LOGINCharlexon mendekati managernya yang sudah menunggunya di depan studio foto. Terlihat si manager sedang gelisah mondar mandir seorang diri.
"Sedang apa?" tanya Charlexon menatap Damian. Damian menghentikan langkah dan menatap Charlexon, "kamu ini ya, kemana saja sih? Aku sudah menunggumu lama sekali. Kamu ngapain aja di kamar mandi?" tanyanya khawatir. "Maaf, maaf. Aku angkat telepon tadi. Asik ngobrol jadi lupa waktu," jawab Charlexon beralasan. Damian mengerutkan dahinya, " ini ... wajahmu kenapa merah begini? Siapa yang melakukannya? Siapa yang memukulmu?" tanya Damian menyentuh wajah tampan Charlexon. Charlexon buru-buru menepis tangan managernya dan menutupi bekas tamparan Vanya yang tertinggal di pipinya. "Bukan apa-apa. Ini cuma kebentur aja tadi. Aku nggak lihat pintu pas masuk kamar mandi," jawab Charlexon beralasan. "Ah, gitu. Aku kira ada yang memukulmu," sahut Damian. "Siapa yang berani memukulku?" tanya Charlexon. Damian diam menatapi Charlexon, "benar juga. Siapa yang berani macam-macam dengan Tuan Muda satu ini. Yang berani namanya orang gila. Ah, sudahlah. Lebih baik sekarang aku ajak dia ke rumah sakit buat periksa luka benturannya. Jangan sampai terjadi sesuatu, atau aku akan kehilangan nyawaku nanti," katanya dalam hati. "Ayo, kita ke rumah sakit. Aku nggak tenang sebelum memastikan keadaanmu," kata Damian. "Buat apa? Aku 'kan nggak lagi sakit," tanya Charlexon heran. "Meskipun nggak sakit. Lebih baik kita periksa luka benturanmu. Itu yang kebentur wajahmu lho. Wajahmu itu aset berharga," jawab Damian mendesak Charlexon. "Kalau nggak diturutin bisa-bisa ngomel terus nih orang. Sudahlah, daripada kupingku panas dengerin omelannya. Mending aku turutin aja apa maunya," kata Charlexon dalam hati. Charlexon menganggukkan kepala malas, "ya, ya, ya. Ayo kita pergi. Jangan ngomel terus," katanya. Damian langsung menarik tangan Charlexon, mengajaknya pergi. *** Rumah sakit ... Charlexon sedang diperiksa oleh dokter. Dokter yang memeriksa terdiam menatap bekas tamparan di pipi Charlexon. "Apa kamu dan pacarmu sedang bertengkar?" tanya Dokter lelaki paruh baya. Charlexon kaget, "bagaimana dokter bisa tahu?" tanyanya. "Tenaganya luar biasa ya. Sampai bekasnya seperti ini," kata dokter itu. "Dok, boleh saya minta tolong? Sejujurnya saya sudah berbohong pada seseorang, dan mengatakan kalau wajah saya terluka seperti ini karena terbentur pintu. Dia tidak tahu kalau saya habis ditampar. Jadi, bisakah dokter menjaga rahasia ini? Saya nggak mau membuatnya khawatir," pinta Charlexon. "Ya, baiklah. Aku mengerti. Memarnya tidak terlalu parah, hanya berbekas merah saja dan sedikit bengkak. Nanti sampai rumah langsung dikompres ya. Aku beri resep untuk jaga-jaga," kata dokter. Charlexon tersenyum, "Terima kasih banyak, dok." Pemeriksaan Charlexon selesai, dan dia segera pergi meninggalkan ruang pemeriksaan untuk menemui Damian yang sudah menunggu di luar ruangan. Begitu Charlexon keluar dari pintu, Damian bergeges menghampiri Charlexon. "Bagaimana? Apa kata dokternya?" tanya Damian. "Aku baik-baik saja. Nggak perlu khawatir. Dokter bilang cuma bengkak dikit," jawab Charlexon menjelaskan. "Beneran gitu aja? Kamu tunggu di sini dulu sebentar. Biar aku masuk dan tanya langsung ke dokter," kata Damian yang tidak percaya akan penjelasan Charlexon dan memilih pergi bertemu dokter yang baru saja memeriksa Charlexon. Charlexon terdiam menatap kepergian Damian. Dia memilih