แชร์

Sambutan Hangat

ผู้เขียน: Soju Kimchizz
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-03-22 21:17:57

Nayla berjalan dengan tatapan kosong di koridor kantor. Ia masih tidak percaya dengan apa yang ia lakukan semalam. Menandatangani perjanjian untuk menjadi kekasih konglomerat. Tidak pernah terbesit di pikiran Nayla jika dirinya akan mengambil keputusan sebodoh ini.

Begitu sampai di lantai divisinya, banyak rekan kerjanya berbisik, menggosip tentang Nayla yang kemarin dengan berani memarahi manajer karena menyinggung soal Kenzo.

Nayla hanya bisa menghela napasnya dengan berat.  Ia tahu apapun yang ia katakan tidak akan merubah penilaian seseorang sehingga ia lebih memilih fokus pada pekerjaannya dan berusaha meninggalkan sejenak beban pikiran yang menggantung sejak kehadiran Kenzo di hidupnya.

Sepulang kerja, Nayla baru saja menyatu dengan empuknya sofa, melepas blazer kerja dan berniat tidur setengah jam sebelum makan malam. Tapi ketenangan itu hancur saat ponselnya bergetar keras, menampilkan nama yang paling ia hindari hari ini: Kenzo.

"Turun. Sekarang. Kita harus belanja," ucap suara dingin Kenzo, tanpa salam, tanpa basa-basi. Kenzo telah menunggu Nayla di parkiran apartemen.

"Apa-apaan sih kamu?! Aku baru pulang kerja dan—"

"Saya tidak peduli kamu baru pulang kerja, yang saya mau tahu, sekarang kamu turun, kita harus bersiap bertemu orang tua saya," ucap Kenzo mutlak.

"Enak sekali ya! Mengatur jadwal orang tanpa bertanya sedikit pun," jawab Nayla ketus.

"Jadwal kamu sudah pasti. Pulang kerja pukul 6 sore. Jadi, saya rasa sudah cukup pengertian karena menjemputmu jam 18.30," kata Kenzo.

"Segara turun," perintah Kenzo kemudian menutup panggilannya.

Nayla bersiap apa adanya, menurutnya tidak ada yang perlu dipersiapkan dengan sempurna karena bertemu dengan Kenzo. Ia berjalan gontai keluar unit apartemennya dan memasang wajah masam ketika masuk ke dalam mobil Kenzo. Mobil yang nyaman dan mewah pun tidak bisa membuat Nayla merasa dirinya aman karena pria yang sedang mengemudi di sampingnya adalah mimpi buruk yang entah sampai kapan akan membuntuti.

Bebapa menit kemudian, mereka sampai di butik mewah yang pernah Nayla lewati tapi tak pernah ia masuki. Ia berdiri kikuk. Tempat itu mengkilap seperti tempat tinggal para dewi. Staf menyambut mereka dengan senyum profesional, seolah sudah terbiasa melayani konglomerat.

"Siapkan berbagai gaun hitam," perintah Kenzo tanpa menoleh, "Yang klasik, elegan, tidak terlalu terbuka," tambahnya.

Nayla hanya menghela napas panjang. "Aku bukan boneka yang bisa kamu dandani sesukamu tahu."

"Percayalah, saya tidak pernah melihat kamu seperti boneka," jawab Kenzo sarkas.

Wajah Nayla memerah karena merasa kesal. Dia akhirnya hanya mendengus dan menerima gaun-gaun yang diberikan staf.

Gaun pertama: Nayla keluar dari ruang ganti dengan setengah enggan. Kenzo hanya melirik sebentar dan berkata, "Terlalu polos. Bukan kamu."

Gaun kedua: Kenzo sibuk dengan ponselnya lalu menggeleng tanpa bicara.

Gaun ketiga: Satu tangan terangkat, gerakan simpel untuk berkata "next."

Saat Nayla mengenakan gaun keempat—potongan pas badan, leher berbentuk V yang elegan, dan belahan kaki yang tidak terlalu tinggi—Kenzo akhirnya berhenti memainkan ponsel. Ia menatap diam dan lama.

"Hm," gumamnya lalu mengangguk. "Itu dia."

Nayla menatap dirinya di cermin. Gaun itu memang... bagus. Mewah. Cantik. Tapi saat ia melihat label harga yang tergantung di dalam, napasnya tercekat.

"Ini setara tiga bulan gaji gue..." gumamnya pelan, nyaris seperti desahan horor.

Kenzo yang berdiri di belakangnya hanya tersenyum tipis. "Kamu terlihat seperti bagian dari dunia ini sekarang. Dan itu penting malam ini."

Nayla menoleh cepat, "Aku bukan bagian dari dunia kamu, Kenzo."

Tatapan mata mereka bertemu dengan sengit. Untuk sesaat, tidak ada canda, tidak ada sarkasme.

