Nayla mengernyit menatap layar ponselnya. Sebuah undangan digital muncul di sana, menampilkan acara eksklusif yang bahkan nggak pernah terpikirkan olehnya untuk dihadiri.
"Datang ke acara ini. Gue jemput jam tujuh." Itu pesan dari Kenzo. Singkat, padat, dan nggak membuka ruang untuk penolakan. Nayla mengetik balasan cepat. "Kenapa lo tiba-tiba ngajakin gue?" Ceklis dua. Dibaca. Tapi nggak ada balasan. Sialan. Pukul 19.00 Sebuah mobil hitam mengilap berhenti tepat di depan apartemen Nayla. Dia melirik ke luar jendela dan, tentu saja, Kenzo ada di sana. Pria itu keluar dari mobil, mengenakan kemeja hitam yang menggulung di lengan, memperlihatkan jam tangan mahal yang melekat di pergelangannya. "Lo udah turun atau harus gue jemput langsung ke atas?" Suaranya terdengar santai, tapi ada nada menekan di dalamnya. Nayla menghela napas panjang, lalu mengambil clutch bag-nya dan berjalan keluar. Begitu dia sampai di depan mobil, Kenzo membukakan pintu untuknya. "Lo belum jawab pertanyaan gue," ujar Nayla begitu dia duduk di dalam. Kenzo masuk ke kursi kemudi, menyalakan mesin, dan meliriknya sekilas. "Pertanyaan apa?" "Kenapa lo segini effort buat gue?" Nayla melipat tangan di dada, matanya mengunci ke arah Kenzo. Kenzo tersenyum tipis. "Karena gue bisa." Brengsek. Jawaban macam apa itu? "Serius, Kenzo," desaknya lagi. Pria itu nggak langsung menjawab. Sebagai gantinya, dia mengangkat satu alis, seolah mempertimbangkan sesuatu. Kemudian, dengan suara rendah dan tenang, dia berkata, "Gue cuma nggak suka lihat orang dihancurin harga dirinya tanpa bisa balas dendam." Kata-katanya membuat Nayla terdiam sejenak. "Dan lo pikir gue butuh balas dendam?" tanyanya, sedikit skeptis. "Enggak," jawab Kenzo. "Tapi lo perlu buktiin kalau lo bukan perempuan yang bisa dipermainkan semudah itu." Kata-kata itu menusuk sesuatu di dalam diri Nayla. Dia nggak mau mengakui bahwa ada bagian kecil dalam dirinya yang merasa... puas dengan jawaban Kenzo. Mobil melaju di jalanan kota, melewati gedung-gedung tinggi dengan lampu-lampu yang berpendar di langit malam. "Lagian," Kenzo melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih ringan, "Gue juga butuh pasangan buat acara ini." Nayla mengerutkan dahi. "Jangan bilang ini acara bisnis lo?" Kenzo menyeringai kecil. "Bisa dibilang begitu." Sial. Dia seperti masuk ke dalam permainan yang bahkan dia nggak ngerti aturannya. "Kenapa lo ngajak gue?" Nayla masih nggak puas. Kenzo menoleh, menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab dengan suara rendah yang hampir seperti bisikan. "Karena lo menarik." Jantung Nayla mencelos. Dia buru-buru menoleh ke jendela, menyembunyikan ekspresi wajahnya. Tapi dalam hati, dia tahu—pria ini jauh lebih berbahaya dari yang dia kira. ——— Gaun yang Nayla kenakan malam ini mungkin terlihat seperti pakaian pesta biasa, tetapi perasaan yang merayapi tulangnya sama sekali tidak biasa. Ini bukan sekadar undangan pernikahan, bukan pula sekadar acara sosial kelas atas. Ini adalah pertemuan para pemain besar di dunia bisnis media dan teknologi, yang ternyata memiliki sisi gelap yang lebih dalam daripada yang pernah dia bayangkan. Acara ini diadakan di sebuah hotel bintang lima, tapi atmosfernya terasa terlalu dingin dan serius untuk ukuran pesta biasa. Saat Nayla melangkah masuk bersama Kenzo, dia bisa merasakan tatapan tajam yang mengarah ke mereka. "Santai aja. Jangan tunjukkin kalau lo takut," bisik Kenzo di dekat telinganya. Takut? Tentu saja dia takut. Dia baru sadar kalau Kenzo bukan sekadar pria kaya biasa. Di ruangan itu, para pria dengan