Setelah menghabiskan waktu menelusuri kenangan di rumah masa kecil Nayla, Kenzo membawa Nayla menuju mansion keluarga Kingsley. Bangunan megah yang berdiri kokoh di balik pagar besi hitam itu memancarkan aura keagungan sekaligus misteri yang menyelimuti sejarah keluarga mereka. Ketika mobil berhenti di depan pintu utama, Rose dan Kingsley telah berdiri menyambut mereka di depan pintu, seolah sudah tahu bahwa percakapan malam ini bukanlah percakapan biasa.Setelah duduk di ruang keluarga yang hangat dan tenang, Rose membuka percakapan. Suaranya lembut, tapi mengandung tekanan emosional yang dalam."Nayla... sebelum ibumu menghilang, dia sempat bilang padaku bahwa suatu saat kamu akan menemukan surat wasiat dari mendiang ayahmu. Tapi dia tidak pernah memberitahuku di mana surat itu disimpan. Seolah... dia sengaja membuatmu menemukan sendiri, saat kamu sudah siap."Nayla menelan ludah, pikirannya mulai menghubungkan potongan-potongan mimpi, bisikan dari masa lalu, dan kenyataan yang kini
Pagi itu, aroma roti panggang dan telur orak-arik memenuhi dapur apartemen. Kenzo, mengenakan kaus hitam dan apron yang agak kebesaran, tampak sibuk di balik meja dapur. Tangannya lincah, tapi sesekali melirik ke arah meja makan, tempat Nayla duduk diam menatap cangkir kopinya yang belum tersentuh.Di balik keheningan mereka, ada banyak hal yang belum terucap.Kenzo masih sulit memercayai bahwa wanita yang kini duduk di depannya adalah Naina—bayangan masa lalunya yang selama ini ia cari, ia buru, bahkan ia kejar dengan darah dan luka. Tapi Naina... adalah Nayla. Dan Nayla terlihat semakin asing, semakin jauh, seolah menyimpan dinding tak kasat mata di antara mereka."Hari ini kamu harus makan," kata Kenzo pelan, meletakkan piring sarapan di hadapan Nayla.Nayla hanya mengangguk kecil. Tangannya meraih sendok, namun matanya masih kosong, seperti pikirannya sedang berada di tempat lain—mungkin di masa lalu yang belum sepenuhnya ia pahami.Baru saja Kenzo hendak duduk, ponselnya berderin
Udara di apartemen itu seperti menekan dada Nayla. Dinding-dinding putih yang megah, langit-langit tinggi, dan keheningan yang terlalu rapi—semuanya membuatnya sesak, seolah ia berada di dalam sangkar kaca. Mata Nayla menatap jendela, melihat langit senja yang mulai merona jingga, memberikan ilusi kebebasan yang rasanya begitu jauh dari jangkauannya."Aku mau keluar," ucap Nayla tiba-tiba.Kenzo yang duduk di ruang tamu menoleh cepat. "Keluar?""Hanya ke mini market," ucap Nayla dengan nada datar. "Sendirian."Kenzo berdiri, tubuhnya menegang. "Nayla, kamu tahu itu berbahaya, 'kan?""Bahaya?" Nayla tertawa hambar, menatap Kenzo dengan pandangan tajam. "Kenapa? Karena aku pernah jadi target? Atau karena kamu takut aku bertemu lagi dengan sisa-sisa dari masa lalumu yang kelam itu?""Nay, bukan itu maksudku...""Lalu apa? Kamu menyuruhku tinggal di sini terus seperti tahanan rumah? Aku bukan boneka yang bisa kamu simpan di dalam kotak kaca, Kenzo!"Nada suaranya mulai meninggi, tubuhnya
Keesokan paginya, setelah serangkaian pemeriksaan terakhir, dokter akhirnya menyatakan Nayla sudah bisa dipulangkan. Fisiknya membaik, tapi batinnya masih porak-poranda. Tak ada tawa, tak ada senyum. Hanya wajah kosong dan tatapan yang terasa jauh... seolah ia masih tersesat di dalam pikirannya sendiri.Dalam perjalanan pulang ke apartemen, Nayla duduk diam di kursi belakang mobil. Ia bersandar pelan pada bahu Rose, mertuanya, seolah mencari tempat aman di dunia yang kini terasa asing.Kenzo yang duduk di kursi pengemudi, sesekali menoleh lewat kaca spion, mencoba menangkap raut wajah Nayla. Namun, gadis itu tetap menunduk, tak berkata apa-apa sejak keluar dari rumah sakit.Mobil akhirnya berhenti di depan apartemen mewah milik Kenzo. Petugas keamanan menyambut dan segera membukakan pintu. Nayla turun perlahan, masih menggenggam erat tangan Rose seolah tak ingin berpisah."Ibu... nginep di sini aja, ya?" bisik Nayla pelan, nyaris tak terdengar. Wajahnya pucat, dan matanya menyiratkan
Dengan langkah berat, Kenzo akhirnya memerintahkan body guard-nya untuk membebaskan para tawanan. Tapi dengan satu syarat yang tidak bisa diganggu gugat—mereka tak boleh membuka mulut tentang apa pun yang telah terjadi."Nay, aku sudah bebaskan mereka. Sebentar lagi, body guard-ku akan menjemput dan memastikan mereka keluar dari wilayah pulau dalam keadaan aman," ujar Kenzo saat kembali ke ruang rawat Nayla.Nayla hanya mengangguk pelan. Hatinya masih mengambang antara percaya dan takut, antara ingin memahami dan ingin lari dari kenyataan.Tak lama, pintu kamar diketuk. Rose, ibu Kenzo, masuk sambil menenteng sebuah tas besar berwarna krem. Di belakangnya, Kingsley, ayah Kenzo, berdiri dengan raut wajah serius namun teduh."Nak..." ucap Rose lembut sambil duduk di tepi ranjang Nayla. "Kamu pasti bingung, ya. Ini semua memang membingungkan. Tapi kami menemukan ini beberapa minggu lalu saat kami membersihkan gudang penyimpanan berkas lama."Rose membuka tas itu, mengeluarkan album foto
Perlahan, dunia mulai kembali membentuk garis di mata Nayla. Cahaya putih menyilaukan dari lampu langit-langit membuat kelopak matanya berkerut. Aroma antiseptik memenuhi indera penciumannya, membuat kesadaran perlahan kembali. Ia mencoba menggerakkan tangannya, terasa berat. Suara mesin monitor berdetak pelan di samping telinganya.Saat matanya terbuka sempurna, ia menyadari—ia terbaring di rumah sakit.Nayla menoleh perlahan ke samping, dan di sanalah Kenzo, tertidur dalam posisi duduk dengan kepala bersandar di tepi ranjangnya. Wajahnya terlihat sangat lelah, rambutnya kusut, dan tangan kirinya masih menggenggam ujung selimut Nayla seperti enggan berpisah."Ken..." ucap Nayla lirih, suaranya nyaris tak terdengar, namun cukup untuk mengguncang pria itu dari tidurnya.Kenzo langsung tersentak. Matanya terbuka lebar penuh kecemasan. Begitu menyadari Nayla terbangun, ia berdiri tergesa. "Dokter! Tolong, dia sadar! Nayla sudah sadar!" teriaknya ke arah pintu.Namun Nayla menggenggam uju