"Apa kurangnya aku selama menjadi istrimu, Mas? Katakan! Biar aku perbaiki?"
Lily bertanya dengan ekspresi datar, namun kentara sekali kecewa di matanya yang mulai berkaca-kaca."Aku mau anak perempuan, Dek! Dan kamu, sudah tidak bisa lagi memberikan aku anak," jawab Rizal dengan nada yang terdengar meremehkan, di telinga Lily.
"Jangan lupa, Mas! Dulu kamu yang memaksaku untuk melakukan steril, dengan alasan tidak ingin menambah anak lagi! Supaya aku bisa fokus kerja, dan perhatianku tidak banyak terbagi," tukas Lily dengan gigi gemeretak.
"Itu dulu, Lily! Kamu lihat Bu Wati dan Pak Ibrahim yang sudah sepuh, hidup menyendiri karena semua anaknya laki-laki. Menantunya mana ada yang mau ngurusin. Aku enggak mau hal itu terjadi pada kita nanti," alasan Rizal.
Lily menghela napas, seandainya ada Mimi Peri yang bisa mengabulkan permohonan, ia akan meminta agar suaminya diubah menjadi seekor katak, lalu tangannya akan memisahkan bagian kepala dengan badan secara paksa. Dulu dengan manisnya, ia mengatakan tidak apa-apa kedua anaknya laki-laki. Nanti juga dapat menantu perempuan.
"Alasanmu, Mas," rengut Lily sambil menghentakkan kaki melangkah menuju kamar.
Lily mematung, memandang wajahnya di cermin. Wajahnya masih tetap cantik, hanya saja kurang terurus beberapa bulan ini.
Dulu sewaktu dia masih bekerja sendiri, wajahnya begitu terawat. Rizal selalu memuji kecantikannya. Tapi perawatan yang ia dapat, bukan dari uang pemberian suaminya melainkan uang gajinya sendiri.
Gaji Rizal selama mereka menikah, jarang sampai ke tangan Lily. Ibu mertuanya yang berkuasa dalam hal itu. Alasan Rizal, karena yang belanja kebutuhan mereka satu bulan adalah ibunya, juga kedua anak mereka juga diasuh oleh ibunya juga.
Semula Lily pernah berniat berhenti bekerja, dan ingin fokus mengurus buah hatinya. Tapi Bu Erna bersikeras melarang. Lily juga pernah berinisiatif untuk mencari pengasuh, lagi-lagi Bu Erna melarang dengan alasan dia masih sanggup mengasuh kedua cucunya. Tak perlu membayar orang lain.
Selama bekerja sendiri, Lily tidak pernah mempermasalahkan, walau ia hanya dapat jatah pampers dan empat kotak susu dengan berat satu kilo untuk kedua putranya dalam satu bulan. Tentu saja kurang. Dan kekurangannya yang menutupi adalah Lily sendiri. Bagi Lily, anaknya di asuh dengan baik saja ia sudah sangat bersyukur.
Karena Lily menduduki posisi yang lumayan, di perusahaan tempatnya bekerja. Ia masih bisa menginvestasikan sisa uang gajih yang ia dapatkan, untuk membeli aset berupa dua hektar tanah di kampung halamannya. Kebetulan ada warga kampungnya kepepet dan perlu uang, sehingga menjual tanah dengan harga yang tergolong murah saat itu. Suami dan mertuanya pun mendukung hal tersebut.
Namun enam bulan yang lalu, karena pengurangan produksi, tenaga kerja juga mengalami pengurangan di perusahaan tempatnya bekerja. Lily termasuk salah satu pekerja yang harus dirumahkan.
Sejak itu pula, ia tidak ada pemasukan sama sekali. Bu Erna yang sudah terbiasa memegang gajih anaknya, juga tidak mau menyerahkan begitu saja ATM Rizal padanya. Lily masih bisa bersabar. Baginya, itu adalah resiko karena mereka masih menumpang di rumah mertua.
Tapi, permintaan Rizal untuk menikah lagi, dengan alasan yang menurutnya tak masuk akal, sungguh membuat hatinya hancur berkeping-keping.
Harapannya hanya satu, Mertua. Ya ... selama ini ia selalu mengalah dan menurut pada mertua. Lily selalu mengingat pesan mendiang ibunya.
