Share

Bab 5

Penulis: Lee Sizunii
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-08 09:25:39

Tiga hari berlalu, dan Yara sudah tiba di tempat yang dijanjikan Nathan. Jalanan sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala samar di ujung sana.

Berdiri di pinggir trotoar, Yara mengenakan pakaian serba tertutup. Kacamata hitam besar, hoodie yang menutupi kepalanya, serta masker tebal yang hampir menyembunyikan seluruh wajahnya.

Jantungnya berdegup kencang. Takut kalau tiba-tiba ada wartawan yang mengenalinya. Setelah kejadian beberapa hari lalu, dia jadi lebih waspada. Nathan benar—wartawan bisa muncul kapan saja, entah dari mana.

Sebuah Tesla hitam meluncur perlahan dan berhenti tepat di depannya. Kaca mobil terbuka, memperlihatkan Nathan yang duduk di balik kemudi. Ekspresinya tetap dingin, seperti biasa.

"Masuk," katanya singkat, hanya menggerakkan tangannya sedikit, menunjuk ke pintu.

Yara mengangguk, tapi tetap terpaku di tempatnya. Baru kali ini dia berdiri sedekat ini dengan mobil semewah itu, dan entah kenapa, dia merasa canggung.

Dia mencoba membuka pintu—tapi gagal. Tangan Yara bergerak ke sana kemari, mencari pegangan atau tombol apa pun, tapi tetap tidak bisa.

"Eh ..., pintunya ..., kok nggak kebuka?" gumamnya pelan, merasa bodoh sendiri.

Nathan menghela napas, lalu tanpa berkata-kata, dia membukakan pintu dari dalam.

"Kamu ini ..., kekanak-kanakan banget," komentarnya datar, tapi di matanya ada sedikit sorot heran.

Yara hanya bisa nyengir kikuk sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Begitu duduk, dia buru-buru melepaskan kacamata hitam dan menurunkan hoodie-nya. Masker pun ikut dia lepas, membuatnya merasa lebih lega.

Namun, kegugupannya justru makin terasa. Apalagi suasana di dalam mobil begitu sunyi.

Yara akhirnya memutuskan untuk bicara, mencoba mencairkan suasana. "Sebenarnya ..., aku pakai ini semua biar nggak ketahuan wartawan," katanya sambil menunjuk kacamata dan maskernya. "Aku nggak mau kejadian kemarin terulang. Dan ya, kamu benar. Wartawan itu ngeselin."

Nathan meliriknya sekilas, tapi tidak berkata apa-apa. Fokusnya tetap pada jalanan.

Yara menggigit bibir. Kenapa dia saja yang terus bicara?

"Eh, ini Tesla, ya?" Yara melirik ke sekeliling mobil dengan kagum. "Aku belum pernah naik mobil kayak gini."

Nathan hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan. Yara mendesah dalam hati. Ya ampun, ini pria kenapa dingin banget?

Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah gedung apartemen yang menjulang tinggi. Bangunannya mewah, tapi suasananya cukup sepi. Nathan memarkir mobilnya dan turun lebih dulu.

Tanpa banyak bicara, dia membawa Yara masuk ke dalam apartemen. Begitu melangkah masuk, mata Yara membesar.

"Wooooow ...."

Apartemen itu luas, elegan, dan sangat rapi. Perabotannya modern dengan pencahayaan yang pas, memberikan kesan mahal dan berkelas. Dari dinding kaca besar, pemandangan kota terlihat jelas.

"Keren banget!" seru Yara tanpa sadar.

Nathan tidak menanggapi. Dia hanya berjalan menuju salah satu kamar dan membukakan pintunya. "Ini kamar kamu," katanya singkat.

Yara melongok ke dalam. Kamarnya lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada lemari besar, meja kerja, serta tempat tidur yang tampak nyaman. Bahkan, di dalamnya sudah tersedia pakaian dan sepatu baru.

Yara berbalik menatap Nathan. "Tapi ..., ini beneran buat aku?" tanyanya, masih agak bingung.

Nathan mengangguk. "Kamu akan tinggal di sini selama tiga bulan ke depan."

Setelah mengatakan itu, dia berbalik hendak pergi. Tapi sebelum Nathan melangkah lebih jauh, Yara buru-buru bertanya.

"Eh, Tuan Nathan, kamu mau pulang sekarang?"

Nathan berhenti. Dengan ekspresi datar, dia menoleh ke arahnya. "Pulang ke mana? Ini rumahku."

Yara membeku. "Apa?"

"Kita akan tinggal di sini."

Mulut Yara hampir terbuka lebar. "Tunggu. Maksudnya ..., apartemen ini?"

