen dan peta digital.Nayla mengetuk pelan.Kenzo menoleh. “Ada apa?” tanyanya, suaranya tenang, tapi matanya langsung membaca bahwa Nayla tidak datang hanya untuk mengobrol santai.“Reza… dia menghubungiku lagi,” ucap Nayla dengan suara pelan.Seketika rahang Kenzo mengeras. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menyatukan kedua tangannya di bawah dagu. “Apa lagi maksudnya kali ini? Di tengah kekacauan yang belum selesai juga…” gumamnya dengan geram.“Aku juga tidak tahu. Tapi dia bilang ini penting. Dia terus mengirim pesan. Seolah… mendesak,” jelas Nayla, menyerahkan ponselnya.Kenzo me
Setelah menghabiskan waktu menelusuri kenangan di rumah masa kecil Nayla, Kenzo membawa Nayla menuju mansion keluarga Kingsley. Bangunan megah yang berdiri kokoh di balik pagar besi hitam itu memancarkan aura keagungan sekaligus misteri yang menyelimuti sejarah keluarga mereka. Ketika mobil berhenti di depan pintu utama, Rose dan Kingsley telah berdiri menyambut mereka di depan pintu, seolah sudah tahu bahwa percakapan malam ini bukanlah percakapan biasa.Setelah duduk di ruang keluarga yang hangat dan tenang, Rose membuka percakapan. Suaranya lembut, tapi mengandung tekanan emosional yang dalam."Nayla... sebelum ibumu menghilang, dia sempat bilang padaku bahwa suatu saat kamu akan menemukan surat wasiat dari mendiang ayahmu. Tapi dia tidak pernah memberitahuku di mana surat itu disimpan. Seolah... dia sengaja membuatmu menemukan sendiri, saat kamu sudah siap."Nayla menelan ludah, pikirannya mulai menghubungkan potongan-potongan mimpi, bisikan dari masa lalu, dan kenyataan yang kini