Pagi itu, Yara terbangun dengan kepala yang terasa berat. Semalam, pikirannya terus dipenuhi oleh ucapan pria itu, membuatnya nyaris tidak bisa tidur.
"Aku ingatkan lagi, mau kamu terima atau tolak tawaran ini, semuanya tidak akan ada bedanya untukmu. Mulai besok, kamu akan tetap dikejar-kejar wartawan."
Dia mengerutkan kening di atas kasurnya yang terasa semakin keras setiap hari.
"Apa sih maksudnya? Wartawan? Pria itu pasti cuma menakut-nakutiku. Sepenting apa aku sampai media peduli soal ini?"
Namun, satu hal yang lebih mendesak langsung kembali memenuhi benaknya.
Uang.
Satu miliar.
"Gila, satu miliar! Itu banyak banget, Yara. Dengan uang sebanyak itu, aku bisa melunasi hutang dan membiayai pengobatan Ibu!"
Dilema melanda. Tawaran itu terlalu bagus untuk ditolak, tapi juga terlalu mencurigakan untuk diterima begitu saja. Setelah perdebatan panjang dalam hati, akhirnya Yara mengambil keputusan.
Dia akan menemui pria itu.
---Restoran mewah yang telah ditentukan terasa begitu asing bagi Yara. Interiornya dipenuhi cahaya lembut dari lampu gantung kristal, dan aroma wangi kopi mahal memenuhi udara. Seorang pria berjas hitam menghampirinya dengan ekspresi netral.
"Selamat datang, Nona Yara Jang," sapanya dengan nada profesional.
Yara hanya mengangguk canggung. Darimana dia tahu namaku? Pikir Yara.
Dia dibawa ke sebuah ruangan VIP yang luas dan elegan. Di tengahnya, terdapat meja panjang dengan hanya dua kursi di ujungnya. Nathan Liu, pria semalam yang sudah duduk di sana, ekspresinya tetap dingin dan tak terbaca.
Begitu Yara duduk, seorang wanita mengenakan jas hitam masuk dan meletakkan sebuah map di hadapannya.
"Silakan baca dengan teliti," ujar Nathan, nada suaranya terdengar tenang namun tegas.
Yara membuka map itu tanpa basa-basi. Matanya langsung tertuju pada kontrak yang tertata rapi di dalamnya.
"Pihak pertama akan memberikan fasilitas kepada pihak kedua berupa pakaian, apartemen, mobil, kebutuhan lainnya, dan uang satu miliar yang telah dijanjikan. Sebagai gantinya, pihak kedua harus menjadi pacar pihak pertama selama tiga bulan, tidak kurang dan tidak lebih. Selain itu, pihak kedua harus menuruti setiap perintah pihak pertama."
Yara menahan napas sejenak. Tiga bulan?
"Ya ampun, pacaran tiga bulan sih gampang! Mana ada orang yang bayar pacar satu miliar?" pikirnya sambil terkekeh dalam hati.
Namun, semakin ia membaca, semakin banyak syarat yang membuat alisnya berkerut.
"Skinship?" Yara mengangkat kepala dan menatap Nathan. "Maksudnya apa?" tanyanya dengan polos.
"Seperti berpegangan tangan, misalnya," jawab Nathan santai.
Yara mengangguk, merasa sedikit lega. "Oh, kalau cuma itu sih, gampang."
Namun, matanya membelalak saat membaca lebih jauh.
"Dilarang bertemu keluarga? Harus selalu mengakui Nathan sebagai pacarnya, apapun yang terjadi? Dilarang membocorkan kontrak ini kepada siapapun?"
"Wah, ini bisa bikin ribet," gumamnya.
Nathan tetap diam, mengamati reaksi Yara dengan tenang.
Dan bagian yang paling mengejutkan—
"Jika pihak kedua membatalkan kontrak sebelum tiga bulan selesai, maka pihak kedua harus membayar denda dua kali lipat dari uang yang diterima."
Yara menelan ludah. "Dua kali lipat?"
Artinya, jika ia membatalkan kontrak, ia bukan hanya kehilangan satu miliar—tapi harus membayar dua miliar. Namun, godaan uang jauh lebih besar daripada ketakutannya.
"Dimana lagi aku bisa dapat duit segede ini dalam tiga bulan? Seumur hidup juga nggak bakal mampu!" batinnya.
Yara tersenyum lebar. "Ini sih gampang! Toh, kita cuma pacaran bohongan, kan?"
Nathan menatapnya tajam. "Siapa bilang?"
Senyum Yara langsung memudar.
"Di dalam kontrak jelas tertulis, kamu akan menjadi pacarku. Pacar sungguhan."
Deg.
Jantung Yara berdegup kencang.
