Nayla duduk di sofa apartemennya, ngelepas high heels yang udah bikin kakinya pegal setengah mati. Dia ngelempengin punggungnya, ngambil bantal, terus meluk itu kayak guling.
Di sebelahnya, Maia lagi asik ngemil keripik sambil nonton serial di laptop. Tapi Nayla nggak bisa fokus. Pikirannya masih berkecamuk soal satu orang. Kenzo Adinata. Dia narik napas panjang sebelum akhirnya buka suara. "Gue nggak ngerti, Mai." Maia ngelirik sebentar, terus lanjut ngunyah. "Nggak ngerti apaan?" "Kenzo." Nayla ngelus jidatnya, nyoba merangkai kata. "Dia tuh kayak terlalu effort buat sesuatu yang dia nggak dapet untungnya. Maksud gue, dia nggak gue bayar, tapi bener-bener niat bantuin gue. Dari mulai belanja baju, ngajarin cara bersikap, bahkan nyuruh gue latihan pegangan tangan, senyum, segala macem. Kayak... serius banget." Maia langsung nyengir usil. "Jangan-jangan dia beneran suka sama lo?" Nayla mendelik. "Jangan mulai, Mai." "Tapi masuk akal, lho." Maia naruh keripiknya dan ngebalik badan biar bisa ngadep Nayla. "Kalau dia cuma sekadar bantu doang, harusnya dia nggak sepeduli itu. Apalagi Kenzo tuh bukan tipe orang yang suka repot kalau nggak ada sesuatu di baliknya." Nayla nyender ke sofa, ngebuang napas panjang. "Mungkin dia emang suka tantangan." Maia mendengus. "Jawaban lo terlalu netral." "Gue cuma nggak mau mikir aneh-aneh." Nayla melipat tangannya di dada. "Lagian, lo tahu sendiri kan Kenzo kayak gimana?" Maia ngangkat alis. "Kayak gimana?" "Ya, lo tahu, lah. Charming, populer, playboy. Dia bukan tipe yang bakal serius sama satu orang." Maia nyengir jahil. "Tapi justru cowok kayak dia yang kalau udah effort ke satu cewek, biasanya ada sesuatu yang beda." Nayla mendecak. "Jangan lebay deh." Maia angkat bahu santai. "Gue sih cuma ngasih perspektif aja. Kadang yang bikin cerita itu klise justru karena banyak yang ngalamin." Nayla cuma ngegeleng dan ngambil ponselnya, pura-pura sibuk. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada pertanyaan yang mulai mengusik. Kenapa Kenzo repot-repot ngelakuin semua ini? Nayla nyipit-nyipitin matanya, ngerasa ada yang janggal. Dia tahu dunia nggak sebaik itu. Nggak ada yang namanya cowok sesempurna Kenzo Adinata tiba-tiba datang dan ngejadiin hidupnya lebih gampang. "Dia nggak mungkin mata-mata, kan?" tanyanya skeptis, matanya melirik Maia yang masih sibuk ngunyah keripik. Maia nyengir. "Mata-mata siapa? Lo kira hidup lo penuh konspirasi?" Nayla mendecak, tapi tetap aja pikirannya jalan ke arah yang lebih absurd. "Atau wartawan yang nyamar demi sosial eksperimen?" Maia yang lagi minum langsung keselek. "Anjir Nay, lo kebanyakan nonton drama deh." "Tapi serius, Mai. Mana ada orang sebaik itu tanpa ada maksud apa-apa?" Nayla nyender ke sofa, tangan dilipat di dada. "Kalau dia bukan mata-mata atau wartawan, bisa jadi dia lagi main taruhan sama temen-temennya buat ngeprank gue." Maia ngakak. "Lo pikir hidup lo film remaja tahun 2000-an?" Nayla ngelirik Maia dengan ekspresi nggak yakin. "Nggak ada yang tahu, Mai. Cowok seganteng dan se-perfect Kenzo Adinata, terus tiba-tiba muncul di hidup gue kayak pahlawan? Kayaknya nggak masuk akal aja." Maia ngelirik Nayla balik, matanya nyorot jahil. "Atau... jangan-jangan dia beneran suka sama lo?" Nayla mendelik. "Lo mulai lagi." Maia ketawa puas, sementara Nayla mendesah panjang. Tetep aja, semua ini terasa terlalu aneh buat nggak dicurigain. Obrolan Nayla dan Maia sempat terhenti ketika ponsel Maia tiba-tiba berdering. Layar ponselnya menampilkan nama yang cukup familiar, seseorang yang Nayla paling