Share

Bab 3

Author: Lee Sizunii
last update Last Updated: 2025-03-08 04:52:07

Pagi itu, Yara terbangun dengan kepala yang terasa berat. Semalam, pikirannya terus dipenuhi oleh ucapan pria itu, membuatnya nyaris tidak bisa tidur.

"Aku ingatkan lagi, mau kamu terima atau tolak tawaran ini, semuanya tidak akan ada bedanya untukmu. Mulai besok, kamu akan tetap dikejar-kejar wartawan."

Dia mengerutkan kening di atas kasurnya yang terasa semakin keras setiap hari.

"Apa sih maksudnya? Wartawan? Pria itu pasti cuma menakut-nakutiku. Sepenting apa aku sampai media peduli soal ini?"

Namun, satu hal yang lebih mendesak langsung kembali memenuhi benaknya.

Uang.

Satu miliar.

"Gila, satu miliar! Itu banyak banget, Yara. Dengan uang sebanyak itu, aku bisa melunasi hutang dan membiayai pengobatan Ibu!"

Dilema melanda. Tawaran itu terlalu bagus untuk ditolak, tapi juga terlalu mencurigakan untuk diterima begitu saja. Setelah perdebatan panjang dalam hati, akhirnya Yara mengambil keputusan.

Dia akan menemui pria itu.

---

Restoran mewah yang telah ditentukan terasa begitu asing bagi Yara. Interiornya dipenuhi cahaya lembut dari lampu gantung kristal, dan aroma wangi kopi mahal memenuhi udara. Seorang pria berjas hitam menghampirinya dengan ekspresi netral.

"Selamat datang, Nona Yara Jang," sapanya dengan nada profesional.

Yara hanya mengangguk canggung. Darimana dia tahu namaku? Pikir Yara.

Dia dibawa ke sebuah ruangan VIP yang luas dan elegan. Di tengahnya, terdapat meja panjang dengan hanya dua kursi di ujungnya. Nathan Liu, pria semalam yang sudah duduk di sana, ekspresinya tetap dingin dan tak terbaca.

Begitu Yara duduk, seorang wanita mengenakan jas hitam masuk dan meletakkan sebuah map di hadapannya.

"Silakan baca dengan teliti," ujar Nathan, nada suaranya terdengar tenang namun tegas.

Yara membuka map itu tanpa basa-basi. Matanya langsung tertuju pada kontrak yang tertata rapi di dalamnya.

"Pihak pertama akan memberikan fasilitas kepada pihak kedua berupa pakaian, apartemen, mobil, kebutuhan lainnya, dan uang satu miliar yang telah dijanjikan. Sebagai gantinya, pihak kedua harus menjadi pacar pihak pertama selama tiga bulan, tidak kurang dan tidak lebih. Selain itu, pihak kedua harus menuruti setiap perintah pihak pertama."

Yara menahan napas sejenak. Tiga bulan?

"Ya ampun, pacaran tiga bulan sih gampang! Mana ada orang yang bayar pacar satu miliar?" pikirnya sambil terkekeh dalam hati.

Namun, semakin ia membaca, semakin banyak syarat yang membuat alisnya berkerut.

"Skinship?" Yara mengangkat kepala dan menatap Nathan. "Maksudnya apa?" tanyanya dengan polos.

"Seperti berpegangan tangan, misalnya," jawab Nathan santai.

Yara mengangguk, merasa sedikit lega. "Oh, kalau cuma itu sih, gampang."

Namun, matanya membelalak saat membaca lebih jauh.

"Dilarang bertemu keluarga? Harus selalu mengakui Nathan sebagai pacarnya, apapun yang terjadi? Dilarang membocorkan kontrak ini kepada siapapun?"

"Wah, ini bisa bikin ribet," gumamnya.

Nathan tetap diam, mengamati reaksi Yara dengan tenang.

Dan bagian yang paling mengejutkan—

"Jika pihak kedua membatalkan kontrak sebelum tiga bulan selesai, maka pihak kedua harus membayar denda dua kali lipat dari uang yang diterima."

Yara menelan ludah. "Dua kali lipat?"

Artinya, jika ia membatalkan kontrak, ia bukan hanya kehilangan satu miliar—tapi harus membayar dua miliar. Namun, godaan uang jauh lebih besar daripada ketakutannya.

"Dimana lagi aku bisa dapat duit segede ini dalam tiga bulan? Seumur hidup juga nggak bakal mampu!" batinnya.

Yara tersenyum lebar. "Ini sih gampang! Toh, kita cuma pacaran bohongan, kan?"

