Yara merasa seolah seluruh dunia berhenti berputar saat semua mata di pesta itu beralih ke arahnya. Dia bisa merasakan panas di wajahnya, seakan pipinya terbakar.
"Apa yang baru saja aku lakukan? Kenapa aku harus menunjuk pria asing itu?!" pikirnya dengan frustasi.
Wajahnya memerah, tangannya gemetar. Keringat dingin membasahi punggungnya. Yara ingin mengubur dirinya di tempat yang sangat jauh.
Tapi, detik-detik yang terasa seperti seabad itu terhenti saat pria yang dia tunjuk tadi akhirnya bergerak. Pria itu menatapnya dengan ekspresi datar, tetapi matanya tampak seperti sedang memikirkan sesuatu dengan sangat serius.
Tatapan tajam itu menusuk, membuat seluruh tubuh Yara diserang rasa cemas. "Oh tidak, dia pasti marah. Aku bisa mati sekarang juga," pikirnya dalam hati.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi. Tanpa memberi petunjuk lebih lanjut, pria itu tersenyum samar, seolah tersadar dari lamunannya, dan seketika dia melangkah mendekati Yara.
Dengan gerakan yang sangat terkontrol dan elegan, dia meraih pinggang Yara, menarik tubuhnya lebih dekat ke arahnya. Yara terkejut dan langsung kaku, merasakan jantungnya berdebar hebat.
"Apa yang dia lakukan?!" batinnya panik.
Namun, pria itu tetap tenang, seolah tidak ada yang aneh sama sekali. Semua mata masih tertuju pada mereka, dan Yara bisa merasakan semuanya mengawasi setiap gerak-geriknya.
Dengan suara dalam dan lembut, pria itu berkata, "Sayang, aku pusing. Bisakah kita pulang saja?"
Ucapan itu begitu santai, seolah dia sudah lama mengenal Yara. Seolah mereka benar-benar pasangan yang terbiasa menunjukkan kemesraan di depan umum.
Yara hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Oh Tuhan, dia ..., dia ikut bermain sandiwara!" pikirnya, kaget sekaligus bingung. Tapi rasa malu masih menghantui, dan dia tahu dia harus ikut bermain.
Dengan suara sedikit tergetar, Yara menjawab, "Iya, sayang. Aku juga nggak enak di sini."
Pria itu tersenyum lebih lebar—senyum yang penuh ketenangan, seolah dia mengendalikan segalanya. Ia merangkul Yara lebih erat, memeluknya di pinggang dengan cara yang tampak alami.
Sambil tetap berpegangan erat, pria itu mulai berjalan menuju pintu keluar, membawa Yara bersamanya. Di belakang mereka, suasana pesta berubah hening. Para tamu yang tadinya ingin menertawakan Yara kini terdiam, tercengang.
"Apa aku tidak salah dengar? Sayang? Jadi Tuan Muda Liu punya pacar?" bisik salah satu orang.
"Gila! Dia benar-benar gila!"
Begitu mereka keluar dari hotel, Yara langsung melepaskan diri. Tubuhnya masih terasa kaku, dan seluruh perasaannya campur aduk.
Dia terkesan karena pria itu telah membantunya keluar dari masalah besar, tetapi juga merasa risih dengan kedekatan yang dipaksakan tadi.
"Terima kasih banyak," kata Yara dengan canggung, menundukkan kepala, berharap bisa mengakhiri interaksi ini dengan cepat.
Namun, tak disangka, pria itu justru menatapnya dengan ekspresi tajam. "Terima kasih?" ulangnya. Suaranya terdengar tegas, hampir seperti perintah.
Yara mendongak, terkejut dengan perubahan sikap pria tersebut. Wajahnya yang penuh wibawa kini tampak lebih serius, bahkan mengintimidasi.
"Kamu pikir aku hanya membantu tanpa alasan? Apa balasan kamu untuk itu?" tanyanya.
Yara terhuyung mendengar pertanyaan itu. Balasan? Maksudnya apa? pikirnya bingung.
"Aku nggak paham maksudmu," katanya, suaranya sedikit gemetar.
Pria itu melangkah lebih dekat, menatap Yara seolah ingin menembus pikirannya. "Ulahmu tadi mencoreng nama baikku. Apakah kamu tahu siapa aku?"
Yara terdiam. Nama baik? Apa yang dia bicarakan?
"Aku ..., aku nggak tahu siapa kamu," jawabnya jujur.