"Hari ini kamu harus pura-pura jadi bagian itu. Setidaknya sampai makan malam selesai," ucap Kenzo serius.

“Ingat, kamu sudah menandatangani surat perjanjian dan apa yang kita lakukan hari ini adalah bagian dari perjanjian,” peringat Kenzo pada Nayla.

Nayla menatap Kenzo dengan tatapan marah. Ia sangat membenci situasi ini. Namun, Kenzo tidak peduli sama sekali. Baginya perasaan Nayla tidak penting.

Nayla pikir, setelah adegan membeli baju mewah ala-ala drama korea, ia bisa kembali ke apartemen dan bersiap sendiri. Nyatanya, Kenzo malah membawa Nayla ke sebuah salon yang biasa melayani artis papan atas.

"Bersiaplah di sini, kita sudah tidak punya waktu lagi untuk kembali ke apartemenmu," kata Kenzo.

Sembari menunggu Nayla bersiap, Kenzo duduk manis sambil membaca laporan harian dari perusahaan medianya. Jemarinya menggulir dokumen di layar ipad dengan raut wajah serius. Ketika ia sadar telah menunggu terlalu lama, ia menghampiri Nayla.

“Kenapa lama sekali?” tanya Kenzo dengan tatapan kesal.

“Sabar! Semua hal ini baru bagiku. Lihatlah betapa tidak nyamannya aku dengan gaun seperti ini,” gerutu Nayla.

“Jangan banyak mengeluh. Segera selesaikan. Saya akan tunggu di dalam mobil,” kata Kenzo.

Setelah dengan terpaksa Nayla bergegas dan masuk ke dalam mobil sebelum Kenzo semakin marah dan mengomel.

Di dalam mobil menuju mansion keluarga Kingsley, Nayla merapikan gaunnya. Mobil melaju pelan menyusuri jalanan perbukitan eksklusif dengan deretan rumah-rumah megah yang lebih mirip istana dibanding hunian biasa.

"Kenapa harus malam ini sih?" tanya Nayla akhirnya, memecah keheningan.

"Karena ibu saya  bilang kalau saya tidak bawa kamu malam ini, dia akan datang sendiri ke apartemen saya dengan fotografer pribadi dan mungkin satu grup prayer meeting," jawab Kenzo datar.

"Yah... kedengaran seperti mimpi buruk."

"Makanya saya pilih bawa mimpi buruk yang bisa pakai heels," jawab Kenzo, menoleh padanya dan menyeringai.

Nayla mencibir, tapi memutuskan untuk tidak mengatakan apa-apa,

Ketika mobil berhenti di depan mansion Kingsley, napas Nayla seketika terasa berat. Pilar-pilar marmer menyambut dan taman depan tampak seperti versi mini Versailles.

"Kamu masih bisa kabur lewat jendela belakang kalau gugup, tapi saya dengan sekuat tenaga akan menyeret kamu masuk lagi dalam permainan ini," kata Kenzo yang semakin membuat Nayla gugup.

"Aku lebih milih disuruh bersihin toilet istana ini daripada pura-pura jadi pacar kamu seharian," keluh Nayla.

"Terlambat. Kamu udah jadi wajah utama di drama keluarga Kingsley. Season satu dimulai malam ini."

Saat sopir membukakan pintu dan lampu-lampu mewah menyinari langkah mereka, Nayla tahu... permainan sudah dimulai.

Begitu pintu utama terbuka, udara dingin yang bercampur dengan aroma mawar segar dan kayu manis menyambut mereka. Sebuah chandelier megah menggantung dari langit-langit setinggi tiga lantai, memantulkan cahaya ke lantai marmer yang mengilap. Dan di bawahnya, berdiri pasangan suami istri yang seolah baru keluar dari majalah prestise keluarga konglomerat.

Rose Kingsley, wanita elegan berbalut setelan Chanel berwarna gading, tersenyum lebar melihat mereka datang. Di sebelahnya, suaminya—Mr. Kingsley—berdiri tegak dengan jas abu-abu gelap, memasang ekspresi hangat tapi penuh pengamatan tajam.

"Inikah calon menantuku?" seru Rose begitu matanya menangkap Nayla, penuh antusias.

Nayla sempat menoleh ke Kenzo, seolah memastikan bahwa ia mendengar dengan benar.

"Kenapa menyembunyikan gadis secantik ini dari kami?" lanjut Rose sambil meraih tangan Nayla dengan kedua tangannya. "Kamu harusnya memperkenalkannya dengan bangga. Tidak usah pedulikan status sosial, penampilan, atau apapun itu. Yang penting, hatinya."

