Tiga hari berlalu, dan Yara sudah tiba di tempat yang dijanjikan Nathan. Jalanan sepi, hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala samar di ujung sana.
Berdiri di pinggir trotoar, Yara mengenakan pakaian serba tertutup. Kacamata hitam besar, hoodie yang menutupi kepalanya, serta masker tebal yang hampir menyembunyikan seluruh wajahnya.
Jantungnya berdegup kencang. Takut kalau tiba-tiba ada wartawan yang mengenalinya. Setelah kejadian beberapa hari lalu, dia jadi lebih waspada. Nathan benar—wartawan bisa muncul kapan saja, entah dari mana.
Sebuah Tesla hitam meluncur perlahan dan berhenti tepat di depannya. Kaca mobil terbuka, memperlihatkan Nathan yang duduk di balik kemudi. Ekspresinya tetap dingin, seperti biasa.
"Masuk," katanya singkat, hanya menggerakkan tangannya sedikit, menunjuk ke pintu.
Yara mengangguk, tapi tetap terpaku di tempatnya. Baru kali ini dia berdiri sedekat ini dengan mobil semewah itu, dan entah kenapa, dia merasa canggung.
Dia mencoba membuka pintu—tapi gagal. Tangan Yara bergerak ke sana kemari, mencari pegangan atau tombol apa pun, tapi tetap tidak bisa.
"Eh ..., pintunya ..., kok nggak kebuka?" gumamnya pelan, merasa bodoh sendiri.
Nathan menghela napas, lalu tanpa berkata-kata, dia membukakan pintu dari dalam.
"Kamu ini ..., kekanak-kanakan banget," komentarnya datar, tapi di matanya ada sedikit sorot heran.
Yara hanya bisa nyengir kikuk sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil. Begitu duduk, dia buru-buru melepaskan kacamata hitam dan menurunkan hoodie-nya. Masker pun ikut dia lepas, membuatnya merasa lebih lega.
Namun, kegugupannya justru makin terasa. Apalagi suasana di dalam mobil begitu sunyi.
Yara akhirnya memutuskan untuk bicara, mencoba mencairkan suasana. "Sebenarnya ..., aku pakai ini semua biar nggak ketahuan wartawan," katanya sambil menunjuk kacamata dan maskernya. "Aku nggak mau kejadian kemarin terulang. Dan ya, kamu benar. Wartawan itu ngeselin."
Nathan meliriknya sekilas, tapi tidak berkata apa-apa. Fokusnya tetap pada jalanan.
Yara menggigit bibir. Kenapa dia saja yang terus bicara?
"Eh, ini Tesla, ya?" Yara melirik ke sekeliling mobil dengan kagum. "Aku belum pernah naik mobil kayak gini."
Nathan hanya menoleh sebentar, lalu kembali menatap ke depan. Yara mendesah dalam hati. Ya ampun, ini pria kenapa dingin banget?
Beberapa menit kemudian, mereka tiba di sebuah gedung apartemen yang menjulang tinggi. Bangunannya mewah, tapi suasananya cukup sepi. Nathan memarkir mobilnya dan turun lebih dulu.
Tanpa banyak bicara, dia membawa Yara masuk ke dalam apartemen. Begitu melangkah masuk, mata Yara membesar.
"Wooooow ...."
Apartemen itu luas, elegan, dan sangat rapi. Perabotannya modern dengan pencahayaan yang pas, memberikan kesan mahal dan berkelas. Dari dinding kaca besar, pemandangan kota terlihat jelas.
"Keren banget!" seru Yara tanpa sadar.
Nathan tidak menanggapi. Dia hanya berjalan menuju salah satu kamar dan membukakan pintunya. "Ini kamar kamu," katanya singkat.
Yara melongok ke dalam. Kamarnya lebih besar dari yang dia bayangkan. Ada lemari besar, meja kerja, serta tempat tidur yang tampak nyaman. Bahkan, di dalamnya sudah tersedia pakaian dan sepatu baru.
Yara berbalik menatap Nathan. "Tapi ..., ini beneran buat aku?" tanyanya, masih agak bingung.
Nathan mengangguk. "Kamu akan tinggal di sini selama tiga bulan ke depan."
Setelah mengatakan itu, dia berbalik hendak pergi. Tapi sebelum Nathan melangkah lebih jauh, Yara buru-buru bertanya.
"Eh, Tuan Nathan, kamu mau pulang sekarang?"