Pria itu mendengus pelan, seolah sudah menduga jawabannya. Sebuah senyum samar muncul di bibirnya, tetapi tak ada kehangatan di sana.
"Ada konsekuensi yang harus kamu tanggung."
Yara menelan ludah. "Konsekuensi? Aku cuma bercanda tadi! Kenapa jadi serius begini? Lagian dia juga ikut berakting!" batin Yara.
Melihat kebingungan Yara, pria itu berjalan lebih dekat, hingga jarak mereka hanya sejengkal. "Aku akan jelaskan," katanya dengan dingin. "Apa yang kamu lakukan tadi, meskipun tidak sengaja, telah mempengaruhi reputasiku. Dan itu bukan hal yang bisa dibiarkan begitu saja."
Yara merasa lidahnya kelu. "Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaikinya?" tanyanya hati-hati.
Pria itu menjawab dengan santai, tetapi kata-katanya menghantam Yara seperti petir di siang bolong.
"Kamu harus benar-benar menjadi pacarku."
Mata Yara melebar. "Apa?"
"Ya. Seperti yang kamu katakan tadi di pesta."
"Tapi itu cuma lelucon!" seru Yara, hampir putus asa.
Pria itu mengangkat alis. "Aku tidak bercanda."
Yara mundur selangkah, terhuyung oleh kata-kata itu. "Tapi ...."
"Tiga bulan, hanya tiga bulan, dan kamu akan mendapatkan satu miliar."
Dunia Yara seakan berhenti berputar. "Satu miliar? Apa dia serius?" batin Yara kembali berteriak. Dia sangat butuh uang. Satu miliar sangat amat banyak baginya.
Pria itu tetap tampak tenang, seolah ini hal biasa baginya. "Tiga bulan, dan kamu bisa pergi dengan uang itu."
"Tapi-"
"Kamu pikir kamu bisa menghindarinya?" potong pria itu. "Mau kamu tolak atau tidak, wartawan akan tetap mengejarmu mulai besok."
Yara terdiam. Kepalanya berputar.
Ini gila. Sungguh gila.
Tapi ..., bisakah dia benar-benar menolaknya?
Sesampainya di hotel, Yara langsung merasakan hawa dingin AC menyapa kulitnya yang masih terasa hangat akibat suasana jalanan tadi. Ia menatap Nathan sekilas, pria itu tampak tenang seperti biasa, padahal di perjalanan tadi, dia sempat tertawa pelan saat melihat Yara nyaris tersedak minum karena komentar menyebalkan dari Zhen yang masih terngiang-ngiang."Aku mau mandi," ucap Yara cepat-cepat sambil menunduk.Jantungnya belum stabil sejak tadi, apalagi sejak Nathan menggenggam tangannya saat mereka berjalan keluar dari restoran. Bukan karena romantis, tapi lebih ke... kebiasaan Nathan yang selalu seenaknya.Tanpa menunggu jawaban Nathan, Yara melesat ke kamar mandi. Ia menyalakan shower dengan terburu-buru, berharap air bisa menenangkan hatinya yang sedikit kacau. Tapi baru setengah jalan, ia tersadar sesuatu."ASTAGA!" jeritnya lirih, tangannya menepuk jidat."Bathrobe-nya! Aku lupa bawa, tadi aku taruh di kamar!"Ia mengerang, melirik pintu, lalu memberanikan diri membuka sedikit ce
Udara malam di Crawley cukup hangat, berbeda dari biasanya. Jalanan kota mulai lengang, hanya tersisa lampu jalan yang berpendar lembut. Mobil Nathan berhenti di parkiran sebuah restoran burger terkenal.“Turunlah. Katamu tadi ingin makan burger,” ucap Nathan sambil membuka pintu mobil untuk Yara.Gadis itu sempat ragu turun, tapi aroma gurih dari restoran membuat perutnya berteriak pelan. Ia melirik Nathan sambil meneguk ludah. “Kau yakin aku boleh makan sebanyak yang aku mau?”Nathan mengangkat alisnya. “Kalau kau sanggup habiskan semua, ya silakan.”Yara langsung nyengir dan meloncat turun. “Jangan menyesal nanti, Tuan Liu. Aku bisa jadi monster saat lapar.”Nathan tersenyum tipis sambil menutup pintu mobil.Di dalam restoran, Yara seperti anak kecil di toko permen. Matanya berbinar saat melihat pilihan burger, kentang goreng, chicken wings, dan milkshake warna-warni. Ia menunjuk semuanya sambil berkomentar seperti komentator acara kuliner.“Yang ini kayaknya enak, tapi yang itu ju