Nathan mengangguk.

"Tapi di kontrak tertulis kalau aku dapat apartemen, bukan tinggal satu atap sama kamu!" protes Yara, suaranya meninggi. "Bukannya aku harusnya punya tempat sendiri?"

Nathan menatapnya seolah dia anak kecil yang tidak mengerti sesuatu yang sederhana. "Kontraknya memang mengatakan kamu dapat fasilitas apartemen. Dan ini apartemen, kan?"

Yara masih tidak percaya. "Tapi ..., aku kira itu apartemen lain!"

"Kalau aku harus membelikan apartemen baru, itu buang-buang waktu dan uang," kata Nathan santai. "Jadi, lebih efisien kalau kamu tinggal di sini saja."

Yara merasa ingin menjerit. "Mana bisa! Semua itu nggak ada di perjanjian!"

Dia hendak keluar kamar, tapi langkahnya terhenti saat Nathan berkata, "Kamu lupa bagian ini? 'Pihak kedua harus menuruti apapun perintah pihak pertama.' Aku memerintahkan kamu untuk tinggal di sini. Mulai sekarang."

Yara terdiam.

Matanya membulat, menatap Nathan penuh frustrasi. Tapi pria itu hanya memasang wajah dingin, seolah ini bukan masalah besar.

Tak lama kemudian, dia pergi begitu saja, meninggalkan Yara yang masih berdiri di tengah kamar, ternganga tak percaya.

Setelah pintu tertutup, Yara menggerutu sendiri.

"Sialan! Kenapa nggak bilang dari awal!" Dia menendang udara kesal. "Tiga bulan ..., hidup satu atap sama dia? Ini gila!"

Tapi akhirnya, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.

"Ya sudah, Yara. Bertahan aja. Tiga bulan doang, lalu kamu bebas. Dan yang lebih penting ...." Dia mengepalkan tangannya. "Satu miliar. Kamu cuma perlu bertahan demi satu miliar itu."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 57

    Sesampainya di hotel, Yara langsung merasakan hawa dingin AC menyapa kulitnya yang masih terasa hangat akibat suasana jalanan tadi. Ia menatap Nathan sekilas, pria itu tampak tenang seperti biasa, padahal di perjalanan tadi, dia sempat tertawa pelan saat melihat Yara nyaris tersedak minum karena komentar menyebalkan dari Zhen yang masih terngiang-ngiang."Aku mau mandi," ucap Yara cepat-cepat sambil menunduk.Jantungnya belum stabil sejak tadi, apalagi sejak Nathan menggenggam tangannya saat mereka berjalan keluar dari restoran. Bukan karena romantis, tapi lebih ke... kebiasaan Nathan yang selalu seenaknya.Tanpa menunggu jawaban Nathan, Yara melesat ke kamar mandi. Ia menyalakan shower dengan terburu-buru, berharap air bisa menenangkan hatinya yang sedikit kacau. Tapi baru setengah jalan, ia tersadar sesuatu."ASTAGA!" jeritnya lirih, tangannya menepuk jidat."Bathrobe-nya! Aku lupa bawa, tadi aku taruh di kamar!"Ia mengerang, melirik pintu, lalu memberanikan diri membuka sedikit ce

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 56

    Udara malam di Crawley cukup hangat, berbeda dari biasanya. Jalanan kota mulai lengang, hanya tersisa lampu jalan yang berpendar lembut. Mobil Nathan berhenti di parkiran sebuah restoran burger terkenal.“Turunlah. Katamu tadi ingin makan burger,” ucap Nathan sambil membuka pintu mobil untuk Yara.Gadis itu sempat ragu turun, tapi aroma gurih dari restoran membuat perutnya berteriak pelan. Ia melirik Nathan sambil meneguk ludah. “Kau yakin aku boleh makan sebanyak yang aku mau?”Nathan mengangkat alisnya. “Kalau kau sanggup habiskan semua, ya silakan.”Yara langsung nyengir dan meloncat turun. “Jangan menyesal nanti, Tuan Liu. Aku bisa jadi monster saat lapar.”Nathan tersenyum tipis sambil menutup pintu mobil.Di dalam restoran, Yara seperti anak kecil di toko permen. Matanya berbinar saat melihat pilihan burger, kentang goreng, chicken wings, dan milkshake warna-warni. Ia menunjuk semuanya sambil berkomentar seperti komentator acara kuliner.“Yang ini kayaknya enak, tapi yang itu ju