"Pacar sungguhan? Tunggu, kalau gitu ..., apa yang biasanya dilakukan pasangan yang benar-benar berpacaran? Oh, tidak—" Yara mulai panik di dalam hatinya.
Dia buru-buru menutup map kontrak itu dan menatap Nathan dengan waspada. "Aku boleh mengajukan syarat juga?" tanyanya, mencoba menegosiasikan keadaan.
"Tentu."
"Aku ..., tidak mau melakukan hubungan badan! Skinship oke, tapi aku tidak mau melakukan 'itu' selama kontrak berlangsung!"
Yara mengatakan itu dengan penuh keyakinan. Bagaimanapun juga, dia masih ingin menjaga dirinya.
Nathan mengangkat alis, lalu menatapnya dengan ekspresi datar. "Kenapa?"
"Aku ingin mempertahankan keperawananku!"
Hening.
Nathan mengangguk, ekspresinya tetap dingin. "Kalau itu yang kamu mau, maka syarat yang kamu ajukan hanya sebatas menjaga keperawananmu saja."
Yara mengerutkan kening. "Kenapa begitu?"
Nathan hanya tersenyum tipis. "Semua hal lainnya sudah ada dalam kontrak. Bukankah yang terpenting adalah kamu tetap perawan sampai kontrak selesai? Itu saja, kan?"
Yara merasa ada yang janggal, tapi ia tak mau terlalu memikirkan. Dengan keyakinan penuh, ia mengambil pulpen dan menandatangani kontrak itu.
Satu miliar. Itu saja yang ada di pikirannya.
Saat ia membaca kembali kontrak yang telah ditandatangani, nama pria itu akhirnya menarik perhatiannya.
"Nathan Liu."
"Kamu benar-benar tidak tahu siapa aku?"
Yara hanya mengangkat bahu. "Memangnya penting?"
Nathan tertawa kecil, lalu menyerahkan sebuah kartu nama. "Tiga hari lagi. Aku akan menjemputmu di tempat yang sudah kutentukan."
Yara mengambil kartu itu dengan semangat. "Tiga hari lagi, deal!" katanya riang.
Di dalam hatinya, ia hanya bisa membayangkan satu hal—
"Hah! Aku akan kaya setelah ini!"
Cahaya matahari menerobos masuk lewat celah gorden, tipis tapi cukup untuk membangunkan Yara dari tidurnya. Kelopak matanya perlahan terbuka, masih berat, tapi begitu pandangannya jatuh ke sisi ranjang, jantungnya langsung melompat.Nathan ada di sana. Masih tertidur, wajahnya tenang, dengan helaan napas teratur. Rambut hitamnya berantakan, beberapa helai jatuh ke keningnya, tapi itu justru membuatnya terlihat semakin… berbahaya.Wajah Yara memanas seketika. Seakan otaknya sengaja memutar ulang kejadian semalam.Jemari Nathan. Sentuhan itu. Sentuhan yang sama sekali asing, tapi mampu membuat tubuhnya bergetar hebat, seolah aliran listrik menjalar ke seluruh sarafnya. Itu pertama kalinya Yara disentuh seperti itu. Pertama kali pula ia merasakan sebuah gelombang aneh yang… tabu, namun tak bisa dipungkiri nikmat.“Puncak… itu yang mereka maksud?” bisik Yara pelan, wajahnya merah padam.Ingatan itu cukup untuk membuat tubuhnya kembali panas, terutama bagian bawah perutnya yang kini berden
Clara menekan kartu kamar ke panel pintu hingga bunyi "klik" terdengar. Pintu terbuka, dan seketika ia melangkah masuk ke dalam kamar hotel yang sunyi.Begitu pintu tertutup, tubuhnya langsung bersandar di dinding. Ia memejamkan mata, menarik napas panjang, lalu meregangkan tubuhnya.Rasanya setiap inci ototnya dipenuhi beban. Bukan hanya tubuh yang lelah, tapi juga jiwanya. Hari ini, hatinya seperti diperas habis-habisan.Ucapan Nathan siang tadi masih terngiang jelas. Dingin, tegas, seolah setiap kata memang dipilih untuk melukai.Clara menekan dada kirinya yang terasa nyeri. Sakit. Benar-benar sakit. Seolah dirinya bukan istri, melainkan sekadar orang asing yang kebetulan masuk ke dunia Nathan.Tiga tahun…Tiga tahun lamanya pernikahan mereka. Selama itu pula, Clara mencoba mendekat. Ia berusaha menembus dinding es yang Nathan bangun di sekeliling dirinya. Membuat makan malam, mengirim pesan singkat, bahkan menunggu suaminya pulang meski sering berakhir sendiri di ruang tamu.Namun
