Share

Bab 4

Author: Lee Sizunii
last update Last Updated: 2025-03-08 05:24:21

Setelah meninggalkan restoran mewah, Yara berjalan dengan langkah ringan, wajahnya berseri-seri. Pikirannya dipenuhi bayangan uang 1 miliar yang akan segera masuk ke tangannya.

Udara London yang dingin menyambutnya begitu ia keluar dari pintu restoran. Jalanan yang padat tak menghalangi semangatnya. Ini dia, kesempatan yang kutunggu-tunggu. Setiap langkah menuju rumahnya terasa lebih ringan, seolah-olah semua masalahnya perlahan terangkat dari pundaknya.

Namun, langkahnya terhenti ketika seorang pria tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia mengenakan jas rapi, terlihat profesional, tetapi wajahnya tampak familiar. Yara merasa pernah melihatnya, meskipun ia tidak bisa mengingat di mana.

"Maaf, bolehkah saya berbicara dengan Anda sebentar?" Pria itu memegang alat perekam di tangannya.

Yara menyipitkan mata, sedikit waspada. Tapi senyumnya tetap terukir. "Ada apa? Kenapa menatap saya seperti itu?"

Pria itu tersenyum tipis. "Anda Yara Jang, bukan?"

Jantung Yara berdebar. Siapa dia? "Ya, saya Yara. Ada yang bisa saya bantu?"

"Nama Anda sedang ramai diperbincangkan," katanya santai. "Saya seorang wartawan. Saya ingin bertanya mengenai hubungan Anda dengan Nathan Liu. Sepertinya Anda sedang dekat dengannya, ya? Apa Anda sudah lama berpacaran dengannya? Apakah benar semalam Nathan Liu mengakui Anda di hadapan semua tamu?"

Kegelisahan tiba-tiba menyelimuti dada Yara. Nathan Liu? Nama pria itu kembali muncul begitu cepat, bahkan sebelum ia bisa mencerna pertemuan mereka dengan baik.

Sial. Nathan benar, wartawan akan mengejarnya.

Namun, Yara berusaha tetap tenang. Ia menarik napas panjang lalu tersenyum tipis. "Maaf, saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan. Saya tidak ada hubungannya dengan Nathan Liu."

Pria itu tidak terpengaruh. Ia menekan tombol pada alat perekam, menatap Yara lebih tajam.

"Semua orang di kota ini sedang membicarakan Anda dan Nathan Liu. Mengejutkan, bukan? Seorang wanita biasa seperti Anda bisa berada di dunia yang sama dengan pria seperti dia."

Yara merasa semakin terpojok. Bajingan ini tidak akan menyerah.

"Saya rasa Anda salah orang," katanya tegas. "Jangan khawatir, saya tidak punya informasi apapun untuk Anda."

Tanpa menunggu tanggapan, Yara berbalik dan berjalan cepat, tetapi pria itu tetap mengejarnya.

"Hei, tunggu! Jangan kabur! Saya hanya ingin berbicara!"

Sial!

Adrenalin Yara meledak. Ia langsung berlari. Sepatu haknya hampir membuatnya terpeleset, tapi ia terus memaksa kakinya bergerak lebih cepat. Jalanan ramai, orang-orang menatap aneh, tapi Yara tak peduli. Ia hanya ingin lolos.

Saat melihat sebuah gang sempit di sisi jalan, ia segera berbelok. Ia berlari melewati tumpukan kardus dan kantong sampah, jantungnya berdegup kencang. Langkah kaki pria itu terdengar semakin dekat.

Cepat, Yara!

Tanpa pikir panjang, ia berjongkok dan menyembunyikan diri di balik tumpukan sampah. Bau busuk menusuk hidungnya, tapi ia menahannya.

Langkah pria itu berhenti di depan gang. Ia menoleh ke kiri dan kanan, seolah mencoba menemukan keberadaan Yara.

Yara menahan napas. Detik demi detik berlalu.

Akhirnya, pria itu melanjutkan langkahnya, meninggalkan gang tersebut.

Yara menunggu beberapa saat sebelum perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Napasnya tersengal, tubuhnya lemas. Ia menyandarkan diri ke dinding gang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar keras.

Brengsek. Wartawan-wartawan ini benar-benar seperti anjing pencium bangkai.

Ia mengusap wajahnya dan mulai berjalan kembali ke rumahnya, kali ini lebih hati-hati.

---

Ketika Yara tiba di apartemennya yang sempit, suasana sunyi menyambutnya. Di luar, hujan rintik-rintik mulai turun. Ia membuka pintu, dan di dalam, ibunya, Sumi Jang, duduk di sofa, memandangi Yara dengan tatapan khawatir.

"Yara, kamu kenapa?" Suara lembut ibunya terdengar penuh kekhawatiran.

Yara tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Tidak ada apa-apa, Ibu. Aku hanya sedikit capek, habis bekerja."

"Astaga, Yara. Sini istirahat dulu," kata Sumi, menepuk sofa di sebelahnya.

