Setelah meninggalkan restoran mewah, Yara berjalan dengan langkah ringan, wajahnya berseri-seri. Pikirannya dipenuhi bayangan uang 1 miliar yang akan segera masuk ke tangannya.
Udara London yang dingin menyambutnya begitu ia keluar dari pintu restoran. Jalanan yang padat tak menghalangi semangatnya. Ini dia, kesempatan yang kutunggu-tunggu. Setiap langkah menuju rumahnya terasa lebih ringan, seolah-olah semua masalahnya perlahan terangkat dari pundaknya.
Namun, langkahnya terhenti ketika seorang pria tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia mengenakan jas rapi, terlihat profesional, tetapi wajahnya tampak familiar. Yara merasa pernah melihatnya, meskipun ia tidak bisa mengingat di mana.
"Maaf, bolehkah saya berbicara dengan Anda sebentar?" Pria itu memegang alat perekam di tangannya.
Yara menyipitkan mata, sedikit waspada. Tapi senyumnya tetap terukir. "Ada apa? Kenapa menatap saya seperti itu?"
Pria itu tersenyum tipis. "Anda Yara Jang, bukan?"
Jantung Yara berdebar. Siapa dia? "Ya, saya Yara. Ada yang bisa saya bantu?"
"Nama Anda sedang ramai diperbincangkan," katanya santai. "Saya seorang wartawan. Saya ingin bertanya mengenai hubungan Anda dengan Nathan Liu. Sepertinya Anda sedang dekat dengannya, ya? Apa Anda sudah lama berpacaran dengannya? Apakah benar semalam Nathan Liu mengakui Anda di hadapan semua tamu?"
Kegelisahan tiba-tiba menyelimuti dada Yara. Nathan Liu? Nama pria itu kembali muncul begitu cepat, bahkan sebelum ia bisa mencerna pertemuan mereka dengan baik.
Sial. Nathan benar, wartawan akan mengejarnya.
Namun, Yara berusaha tetap tenang. Ia menarik napas panjang lalu tersenyum tipis. "Maaf, saya tidak tahu apa yang Anda bicarakan. Saya tidak ada hubungannya dengan Nathan Liu."
Pria itu tidak terpengaruh. Ia menekan tombol pada alat perekam, menatap Yara lebih tajam.
"Semua orang di kota ini sedang membicarakan Anda dan Nathan Liu. Mengejutkan, bukan? Seorang wanita biasa seperti Anda bisa berada di dunia yang sama dengan pria seperti dia."
Yara merasa semakin terpojok. Bajingan ini tidak akan menyerah.
"Saya rasa Anda salah orang," katanya tegas. "Jangan khawatir, saya tidak punya informasi apapun untuk Anda."
Tanpa menunggu tanggapan, Yara berbalik dan berjalan cepat, tetapi pria itu tetap mengejarnya.
"Hei, tunggu! Jangan kabur! Saya hanya ingin berbicara!"
Sial!
Adrenalin Yara meledak. Ia langsung berlari. Sepatu haknya hampir membuatnya terpeleset, tapi ia terus memaksa kakinya bergerak lebih cepat. Jalanan ramai, orang-orang menatap aneh, tapi Yara tak peduli. Ia hanya ingin lolos.
Saat melihat sebuah gang sempit di sisi jalan, ia segera berbelok. Ia berlari melewati tumpukan kardus dan kantong sampah, jantungnya berdegup kencang. Langkah kaki pria itu terdengar semakin dekat.
Cepat, Yara!
Tanpa pikir panjang, ia berjongkok dan menyembunyikan diri di balik tumpukan sampah. Bau busuk menusuk hidungnya, tapi ia menahannya.
Langkah pria itu berhenti di depan gang. Ia menoleh ke kiri dan kanan, seolah mencoba menemukan keberadaan Yara.
Yara menahan napas. Detik demi detik berlalu.
Akhirnya, pria itu melanjutkan langkahnya, meninggalkan gang tersebut.
Yara menunggu beberapa saat sebelum perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Napasnya tersengal, tubuhnya lemas. Ia menyandarkan diri ke dinding gang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdebar keras.
Brengsek. Wartawan-wartawan ini benar-benar seperti anjing pencium bangkai.
Ia mengusap wajahnya dan mulai berjalan kembali ke rumahnya, kali ini lebih hati-hati.
---Ketika Yara tiba di apartemennya yang sempit, suasana sunyi menyambutnya. Di luar, hujan rintik-rintik mulai turun. Ia membuka pintu, dan di dalam, ibunya, Sumi Jang, duduk di sofa, memandangi Yara dengan tatapan khawatir.
"Yara, kamu kenapa?" Suara lembut ibunya terdengar penuh kekhawatiran.