Nathan menatapnya tajam. "Siapa bilang?"

Senyum Yara langsung memudar.

"Di dalam kontrak jelas tertulis, kamu akan menjadi pacarku. Pacar sungguhan."

Deg.

Jantung Yara berdegup kencang.

"Pacar sungguhan? Tunggu, kalau gitu ..., apa yang biasanya dilakukan pasangan yang benar-benar berpacaran? Oh, tidak—" Yara mulai panik di dalam hatinya.

Dia buru-buru menutup map kontrak itu dan menatap Nathan dengan waspada. "Aku boleh mengajukan syarat juga?" tanyanya, mencoba menegosiasikan keadaan.

"Tentu."

"Aku ..., tidak mau melakukan hubungan badan! Skinship oke, tapi aku tidak mau melakukan 'itu' selama kontrak berlangsung!"

Yara mengatakan itu dengan penuh keyakinan. Bagaimanapun juga, dia masih ingin menjaga dirinya.

Nathan mengangkat alis, lalu menatapnya dengan ekspresi datar. "Kenapa?"

"Aku ingin mempertahankan keperawananku!"

Hening.

Nathan mengangguk, ekspresinya tetap dingin. "Kalau itu yang kamu mau, maka syarat yang kamu ajukan hanya sebatas menjaga keperawananmu saja."

Yara mengerutkan kening. "Kenapa begitu?"

Nathan hanya tersenyum tipis. "Semua hal lainnya sudah ada dalam kontrak. Bukankah yang terpenting adalah kamu tetap perawan sampai kontrak selesai? Itu saja, kan?"

Yara merasa ada yang janggal, tapi ia tak mau terlalu memikirkan. Dengan keyakinan penuh, ia mengambil pulpen dan menandatangani kontrak itu.

Satu miliar. Itu saja yang ada di pikirannya.

Saat ia membaca kembali kontrak yang telah ditandatangani, nama pria itu akhirnya menarik perhatiannya.

"Nathan Liu."

"Kamu benar-benar tidak tahu siapa aku?"

Yara hanya mengangkat bahu. "Memangnya penting?"

Nathan tertawa kecil, lalu menyerahkan sebuah kartu nama. "Tiga hari lagi. Aku akan menjemputmu di tempat yang sudah kutentukan."

Yara mengambil kartu itu dengan semangat. "Tiga hari lagi, deal!" katanya riang.

Di dalam hatinya, ia hanya bisa membayangkan satu hal—

"Hah! Aku akan kaya setelah ini!"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 36

    Langkah kaki Yara terasa berat saat kembali ke ruang inap Nathan. Gelas es coklat yang tadi masih dingin kini mulai mengembun, airnya menetes di jari-jarinya yang gemetar. Pikirannya masih kalut. Wajah wanita tadi, ucapannya, tatapan sinis orang-orang—semuanya seperti terpatri di otaknya.Ketika ia membuka pintu perlahan dan masuk, ruangan itu tampak sepi. Adrian sudah tidak ada.Hanya Nathan di sana, duduk bersandar dengan wajah tenang meski pucat, kabel infus masih menempel di tangannya. Tapi begitu melihat Yara masuk dengan wajah kusut, mata Nathan menyipit. Senyum tipisnya memudar."Yara," panggilnya pelan.Gadis itu menoleh sekilas, lalu berjalan tanpa kata ke kursi di samping ranjang dan duduk. Ia meletakkan gelas es coklat di meja kecil tanpa semangat. Pandangannya kosong, menatap lantai, jemarinya saling meremas satu sama lain.Nathan memperhatikannya. Raut wajahnya ..., tak seperti biasanya. Tak ada celotehan. Tak ada senyum ceria yang biasa membuat ruangan ini terasa hidup.

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 35

    Langkah kaki Yara terdengar tergesa saat ia keluar dari ruang inap Nathan. Wajahnya masih menyisakan rona merah, entah karena kesal, malu, atau ..., terlalu banyak deg-degan dalam sekali waktu."Ugh!" Yara menggerutu sambil mengepalkan tangan kecilnya, mengabaikan tatapan Nathan saat dia keluar dari ruangan itu. "Kenapa sih dia harus natap aku gitu?! Jantungku barusan kayak ditusuk-tusuk pakai tusuk gigi!" ocehnya lirih.Ia menginjak lantai koridor rumah sakit dengan langkah kesal—atau lebih tepatnya, langkah malu-malu yang coba disamarkan dengan marah-marah."Nyebelin banget .... Padahal lagi sakit, pucat, lemes, tapi kok masih bisa bikin aku meleleh? Gantengnya itu loh, kebangetan. Ih, gangguan hormon ini kayaknya!" gumamnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya ke pipi sendiri yang masih hangat.Yara terus berjalan ke arah kantin rumah sakit, mencoba mengalihkan pikirannya dengan ..., teh hangat? Atau mungkin es coklat? Tapi belum sempat pikirannya tenang, ia menyadari sesuatu yang