Nathan berhenti. Dengan ekspresi datar, dia menoleh ke arahnya. "Pulang ke mana? Ini rumahku."
Yara membeku. "Apa?"
"Kita akan tinggal di sini."
Mulut Yara hampir terbuka lebar. "Tunggu. Maksudnya ..., apartemen ini?"
Nathan mengangguk.
"Tapi di kontrak tertulis kalau aku dapat apartemen, bukan tinggal satu atap sama kamu!" protes Yara, suaranya meninggi. "Bukannya aku harusnya punya tempat sendiri?"
Nathan menatapnya seolah dia anak kecil yang tidak mengerti sesuatu yang sederhana. "Kontraknya memang mengatakan kamu dapat fasilitas apartemen. Dan ini apartemen, kan?"
Yara masih tidak percaya. "Tapi ..., aku kira itu apartemen lain!"
"Kalau aku harus membelikan apartemen baru, itu buang-buang waktu dan uang," kata Nathan santai. "Jadi, lebih efisien kalau kamu tinggal di sini saja."
Yara merasa ingin menjerit. "Mana bisa! Semua itu nggak ada di perjanjian!"
Dia hendak keluar kamar, tapi langkahnya terhenti saat Nathan berkata, "Kamu lupa bagian ini? 'Pihak kedua harus menuruti apapun perintah pihak pertama.' Aku memerintahkan kamu untuk tinggal di sini. Mulai sekarang."
Yara terdiam.
Matanya membulat, menatap Nathan penuh frustrasi. Tapi pria itu hanya memasang wajah dingin, seolah ini bukan masalah besar.
Tak lama kemudian, dia pergi begitu saja, meninggalkan Yara yang masih berdiri di tengah kamar, ternganga tak percaya.
Setelah pintu tertutup, Yara menggerutu sendiri.
"Sialan! Kenapa nggak bilang dari awal!" Dia menendang udara kesal. "Tiga bulan ..., hidup satu atap sama dia? Ini gila!"
Tapi akhirnya, dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Ya sudah, Yara. Bertahan aja. Tiga bulan doang, lalu kamu bebas. Dan yang lebih penting ...." Dia mengepalkan tangannya. "Satu miliar. Kamu cuma perlu bertahan demi satu miliar itu."
Langkah kaki Yara terasa berat saat kembali ke ruang inap Nathan. Gelas es coklat yang tadi masih dingin kini mulai mengembun, airnya menetes di jari-jarinya yang gemetar. Pikirannya masih kalut. Wajah wanita tadi, ucapannya, tatapan sinis orang-orang—semuanya seperti terpatri di otaknya.Ketika ia membuka pintu perlahan dan masuk, ruangan itu tampak sepi. Adrian sudah tidak ada.Hanya Nathan di sana, duduk bersandar dengan wajah tenang meski pucat, kabel infus masih menempel di tangannya. Tapi begitu melihat Yara masuk dengan wajah kusut, mata Nathan menyipit. Senyum tipisnya memudar."Yara," panggilnya pelan.Gadis itu menoleh sekilas, lalu berjalan tanpa kata ke kursi di samping ranjang dan duduk. Ia meletakkan gelas es coklat di meja kecil tanpa semangat. Pandangannya kosong, menatap lantai, jemarinya saling meremas satu sama lain.Nathan memperhatikannya. Raut wajahnya ..., tak seperti biasanya. Tak ada celotehan. Tak ada senyum ceria yang biasa membuat ruangan ini terasa hidup.