Nayla hanya bisa menahan napas. Semua naskah bayangannya tentang pertemuan pertama—suasana tegang, tatapan menilai dari kepala sampai kaki, komentar menyakitkan terselubung senyum palsu—tidak terjadi. Justru yang menyambutnya adalah seorang ibu yang hangat... bahkan terlalu hangat untuk seorang ibu konglomerat.

"Maaf tante, saya baru bisa berkunjung sekarang," Nayla akhirnya bersuara, mencoba terdengar sopan.

Rose menggeleng pelan sambil tersenyum, "Kok tante sih? Panggil ibu aja."

Nayla membeku sejenak. Kata itu—'ibu'—terasa asing di mulutnya, seperti kata yang pernah lama ia kubur dan lupa bentuknya.

"Hm... baik, ibu," ucap Nayla akhirnya, sedikit tercekat. Ia tak tahu, panggilan sederhana itu menimbulkan sesuatu di dadanya—nyeri, hangat, sekaligus nyaman.

Kenzo yang sejak tadi hanya diam, kini bersuara, "Ibu akan terus berdiri di sini? Aku sudah mencium aroma sup bening favorit ayah. Kita semua tahu, aku lebih gampang lapar saat gugup."

"Gugup? Kamu?" ejek Mr. Kingsley dengan tawa kecil.

Rose menepuk lengan Kenzo pelan. "Ayo, masuk. Makanannya sudah siap. Dan tentu saja, meja makan hari ini spesial untuk tamu istimewa kita."

Nayla hendak mengikuti langkah Rose, namun terhenti karena Kenzo tiba-tiba menggandeng tangan Nayla tepat di depan orang tuanya. Kenzo sengaja berjalan mendahului orang tuanya untuk meyakinkan bahwa dirinya dan Nayla benar sepasang kekasih.

Genggaman tangan Kenzo membuat Nayla kaget dan jantungnya berdebar lebih cepat. Ia menatap wajah Kenzo dari samping dan menyadari, pria itu memang berkarisma. Namun, cepat-cepat ia tepis perasaan aneh itu dan menyadarkan kembali dirinya bahwa mereka hanya bersandiwara.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Main Api dengan Mafia   Mencintainya

    Jam dinding berdetak pelan. Di balik tirai putih yang melambai ringan diterpa angin dari ventilasi, cahaya lampu kota menari samar-samar. Di dalam kamar rumah sakit itu, sunyi menyelimuti. Rose tertidur di sofa dengan selimut menyelimuti tubuhnya. Hanya suara mesin monitor yang mengukur detak jantung dan ritme napas yang terus bergema, mengisi kekosongan malam.Namun, Nayla masih terjaga.Ia duduk bersandar di atas ranjangnya, memandangi pria di sebelah ranjangnya. Kenzo. Pria yang dulu menjadi musuh dalam hidupnya, yang ia hindari, benci, dan tolak. Namun kini, hanya ada satu perasaan yang membuncah setiap ia menatap wajah itu: takut kehilangan.Dengan hati-hati, Nayla menyibak selimut, melangkah pelan menuju sisi ranjang Kenzo. Ia duduk di tepi tempat tidur itu, menatap wajah Kenzo yang pucat, dengan luka perban di perutnya, dan lengan yang masih ditancap selang infus. Tangannya terulur, ragu-ragu... lalu akhirnya menggenggam tangan Kenzo erat-erat, seolah takut jika pria itu kembal

  • Main Api dengan Mafia   Tersirat

    Cahaya putih menyilaukan menyelimuti ruang IGD. Aroma antiseptik menusuk tajam, menyatu dengan hiruk-pikuk langkah kaki dan suara peralatan medis yang tak henti-hentinya berbunyi.Di tengah kekacauan itu, Kenzo terbaring lemah dengan wajah pucat dan baju penuh darah. Selang infus menusuk lengannya, monitor jantung menunjukkan detak yang tak stabil, dan perawat bergerak cepat menahan perdarahannya.“Tekanan darah turun drastis!”“Stabilisasi segera, kita kehilangan dia—!”Pintu IGD terbuka keras. Kingsley masuk dengan napas memburu, matanya menyapu ruangan hingga akhirnya menatap tubuh putranya yang hampir tak bernyawa. Wajahnya mengeras. Ia menoleh tajam ke arah pasukan pengawalnya.“Dengar baik-baik,” desisnya. “Jangan ada yang melaporkan ini ke pihak berwajib. Polisi akan tunduk pada keluarga presiden. Kita tidak bisa mempercayai siapa pun di luar lingkaran ini.”Semua pengawal mengangguk serempak. Ketegangan makin menebal, seolah rumah sakit pun tahu bahwa perang besar sedang diam-

