Ucapan Kenzo beberapa hari lalu terus terngiang di kepala Nayla. Ia sangat penasaran dengan maksud dari perkataan Kenzo saat itu dan hal yang disayangkan adalah ia tidak sempat bertanya lebih lanjut pada Kenzo karena Kenzo keburu meninggalkannya setelah berbicara seperti itu. Ia juga tidak sempat bertanya di hari-hari berikutnya karena mereka tidak sempat bertemu lagi.
Beberapa hari setelah percakapan mereka,. suara dering ponsel tiba-tiba memecah suasana hening di apartemen Nayla pada malam hari. Nayla mengerang pelan, meraba nakas dengan mata setengah tertutup, dan menemukan ponselnya yang terus bergetar.
Namanya tertera di layar: Kenzo.
Dengan napas berat, ia menggeser tombol hijau. "Halo?" suaranya serak dan malas.
Namun bukan suara Kenzo yang terdengar. Melainkan seorang pria asing.
"Halo, mohon maaf mengganggu, nona. Saya dari bar Brave. Tuan Kenzo sedang mabuk berat. Kami menemukan nomor Anda di kontak daruratnya. Bar kami akan tutup sebentar lagi. Bisakah Anda datang menjemput?"
Nayla langsung terduduk. "Apa? Mabuk?" gumamnya tak percaya. Ia melirik jam di ponsel—pukul 01.17 dini hari.
“Sampaikan saja kepada pengawalnya untuk membawa Kenzo pulang,” kata Nayla tak acuh.
“Maaf Nona, tuan Kenzo datang sendirian,” jawab staf bar itu.
Nayla menghela napas kasar kemudian mematikan telponnya. Tanpa banyak bicara, ia segera menarik cardigan yang tergantung di balik pintu, mengganti sandal rumah dengan sneakers, dan berlari keluar untuk memanggil taksi. Dalam perjalanan, ia hanya bisa menghela napas panjang. Kenapa juga dia harus mencantumkan aku sebagai kontak darurat? Batin Nayla jengkel.
Kenzo benar-benar merepotkan.
Setibanya di bar Brave, suasana sudah sepi. Lampu remang-remang di dalam ruangan menyisakan cahaya hangat yang menyelimuti ruangan penuh aroma alkohol. Di sudut ruangan, Nayla melihat sosok yang sangat dikenalnya.
Kenzo terkulai lemas di atas meja, satu tangan masih memegang gelas yang sudah kosong, wajahnya tampak pucat dan kacau. Nayla mendekati Kenzo, memeriksa sebentar apakah pria itu masih sadar atau sudah sepenuhnya pingsan.
“Ken… aku Nayla,” ucap Nayla.
Kenzo bergumam tidak jelas sehingga membuat Nayla tidak bisa meninggalkan Kenzo sendirian dan terpaksa membopongnya.
"Nona Nayla?" sapa staf bar sambil mendekatinya, "Ini kunci mobil Tuan Kenzo."
Ia menyerahkan kunci dan membantu Nayla menopang tubuh Kenzo. Nayla berdiri di sisi kanan, merangkul lengan dan pinggang Kenzo yang sempoyongan. Sementara staf bar merangkul Kenzo di sisi kiri. Meski berat, Nayla tetap membawa Kenzo menuju mobil Kenzo yang terparkir di luar.
"Kenzo!!" serunya, sedikit panik ketika Kenzo hampir terjatuh ke jok penumpang.
"Di mana alamat rumah kamu?" tanya Nayla sambil menepuk-nepuk pipi dan pundaknya pelan.
Kenzo mengerang pelan, matanya hanya setengah terbuka. "Hannam the Hill... Building 101... Unit... 303," ucapnya terbata.
Nayla menghela napas, "Bagus. Mabuk, tapi masih bisa nyebut alamat."
Ia segera masuk ke kursi pengemudi dan melajukan mobil menuju Hannam-dong. Di tengah malam yang lengang, suara wiper dan hujan menjadi satu-satunya musik pengiring. Sesekali, Nayla melirik ke arah Kenzo yang bersandar lemah. Wajahnya tidak seperti biasanya—tidak arogan, tidak menyebalkan. Justru terlihat... rapuh.
Apa yang terjadi padamu, Kenzo? pikir Nayla dalam hati, tanpa sadar menggenggam kemudi lebih erat.