Langkah kaki Yara terdengar tergesa saat ia keluar dari ruang inap Nathan. Wajahnya masih menyisakan rona merah, entah karena kesal, malu, atau ..., terlalu banyak deg-degan dalam sekali waktu."Ugh!" Yara menggerutu sambil mengepalkan tangan kecilnya, mengabaikan tatapan Nathan saat dia keluar dari ruangan itu. "Kenapa sih dia harus natap aku gitu?! Jantungku barusan kayak ditusuk-tusuk pakai tusuk gigi!" ocehnya lirih.Ia menginjak lantai koridor rumah sakit dengan langkah kesal—atau lebih tepatnya, langkah malu-malu yang coba disamarkan dengan marah-marah."Nyebelin banget .... Padahal lagi sakit, pucat, lemes, tapi kok masih bisa bikin aku meleleh? Gantengnya itu loh, kebangetan. Ih, gangguan hormon ini kayaknya!" gumamnya sembari mengibas-ngibaskan tangannya ke pipi sendiri yang masih hangat.Yara terus berjalan ke arah kantin rumah sakit, mencoba mengalihkan pikirannya dengan ..., teh hangat? Atau mungkin es coklat? Tapi belum sempat pikirannya tenang, ia menyadari sesuatu yang
Begitu Adrian tiba di apartemen, Yara langsung membuka pintu sebelum pria itu sempat mengetuk. Wajah gadis itu cemas, rambutnya acak-acakan, dan sandal rumah yang ia pakai nyaris terlepas karena terburu-buru. Tanpa menunggu ucapan pembuka, Yara langsung menyerbu dengan kalimat yang membuat Adrian nyaris terbatuk."Aku ikut!" katanya mantap.Adrian sempat tercengang. "Ma—maksud saya .... Nona, saya tidak bisa membawa Anda begitu saja. Tuan Nathan tidak memberi perintah apa pun soal—""Aku tetap ikut!" potong Yara dengan nada keras, membuat Adrian berkedip cepat.Wajah Yara yang biasanya ceria kini begitu serius. "Aku gak peduli soal aturan tidak boleh ke mana-mana atau apalah itu. Nathan pingsan, dan aku harus lihat dia. Kalau tidak, aku bisa gila."Adrian memijat pelipisnya, lalu menghela napas pasrah. Ia tahu akan sulit berargumen dengan seseorang yang keras kepala seperti Nathan, dan ternyata, kekasihnya pun tak kalah keras kepala."Baiklah,”"ucap Adrian pada akhirnya. "Tapi, Anda h
Langit mendung menggantung rendah, seolah menyesuaikan dengan kondisi Nathan pagi itu. Meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih, Nathan tetap bersikeras untuk berangkat ke kantor.Wajahnya pucat pasi, tapi sorot matanya tetap tegas. Ia berdiri di depan cermin, membenarkan dasi dengan tangan gemetar. Terdengar suara lembut dari balik pintu kamar."Kau yakin mau berangkat kerja?" tanya Yara, suaranya khawatir.Nathan tak menjawab. Ia membuka pintu dan menatap Yara sebentar. Gadis itu hanya mengenakan kaus oversized dan celana training, rambutnya diikat asal. Wajah polosnya penuh ragu. Nathan menghela napas dan berjalan melewatinya begitu saja."Kalau pingsan di jalan, jangan salahin aku," gumam Yara, lebih kepada dirinya sendiri, meski cukup keras agar Nathan mendengarnya.Di kantor, aura formal langsung menyelimuti ruang kerja Nathan yang bergaya minimalis dan maskulin. Adrian, sekretaris pribadi sekaligus asisten kepercayaannya, langsung menyambut Nathan dengan tatapan cemas."Tuan, Anda
Nathan mengerjapkan matanya pelan. Sinar matahari menyelinap lewat sela-sela tirai ruang tengah yang sedikit terbuka. Ia mengerang pelan, mencoba mengangkat kepala yang terasa berat dan pening.Rasa pusing menyergapnya seketika, membuat tubuhnya limbung. Saat ia mencoba menoleh, dahi dan rambutnya terasa lembap.Alis Nathan mengernyit. Tangannya meraba pelan kain basah yang menempel di dahinya. Handuk kecil.Ia menatapnya sekilas sebelum matanya bergerak ke arah meja di samping sofa. Ada baskom kecil berisi air, sepasang sepatu kerjanya yang sudah terlepas, dan selimut tebal yang sekarang menyelimuti tubuhnya."Kenapa bisa begini" gumamnya parau, matanya menyipit, mencoba mengingat-ingat.Terakhir yang ia ingat, ia menyeret tubuhnya pulang dalam keadaan demam tinggi. Ia bahkan tidak sempat naik ke kamar, langsung tumbang di sofa.Belum sempat Nathan bangkit, langkah cepat terdengar mendekat."Jangan bangun dulu!"Sebuah tangan ringan menahan bahunya. Nathan mendongak perlahan.Mata me
Pagi itu, Yara membuka matanya perlahan. Cahaya tipis matahari menyusup masuk dari sela gorden kamar Nathan yang sedikit terbuka. Sesaat dia lupa di mana dirinya berada, sampai menyadari empuknya kasur yang tidak familiar. Dia menoleh ke samping, mencari sosok Nathan, tapi tempat di sebelahnya kosong. Tak ada siapa pun.“Hm? Mana dia?” gumamnya pelan, sambil buru-buru bangkit dari ranjang.Baru kemudian kesadaran penuh datang padanya. Semalam... dia tidur di kamar Nathan. Di ranjangnya. Bersama pria itu.Mata Yara membulat. “Oh my God... aku beneran tidur di sini semalaman?”Dia menunduk, memeluk tubuhnya sendiri. Pipinya panas mengingat bagaimana dia harus memalingkan wajah karena dada bidang Nathan yang terpampang nyata hanya dibalut handuk. Dan pria itu... menyuruhnya tidur di ranjangnya. Dengan kalimat yang masih menggetarkan pikirannya sampai sekarang: "Kalau nggak bisa tidur, lepas aja dalemannya."Yara menepuk pipinya sendiri pelan. “Astagaaa... dia tuh manusia atau iblis sih..