Yara langsung duduk di samping ibunya. Pikirannya masih penuh dengan kejadian barusan. Namun, sekarang bukan saatnya untuk khawatir soal itu. Ia harus menenangkan ibunya terlebih dahulu.

"Oh ya, Bu. Aku mendapatkan tawaran pekerjaan baru. Aku akan pergi selama tiga bulan ini. Aku akan mendapatkan uang banyak, dan semua masalah kita akan selesai."

Sumi mengerutkan kening. "Pekerjaan? Tiga bulan? Pekerjaan apa?"

Yara menggeleng pelan, berusaha menutupi kontrak yang baru saja ia tandatangani dengan Nathan.

"Hanya bekerja di sebuah rumah di kota. Itu mengharuskan aku tidak pulang selama beberapa waktu," lanjutnya ringan.

Tatapan Sumi dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu betapa kerasnya putrinya bekerja sejak lulus sekolah. Membayar sewa, melunasi hutang, membeli makan, membiayai pengobatannya. Semua itu Yara tanggung sendirian.

"Yara ... ibu tahu ini sulit untukmu. Tapi ..."

Yara menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Ibu, aku janji, ini akan baik-baik saja. Aku melakukan ini demi kita. Aku sudah berbicara dengan Bibi Teresa, Ibu bisa tinggal dengannya selama aku pergi. Jadi, Ibu tidak sendirian."

Sumi masih ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Tapi, Yara ... hati-hati ya. Jangan sampai ada yang menyakitimu."

Yara tersenyum kecil, lalu mencium kening ibunya. "Aku akan baik-baik saja, Bu."

Sumi menggigit bibirnya, lalu berbisik pelan, "Maafkan Ibu, Yara. Ibu bahkan tidak bisa membantu apa-apa."

Yara menggenggam tangan ibunya lebih erat. "Ibu, jangan bicara seperti itu. Ibu tahu kan, anak Ibu ini kuat, hihi!"

Sebuah aroma harum tercium di udara, membuat Yara mengendus pelan.

"Oh? Aku mencium bau enak. Ibu masak apa?" tanyanya dengan ekspresi ceria, seperti anak kecil yang menemukan permen kesukaannya.

Sumi tersenyum, mengusap kepala anaknya. "Ibu tadi memasak sup ayam untukmu."

"Wah! Kebetulan aku sudah sangat lapar!" Yara langsung berlari ke meja makan.

Sumi mengikuti dari belakang, menatap putrinya dengan penuh kasih. Meski di luar badai menghantam hidup mereka, setidaknya, senyum Yara masih bisa menjadi sinar dalam hidupnya.

"Kapan kamu akan pergi bekerja nanti?" tanya Sumi, menuangkan sup ke dalam mangkuk Yara.

"Tiga hari lagi," jawab Yara dengan mulut penuh makanan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 57

    Sesampainya di hotel, Yara langsung merasakan hawa dingin AC menyapa kulitnya yang masih terasa hangat akibat suasana jalanan tadi. Ia menatap Nathan sekilas, pria itu tampak tenang seperti biasa, padahal di perjalanan tadi, dia sempat tertawa pelan saat melihat Yara nyaris tersedak minum karena komentar menyebalkan dari Zhen yang masih terngiang-ngiang."Aku mau mandi," ucap Yara cepat-cepat sambil menunduk.Jantungnya belum stabil sejak tadi, apalagi sejak Nathan menggenggam tangannya saat mereka berjalan keluar dari restoran. Bukan karena romantis, tapi lebih ke... kebiasaan Nathan yang selalu seenaknya.Tanpa menunggu jawaban Nathan, Yara melesat ke kamar mandi. Ia menyalakan shower dengan terburu-buru, berharap air bisa menenangkan hatinya yang sedikit kacau. Tapi baru setengah jalan, ia tersadar sesuatu."ASTAGA!" jeritnya lirih, tangannya menepuk jidat."Bathrobe-nya! Aku lupa bawa, tadi aku taruh di kamar!"Ia mengerang, melirik pintu, lalu memberanikan diri membuka sedikit ce

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 56

    Udara malam di Crawley cukup hangat, berbeda dari biasanya. Jalanan kota mulai lengang, hanya tersisa lampu jalan yang berpendar lembut. Mobil Nathan berhenti di parkiran sebuah restoran burger terkenal.“Turunlah. Katamu tadi ingin makan burger,” ucap Nathan sambil membuka pintu mobil untuk Yara.Gadis itu sempat ragu turun, tapi aroma gurih dari restoran membuat perutnya berteriak pelan. Ia melirik Nathan sambil meneguk ludah. “Kau yakin aku boleh makan sebanyak yang aku mau?”Nathan mengangkat alisnya. “Kalau kau sanggup habiskan semua, ya silakan.”Yara langsung nyengir dan meloncat turun. “Jangan menyesal nanti, Tuan Liu. Aku bisa jadi monster saat lapar.”Nathan tersenyum tipis sambil menutup pintu mobil.Di dalam restoran, Yara seperti anak kecil di toko permen. Matanya berbinar saat melihat pilihan burger, kentang goreng, chicken wings, dan milkshake warna-warni. Ia menunjuk semuanya sambil berkomentar seperti komentator acara kuliner.“Yang ini kayaknya enak, tapi yang itu ju