jas mahal berdiri dalam lingkaran kecil, berbicara dengan suara pelan tapi penuh tekanan. Beberapa wanita cantik dengan gaun glamor tampak berdiri di sisi mereka, sebagian besar hanya sebagai aksesori yang memperindah suasana. Namun, yang benar-benar menarik perhatian Nayla adalah cara orang-orang memperlakukan Kenzo. Seorang pria berambut perak dengan tatapan tajam menyambut mereka. Juna Adiguna, salah satu raja media paling berpengaruh di negeri ini, berdiri di tengah lingkaran, berbicara dengan dua pria lain yang sama berkuasanya. Begitu melihat Kenzo, dia tersenyum tipis. "Akhirnya, Kenzo Adinata muncul juga. Gue pikir lo gak tertarik lagi dengan dunia ini," katanya dengan nada penuh arti. Kenzo tersenyum kecil. "Gue selalu tertarik, selama masih ada yang bisa dimainkan." Nayla menegang. "Dunia ini"... maksudnya apa? "Dan siapa wanita cantik ini?" Juna melirik Nayla dengan senyum penuh perhitungan. Sebelum Nayla bisa membuka mulut, Kenzo sudah lebih dulu merangkul pinggangnya dan menariknya lebih dekat. "Dia milik gue." Milik? Nayla menoleh cepat, tapi Kenzo tetap memasang wajah santainya. "Oh? Berarti dia sudah tahu siapa lo sebenarnya?" tanya Juna, matanya berkilat tajam. Nayla bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Siapa lo sebenarnya, Kenzo? Tapi Kenzo hanya tersenyum kecil. "Gue gak suka membicarakan bisnis di acara santai." Juna tertawa kecil. "Santai? Di tempat ini? Lo sendiri tahu gak ada yang benar-benar 'santai' di sini." Sebelum percakapan itu semakin dalam, tiba-tiba terdengar suara dentingan gelas dari depan ruangan. Seorang pria berdiri di podium, mengumumkan sesuatu dalam bahasa Inggris. Sebuah pelelangan akan dimulai. Nayla melirik ke arah Kenzo, tapi pria itu hanya menatap ke depan dengan ekspresi datar. Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Dan saat item pertama yang dilelang muncul di layar—bukan barang, tapi sebuah perusahaan media yang ternyata punya hubungan dengan pemerintah—Nayla akhirnya sadar. Dia tidak sedang berada di pesta biasa. Ini adalah pertemuan para mafia bisnis, tempat di mana informasi lebih berharga daripada emas. Dan dia baru saja menjadi bagian dari dunia itu, karena berada di sisi Kenzo Adinata. Setelah acara berakhir, Kenzo membawa Nayla keluar dari hotel menuju mobilnya. Namun, sepanjang perjalanan menuju parkiran, Nayla tetap diam. Tidak ada satupun kata yang keluar dari mulutnya, hanya tatapan kosong yang sesekali ia arahkan ke luar jendela. Malam ini terlalu banyak hal yang terjadi. Terlalu banyak hal yang ia lihat dan dengar, yang membuat pikirannya penuh dengan pertanyaan. Siapa sebenarnya Kenzo Adinata? Mobil melaju dengan mulus di jalanan ibu kota yang mulai sepi. Kenzo, yang biasanya penuh percaya diri dan sesekali menggoda Nayla, kini hanya duduk diam sambil menyetir. Seolah dia membiarkan Nayla larut dalam pikirannya sendiri. Namun, saat lampu merah menyala dan mobil berhenti, Kenzo akhirnya membuka suara. "Lo kenapa diem aja?" Nayla tetap tidak menoleh. Dia butuh waktu untuk mencerna semua ini. "Lo kaget?" lanjut Kenzo, suaranya terdengar lebih tenang dari biasanya. Akhirnya, Nayla menghela napas panjang sebelum menjawab. "Gue gak ngerti, Kenzo... Siapa lo sebenarnya?" Kenzo menoleh sebentar, menatap Nayla dengan ekspresi yang sulit diartikan. Seolah dia sedang menimbang-nimbang apakah dia harus jujur atau tetap membiarkan Nayla menerka-nerka. Lampu hijau menyala, dan mobil kembali melaju. "Gue udah kasih tau lo dari awal, kan? Gue ini orang yang suka bermain," jawabnya santai. "Bermain? Maksud lo dunia yang tadi