Sesampainya di hotel, Yara langsung merasakan hawa dingin AC menyapa kulitnya yang masih terasa hangat akibat suasana jalanan tadi. Ia menatap Nathan sekilas, pria itu tampak tenang seperti biasa, padahal di perjalanan tadi, dia sempat tertawa pelan saat melihat Yara nyaris tersedak minum karena komentar menyebalkan dari Zhen yang masih terngiang-ngiang."Aku mau mandi," ucap Yara cepat-cepat sambil menunduk.Jantungnya belum stabil sejak tadi, apalagi sejak Nathan menggenggam tangannya saat mereka berjalan keluar dari restoran. Bukan karena romantis, tapi lebih ke... kebiasaan Nathan yang selalu seenaknya.Tanpa menunggu jawaban Nathan, Yara melesat ke kamar mandi. Ia menyalakan shower dengan terburu-buru, berharap air bisa menenangkan hatinya yang sedikit kacau. Tapi baru setengah jalan, ia tersadar sesuatu."ASTAGA!" jeritnya lirih, tangannya menepuk jidat."Bathrobe-nya! Aku lupa bawa, tadi aku taruh di kamar!"Ia mengerang, melirik pintu, lalu memberanikan diri membuka sedikit ce
Udara malam di Crawley cukup hangat, berbeda dari biasanya. Jalanan kota mulai lengang, hanya tersisa lampu jalan yang berpendar lembut. Mobil Nathan berhenti di parkiran sebuah restoran burger terkenal.“Turunlah. Katamu tadi ingin makan burger,” ucap Nathan sambil membuka pintu mobil untuk Yara.Gadis itu sempat ragu turun, tapi aroma gurih dari restoran membuat perutnya berteriak pelan. Ia melirik Nathan sambil meneguk ludah. “Kau yakin aku boleh makan sebanyak yang aku mau?”Nathan mengangkat alisnya. “Kalau kau sanggup habiskan semua, ya silakan.”Yara langsung nyengir dan meloncat turun. “Jangan menyesal nanti, Tuan Liu. Aku bisa jadi monster saat lapar.”Nathan tersenyum tipis sambil menutup pintu mobil.Di dalam restoran, Yara seperti anak kecil di toko permen. Matanya berbinar saat melihat pilihan burger, kentang goreng, chicken wings, dan milkshake warna-warni. Ia menunjuk semuanya sambil berkomentar seperti komentator acara kuliner.“Yang ini kayaknya enak, tapi yang itu ju
Langit malam London berpendar kelabu, dan lampu kota menyala temaram seolah memahami kegelisahan seseorang di lantai tiga Hotel Crawley Hilton.Yara duduk di ujung ranjang, mata menatap layar televisi yang menayangkan liputan berita langsung dari rumah sakit Crawley. Wajah Nathan muncul di sana, berdiri tegap di samping seorang perempuan cantik bergaun krem elegan—Clara Zhang, sang istri.Kamera menyorot keduanya dari berbagai sudut, memperlihatkan Clara yang memegang tangan salah satu keluarga korban dan Nathan yang memberikan pernyataan resmi kepada pers.“Pasangan suami istri ini tampak serasi, saling mendukung di tengah tragedi kebakaran yang menimpa Liu Corporation.”Komentar reporter di layar membuat dada Yara makin sesak. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu mematikan televisi dengan remote yang sempat ia lempar asal ke atas kasur.“Hah…” helanya panjang.Yara menunduk, menarik lutut ke dadanya. “Yara, kamu tuh apa sih?” ocehnya pada diri sendiri. “Baru tadi pagi deg-degan liat di
Langkah kaki bergema di sepanjang lorong rumah sakit kota Crawley. Aroma disinfektan menyengat di udara, bercampur dengan ketegangan yang nyaris bisa disentuh.Nathan berjalan dengan langkah panjang dan mantap, setelan hitamnya rapi sempurna seperti biasa. Di belakangnya, Adrian mengikuti dengan cepat sambil memegang tablet di tangan, dan beberapa staf rumah sakit serta pengawal pribadi mengikuti dari kejauhan."Korban luka ringan ada delapan orang, semuanya sudah mendapatkan perawatan. Tapi satu korban luka bakar cukup serius, dia masih dirawat intensif di ruang ICU, dan keluarganya baru tiba pagi ini." Laporan Adrian cepat dan efisien, seolah sudah terbiasa mengikuti ritme kerja Nathan yang nyaris tanpa jeda.Nathan hanya mengangguk pelan, matanya tajam menatap ke depan. "Dokumen kompensasi?""Sudah disiapkan. Tim legal juga standby untuk verifikasi dokumen."Mereka semakin mendekati ruang perawatan korban. Namun langkah Nathan tiba-tiba terhenti. Matanya menyipit, ekspresi wajahnya