Ada bagian dari dirinya yang kesal—tentu saja. Tapi ada juga bagian lain yang... mulai khawatir.
Hannam the Hill berdiri megah dengan lampu fasad yang masih menyala lembut di dini hari. Setelah melewati pintu keamanan dan parkir bawah tanah, Nayla berhasil memarkir mobil Kenzo tepat di depan lift privat yang langsung menuju unitnya.
Dengan tenaga yang setengah putus asa, ia menarik lengan Kenzo, memapah pria itu keluar dari mobil.
"Kalau bukan karena aku kasihan, aku udah tinggalin kamu di bar tadi," gerutunya, membuka pintu lift dengan menempelkan kartu akses yang diberikan staf bar.
Begitu pintu apartemen terbuka, aroma parfum Kenzo langsung menyeruak. Unitnya luas, rapi, dan mewah—lebih seperti penthouse hotel daripada hunian biasa.
"Ya ampun, gila sih ini tempat. Sofanya aja kayak lebih mahal dari isi apartemenku," gumam Nayla sambil terus menggiring Kenzo yang masih separuh sadar.
Kenzo hanya menggumam tidak jelas saat tubuhnya dijatuhkan pelan ke atas sofa.
"Duduk dulu, biar aku ambil air," katanya, masih dengan nada kesal. Tapi tangannya tetap cekatan membuka lemari dapur dan mencari botol air mineral.
Ia kembali sambil membawa air dan handuk kecil yang ditemukan di kamar mandi tamu. Nayla berlutut di depan Kenzo, membuka kancing atas kemeja pria itu yang sudah lecek, dan mengelap kening serta lehernya dengan handuk dingin.
"Minum ini," katanya, menyodorkan gelas ke bibir Kenzo.
Kenzo membuka matanya sedikit. Pandangannya buram, tapi tetap tertuju pada wajah Nayla yang tampak serius.
"...Nayla?" bisiknya.
"Iya, Nayla. Si cewek yang kamu repotin malam-malam. Yang kamu cantumin seenaknya jadi kontak darurat," balas Nayla ketus sambil terus mengelap wajahnya.
"Kenapa kamu datang?" tanya Kenzo lirih.
Nayla memutar bola matanya. "Masa aku biarin kamu tidur di bar? Itu bisa viral besok pagi, tahu nggak?"
Kenzo menatapnya sejenak lalu mendadak menggenggam tangan Nayla yang masih memegang handuk. Matanya sayu, tapi tatapannya jujur. "Terima kasih..."
Nayla terdiam. Ada jeda sebelum ia menghembuskan napas panjang, perlahan menarik tangannya.
"Denger ya, aku bukan baby sitter kamu. Kalau kamu ada masalah, selesaikan sendiri. Jangan lari ke alkohol dan nyusahin orang lain," katanya, mencoba tetap galak, walau hatinya entah kenapa mulai melunak.
Kenzo hanya tertawa pelan. "Tahu nggak... kamu kelihatan lucu kalau marah..."
"Lucu apanya? Aku serius—" Nayla berhenti bicara ketika mendapati Kenzo tertidur lagi, kali ini dengan nafas teratur dan wajah lebih tenang.
Ia menghela napas. Lalu pelan-pelan, ia menarik selimut tipis dari pinggiran sofa dan menyelimuti tubuh Kenzo.
Sebelum beranjak ke kamar tamu untuk tidur, ia menatap wajah Kenzo sekali lagi.
Dia memang menyebalkan. Tapi... entah kenapa, malam ini dia terlihat seperti seseorang yang butuh diselamatkan.
———
Malam berganti pagi. Awan kelabu masih menggantung rendah di langit Hannam, namun udara terasa tenang. Sinar matahari malu-malu menyusup lewat celah tirai besar di ruang tamu apartemen Kenzo, menghangatkan lantai kayu dan aroma samar parfum maskulin yang sempat menguar semalaman.
Di dapur, Nayla berdiri dengan rambut dikuncir asal dan kaos kebesaran milik Kenzo yang ia temukan tergantung di belakang pintu kamar mandi tamu. Aroma sup perlahan memenuhi udara. Tangannya terampil mengaduk panci berisi kuah bening, irisan tofu, dan potongan daging sapi yang ia temukan teronggok hampir kadaluwarsa di kulkas mewah itu.