itu cuma permainan buat lo?" suara Nayla naik satu oktaf. Kenzo tidak langsung menjawab. Dia malah menepi di pinggir jalan, mematikan mesin, lalu menatap Nayla dengan tatapan dalam yang sedikit berbahaya. "Nayla, lo harus paham satu hal. Dunia yang tadi lo lihat itu bukan dunia yang bisa dimasukin sembarangan orang. Lo bisa ada di sana karena lo sama gue. Itu artinya lo gak boleh gegabah dan nanya hal-hal yang gak perlu." Nayla menelan ludah. Ada sesuatu dalam nada suara Kenzo yang membuat bulu kuduknya meremang. "Jadi lo mau bilang kalau gue gak perlu tahu siapa lo sebenarnya?" Kenzo menghela napas, lalu tiba-tiba mendekat, membuat jarak di antara mereka semakin tipis. "Gue bakal kasih tau lo kalau lo siap. Tapi satu hal yang harus lo inget..." dia berhenti sejenak, lalu lanjut dengan suara rendah yang hampir berbisik, "Sekali lo tahu siapa gue sebenarnya, lo gak akan bisa mundur." Nayla menegang. Mundur? Kenapa harus mundur? Seberbahaya itukah dunia Kenzo? Dan untuk pertama kalinya sejak mengenal pria itu, Nayla merasa bahwa dia sudah melangkah terlalu jauh ke dalam sesuatu yang tidak bisa ia kendalikan.Setelah Kenzo mengantarnya pulang, Nayla tidak langsung tidur. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian tadi malam—wajah-wajah misterius yang terlihat mengenal Kenzo, cara mereka berbicara dengan bahasa terselubung, serta bagaimana Kenzo seolah memiliki kendali penuh di dalam ruangan itu.Duduk di tepi ranjang, Nayla meraih iPad-nya. Jarinya mengetik nama Kenzo Adinata di kolom pencarian Google. Namun, hasilnya nihil."Mustahil orang seperti dia gak punya jejak digital," gumamnya.Dia mencoba mencari dengan kata kunci lain: Kenzo Adinata perusahaan, Kenzo Adinata CEO, Kenzo Adinata media, namun hasilnya tetap samar. Nama itu memang muncul di beberapa berita bisnis, tapi hanya sebagai investor misterius yang jarang tersorot kamera.Nayla semakin curiga. Bagaimana mungkin pria sekharismatik Kenzo, yang jelas memiliki kekuasaan, hampir tidak memiliki eksistensi di internet?Merasa tidak puas, Nayla membuka aplikasi chat dan menghubungi Maia.Nayla: "Mai, lo lagi sibuk?"Maia: "Kalau lo na
Nayla mengernyit menatap layar ponselnya. Sebuah undangan digital muncul di sana, menampilkan acara eksklusif yang bahkan nggak pernah terpikirkan olehnya untuk dihadiri."Datang ke acara ini. Gue jemput jam tujuh."Itu pesan dari Kenzo. Singkat, padat, dan nggak membuka ruang untuk penolakan.Nayla mengetik balasan cepat. "Kenapa lo tiba-tiba ngajakin gue?"Ceklis dua. Dibaca. Tapi nggak ada balasan.Sialan.Pukul 19.00Sebuah mobil hitam mengilap berhenti tepat di depan apartemen Nayla. Dia melirik ke luar jendela dan, tentu saja, Kenzo ada di sana. Pria itu keluar dari mobil, mengenakan kemeja hitam yang menggulung di lengan, memperlihatkan jam tangan mahal yang melekat di pergelangannya."Lo udah turun atau harus gue jemput langsung ke atas?" Suaranya terdengar santai, tapi ada nada menekan di dalamnya.Nayla menghela napas panjang, lalu mengambil clutch bag-nya dan berjalan keluar. Begitu dia sampai di depan mobil, Kenzo membukakan pintu untuknya."Lo belum jawab pertanyaan gue,"