malas dengar namanya saat ini. Alana. Maia melirik Nayla sebentar sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu dengan nada santai, seolah-olah percakapan ini nggak berarti apa-apa. "Hallo?" Dari seberang sana, suara Alana terdengar langsung ke intinya tanpa basa-basi. "Lo masih sering ketemu Nayla?" Maia mengerutkan kening, tapi segera menguasai ekspresinya. Matanya melirik ke arah Nayla yang pura-pura sibuk dengan ponselnya, meskipun jelas banget kalau dia juga ikut nyimak. "Gue? Ya enggaklah! Gue sibuk banget belakangan ini," Maia berbohong dengan nada santai. "Paling sesekali say hello di sosmed doang. Kenapa emang?" Alana menghela napas pelan sebelum menjawab, suaranya terdengar sedikit ragu. "Hm... gue cuma pengen tahu reaksi dia soal pernikahan gue sama Reza. Gue pikir lo masih akrab sama Nayla." Dari sudut matanya, Maia melihat jari Nayla yang mencengkram bantal lebih erat. Bukan berarti dia masih baper, tapi jelas ini bukan topik yang mau dia bahas sekarang. Maia tersenyum miring, otaknya langsung bekerja untuk membalik keadaan. "Kita sama-sama sibuk sih, Lana. Tapi yang gue tahu, Nayla sekarang udah punya pacar." Ada jeda di seberang sana. Seolah Alana nggak percaya dengan apa yang baru aja dia denger. "Pacar? Serius?" Maia sengaja memperjelas suaranya, memastikan setiap kata sampai ke telinga Alana dengan sempurna. "Iya, serius! Dan pacarnya jauh lebih ganteng dan sempurna daripada Reza." Kali ini, Nayla mendongak, melotot ke arah Maia. Tapi Maia cuma balas nyengir penuh kemenangan, nungguin reaksi Alana. Dari ponsel, Maia bisa denger Alana yang kayak kehilangan kata-kata. "Oh..." Suaranya terdengar canggung, kayak dia nggak nyangka bakal dapet jawaban kayak gini. "Kenapa? Lo kira Nayla bakal meratapi nasib selamanya?" Maia menambahkan dengan nada jahil. Nayla langsung nyubit lengan Maia dengan gemas, tapi Maia tetap menahan tawa sambil mendengarkan keheningan di seberang sana. Setelah beberapa detik yang terasa lama, akhirnya Alana menggumam, "Enggak... gue cuma nggak nyangka aja." "Ya udah, kalau itu aja yang mau lo tanyain, gue mau balik nonton. Bye, Lana," Maia langsung menutup panggilan tanpa nunggu jawaban. Begitu panggilan berakhir, Nayla langsung melempar bantal ke Maia. "GILA LO, MAI?! Ngapain bilang gitu ke Alana?!" Maia ngakak, melindungi diri pakai tangan. "YAILAH, Nay! Justru lo harus bersyukur gue ngomong gitu. Biar dia tau kalau lo nggak ngemis cinta Reza, malah lo dapet yang lebih baik!" Nayla mendesah, mengacak rambutnya frustrasi. "Ya ampun... kenapa gue jadi makin ribet?" Maia menepuk bahu Nayla santai. "Nggak ribet kok, Nay. Lo tinggal buktiin aja kalau pacar lo—Kenzo Adinata yang super charming itu—memang jauh lebih baik daripada Reza." Nayla terdiam. Matanya melirik ponsel Maia yang masih tergeletak di sofa. Sekarang, bukan cuma Kenzo yang bikin dia curiga. Alana pun tiba-tiba menunjukkan ketertarikan. Sebenarnya, Alana itu mau tahu karena apa? Kepedulian... atau ada sesuatu yang lain? Nayla bersedekap, matanya menatap kosong ke arah layar TV yang bahkan sudah nggak dia perhatiin lagi. "Kenapa pengantin jadi sibuk banget nanyain keadaan tamu undangan, ya?" gumamnya pelan, lebih ke pertanyaan buat diri sendiri. Maia, yang lagi nyemilin keripik, melirik dengan ekspresi geli. "Mungkin dia takut lo dateng pake kaos oblong dan celana kolor, terus bikin acara nikahannya jadi bahan gosip?" Nayla mendelik, tapi tetap aja nggak bisa ngilangin rasa aneh yang mengganjal di pikirannya. "Bukan gitu, Mai. Maksud gue... kenapa Alana nanya tentang