"Hadeuh... memang orang kaya suka buang-buang makanan, ya," gerutunya sambil membuka bungkus daging wagyu seharga ratusan ribu, "Daging semahal ini malah didiemin sampai berubah warna."
Ia menghela napas dan terus memasak, hingga tiba-tiba gerakan tangannya melambat. Nayla berhenti mengaduk dan menatap pantulan dirinya di pintu kulkas stainless.
"Loh? Kenapa gue ngelakuin ini ya?" gumamnya, nyaris berbisik.
"Gue kenapa baik banget sama orang yang udah bikin hidup gue sengsara," lanjutnya dengan nada yang lebih pahit dari kuah sup yang sedang ia racik. Namun di detik berikutnya, ia kembali menggenggam sendok kayu dengan mantap.
"Okelah... karena udah terlanjur. Sekalian aja sekalian," katanya lagi, menekan rasa bingungnya sendiri.
Setelah sup selesai, ia menuangkan satu porsi ke mangkuk, mengambil nampan, dan berjalan ke arah sofa di mana Kenzo masih terbaring dengan wajah setengah tertutup selimut.
"Bangun," ucap Nayla sambil menepuk pelan kaki Kenzo.
Pria itu mengerang pelan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya membuka mata. Pandangannya buram, tapi cukup untuk mengenali sosok perempuan yang berdiri di depannya.
"Nayla?" suaranya parau, kaget, dan agak panik. Ia langsung terduduk. "Apa-apaan ini? Kenapa kamu di sini?"
"Wah!" Nayla mengangkat satu alis, menaruh nampan ke atas meja. "Makanya, jangan mabuk!"
Kenzo menggosok wajahnya, mencoba mengingat. "Saya cuma... bar, terus..."
"Kamu mabuk berat. Staf bar nemu nomor aku di kontak darurat kamu. Jadi, aku yang harus angkut kamu malam-malam ke sini. Harusnya aku tinggalin aja, biar kamu nginep di lantai bar," katanya cepat dan ketus, tapi wajahnya menahan ekspresi geli.
Kenzo memejamkan mata lalu tertawa pelan, "Kamu yang masakin sup ini?"
"Bukan. Tiba-tiba aja ada jin dapur masuk dan masak pakai bahan-bahan expired di kulkas kamu," jawab Nayla sarkastik.
Kenzo menatap Nayla lalu mangkuk sup di depannya. Ia mengambil sendok dan mencicipi satu suapan.
"Enak," katanya lirih.
"Ya iyalah. Itu daging wagyu setengah gaji aku. Sayang kalau busuk begitu aja," kata Nayla sambil duduk di sofa sebelahnya, menyilangkan kaki.
Sejenak hening. Hanya suara sendok menyentuh mangkuk dan desiran angin dari ventilasi AC.
"Aku ingat kamu semalam. Kamu marahin saya," ujar Kenzo pelan, "Tapi... itu bikin saya sadar."
Nayla menoleh, alisnya terangkat. "Sadar dari mabuk?"
Kenzo menggeleng, menatapnya dengan mata yang lebih jernih sekarang. "Sadar kalau saya udah terlalu nyaman ngerepotin kamu."
Nayla mendengus kecil. Tapi pipinya menghangat.
"Udah, makan. Sup itu bukan buat kamu mellow-mellow-an," katanya cepat lalu bangkit dan berjalan ke dapur, meninggalkan Kenzo yang diam-diam menatap punggungnya lebih lama dari yang seharusnya.
Dan untuk pertama kalinya, Kenzo merasa... rumah ini tak terasa kosong.
Kenzo berdiri pelan dari sofa, masih terasa berat di kepalanya akibat alkohol yang belum sepenuhnya hilang. Ia berjalan ke ruang kerjanya, menahan napas panjang seolah ingin menepis rasa sesak yang mulai merayap lagi—yang selalu muncul setiap kali malam-malam seperti tadi terjadi.
Langkahnya membawa dia ke lemari kayu kecil di sudut ruangan. Di atasnya berdiri sebuah bingkai foto tua, berbeda dari yang lain—terlihat lebih usang, warnanya mulai memudar. Ia mengambilnya perlahan, membersihkan debu yang menempel di kacanya dengan ibu jari.
Di dalamnya, terlihat potret seorang anak laki-laki kecil—dirinya, mungkin usia lima tahun—memegang tangan seorang gadis kecil dengan rambut dikuncir dua dan senyum yang cerah. Wajah gadis itu tampak begitu akrab, begitu hidup... dan begitu jauh.