"Lily ... bila sudah menikah, jangan hanya baik pada suamimu. Berbaik-baiklah dengan orang tua dan sanak saudaranya. Apabila suatu saat dalam rumah tanggamu ada masalah, pasti salah satu dari keluarga suamimu ada yang membela."
Masih lekat dalam ingatan Lily, suara lembut mendiang ibunya menasehati sebelum ia menikah dulu. Lily tersenyum, menguatkan hatinya. Ia yakin, Bu Erna pasti akan menentang kemauan Rizal.
****
"Bu, Nesa minta mas kawinnya emas 100 gram. Mungkin sebaiknya dibatalkan saja, Bu.""Tapi, rugi Zal! Dia yang ngebet mau sama Kamu. Kerjaannya lumayan bagus. Kamu enggak perlu keluar uang buat dia tiap bulan setelah menikah, Kan?
"Tapi, uang buat beli emasnya dari mana, Bu? Emang uangku di ATM cukup?"
"Heh, kamu ini. Cerdas sedikit! Manfaatkan tuh, tanah yang kemaren di beli sama Lily. Jual aja sehektar. Lagian sudah berapa bulan ini, Lily enggak menghasilkan apa-apa, kamu semua yang keluar uang! Lily pasti nurut. Istrimu itu kan, kaya keledai."
Duuaaar!
Bagai ada petir yang menyambar, kaki Lily terasa terkunci. Ia mematung mendengar percakapan mertua dan suaminya saat melewati kamar mertua.Lily yang semula sudah siap mau ke pasar, seketika lupa niatnya untuk mengambil ponsel yang ketinggalan.
Lily mundur perlahan-lahan kembali menuju pintu, mendengar rencana busuk yang di susun oleh Sang Mertua. Padahal semula Lily menggantungkan harapan satu-satunya pada Bu Erna. Kini siapa yang akan membelanya? Ayah mertua sudah tidak ada. Arjuna? Kakak ipar satu-satunya, yang bahkan berbicara saja dengan Lily sangat terpaksa. Itu pun dengan suara dingin, bagai es batu yang baru keluar dari frezzer.
Ternyata Rizal dan ibunya setali tiga uang. Lidah mertuanya malah menebarkan bisa pada Rizal. Bisa-bisanya ia menyumbangkan ide untuk menjual tanah, yang seratus persen dibeli dengan jerih payah Lily sendiri.
"Malang nian nasibmu, Lily," gumamnya mengasihani diri sendiri.
Sepanjang jalan menuju pasar, Lily terus berpikir. Apa yang harus dia lakukan, jika Rizal benar-benar memaksa untuk menjual satu-satunya aset yang ia miliki saat ini. Lily yakin, Rizal pasti akan menurut pada perintah Ibunya.
Mengingat percakapan kedua manusia tadi, hati Lily seperti membeku. Rasa hormatnya pada mertua menghilang entah kemana. Ia baru menyadari, bahwa mertuanya dulu memaksa untuk tetap bekerja, supaya gaji Rizal utuh untuknya. Lily juga baru menyadari, bahwa Rizal memanfaatkan dirinya yang bisa menghasilkan uang sendiri.
Lily menepikan Honda Beat yang akan mengantarkannya ke pasar. Lily mengepalkan tangan dengan gigi gemeretak karena geram. Apa yang harus ia lakukan?
Menentang langsung? Pasti ia akan kalah!
Mengadu pada kakaknya? Lily tidak ingin menambah beban, untuk saudara satu-satunya yang ia miliki. Mengalah? Lemah! Membalas perlakuan suaminya dengan hal yang sama? Murahan!****
"Dek! Bagaimana kalau tanahmu di jual satu hektar. Aku perlu uang," ucap Rizal."Untuk apa, Mas?" tanya Lily sok perduli.
"Pokoknya, perlu aja, Dek! Nanti pasti kuganti, kalau sudah ada uang," janjinya pasti.
Puih!
"Kapan kamu punya uang, Mas? Selama ini uangmu, uang ibumu," cibir Lily dalam hati."Tanah itu posisinya di kampung, Mas. Jualnya enggak gampang dan harganya enggak bisa mahal. Lagian Aku enggak mau jual, kalau keperluannya enggak jelas," jawab Lily datar.