Nayla duduk di sofa apartemennya, ngelepas high heels yang udah bikin kakinya pegal setengah mati. Dia ngelempengin punggungnya, ngambil bantal, terus meluk itu kayak guling.Di sebelahnya, Maia lagi asik ngemil keripik sambil nonton serial di laptop. Tapi Nayla nggak bisa fokus. Pikirannya masih berkecamuk soal satu orang.Kenzo Adinata.Dia narik napas panjang sebelum akhirnya buka suara. "Gue nggak ngerti, Mai."Maia ngelirik sebentar, terus lanjut ngunyah. "Nggak ngerti apaan?""Kenzo." Nayla ngelus jidatnya, nyoba merangkai kata. "Dia tuh kayak terlalu effort buat sesuatu yang dia nggak dapet untungnya. Maksud gue, dia nggak gue bayar, tapi bener-bener niat bantuin gue. Dari mulai belanja baju, ngajarin cara bersikap, bahkan nyuruh gue latihan pegangan tangan, senyum, segala macem. Kayak... serius banget."Maia langsung nyengir usil. "Jangan-jangan dia beneran suka sama lo?"Nayla mendelik. "Jangan mulai, Mai.""Tapi masuk akal, lho." Maia naruh keripiknya dan ngebalik badan biar
Walaupun Nayla sudah membeli pakaian melalui toko online, tampaknya Kenzo tidak puas dengan pilihannya. Tanpa banyak bicara, pria itu membawanya ke salah satu butik mahal di pusat kota."Kita sudah beres. Gue udah beli semuanya," protes Nayla saat mereka memasuki butik yang dipenuhi koleksi busana eksklusif.Kenzo meliriknya dengan tatapan santai tapi tajam. "Lo pikir dress yang lo beli online cukup buat bikin mereka terdiam?"Nayla mengerutkan kening. "Itu dress branded.""Tapi bukan 'statement piece'," balas Kenzo cepat. "Percaya deh, kalau lo mau datang ke pernikahan mantan pacar dan sahabat lo sendiri, lo butuh sesuatu yang lebih dari sekadar bagus. Lo harus kelihatan luar biasa."Nayla tidak bisa menyangkal kalau pria itu ada benarnya.Maka, di sinilah dia, berdiri di depan cermin butik, mengenakan salah satu gaun yang Kenzo pilihkan untuknya.Gaun malam berwarna emerald membalut tubuhnya dengan sempurna. Potongannya pas, sedikit terbuka di bagian punggung, menonjolkan sisi elega
Nayla duduk di meja kerjanya, menatap layar ponselnya dengan tatapan bimbang. Nama Kenzo Adinata masih terpampang jelas di layar. Maia sudah mengirimkan beberapa informasi singkat tentang pria itu, termasuk beberapa foto candid yang diambil entah dari mana.Tapi satu hal yang jelas—Kenzo bukan pria biasa.Dari ekspresi wajahnya yang selalu tenang dan dingin, hingga cara dia berdiri yang memancarkan kepercayaan diri, semuanya menunjukkan bahwa pria ini berbahaya.Maia tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa berurusan dengan Kenzo bisa membawa konsekuensi yang tidak bisa diprediksi.Tapi Nayla butuh dia.Atau setidaknya, butuh seseorang yang bisa membuatnya tidak terlihat menyedihkan saat datang ke pernikahan itu.Tangannya mengetik pesan dengan ragu-ragu.📩 "Bisakah kita bertemu? Aku ingin membicarakan sesuatu."Pesan terkirim.Tiga menit berlalu.Tidak ada balasan.Lima menit.Masih tidak ada reaksi.Nayla mulai berpikir ulang. Mungkin ini ide buruk. Mungkin aku harus mencari pria l
Suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lorong apartemen saat Nayla berjalan menuju unitnya. Hari itu terasa panjang—terlalu panjang. Presentasi yang melelahkan, atasan yang terlalu banyak menuntut, dan klien yang mendadak berubah pikiran di detik terakhir membuat kepalanya hampir meledak.Saat akhirnya tiba di depan pintu, ia menghela napas panjang sebelum membuka kunci. Begitu pintu terbuka, aroma lembut lilin vanila menyambutnya, memberikan sedikit rasa nyaman setelah hari yang melelahkan.Nayla melepaskan high heels dengan asal, membiarkan tubuhnya terjatuh ke sofa empuk di ruang tengah. Ia menarik karet rambutnya, membiarkan rambut panjangnya tergerai, lalu meraih remote TV. Tapi sebelum sempat menyalakan drama Korea yang sudah menunggu untuk ditonton, ponselnya bergetar di atas meja.Notifikasi email. Satu pesan masuk.📩 "Undangan Pernikahan: Reza & Alana"Mata Nayla membeku di layar. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak sebelum kembali berpacu lebih cepat dari sebe