untuk duduk, menunggy Damian keluar dari ruang pemeriksaan. Beberapa saat kemudian Damian keluar dan langsung menghampiri Charlexon yang sedang duduk bermain ponsel. "Ayo pulang. Aku harus segera mengompres pipimu," ajak Damian. Charlexon menganggukkan kepala, "hm," gumamnya. Charlexon berdiri dan segera pergi mengikuti Damian yang sudah lebih dulu berjalan pergi. *** Malam harinya, di bar ... Charlexon dan Hansel janjian bertemu. Charlexon lebih dulu datang, dia langsung memesan minuman tanpa alkohol. "Silakan, Tuan." Minuman yang dipesan sudah datang. Disajikan di atas meja dihadapan Charlexon. "Hm," gumam Charlexon. Charlexon menatap sekeliling. Dia menantikan kedatangan teman baiknya. Tidak beberapa lama Hansel datang. Dia langsung duduk di samping Charlexon dan memesan alkohol. Hansel menatap minuman yang dipesan Charlexon, "kamu nggak pesan alkohol?" tanyanya. "Enggak. Aku nggak minum. Damian nggak kasih izin aku minum di luar. Kamu 'kan tahu itu," jawab Charlexon. "Ngapain dengerin dia. Dia 'kan cuma manager yang kamu gaji. Toh minum nggak setiap hari," omel Hansel. "Dia bukan sekadar manager buatku. Dia sudah aku anggap kakakku sendiri. Begitu-begitu dia orang yang setia nemenin aku ke mana-mana lho," jawab Charlexon. Minuman yang dipesan Hansel langsung disajikan. Hansel memasukkan sebongkah es ke dalam gelas dan langsung menuang alkohol ke gelas berisi es batu. Digoyangnya pelan gelas dan diminumnya alkohol dalam gelas. "Kamu bilang besok mau pergi ke luar kota. Ada kerjaan?" tanya Hansel. Meletakkan gelas di atas meja dan langsung menuang alkohol ke dalam gelas. "Ya, begitulah. Cuma mau cari angin aja," jawab Charlexon. Hansel menatap Charlexon, dan melihat bekas merah di pipi Charlexon. "Eh, wajahmu kenapa? Kok ada bekas merah?" tanya Hansel. "Bukan apa-apa," jawab Hansel. "Apanya bukan apa-apa?" tanya Hansel mendesak. "Ya emang bukan apa-apa. Cuma ... " jawab Charlexon yang langsung menghentikan perkataannya. "Cuma ... " sambung Hansel penasaran. "Cuma ... " kata Charlexon lagi menghentikan perkataan. Hansel menarik napas dalam, lalu mengembuskan napas kasar. "Cuma apa, Lex? Ngomong jangan diputus-putus dong. Bikin penasaran aja," kata Hansel mulai emosi. "Cuma bekas tamparan," kata Charlexon. Hansel yang sedang minum pun tersedak sampai terbatuk. "Uhukk ..." "A-apa? Kamu bilang apa? Bekas tamparan?" tanya Hansel kaget. Charlexon menganggukkan kepala, "ya," jawabnya. "Gila! Siapa yang berani menamparmu wahai Pangeran?" tanya Hansel. "Ada deh," jawab Charlexon. "Eh, kok gitu? Maksudmu aku nggak boleh tahu dia siapa?" kata Hansel. Dan dijawab anggukan kepala oleh Charlexon. Hansel diam berpikir, "apaan sih. Kok tiba-tiba sok main rahasia-rahasiaan segala. Sok misterius juga," katanya dalam hati. "Ok. Nggak mau kasih tahu juga nggak masalah. Biar aku tebak aja. Pelakunya pasti perempuan 'kan? Hayo ngaku," tanya Hansel. "Iya, kamu benar. Pelakunya memang perempuan," jawab Charlexon. "Aku nggak bisa memberitahumu lebih dari ini, Hans. Aku nggak mungkin bilang, perempuan yang npar aku itu mama sambungmu. Dan alasan aku ditampar karena mencium bibirnya," kata Charlexon dalam hati. Hansel tersenyum senang karena tebakannya benar. "Eh, beneran perempuan ya. Padahal aku asal nebak aja lho," kata Hansel. "Omong-omong, kenapa kamu ditampar?" tanya Hansel ingin tahu. "Bukan hal penting. Aku cuma melakukan sesuatu yang tidak sengaja membuatnya marah, lalu aku