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 34

    Begitu Adrian tiba di apartemen, Yara langsung membuka pintu sebelum pria itu sempat mengetuk. Wajah gadis itu cemas, rambutnya acak-acakan, dan sandal rumah yang ia pakai nyaris terlepas karena terburu-buru. Tanpa menunggu ucapan pembuka, Yara langsung menyerbu dengan kalimat yang membuat Adrian nyaris terbatuk."Aku ikut!" katanya mantap.Adrian sempat tercengang. "Ma—maksud saya .... Nona, saya tidak bisa membawa Anda begitu saja. Tuan Nathan tidak memberi perintah apa pun soal—""Aku tetap ikut!" potong Yara dengan nada keras, membuat Adrian berkedip cepat.Wajah Yara yang biasanya ceria kini begitu serius. "Aku gak peduli soal aturan tidak boleh ke mana-mana atau apalah itu. Nathan pingsan, dan aku harus lihat dia. Kalau tidak, aku bisa gila."Adrian memijat pelipisnya, lalu menghela napas pasrah. Ia tahu akan sulit berargumen dengan seseorang yang keras kepala seperti Nathan, dan ternyata, kekasihnya pun tak kalah keras kepala."Baiklah,”"ucap Adrian pada akhirnya. "Tapi, Anda h

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 33

    Langit mendung menggantung rendah, seolah menyesuaikan dengan kondisi Nathan pagi itu. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, Nathan tetap bersikeras untuk berangkat ke kantor.Wajahnya pucat pasi, tapi sorot matanya tetap tegas. Ia berdiri di depan cermin, membenarkan dasi dengan tangan gemetar. Terdengar suara lembut dari balik pintu kamar."Kau yakin mau berangkat kerja?" tanya Yara, suaranya khawatir.Nathan tak menjawab. Ia membuka pintu dan menatap Yara sebentar. Gadis itu hanya mengenakan kaus oversized dan celana training, rambutnya diikat asal. Wajah polosnya penuh ragu. Nathan menghela napas dan berjalan melewatinya begitu saja."Kalau pingsan di jalan, jangan salahin aku," gumam Yara, lebih kepada dirinya sendiri, meski cukup keras agar Nathan mendengarnya.Di kantor, aura formal langsung menyelimuti ruang kerja Nathan yang bergaya minimalis dan maskulin. Adrian, sekretaris pribadi sekaligus asisten kepercayaannya, langsung menyambut Nathan dengan tatapan cemas."Tuan, Anda

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 32

    Nathan mengerjapkan matanya pelan. Sinar matahari menyelinap lewat sela-sela tirai ruang tengah yang sedikit terbuka. Ia mengerang pelan, mencoba mengangkat kepala yang terasa berat dan pening.Rasa pusing menyergapnya seketika, membuat tubuhnya limbung. Saat ia mencoba menoleh, dahi dan rambutnya terasa lembap.Alis Nathan mengernyit. Tangannya meraba pelan kain basah yang menempel di dahinya. Handuk kecil.Ia menatapnya sekilas sebelum matanya bergerak ke arah meja di samping sofa. Ada baskom kecil berisi air, sepasang sepatu kerjanya yang sudah terlepas, dan selimut tebal yang sekarang menyelimuti tubuhnya."Kenapa bisa begini" gumamnya parau, matanya menyipit, mencoba mengingat-ingat.Terakhir yang ia ingat, ia menyeret tubuhnya pulang dalam keadaan demam tinggi. Ia bahkan tidak sempat naik ke kamar, langsung tumbang di sofa.Belum sempat Nathan bangkit, langkah cepat terdengar mendekat."Jangan bangun dulu!"Sebuah tangan ringan menahan bahunya. Nathan mendongak perlahan.Mata me