Langit malam London berpendar kelabu, dan lampu kota menyala temaram seolah memahami kegelisahan seseorang di lantai tiga Hotel Crawley Hilton.Yara duduk di ujung ranjang, mata menatap layar televisi yang menayangkan liputan berita langsung dari rumah sakit Crawley. Wajah Nathan muncul di sana, berdiri tegap di samping seorang perempuan cantik bergaun krem elegan—Clara Zhang, sang istri.Kamera menyorot keduanya dari berbagai sudut, memperlihatkan Clara yang memegang tangan salah satu keluarga korban dan Nathan yang memberikan pernyataan resmi kepada pers.“Pasangan suami istri ini tampak serasi, saling mendukung di tengah tragedi kebakaran yang menimpa Liu Corporation.”Komentar reporter di layar membuat dada Yara makin sesak. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu mematikan televisi dengan remote yang sempat ia lempar asal ke atas kasur.“Hah…” helanya panjang.Yara menunduk, menarik lutut ke dadanya. “Yara, kamu tuh apa sih?” ocehnya pada diri sendiri. “Baru tadi pagi deg-degan liat di
Langkah kaki bergema di sepanjang lorong rumah sakit kota Crawley. Aroma disinfektan menyengat di udara, bercampur dengan ketegangan yang nyaris bisa disentuh.Nathan berjalan dengan langkah panjang dan mantap, setelan hitamnya rapi sempurna seperti biasa. Di belakangnya, Adrian mengikuti dengan cepat sambil memegang tablet di tangan, dan beberapa staf rumah sakit serta pengawal pribadi mengikuti dari kejauhan."Korban luka ringan ada delapan orang, semuanya sudah mendapatkan perawatan. Tapi satu korban luka bakar cukup serius, dia masih dirawat intensif di ruang ICU, dan keluarganya baru tiba pagi ini." Laporan Adrian cepat dan efisien, seolah sudah terbiasa mengikuti ritme kerja Nathan yang nyaris tanpa jeda.Nathan hanya mengangguk pelan, matanya tajam menatap ke depan. "Dokumen kompensasi?""Sudah disiapkan. Tim legal juga standby untuk verifikasi dokumen."Mereka semakin mendekati ruang perawatan korban. Namun langkah Nathan tiba-tiba terhenti. Matanya menyipit, ekspresi wajahnya
Sinar matahari pagi menyelinap pelan melalui celah tirai, membentuk garis-garis cahaya keemasan di atas ranjang berseprai putih bersih itu. Udara di dalam kamar masih dingin, membuat Yara meringkuk lebih dalam di bawah selimut tebal. Kepalanya tenggelam di antara bantal empuk, dan tubuhnya terasa berat untuk bergerak.Ia mengeluarkan suara gumaman malas seperti anak kucing, menggeliat pelan dengan mata masih terpejam.Namun, saat ia membuka mata perlahan, bayangan tinggi besar yang bergerak di sudut kamar membuat jantungnya langsung melonjak.Nathan.Pria itu sedang berdiri di depan lemari pakaian, punggungnya menghadap ke arah Yara, hanya mengenakan celana panjang kain gelap. Otot-otot punggungnya tampak jelas, mengalir kuat dan simetris.Ia sedang mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan. Yara menelan ludah, matanya otomatis mengikuti gerakan tangan Nathan yang dengan santai merapikan lengan bajunya.Astaga... ini bukan mimpi, kan? pikir Yara gugup. Tadi malam itu... beneran
Lorong rumah sakit London terasa sunyi, hanya sesekali terdengar langkah kaki perawat atau suara roda ranjang yang didorong pelan. Di dekat vending machine, seorang pria berdiri menyender malas pada tembok putih dingin.Kemeja putihnya digulung hingga siku, dengan dua kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit kulit lehernya yang berkeringat tipis. Zhen menarik napas panjang, matanya sayu menatap mesin minuman seolah waktu melambat.Tangannya dimasukkan ke saku celana, satu lagi memegang ponsel yang sesekali dilirik, tapi tidak ada pesan masuk dari siapa pun, terutama dari Clara yang tadi siang meminta nomor teleponnya untuk membalas budi."Dia keras kepala sekali," gumamnya sambil menghela napas pelan. "Padahal aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."Ia melangkah maju satu baris saat antrean menyusut. Pandangannya kemudian tertarik ke layar televisi yang tergantung di dinding seberang.Saluran berita lokal sedang menayangkan liputan kebakaran hebat di gudang milik Liu Corpo