"Berapa-berapa aja lakunya, Dek! Aku benar-benar butuh uang!"
"Di tingkat kampung sana, paling-paling sehektarnya seratus dua puluh juta sekarang, Mas!"
"Itu sudah cukup," jawab Rizal bersemangat mendengar nominal yang di sebut istrinya.
"Tapi kamu butuh uang untuk apa, Mas?" tanya Lily lagi berpura-pura tidak mengerti. Rizal terdiam. Ijin untuk menikah lagi saja belum resmi ia dapatkan. Jika ia jujur, sama saja bunuh diri di depan istrinya.
"A-aku ... ma-mau nanam modal, di usaha temanku yang baru dirintis, Dek! Nanti kan, kalau sudah ada hasilnya kamu juga menikmati ...." rayu Rizal dengan gaya meyakinkan.
"Rayuan receh! Nanam modal? Modal kawin lagi," batin Lily sembari berusaha menekan emosinya yang mulai merambat ke ubun-ubun.
"Tapi sepertinya, kamu butuh modal untuk kawin lagi, Mas!" tukas Lily dengan wajah masam.
Skak mat!
Rizal tak menyangka Lily bisa mematahkan kebohongan yang susah payah ia susun dengan benar."Aku akan menuruti apa yang kamu mau, asal kamu katakan dengan jujur uangnya untuk apa?" Lily berusaha melembutkan pandangan menatap mata suaminya.
"Kamu ... benar mau menuruti kemauanku, asal aku jujur?"
Lily menganngguk.
"I-iya ... Dek! Sebenarnya ... uangnya mau ku pinjam untuk beli mas kawin, emas 100 gram," jawab Rizal tanpa perasaan.
"Baiklah! Aku akan menjual tanahnya dan mengijinkanmu menikah lagi, dengan satu syarat!"
"Apa Dek? Jangan susah-susah syaratnya ya?" suara Rizal nampak bersemangat.
"Aku sendiri yang akan memilih dan membeli mas kawinnya, seratus gram!" jawab Lily tegas.
Rizal berpikir sejenak. Tak lama senyumnya merekah. Ia mengangguk tanda menyetujui syarat dari Lily. Lily menarik napas panjang melihat tingkah Rizal, seperti sedang memasuki usia puber kedua saja. Padahal usianya masih belum sampai untuk mendapat predikat itu.
****
Butuh waktu sekitar satu bulan, untuk menemukan pembeli yang cocok dengan tanah milik Lily. Agak susah menjualnya, karena posisinya berada di kampung. Beruntung, ada yang memang sedang mencari tanah di daerah tersebut, sehingga harganya tidak terlalu jatuh. Masih bisa terjual seharga seratus sepuluh juta.Rizal tersenyum puas, melihat kebat uang hasil penjualan tanah milik Lily. Tapi ia tidak berani meminta kelebihannya. Ia hanya meminta secepatnya di belikan emas.
"Mana perhisasannya, Dek?" tanya Rizal malam harinya. Ia nampak sudah tak sabar.
"Aku bukan orang yang suka ingkar janji, Mas!" jawab Lily sambil meletakkan sebuah kotak perhiasan berisi satu kalung yang sangat besar beserta liontin, dua buah gelang dengan ukuran besar juga, dan tiga buah cincin. Tak lupa ia meletakkan surat pembelian emas di dalam kotaknya.
Rizal membuka kotak, lalu meraih dan mengamati selembar kertas tersebut. Emas dua puluh tiga karat.
"Tak mengapalah. Yang penting emas, dan nilainya 100 gram," pikir Rizal.
Melihat nominal yang tertera di jumlahnya, Rizal merasa lumayan lega. Karena masih bersisa walaupun sedikit untuk Lily.
"Terima kasih, Sayang ...." ucap Rizal sambil memeluk Lily, sebelum ia membawa kotak perhiasan tersebut keluar menuju kamar ibunya.
Lily mengusap dada. Perasaan marah, kesal, benci dan muak menjadi satu. Tapi ia berusaha tetap tersenyum, saat ibu mertuanya masuk ke kamar dan mendekat.
"Terima kasih, ya ... Lily, kamu memang baik sekali. Dan selamanya akan menjadi menantuku yang paling baik," Bu Erna meraih Lily ke dalam pelukannya. Lily tak menjawab, hanya diam meresapi pujian ibu mertua untuknya yang dikatakan seperti se-ekor keledai.