"Nana..."
Kenzo menatap foto itu lama. Tatapannya bukan sekadar mengenang, tapi seperti memohon waktu untuk memutar ulang hari-hari yang sudah hilang.
"Maaf ya, Nana... aku... sepertinya sudah nggak bisa mencarimu lagi," ucapnya pelan, suaranya nyaris tercekat.
Tangannya menggenggam bingkai itu erat. "Kata mereka, kamu udah nggak bisa dilacak. Kamu dan keluarga kamu hilang begitu aja," gumam Kenzo.
Ia memejamkan mata. Sekelebat memori muncul—tertawa bersama di taman belakang rumah lama mereka, gadis kecil itu memetik bunga dan menaruhnya di rambut Kenzo sambil berkata, "Sekarang kamu cakep juga, ko!"
Kenzo tersenyum kecil, tapi senyum itu patah di ujung.
"Kalau suatu hari kamu bisa dengar aku... ketahuilah, aku masih nyari kamu. Aku cuma nyerah... buat sementara," bisiknya.
Tanpa Kenzo tahu, Nayla berdiri diam di balik pintu ruang kerja yang terbuka sedikit. Ia ingin bertanya, ingin masuk, tapi tubuhnya menolak bergerak.
Nayla merasa hatinya terasa sakit, entah karena merasakan kesedihan Kenzo atau… karena Kenzo membicarakan wanita lain.
Jam dinding berdetak pelan. Di balik tirai putih yang melambai ringan diterpa angin dari ventilasi, cahaya lampu kota menari samar-samar. Di dalam kamar rumah sakit itu, sunyi menyelimuti. Rose tertidur di sofa dengan selimut menyelimuti tubuhnya. Hanya suara mesin monitor yang mengukur detak jantung dan ritme napas yang terus bergema, mengisi kekosongan malam.Namun, Nayla masih terjaga.Ia duduk bersandar di atas ranjangnya, memandangi pria di sebelah ranjangnya. Kenzo. Pria yang dulu menjadi musuh dalam hidupnya, yang ia hindari, benci, dan tolak. Namun kini, hanya ada satu perasaan yang membuncah setiap ia menatap wajah itu: takut kehilangan.Dengan hati-hati, Nayla menyibak selimut, melangkah pelan menuju sisi ranjang Kenzo. Ia duduk di tepi tempat tidur itu, menatap wajah Kenzo yang pucat, dengan luka perban di perutnya, dan lengan yang masih ditancap selang infus. Tangannya terulur, ragu-ragu... lalu akhirnya menggenggam tangan Kenzo erat-erat, seolah takut jika pria itu kembal
Cahaya putih menyilaukan menyelimuti ruang IGD. Aroma antiseptik menusuk tajam, menyatu dengan hiruk-pikuk langkah kaki dan suara peralatan medis yang tak henti-hentinya berbunyi.Di tengah kekacauan itu, Kenzo terbaring lemah dengan wajah pucat dan baju penuh darah. Selang infus menusuk lengannya, monitor jantung menunjukkan detak yang tak stabil, dan perawat bergerak cepat menahan perdarahannya.“Tekanan darah turun drastis!”“Stabilisasi segera, kita kehilangan dia—!”Pintu IGD terbuka keras. Kingsley masuk dengan napas memburu, matanya menyapu ruangan hingga akhirnya menatap tubuh putranya yang hampir tak bernyawa. Wajahnya mengeras. Ia menoleh tajam ke arah pasukan pengawalnya.“Dengar baik-baik,” desisnya. “Jangan ada yang melaporkan ini ke pihak berwajib. Polisi akan tunduk pada keluarga presiden. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun di luar lingkaran ini.”Semua pengawal mengangguk serempak. Ketegangan makin menebal, seolah rumah sakit pun tahu bahwa perang besar sedang diam-