Tak lama setelah menyelesaikan makanannya—dan membereskan piring dengan malas sambil terus mengoceh pada dirinya sendiri—Yara berdiri ragu di depan pintu kamar Nathan.Pintu kayu solid itu tampak mengintimidasi di bawah lampu koridor yang hangat. Yara mengangkat tangan, mengetuknya perlahan.Tok, tok, tok.Sepi.Dia mengerutkan kening, mengetuk sekali lagi, lebih keras. Masih tidak ada jawaban.Dengan jantung yang mulai berdegup tidak karuan, Yara menempelkan mulutnya ke arah pintu sambil berkata lirih, "Aku... aku masuk ya?"Tak ada respons.Dengan gugup, dia memutar gagang pintu dan mendorongnya perlahan.Ruangan di balik pintu itu membuat Yara menahan napas.Kamar Nathan... luas, elegan, dan memancarkan aroma maskulin yang samar, seperti campuran kayu, sabun, dan sedikit aroma peppermint. Dindingnya berwarna abu-abu lembut, dihiasi lukisan minimalis. Tempat tidurnya besar, ranjang king size berlapis sprei satin berwarna biru navy yang tampak lembut dan... mahal."Wow..." Yara tak b
Suasana apartemen itu terasa mencekam. Meskipun semua lampu menyala terang benderang dari ruang tamu hingga ke kamar mandi, Yara tetap tidak merasa aman. Tubuhnya tergolek di atas ranjang empuk berlapis seprai sutra mahal, namun rasa nyaman tidak benar-benar bisa ia rasakan. Matanya terus memandangi langit-langit, sesekali berguling ke sisi kiri lalu ke kanan. Nafasnya berat."Astaga... kenapa sih aku jadi begini?" gumamnya sembari menutup wajah dengan bantal.Dia telah melupakan mimpi buruk yang mengganggunya sore tadi—setidaknya itu yang ia pikirkan. Tapi bayang-bayang ketakutan yang tak jelas asalnya masih melekat di tubuhnya, membuat jantungnya sesekali berdetak lebih cepat dari biasanya. Seolah ada yang mengawasinya. Seolah... ia tidak benar-benar sendirian."Yara, kamu tuh udah gede, kenapa jadi penakut kayak gini? Cuma mimpi buruk doang, kenapa jadi drama banget sih," omelnya pada diri sendiri. Ia bahkan menyindir dirinya dengan suara tinggi yang dibuat-buat, seolah memparodika
Setelah sarapan pagi yang... canggung, dengan sisa rasa ciuman Nathan yang masih membekas di ujung bibir dan pipi Yara yang tak kunjung mendingin, suasana pagi berubah cepat.Nathan menerima telepon dari seseorang—suara laki-laki di seberang terdengar tegang, meski Yara tidak tahu persis siapa. Tak sampai lima menit, Nathan sudah berdiri sambil mengenakan jas dan memasukkan ponsel ke sakunya."Aku harus pergi," katanya cepat.Yara yang masih setengah sadar karena detak jantung yang belum stabil sejak ciuman tadi hanya mengangguk pelan. "O-oh... iya."Nathan sempat meliriknya dari ujung pintu. "Dan Yara… jangan keluar apartemen. Apa pun yang terjadi, tetap di sini."Gadis itu menatap bingung. "Eh? Kenapa?""Tolong, turuti saja. Aku akan jelaskan nanti."Belum sempat Yara membalas, pintu sudah tertutup. Nathan hilang dalam suara langkah cepat dan bunyi lift.Dan... rumah pun sepi.Sangat sepi.Yara berjalan ke wastafel, mencuci bekas makannya. Lalu dia kembali ke ruang tengah apartemen