  • Main Api dengan Mafia   Pertarungan

    Udara di dalam ruangan itu terasa lembap dan menyesakkan. Aroma apek dan debu menyatu menjadi satu, membuat dada Nayla semakin sesak. Ia duduk di kursi kayu tua yang sudah mulai rapuh, tubuhnya lemah terikat erat, pergelangan tangannya membiru karena gesekan tali kasar.Air matanya sudah mengering di pipi. Ia menatap nanar ke langit-langit gelap yang retak dan penuh sarang laba-laba, mencoba menenangkan diri… mencoba berpikir jernih… tapi yang ia rasakan hanya satu—takut“Apa ini jalan satu-satunya agar semuanya aman?” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.Tangannya bergerak lemah, mencoba lagi melepaskan ikatan, meskipun perihnya seperti ditusuk-tusuk duri. Tapi tak ada yang berhasil. Tidak ada celah, tidak ada harapan.“Apa lebih baik aku mati… daripada harus menyerah dan membuat Kenzo dalam bahaya?” pikirnya lagi. Matanya memejam, menahan rasa bersalah dan keputusasaan yang menyesakkan dada.Sementara itu, jauh di tempat berbeda, Kenzo masih belum berhenti bergerak.Apartemen tempa

  • Main Api dengan Mafia   Habisnya Kesabaran

    Kesadarannya masih kabur ketika Nayla membuka mata. Ruangan itu kosong dan lembap, berbau tanah tua dan kayu lapuk. Dinding-dindingnya retak, jendela ditutup rapat dengan papan kayu, dan hanya cahaya temaram dari satu bola lampu menggantung di langit-langit yang membuat segalanya tampak lebih menyeramkan.Kepalanya berdenyut. Pergelangan tangannya terasa perih, diikat kasar dengan tali yang mengikatnya kuat ke kursi kayu reyot. Nafasnya memburu, tubuhnya mulai gemetar. Namun ketakutan itu bukan hanya karena tempat itu—melainkan karena sosok yang perlahan melangkah dari balik bayangan.Reza.Wajah yang dulu pernah ia percayai, kini berubah menjadi topeng kebencian yang menjijikkan. Matanya memancarkan kesenangan aneh melihat Nayla dalam kondisi tak berdaya.“Selamat datang, Nay.” Suara Reza terdengar ringan, tapi nadanya mengandung racun. “Sudah kubilang ini penting, tapi kamu menolak datang baik-baik. Jadi ya… aku terpaksa.”Nayla mencoba tetap tenang. Tapi air mata sudah menggenang d

  • Main Api dengan Mafia   Nayla Menghilang

    Malam itu langit mendung. Hujan belum turun, tapi udara terasa berat. Nayla memandangi layar ponselnya yang kembali menyala untuk ketiga kalinya malam itu—nama yang muncul di layar bukan nama asing.Reza.Tangannya gemetar ringan saat akhirnya ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju ruang kerja apartemen. Di balik pintu, Kenzo sedang menatap layar laptop dengan ekspresi serius, dikelilingi dokumen dan peta digital.Nayla mengetuk pelan.Kenzo menoleh. “Ada apa?” tanyanya, suaranya tenang, tapi matanya langsung membaca bahwa Nayla tidak datang hanya untuk mengobrol santai.“Reza… dia menghubungiku lagi,” ucap Nayla dengan suara pelan.Seketika rahang Kenzo mengeras. Ia menyandarkan punggung ke kursi, menyatukan kedua tangannya di bawah dagu. “Apa lagi maksudnya kali ini? Di tengah kekacauan yang belum selesai juga…” gumamnya dengan geram.“Aku juga tidak tahu. Tapi dia bilang ini penting. Dia terus mengirim pesan. Seolah… mendesak,” jelas Nayla, menyerahkan ponselnya.Kenzo me

  • Main Api dengan Mafia   Mawas

    Setelah menghabiskan waktu menelusuri kenangan di rumah masa kecil Nayla, Kenzo membawa Nayla menuju mansion keluarga Kingsley. Bangunan megah yang berdiri kokoh di balik pagar besi hitam itu memancarkan aura keagungan sekaligus misteri yang menyelimuti sejarah keluarga mereka. Ketika mobil berhenti di depan pintu utama, Rose dan Kingsley telah berdiri menyambut mereka di depan pintu, seolah sudah tahu bahwa percakapan malam ini bukanlah percakapan biasa.Setelah duduk di ruang keluarga yang hangat dan tenang, Rose membuka percakapan. Suaranya lembut, tapi mengandung tekanan emosional yang dalam."Nayla... sebelum ibumu menghilang, dia sempat bilang padaku bahwa suatu saat kamu akan menemukan surat wasiat dari mendiang ayahmu. Tapi dia tidak pernah memberitahuku di mana surat itu disimpan. Seolah... dia sengaja membuatmu menemukan sendiri, saat kamu sudah siap."Nayla menelan ludah, pikirannya mulai menghubungkan potongan-potongan mimpi, bisikan dari masa lalu, dan kenyataan yang kini

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status