Lily menutup pintu kamar rapat-rapat, setelah ibu mertuanya keluar. Ia membuka lemari yang sejak tadi terkunci rapat. Mulutnya mengembangkan senyum, sambil mengeluarkan sebuah kalung, dua gelang, dan tiga cincin emas dari dalam dompet bertuliskan 'Toko Emas Sejati', tanpa surat. Karena suratnya ia letakkan di dalam kotak emas-emasan, yang akan menjadi mas kawin suami untuk istri barunya nanti. Ia tidak terlalu mengkhawatirkan surat, karena di tempatnya membeli hanya terdapat potongan sedikit bila menjual kembali tanpa surat. Apalagi dia pelanggan mereka sedari masih kerja dulu.
"Keledaimu ini memang baik, Ibu! Tapi jangan salah, baik dan licik itu bedanya kadang lebih tipis daripada selembar tisu," ucap Lily dalam hati sambil menyimpan kembali emas hasil penjualan tanahnya, di tempat yang tidak akan di sentuh oleh suaminya sementara waktu.
"Waduh!" Rizal garuk-garuk kepala."Ta-pi, saya bukan suaminya, Mbak," tolak Rizal."Oh, Maaf! Suaminya kemana?""Suaminya di tempat kerja. Hapenya ketinggalan, tapi, nanti ada ibu saya datang dampingin," jelas Rizal. Perawat akhirnya mengerti. Rizal kembali menelpon ibunya yang tak kunjung tiba. Tapi tak di angkat-angkat. Beberapa saat kemudian, wajah Rizal berubah cerah saat Bu Erna sudah tiba di pintu ruang bersalin.Rizal segera membawa Ayezha menjauh, dan Bu Erna langsung masuk dan mendekat pada Lily, yang mulai mengejan. Ia langsung memegang tangan Lily dan menyapu bulir keringat yang menempel di dahinya."Oooeeek ... oeeeek ...."Karena ini pengalaman ke empat kalinya Lily melahirkan, tak perlu waktu lama mengejan, terdengar suara tangis bayi. Lily langsung terkulai lemas. Bayi yang sangat mungil karena lahir di bulan ke tujuh itu diangkat oleh perawat untuk dibersihkan. Bu Erna sendiri, membantu membersihkan anggota
Rizal mengangkat wajahnya pelan-pelan mengikuti arah ekor mata Lily, melirik-lirik pada pasien yang mengisi di satu bagian ruangan mereka."Iya. Kayaknya iya!" jawab Rizal setengah berbisik juga.Mereka semua penasaran apa yang terjadi dengan Nessa. Kenapa yang menjaganya bukan ayah atau ibunya. Kenapa dia didampingi oleh dua orang asing yang sebaya dengan mereka? Nessa sendiri begitu menatap mereka dengan tatapan kosong. Seolah mereka tidak pernah saling mengenal.Rizal jadi penasaran. Arjuna pun mendukungnya untuk mendekat. Nampaknya ia juga sangat penasaran. Begitu wanita yang ikut menjaga Nessa tadi keluar, Rizal mewakili mereka semua mendekat."Permisi Pak. Dia Nessa kan?""Iya," jawab lelaki tadi singkat sambil menoleh."Dia sakit apa? Perempuan yang tadi disini siapanya? Ibu sama Bapaknya kemana?" Rizal memberondong lelaki tersebut dengan pertanyaan beruntun."Oh, tadi itu istri saya. Orang tuanya Nessa meninggal sa
Arjuna mandi secepat kilat. Rengekan Ayezha memanggil-manggil dari luar memaksanya buru-buru untuk menyelesaikan mandinya.Baru keluar dari kamar mandi, Ayezha sudah menunggunya di pintu. Alhasil, masih menggunakan handuk ia mengangkat dan membawa Ayezha duduk di pangkuannya."Papa pakai baju dulu ya, sama mama dulu ya?" bujuk Arjuna. Ayezha menggeleng, ia malah berpegangan erat di leher Arjuna.Arjuna memandang istri dan anaknya bergantian dengan gemas. Lily tertawa senang melihat wajah Arjuna yang lucu, menghadapi tingkahnya dan Ayezha. Tiba-tiba ponsel Arjuna berdering. Panggilan dari Bu Erna."Assalamu'alaikum Bu ....""Wa'alaikumsallam, Juna. Ibu mau ngabarin, istrinya Rizal sudah melahirkan," ucap Bu Erna langsung."Alhamdulillah, ini di mana sekarang, Bu?""Masih di rumah sakit," jawab Bu Erna."Oh, Ya Bu! Sebentar kami ke sana ya, Bu ... mau dibawakan apa?" suara Arjuna terdengar bersemangat."E