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 31

    Pagi itu, Yara membuka matanya perlahan. Cahaya tipis matahari menyusup masuk dari sela gorden kamar Nathan yang sedikit terbuka. Sesaat dia lupa di mana dirinya berada, sampai menyadari empuknya kasur yang tidak familiar. Dia menoleh ke samping, mencari sosok Nathan, tapi tempat di sebelahnya kosong. Tak ada siapa pun.“Hm? Mana dia?” gumamnya pelan, sambil buru-buru bangkit dari ranjang.Baru kemudian kesadaran penuh datang padanya. Semalam... dia tidur di kamar Nathan. Di ranjangnya. Bersama pria itu.Mata Yara membulat. “Oh my God... aku beneran tidur di sini semalaman?”Dia menunduk, memeluk tubuhnya sendiri. Pipinya panas mengingat bagaimana dia harus memalingkan wajah karena dada bidang Nathan yang terpampang nyata hanya dibalut handuk. Dan pria itu... menyuruhnya tidur di ranjangnya. Dengan kalimat yang masih menggetarkan pikirannya sampai sekarang: "Kalau nggak bisa tidur, lepas aja dalemannya."Yara menepuk pipinya sendiri pelan. “Astagaaa... dia tuh manusia atau iblis sih..

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 30

    Tak lama setelah menyelesaikan makanannya—dan membereskan piring dengan malas sambil terus mengoceh pada dirinya sendiri—Yara berdiri ragu di depan pintu kamar Nathan.Pintu kayu solid itu tampak mengintimidasi di bawah lampu koridor yang hangat. Yara mengangkat tangan, mengetuknya perlahan.Tok, tok, tok.Sepi.Dia mengerutkan kening, mengetuk sekali lagi, lebih keras. Masih tidak ada jawaban.Dengan jantung yang mulai berdegup tidak karuan, Yara menempelkan mulutnya ke arah pintu sambil berkata lirih, "Aku... aku masuk ya?"Tak ada respons.Dengan gugup, dia memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan.Ruangan di balik pintu itu membuat Yara menahan napas.Kamar Nathan... luas, elegan, dan memancarkan aroma maskulin yang samar, seperti campuran kayu, sabun, dan sedikit aroma peppermint. Dindingnya berwarna abu-abu lembut, dihiasi lukisan minimalis. Tempat tidurnya besar, ranjang king size berlapis sprei satin berwarna biru navy yang tampak lembut dan... mahal."Wow..." Yara tak b

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 28

    Suasana apartemen itu terasa mencekam. Meskipun semua lampu menyala terang benderang dari ruang tamu hingga ke kamar mandi, Yara tetap tidak merasa aman. Tubuhnya tergolek di atas ranjang empuk berlapis seprai sutra mahal, namun rasa nyaman tidak benar-benar bisa ia rasakan. Matanya terus memandangi langit-langit, sesekali berguling ke sisi kiri lalu ke kanan. Nafasnya berat."Astaga... kenapa sih aku jadi begini?" gumamnya sembari menutup wajah dengan bantal.Dia telah melupakan mimpi buruk yang mengganggunya sore tadi—setidaknya itu yang ia pikirkan. Tapi bayang-bayang ketakutan yang tak jelas asalnya masih melekat di tubuhnya, membuat jantungnya sesekali berdetak lebih cepat dari biasanya. Seolah ada yang mengawasinya. Seolah... ia tidak benar-benar sendirian."Yara, kamu tuh udah gede, kenapa jadi penakut kayak gini? Cuma mimpi buruk doang, kenapa jadi drama banget sih," omelnya pada diri sendiri. Ia bahkan menyindir dirinya dengan suara tinggi yang dibuat-buat, seolah memparodika

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 28

    Setelah sarapan pagi yang... canggung, dengan sisa rasa ciuman Nathan yang masih membekas di ujung bibir dan pipi Yara yang tak kunjung mendingin, suasana pagi berubah cepat.Nathan menerima telepon dari seseorang—suara laki-laki di seberang terdengar tegang, meski Yara tidak tahu persis siapa. Tak sampai lima menit, Nathan sudah berdiri sambil mengenakan jas dan memasukkan ponsel ke sakunya."Aku harus pergi," katanya cepat.Yara yang masih setengah sadar karena detak jantung yang belum stabil sejak ciuman tadi hanya mengangguk pelan. "O-oh... iya."Nathan sempat meliriknya dari ujung pintu. "Dan Yara… jangan keluar apartemen. Apa pun yang terjadi, tetap di sini."Gadis itu menatap bingung. "Eh? Kenapa?""Tolong, turuti saja. Aku akan jelaskan nanti."Belum sempat Yara membalas, pintu sudah tertutup. Nathan hilang dalam suara langkah cepat dan bunyi lift.Dan... rumah pun sepi.Sangat sepi.Yara berjalan ke wastafel, mencuci bekas makannya. Lalu dia kembali ke ruang tengah apartemen

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status