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 55

    Langit malam London berpendar kelabu, dan lampu kota menyala temaram seolah memahami kegelisahan seseorang di lantai tiga Hotel Crawley Hilton.Yara duduk di ujung ranjang, mata menatap layar televisi yang menayangkan liputan berita langsung dari rumah sakit Crawley. Wajah Nathan muncul di sana, berdiri tegap di samping seorang perempuan cantik bergaun krem elegan—Clara Zhang, sang istri.Kamera menyorot keduanya dari berbagai sudut, memperlihatkan Clara yang memegang tangan salah satu keluarga korban dan Nathan yang memberikan pernyataan resmi kepada pers.“Pasangan suami istri ini tampak serasi, saling mendukung di tengah tragedi kebakaran yang menimpa Liu Corporation.”Komentar reporter di layar membuat dada Yara makin sesak. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu mematikan televisi dengan remote yang sempat ia lempar asal ke atas kasur.“Hah…” helanya panjang.Yara menunduk, menarik lutut ke dadanya. “Yara, kamu tuh apa sih?” ocehnya pada diri sendiri. “Baru tadi pagi deg-degan liat di

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 54

    Langkah kaki bergema di sepanjang lorong rumah sakit kota Crawley. Aroma disinfektan menyengat di udara, bercampur dengan ketegangan yang nyaris bisa disentuh.Nathan berjalan dengan langkah panjang dan mantap, setelan hitamnya rapi sempurna seperti biasa. Di belakangnya, Adrian mengikuti dengan cepat sambil memegang tablet di tangan, dan beberapa staf rumah sakit serta pengawal pribadi mengikuti dari kejauhan."Korban luka ringan ada delapan orang, semuanya sudah mendapatkan perawatan. Tapi satu korban luka bakar cukup serius, dia masih dirawat intensif di ruang ICU, dan keluarganya baru tiba pagi ini." Laporan Adrian cepat dan efisien, seolah sudah terbiasa mengikuti ritme kerja Nathan yang nyaris tanpa jeda.Nathan hanya mengangguk pelan, matanya tajam menatap ke depan. "Dokumen kompensasi?""Sudah disiapkan. Tim legal juga standby untuk verifikasi dokumen."Mereka semakin mendekati ruang perawatan korban. Namun langkah Nathan tiba-tiba terhenti. Matanya menyipit, ekspresi wajahnya

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 53

    Sinar matahari pagi menyelinap pelan melalui celah tirai, membentuk garis-garis cahaya keemasan di atas ranjang berseprai putih bersih itu. Udara di dalam kamar masih dingin, membuat Yara meringkuk lebih dalam di bawah selimut tebal. Kepalanya tenggelam di antara bantal empuk, dan tubuhnya terasa berat untuk bergerak.Ia mengeluarkan suara gumaman malas seperti anak kucing, menggeliat pelan dengan mata masih terpejam.Namun, saat ia membuka mata perlahan, bayangan tinggi besar yang bergerak di sudut kamar membuat jantungnya langsung melonjak.Nathan.Pria itu sedang berdiri di depan lemari pakaian, punggungnya menghadap ke arah Yara, hanya mengenakan celana panjang kain gelap. Otot-otot punggungnya tampak jelas, mengalir kuat dan simetris.Ia sedang mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan. Yara menelan ludah, matanya otomatis mengikuti gerakan tangan Nathan yang dengan santai merapikan lengan bajunya.Astaga... ini bukan mimpi, kan? pikir Yara gugup. Tadi malam itu... beneran

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 52

    Lorong rumah sakit London terasa sunyi, hanya sesekali terdengar langkah kaki perawat atau suara roda ranjang yang didorong pelan. Di dekat vending machine, seorang pria berdiri menyender malas pada tembok putih dingin.Kemeja putihnya digulung hingga siku, dengan dua kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit kulit lehernya yang berkeringat tipis. Zhen menarik napas panjang, matanya sayu menatap mesin minuman seolah waktu melambat.Tangannya dimasukkan ke saku celana, satu lagi memegang ponsel yang sesekali dilirik, tapi tidak ada pesan masuk dari siapa pun, terutama dari Clara yang tadi siang meminta nomor teleponnya untuk membalas budi."Dia keras kepala sekali," gumamnya sambil menghela napas pelan. "Padahal aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."Ia melangkah maju satu baris saat antrean menyusut. Pandangannya kemudian tertarik ke layar televisi yang tergantung di dinding seberang.Saluran berita lokal sedang menayangkan liputan kebakaran hebat di gudang milik Liu Corpo

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status