Yara tersenyum lemah, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. "Tidak ada apa-apa, Ibu. Aku hanya sedikit capek, habis bekerja."
"Astaga, Yara. Sini istirahat dulu," kata Sumi, menepuk sofa di sebelahnya.
Yara langsung duduk di samping ibunya. Pikirannya masih penuh dengan kejadian barusan. Namun, sekarang bukan saatnya untuk khawatir soal itu. Ia harus menenangkan ibunya terlebih dahulu.
"Oh ya, Bu. Aku mendapatkan tawaran pekerjaan baru. Aku akan pergi selama tiga bulan ini. Aku akan mendapatkan uang banyak, dan semua masalah kita akan selesai."
Sumi mengerutkan kening. "Pekerjaan? Tiga bulan? Pekerjaan apa?"
Yara menggeleng pelan, berusaha menutupi kontrak yang baru saja ia tandatangani dengan Nathan.
"Hanya bekerja di sebuah rumah di kota. Itu mengharuskan aku tidak pulang selama beberapa waktu," lanjutnya ringan.
Tatapan Sumi dipenuhi kekhawatiran. Ia tahu betapa kerasnya putrinya bekerja sejak lulus sekolah. Membayar sewa, melunasi hutang, membeli makan, membiayai pengobatannya. Semua itu Yara tanggung sendirian.
"Yara ... ibu tahu ini sulit untukmu. Tapi ..."
Yara menggenggam tangan ibunya dengan lembut. "Ibu, aku janji, ini akan baik-baik saja. Aku melakukan ini demi kita. Aku sudah berbicara dengan Bibi Teresa, Ibu bisa tinggal dengannya selama aku pergi. Jadi, Ibu tidak sendirian."
Sumi masih ragu, tetapi akhirnya mengangguk. "Tapi, Yara ... hati-hati ya. Jangan sampai ada yang menyakitimu."
Yara tersenyum kecil, lalu mencium kening ibunya. "Aku akan baik-baik saja, Bu."
Sumi menggigit bibirnya, lalu berbisik pelan, "Maafkan Ibu, Yara. Ibu bahkan tidak bisa membantu apa-apa."
Yara menggenggam tangan ibunya lebih erat. "Ibu, jangan bicara seperti itu. Ibu tahu kan, anak Ibu ini kuat, hihi!"
Sebuah aroma harum tercium di udara, membuat Yara mengendus pelan.
"Oh? Aku mencium bau enak. Ibu masak apa?" tanyanya dengan ekspresi ceria, seperti anak kecil yang menemukan permen kesukaannya.
Sumi tersenyum, mengusap kepala anaknya. "Ibu tadi memasak sup ayam untukmu."
"Wah! Kebetulan aku sudah sangat lapar!" Yara langsung berlari ke meja makan.
Sumi mengikuti dari belakang, menatap putrinya dengan penuh kasih. Meski di luar badai menghantam hidup mereka, setidaknya, senyum Yara masih bisa menjadi sinar dalam hidupnya.
"Kapan kamu akan pergi bekerja nanti?" tanya Sumi, menuangkan sup ke dalam mangkuk Yara.
"Tiga hari lagi," jawab Yara dengan mulut penuh makanan.
Langkah kaki Yara terdengar tergesa saat ia keluar dari ruang inap Nathan. Wajahnya masih menyisakan rona merah, entah karena kesal, malu, atau ..., terlalu banyak deg-degan dalam sekali waktu."Ugh!" Yara menggerutu sambil mengepalkan tangan kecilnya, mengabaikan tatapan Nathan saat dia keluar dari ruangan itu. "Kenapa sih dia harus natap aku gitu?! Jantungku barusan kayak ditusuk-tusuk pakai tusuk gigi!" ocehnya lirih.Ia menginjak lantai koridor rumah sakit dengan langkah kesal—atau lebih tepatnya, langkah malu-malu yang coba disamarkan dengan marah-marah."Nyebelin banget .... Padahal lagi sakit, pucat, lemes, tapi kok masih bisa bikin aku meleleh? Gantengnya itu loh, kebangetan. Ih, gangguan hormon ini kayaknya!" gumamnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya ke pipi sendiri yang masih hangat.Yara terus berjalan ke arah kantin rumah sakit, mencoba mengalihkan pikirannya dengan ..., teh hangat? Atau mungkin es coklat? Tapi belum sempat pikirannya tenang, ia menyadari sesuatu yang