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 55

    Langit malam London berpendar kelabu, dan lampu kota menyala temaram seolah memahami kegelisahan seseorang di lantai tiga Hotel Crawley Hilton.Yara duduk di ujung ranjang, mata menatap layar televisi yang menayangkan liputan berita langsung dari rumah sakit Crawley. Wajah Nathan muncul di sana, berdiri tegap di samping seorang perempuan cantik bergaun krem elegan—Clara Zhang, sang istri.Kamera menyorot keduanya dari berbagai sudut, memperlihatkan Clara yang memegang tangan salah satu keluarga korban dan Nathan yang memberikan pernyataan resmi kepada pers.“Pasangan suami istri ini tampak serasi, saling mendukung di tengah tragedi kebakaran yang menimpa Liu Corporation.”Komentar reporter di layar membuat dada Yara makin sesak. Ia menggigit bibir bawahnya, lalu mematikan televisi dengan remote yang sempat ia lempar asal ke atas kasur.“Hah…” helanya panjang.Yara menunduk, menarik lutut ke dadanya. “Yara, kamu tuh apa sih?” ocehnya pada diri sendiri. “Baru tadi pagi deg-degan liat di

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 54

    Langkah kaki bergema di sepanjang lorong rumah sakit kota Crawley. Aroma disinfektan menyengat di udara, bercampur dengan ketegangan yang nyaris bisa disentuh.Nathan berjalan dengan langkah panjang dan mantap, setelan hitamnya rapi sempurna seperti biasa. Di belakangnya, Adrian mengikuti dengan cepat sambil memegang tablet di tangan, dan beberapa staf rumah sakit serta pengawal pribadi mengikuti dari kejauhan."Korban luka ringan ada delapan orang, semuanya sudah mendapatkan perawatan. Tapi satu korban luka bakar cukup serius, dia masih dirawat intensif di ruang ICU, dan keluarganya baru tiba pagi ini." Laporan Adrian cepat dan efisien, seolah sudah terbiasa mengikuti ritme kerja Nathan yang nyaris tanpa jeda.Nathan hanya mengangguk pelan, matanya tajam menatap ke depan. "Dokumen kompensasi?""Sudah disiapkan. Tim legal juga standby untuk verifikasi dokumen."Mereka semakin mendekati ruang perawatan korban. Namun langkah Nathan tiba-tiba terhenti. Matanya menyipit, ekspresi wajahnya

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 53

    Sinar matahari pagi menyelinap pelan melalui celah tirai, membentuk garis-garis cahaya keemasan di atas ranjang berseprai putih bersih itu. Udara di dalam kamar masih dingin, membuat Yara meringkuk lebih dalam di bawah selimut tebal. Kepalanya tenggelam di antara bantal empuk, dan tubuhnya terasa berat untuk bergerak.Ia mengeluarkan suara gumaman malas seperti anak kucing, menggeliat pelan dengan mata masih terpejam.Namun, saat ia membuka mata perlahan, bayangan tinggi besar yang bergerak di sudut kamar membuat jantungnya langsung melonjak.Nathan.Pria itu sedang berdiri di depan lemari pakaian, punggungnya menghadap ke arah Yara, hanya mengenakan celana panjang kain gelap. Otot-otot punggungnya tampak jelas, mengalir kuat dan simetris.Ia sedang mengenakan kemeja putih yang belum dikancingkan. Yara menelan ludah, matanya otomatis mengikuti gerakan tangan Nathan yang dengan santai merapikan lengan bajunya.Astaga... ini bukan mimpi, kan? pikir Yara gugup. Tadi malam itu... beneran

  • Mainan Malam Sang Miliarder    Bab 52

    Lorong rumah sakit London terasa sunyi, hanya sesekali terdengar langkah kaki perawat atau suara roda ranjang yang didorong pelan. Di dekat vending machine, seorang pria berdiri menyender malas pada tembok putih dingin.Kemeja putihnya digulung hingga siku, dengan dua kancing atas terbuka, memperlihatkan sedikit kulit lehernya yang berkeringat tipis. Zhen menarik napas panjang, matanya sayu menatap mesin minuman seolah waktu melambat.Tangannya dimasukkan ke saku celana, satu lagi memegang ponsel yang sesekali dilirik, tapi tidak ada pesan masuk dari siapa pun, terutama dari Clara yang tadi siang meminta nomor teleponnya untuk membalas budi."Dia keras kepala sekali," gumamnya sambil menghela napas pelan. "Padahal aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja."Ia melangkah maju satu baris saat antrean menyusut. Pandangannya kemudian tertarik ke layar televisi yang tergantung di dinding seberang.Saluran berita lokal sedang menayangkan liputan kebakaran hebat di gudang milik Liu Corpo

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status