"Ngomong apa sih, Mas? Iya. Sejak ketemu Rizal tadi, hatiku berubah. Berubah makin saayaaang sama suamiku yang luar biasa dan baik hati ini. Peduli sama adeknya yang dulu cuma bisa nyusahin dia aja," jawab Lily manja membuat Arjuna tersenyum bahagia."Bagaimanapun, dia adekku. Dalam tubuh kami ada aliran darah yang sama kan? Walaupun beda ibu? Seburuk-buruknya Rizal, sifat baiknya yang kuacungi jempol itu sayang sama ibu. Coba kamu ingat, pernah enggak Rizal berbicara kasar sama ibu? Enggak pernah kan? Meskipun dulu dia berlebihan sampai ngabaikan istrinya karena patuh sama ibu. Tapi kalau dulu dia enggak begitu, bisa jadi yang duduk di sampingku hari ini bukan kamu. Iyakan?"Arjuna bertanya sambil melirik pada Lily yang mengangguk sambil memandangnya penuh cinta. Kekagumannya atas kebijakan Arjuna bertambah besar."Ternyata memang semua ada sisi baik dan hikmahnya ya," gumam Lily begitu Arjuna mulai menjalankan kendaraan mereka."
Sesaat kemudian Rizal seperti tersadar akan sesuatu, lalu melangkahkan kaki masuk ke dapur untuk mengangkat menu makanan keluar.Lily merasa bersalah melihat tatapan Rizal. Arjuna memperhatikan perubahan raut wajah Lily, seperti gelisah. Ia menarik Lily menjauh sebentar."Kamu merasa bersalah, ya?" tanya Arjuna. Lily hanya diam. Ia sendiri tak tahu kenapa ia harus merasa bersalah."Minta maaflah pada Rizal. Atas kebohonganmu selama jadi istrinya dulu. Bagaimanapun, yang namanya bohong apalagi saat itu dia berstatus suamimu, tetaplah dosa," ucap Arjuna lembut. Lily hanya diam. Ia ragu dan takut. Lily masih saja berpikir, Rizal masih sama seperti yang dulu."Ly! Euumm, boleh aku ngomong sebentar?" tiba-tiba Rizal muncul dari belakang.Arjuna langsung masuk meninggalkan Lily dan Rizal yang duduk di kursi pel Keduanya duduk berhadapan. Jantung Lily berdegup kencang. Ia berpikir pasti Rizal akan menanyakan soal kebohongannya.
"Mas, kenapa sih aku enggak boleh ke ruko lagi? Mbak Fi juga kayaknya takut banget aku ke sana? Kenapa?" Lily mencoba kembali memancing pembicaraan setelah penolakan Mbak Fi sebulan yang lalu."Enggak apa-apa. kan aku sudah bilang, alasannya. Aku pengen kamu cepat hamil. Enggak perlu capek-capek lagi," Arjuna bersikukuh dengan alasan lamanya."Yaelah! kalo ke sana kan nengok doang, gak ngapa-ngapain! Gak capek. Gak ngaruh, Mas!" protes Lily."Pokoknya enggak boleh!""Kalau aku sudah hamil, baru boleh berarti ya?" tanya Lily. Arjuna diam, nampak masih enggan mengiyakan. Lily jadi makin penasaran melihat tingkah laku suaminya."Maaaas! Kalau sudah hamil, jangan kurung aku lagi, ya!" Lily mulai merengek."Heeeeeemmm. Hamil aja dulu!" Arjuna akhirnya mulai tak tega mendengar rengekan Lily."Bener, Mas?" Lily berbalik menatap suaminya. Arjuna hanya menaikkan alis sebagai jawaban."Mas. Liat deh!" Lily mengambil ses