gue? Bukannya dia harusnya fokus ke pernikahan dia?" Maia mengangkat bahu. "Maybe dia kepo? Atau guilty? Atau mungkin... dia takut lo udah move on dan hidup lebih baik?" Nayla menyandarkan kepalanya ke sofa, menarik napas panjang. Rasanya aneh. Seharusnya, yang ada di kepala Alana sekarang adalah dekorasi pernikahan, catering, atau baju pengantin. Tapi justru, dia malah nanyain Nayla. Ditambah lagi, kemunculan Kenzo yang tiba-tiba terlalu baik tanpa alasan jelas. Semua ini terasa terlalu... kebetulan. Nayla menggigit bibir bawahnya, merasa pikirannya semakin liar. "Lo nggak ngerasa aneh, Mai? Kemunculan Kenzo aja udah cukup bikin gue bertanya-tanya. Sekarang, sikap Alana?" Maia meletakkan bungkus keripik, matanya menatap Nayla lebih serius. "Oke, gue ngerti sih kenapa lo jadi kepikiran. Tapi Nay, kadang dunia tuh emang suka absurd. Bisa jadi ini cuma kebetulan yang nggak usah lo pikirin terlalu dalam." Nayla menghela napas, tahu Maia punya poin. Tapi tetap aja, hatinya bilang kalau ini lebih dari sekadar kebetulan. Hanya saja, apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa hubungannya semua ini dengan dirinya?Setelah Kenzo mengantarnya pulang, Nayla tidak langsung tidur. Pikirannya masih dipenuhi oleh kejadian tadi malam—wajah-wajah misterius yang terlihat mengenal Kenzo, cara mereka berbicara dengan bahasa terselubung, serta bagaimana Kenzo seolah memiliki kendali penuh di dalam ruangan itu.Duduk di tepi ranjang, Nayla meraih iPad-nya. Jarinya mengetik nama Kenzo Adinata di kolom pencarian Google. Namun, hasilnya nihil."Mustahil orang seperti dia gak punya jejak digital," gumamnya.Dia mencoba mencari dengan kata kunci lain: Kenzo Adinata perusahaan, Kenzo Adinata CEO, Kenzo Adinata media, namun hasilnya tetap samar. Nama itu memang muncul di beberapa berita bisnis, tapi hanya sebagai investor misterius yang jarang tersorot kamera.Nayla semakin curiga. Bagaimana mungkin pria sekharismatik Kenzo, yang jelas memiliki kekuasaan, hampir tidak memiliki eksistensi di internet?Merasa tidak puas, Nayla membuka aplikasi chat dan menghubungi Maia.Nayla: "Mai, lo lagi sibuk?"Maia: "Kalau lo na
Nayla mengernyit menatap layar ponselnya. Sebuah undangan digital muncul di sana, menampilkan acara eksklusif yang bahkan nggak pernah terpikirkan olehnya untuk dihadiri."Datang ke acara ini. Gue jemput jam tujuh."Itu pesan dari Kenzo. Singkat, padat, dan nggak membuka ruang untuk penolakan.Nayla mengetik balasan cepat. "Kenapa lo tiba-tiba ngajakin gue?"Ceklis dua. Dibaca. Tapi nggak ada balasan.Sialan.Pukul 19.00Sebuah mobil hitam mengilap berhenti tepat di depan apartemen Nayla. Dia melirik ke luar jendela dan, tentu saja, Kenzo ada di sana. Pria itu keluar dari mobil, mengenakan kemeja hitam yang menggulung di lengan, memperlihatkan jam tangan mahal yang melekat di pergelangannya."Lo udah turun atau harus gue jemput langsung ke atas?" Suaranya terdengar santai, tapi ada nada menekan di dalamnya.Nayla menghela napas panjang, lalu mengambil clutch bag-nya dan berjalan keluar. Begitu dia sampai di depan mobil, Kenzo membukakan pintu untuknya."Lo belum jawab pertanyaan gue,"