Begitu Adrian tiba di apartemen, Yara langsung membuka pintu sebelum pria itu sempat mengetuk. Wajah gadis itu cemas, rambutnya acak-acakan, dan sandal rumah yang ia pakai nyaris terlepas karena terburu-buru. Tanpa menunggu ucapan pembuka, Yara langsung menyerbu dengan kalimat yang membuat Adrian nyaris terbatuk."Aku ikut!" katanya mantap.Adrian sempat tercengang. "Ma—maksud saya .... Nona, saya tidak bisa membawa Anda begitu saja. Tuan Nathan tidak memberi perintah apa pun soal—""Aku tetap ikut!" potong Yara dengan nada keras, membuat Adrian berkedip cepat.Wajah Yara yang biasanya ceria kini begitu serius. "Aku gak peduli soal aturan tidak boleh ke mana-mana atau apalah itu. Nathan pingsan, dan aku harus lihat dia. Kalau tidak, aku bisa gila."Adrian memijat pelipisnya, lalu menghela napas pasrah. Ia tahu akan sulit berargumen dengan seseorang yang keras kepala seperti Nathan, dan ternyata, kekasihnya pun tak kalah keras kepala."Baiklah,”"ucap Adrian pada akhirnya. "Tapi, Anda h
Langit mendung menggantung rendah, seolah menyesuaikan dengan kondisi Nathan pagi itu. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, Nathan tetap bersikeras untuk berangkat ke kantor.Wajahnya pucat pasi, tapi sorot matanya tetap tegas. Ia berdiri di depan cermin, membenarkan dasi dengan tangan gemetar. Terdengar suara lembut dari balik pintu kamar."Kau yakin mau berangkat kerja?" tanya Yara, suaranya khawatir.Nathan tak menjawab. Ia membuka pintu dan menatap Yara sebentar. Gadis itu hanya mengenakan kaus oversized dan celana training, rambutnya diikat asal. Wajah polosnya penuh ragu. Nathan menghela napas dan berjalan melewatinya begitu saja."Kalau pingsan di jalan, jangan salahin aku," gumam Yara, lebih kepada dirinya sendiri, meski cukup keras agar Nathan mendengarnya.Di kantor, aura formal langsung menyelimuti ruang kerja Nathan yang bergaya minimalis dan maskulin. Adrian, sekretaris pribadi sekaligus asisten kepercayaannya, langsung menyambut Nathan dengan tatapan cemas."Tuan, Anda
Nathan mengerjapkan matanya pelan. Sinar matahari menyelinap lewat sela-sela tirai ruang tengah yang sedikit terbuka. Ia mengerang pelan, mencoba mengangkat kepala yang terasa berat dan pening.Rasa pusing menyergapnya seketika, membuat tubuhnya limbung. Saat ia mencoba menoleh, dahi dan rambutnya terasa lembap.Alis Nathan mengernyit. Tangannya meraba pelan kain basah yang menempel di dahinya. Handuk kecil.Ia menatapnya sekilas sebelum matanya bergerak ke arah meja di samping sofa. Ada baskom kecil berisi air, sepasang sepatu kerjanya yang sudah terlepas, dan selimut tebal yang sekarang menyelimuti tubuhnya."Kenapa bisa begini" gumamnya parau, matanya menyipit, mencoba mengingat-ingat.Terakhir yang ia ingat, ia menyeret tubuhnya pulang dalam keadaan demam tinggi. Ia bahkan tidak sempat naik ke kamar, langsung tumbang di sofa.Belum sempat Nathan bangkit, langkah cepat terdengar mendekat."Jangan bangun dulu!"Sebuah tangan ringan menahan bahunya. Nathan mendongak perlahan.Mata me
Pagi itu, Yara membuka matanya perlahan. Cahaya tipis matahari menyusup masuk dari sela gorden kamar Nathan yang sedikit terbuka. Sesaat dia lupa di mana dirinya berada, sampai menyadari empuknya kasur yang tidak familiar. Dia menoleh ke samping, mencari sosok Nathan, tapi tempat di sebelahnya kosong. Tak ada siapa pun.“Hm? Mana dia?” gumamnya pelan, sambil buru-buru bangkit dari ranjang.Baru kemudian kesadaran penuh datang padanya. Semalam... dia tidur di kamar Nathan. Di ranjangnya. Bersama pria itu.Mata Yara membulat. “Oh my God... aku beneran tidur di sini semalaman?”Dia menunduk, memeluk tubuhnya sendiri. Pipinya panas mengingat bagaimana dia harus memalingkan wajah karena dada bidang Nathan yang terpampang nyata hanya dibalut handuk. Dan pria itu... menyuruhnya tidur di ranjangnya. Dengan kalimat yang masih menggetarkan pikirannya sampai sekarang: "Kalau nggak bisa tidur, lepas aja dalemannya."Yara menepuk pipinya sendiri pelan. “Astagaaa... dia tuh manusia atau iblis sih..