Udara di dalam ruangan itu terasa lembap dan menyesakkan. Aroma apek dan debu menyatu menjadi satu, membuat dada Nayla semakin sesak. Ia duduk di kursi kayu tua yang sudah mulai rapuh, tubuhnya lemah terikat erat, pergelangan tangannya membiru karena gesekan tali kasar.Air matanya sudah mengering di pipi. Ia menatap nanar ke langit-langit gelap yang retak dan penuh sarang laba-laba, mencoba menenangkan diri… mencoba berpikir jernih… tapi yang ia rasakan hanya satu—takut“Apa ini jalan satu-satunya agar semuanya aman?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Tangannya bergerak lemah, mencoba lagi melepaskan ikatan, meskipun perihnya seperti ditusuk-tusuk duri. Tapi tak ada yang berhasil. Tidak ada celah, tidak ada harapan.“Apa lebih baik aku mati… daripada harus menyerah dan membuat Kenzo dalam bahaya?” pikirnya lagi. Matanya memejam, menahan rasa bersalah dan keputusasaan yang menyesakkan dada.Sementara itu, jauh di tempat berbeda, Kenzo masih belum berhenti bergerak.Apartemen tempa
Kesadarannya masih kabur ketika Nayla membuka mata. Ruangan itu kosong dan lembap, berbau tanah tua dan kayu lapuk. Dinding-dindingnya retak, jendela ditutup rapat dengan papan kayu, dan hanya cahaya temaram dari satu bola lampu menggantung di langit-langit yang membuat segalanya tampak lebih menyeramkan.Kepalanya berdenyut. Pergelangan tangannya terasa perih, diikat kasar dengan tali yang mengikatnya kuat ke kursi kayu reyot. Nafasnya memburu, tubuhnya mulai gemetar. Namun ketakutan itu bukan hanya karena tempat itu—melainkan karena sosok yang perlahan melangkah dari balik bayangan.Reza.Wajah yang dulu pernah ia percayai, kini berubah menjadi topeng kebencian yang menjijikkan. Matanya memancarkan kesenangan aneh melihat Nayla dalam kondisi tak berdaya.“Selamat datang, Nay.” Suara Reza terdengar ringan, tapi nadanya mengandung racun. “Sudah kubilang ini penting, tapi kamu menolak datang baik-baik. Jadi ya… aku terpaksa.”Nayla mencoba tetap tenang. Tapi air mata sudah menggenang d
Malam itu langit mendung. Hujan belum turun, tapi udara terasa berat. Nayla memandangi layar ponselnya yang kembali menyala untuk ketiga kalinya malam itu—nama yang muncul di layar bukan nama asing.Reza.Tangannya gemetar ringan saat akhirnya ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang kerja apartemen. Di balik pintu, Kenzo sedang menatap layar laptop dengan ekspresi serius, dikelilingi dokumen dan peta digital.Nayla mengetuk pelan.Kenzo menoleh. “Ada apa?” tanyanya, suaranya tenang, tapi matanya langsung membaca bahwa Nayla tidak datang hanya untuk mengobrol santai.“Reza… dia menghubungiku lagi,” ucap Nayla dengan suara pelan.Seketika rahang Kenzo mengeras. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menyatukan kedua tangannya di bawah dagu. “Apa lagi maksudnya kali ini? Di tengah kekacauan yang belum selesai juga…” gumamnya dengan geram.“Aku juga tidak tahu. Tapi dia bilang ini penting. Dia terus mengirim pesan. Seolah… mendesak,” jelas Nayla, menyerahkan ponselnya.Kenzo me
Setelah menghabiskan waktu menelusuri kenangan di rumah masa kecil Nayla, Kenzo membawa Nayla menuju mansion keluarga Kingsley. Bangunan megah yang berdiri kokoh di balik pagar besi hitam itu memancarkan aura keagungan sekaligus misteri yang menyelimuti sejarah keluarga mereka. Ketika mobil berhenti di depan pintu utama, Rose dan Kingsley telah berdiri menyambut mereka di depan pintu, seolah sudah tahu bahwa percakapan malam ini bukanlah percakapan biasa.Setelah duduk di ruang keluarga yang hangat dan tenang, Rose membuka percakapan. Suaranya lembut, tapi mengandung tekanan emosional yang dalam."Nayla... sebelum ibumu menghilang, dia sempat bilang padaku bahwa suatu saat kamu akan menemukan surat wasiat dari mendiang ayahmu. Tapi dia tidak pernah memberitahuku di mana surat itu disimpan. Seolah... dia sengaja membuatmu menemukan sendiri, saat kamu sudah siap."Nayla menelan ludah, pikirannya mulai menghubungkan potongan-potongan mimpi, bisikan dari masa lalu, dan kenyataan yang kini