Nayla duduk di sofa apartemennya, ngelepas high heels yang udah bikin kakinya pegal setengah mati. Dia ngelempengin punggungnya, ngambil bantal, terus meluk itu kayak guling.Di sebelahnya, Maia lagi asik ngemil keripik sambil nonton serial di laptop. Tapi Nayla nggak bisa fokus. Pikirannya masih berkecamuk soal satu orang.Kenzo Adinata.Dia narik napas panjang sebelum akhirnya buka suara. "Gue nggak ngerti, Mai."Maia ngelirik sebentar, terus lanjut ngunyah. "Nggak ngerti apaan?""Kenzo." Nayla ngelus jidatnya, nyoba merangkai kata. "Dia tuh kayak terlalu effort buat sesuatu yang dia nggak dapet untungnya. Maksud gue, dia nggak gue bayar, tapi bener-bener niat bantuin gue. Dari mulai belanja baju, ngajarin cara bersikap, bahkan nyuruh gue latihan pegangan tangan, senyum, segala macem. Kayak... serius banget."Maia langsung nyengir usil. "Jangan-jangan dia beneran suka sama lo?"Nayla mendelik. "Jangan mulai, Mai.""Tapi masuk akal, lho." Maia naruh keripiknya dan ngebalik badan biar
Walaupun Nayla sudah membeli pakaian melalui toko online, tampaknya Kenzo tidak puas dengan pilihannya. Tanpa banyak bicara, pria itu membawanya ke salah satu butik mahal di pusat kota."Kita sudah beres. Gue udah beli semuanya," protes Nayla saat mereka memasuki butik yang dipenuhi koleksi busana eksklusif.Kenzo meliriknya dengan tatapan santai tapi tajam. "Lo pikir dress yang lo beli online cukup buat bikin mereka terdiam?"Nayla mengerutkan kening. "Itu dress branded.""Tapi bukan 'statement piece'," balas Kenzo cepat. "Percaya deh, kalau lo mau datang ke pernikahan mantan pacar dan sahabat lo sendiri, lo butuh sesuatu yang lebih dari sekadar bagus. Lo harus kelihatan luar biasa."Nayla tidak bisa menyangkal kalau pria itu ada benarnya.Maka, di sinilah dia, berdiri di depan cermin butik, mengenakan salah satu gaun yang Kenzo pilihkan untuknya.Gaun malam berwarna emerald membalut tubuhnya dengan sempurna. Potongannya pas, sedikit terbuka di bagian punggung, menonjolkan sisi elega
Nayla duduk di meja kerjanya, menatap layar ponselnya dengan tatapan bimbang. Nama Kenzo Adinata masih terpampang jelas di layar. Maia sudah mengirimkan beberapa informasi singkat tentang pria itu, termasuk beberapa foto candid yang diambil entah dari mana.Tapi satu hal yang jelas—Kenzo bukan pria biasa.Dari ekspresi wajahnya yang selalu tenang dan dingin, hingga cara dia berdiri yang memancarkan kepercayaan diri, semuanya menunjukkan bahwa pria ini berbahaya.Maia tidak berlebihan ketika mengatakan bahwa berurusan dengan Kenzo bisa membawa konsekuensi yang tidak bisa diprediksi.Tapi Nayla butuh dia.Atau setidaknya, butuh seseorang yang bisa membuatnya tidak terlihat menyedihkan saat datang ke pernikahan itu.Tangannya mengetik pesan dengan ragu-ragu.📩 "Bisakah kita bertemu? Aku ingin membicarakan sesuatu."Pesan terkirim.Tiga menit berlalu.Tidak ada balasan.Lima menit.Masih tidak ada reaksi.Nayla mulai berpikir ulang. Mungkin ini ide buruk. Mungkin aku harus mencari pria l
Suara ketukan sepatu hak tinggi menggema di lorong apartemen saat Nayla berjalan menuju unitnya. Hari itu terasa panjang—terlalu panjang. Presentasi yang melelahkan, atasan yang terlalu banyak menuntut, dan klien yang mendadak berubah pikiran di detik terakhir membuat kepalanya hampir meledak.Saat akhirnya tiba di depan pintu, ia menghela napas panjang sebelum membuka kunci. Begitu pintu terbuka, aroma lembut lilin vanila menyambutnya, memberikan sedikit rasa nyaman setelah hari yang melelahkan.Nayla melepaskan high heels dengan asal, membiarkan tubuhnya terjatuh ke sofa empuk di ruang tengah. Ia menarik karet rambutnya, membiarkan rambut panjangnya tergerai, lalu meraih remote TV. Tapi sebelum sempat menyalakan drama Korea yang sudah menunggu untuk ditonton, ponselnya bergetar di atas meja.Notifikasi email. Satu pesan masuk.📩 "Undangan Pernikahan: Reza & Alana"Mata Nayla membeku di layar. Jantungnya seperti berhenti berdetak sejenak sebelum kembali berpacu lebih cepat dari sebe