Tak lama setelah menyelesaikan makanannya—dan membereskan piring dengan malas sambil terus mengoceh pada dirinya sendiri—Yara berdiri ragu di depan pintu kamar Nathan.Pintu kayu solid itu tampak mengintimidasi di bawah lampu koridor yang hangat. Yara mengangkat tangan, mengetuknya perlahan.Tok, tok, tok.Sepi.Dia mengerutkan kening, mengetuk sekali lagi, lebih keras. Masih tidak ada jawaban.Dengan jantung yang mulai berdegup tidak karuan, Yara menempelkan mulutnya ke arah pintu sambil berkata lirih, "Aku... aku masuk ya?"Tak ada respons.Dengan gugup, dia memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan.Ruangan di balik pintu itu membuat Yara menahan napas.Kamar Nathan... luas, elegan, dan memancarkan aroma maskulin yang samar, seperti campuran kayu, sabun, dan sedikit aroma peppermint. Dindingnya berwarna abu-abu lembut, dihiasi lukisan minimalis. Tempat tidurnya besar, ranjang king size berlapis sprei satin berwarna biru navy yang tampak lembut dan... mahal."Wow..." Yara tak b
Suasana apartemen itu terasa mencekam. Meskipun semua lampu menyala terang benderang dari ruang tamu hingga ke kamar mandi, Yara tetap tidak merasa aman. Tubuhnya tergolek di atas ranjang empuk berlapis seprai sutra mahal, namun rasa nyaman tidak benar-benar bisa ia rasakan. Matanya terus memandangi langit-langit, sesekali berguling ke sisi kiri lalu ke kanan. Nafasnya berat."Astaga... kenapa sih aku jadi begini?" gumamnya sembari menutup wajah dengan bantal.Dia telah melupakan mimpi buruk yang mengganggunya sore tadi—setidaknya itu yang ia pikirkan. Tapi bayang-bayang ketakutan yang tak jelas asalnya masih melekat di tubuhnya, membuat jantungnya sesekali berdetak lebih cepat dari biasanya. Seolah ada yang mengawasinya. Seolah... ia tidak benar-benar sendirian."Yara, kamu tuh udah gede, kenapa jadi penakut kayak gini? Cuma mimpi buruk doang, kenapa jadi drama banget sih," omelnya pada diri sendiri. Ia bahkan menyindir dirinya dengan suara tinggi yang dibuat-buat, seolah memparodika
Setelah sarapan pagi yang... canggung, dengan sisa rasa ciuman Nathan yang masih membekas di ujung bibir dan pipi Yara yang tak kunjung mendingin, suasana pagi berubah cepat.Nathan menerima telepon dari seseorang—suara laki-laki di seberang terdengar tegang, meski Yara tidak tahu persis siapa. Tak sampai lima menit, Nathan sudah berdiri sambil mengenakan jas dan memasukkan ponsel ke sakunya."Aku harus pergi," katanya cepat.Yara yang masih setengah sadar karena detak jantung yang belum stabil sejak ciuman tadi hanya mengangguk pelan. "O-oh... iya."Nathan sempat meliriknya dari ujung pintu. "Dan Yara… jangan keluar apartemen. Apa pun yang terjadi, tetap di sini."Gadis itu menatap bingung. "Eh? Kenapa?""Tolong, turuti saja. Aku akan jelaskan nanti."Belum sempat Yara membalas, pintu sudah tertutup. Nathan hilang dalam suara langkah cepat dan bunyi lift.Dan... rumah pun sepi.Sangat sepi.Yara berjalan ke wastafel, mencuci bekas makannya. Lalu dia kembali ke ruang tengah apartemen
Pagi menyapa dengan cahaya hangat yang menelusup malu-malu dari balik tirai tipis kamar Yara. Udara masih sedikit dingin, menyisakan embun di jendela. Nathan mengerjapkan mata perlahan, membiasakan diri dari rasa kantuk yang masih melekat.Namun, ada sesuatu yang aneh. Tangannya terasa berat. Ia menoleh, dan pandangannya langsung bertemu dengan rambut berantakan Yara yang terurai bebas di atas lengannya—ya, di atas lengannya.Gadis itu, dengan wajah tenang dan napas teratur, tidur berbantalkan lengan Nathan… dan memeluk perutnya erat seperti guling.Nathan menahan napas. Rasanya... absurd. Aneh. Tapi juga... menyenangkan?Dia refleks ingin menarik tangannya agar tidak kesemutan, tapi gerakannya terhenti. Pandangannya tertahan pada wajah Yara. Gadis itu tidur nyenyak sekali, alisnya sedikit berkerut seolah sedang mimpi yang intens, dan bibir mungilnya sedikit terbuka, membuat Nathan menelan ludah tanpa sadar.“Cantik,” bisiknya pelan, hampir seperti gumaman tanpa suara.Dia tak tahu se