ditampar. Gitu aja," jelas Charlexon. Hansel menyipitkan mata manatap tajam Charlexon. "Kamu yakin cuma itu?" tanya Hansel mulai curiga. Charlexon menganggukkan kepala, "ya," jawabnya. "Terus kamu apain perempuan itu? Setelah ditampar masa kamu lepasin gitu aja? Seorang Charlexon yang enggan diremehkan nggak mungkin memaafkan gifu aja 'kan?" kata Hansel. Ingin tahu cerita Charlexon lebih lagi. "Memangnya aku harus ngapain dia? Pokoknya setelah kejadian itu aku langsung pergi. Jadi, nggak sempat ngapa-ngapain dia. Sudah puas dengan rasa penasaranmu, belum?" tanya Charlexon menatap tajam Hansel. Hansel tersenyum lebar, "hehe ... sudah, sudah. Sudah puas. Puas sekali," jawabnya. Setelahnya, Charlexon dan Hansel lanjut membicarakan hal lain seputaran pekerjaan. Mereka berdua menghabiskan waktu bercerita cukup lama di bar. Dan baru pulang tengah malam setelah Hansel mabuk.Vanya melihat sekeliling. Tampak semua orang dalam ruang rapat sedang sibuk memilih."Untung aja aku punya ide ambil suara, kalau enggak pasti bingung sendiri. Kayaknya mereka semua juga bingung deh," Kata Vanya dalam hati.Vanya melihat ke arah Antonio yang asik membolak balik undangan dan mengamati."Gimana? Mana yang menurutmu bagus?" tanya Vanya berbisik. Dia ingin tahu pendapat Asistennya."Aku bingung. Semua bagus," jawab Antonio berbisik."Aku juga bingung mau milih yang mana. Makanya aku minta pendapat kalian semua. Kalau enggak ya sudah dari tadi aku pilih," jawab Vanya."Cih! Sengaja banget buat orang bingung," kata Antonio dalam hati.Vanya mengalihkan pandangan, menatap Charlexon yang duduk tak jauh darinya. Charlexon sama seperti Antonio yang sibuk membolak-balik undangan. Meraba sampai menatap lekat undangan yang ada."Dia sampai segitunya," kata Vanya dalam hati tersenyum tipis.Pada saat yang sama Charlexon memalingkan pandangan ke arah Vanya, membuat Vanya terkejut. D
Charlexon dan Damian sudah sampai di V Entertaiment. Karena Charlexon masih harus menerima panggilan dari mamanya, dia meminta Damian pergi lebih dulu mengikuti rapat, sementara dia akan menyusul setelah berbicara dengan mamanya.Damian pun pergi, dan Charlexon mencari tempat menerima panggilan. Dia dan mamanya berbicara panjang lebar.Sampai saat Charlexon melihat Vanya yang masuk ke lobbi perusahaan dan berjalan menuju lift hendak naik. "Ma, aku masih ada kepentingan. Nanti aku telepon lagi ya. Ok, ma. Dah," kata Charlexon yang langsung mengakhiri panggilan.Charlexon berjala cepat mendekati Vanya. Kebetulan pintu lift terbuka, Vanya dan dua orang lain masuk, begitu juga Charlexon.Vanya terkejut saat melihat Charlexon yang tiba-tiba muncul dan masuk ke dalam lift, lalu berdiri di sampingnya.Pintu lift tertutup dan lift berjalan naik ke lantai berikutnya. Disetiap lantai, lift terhenti dan ada saja orang yang masuk, membuat lift lama kelamaan menjadi penuh.Vanya dan Charlexon mul
Hari-hari berlalu, Charlexon semakin gencar mendekati Vanya. Setiap pagi dia datang awal dan menunggu Vanya. Dia sempatkan melihat Vanya bekerja, lalu akan pergi setelahnya. Tak lupa kecupan manis sebelum kepergian.Hal itu tentu saja membuat Vanya semakin tak nyaman. Sejujurnya Vanya takut kalau-kalau Charlexon akan melakukan sesuatu padanya, selain tiba-tiba memeluknya atau menciumnya. Vanya mulai meragukan keputusannya, tapi dia tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Sebab pekerjaan harus terus berjalan. "Kenapa dia begitu nekat? Padahal aku sudah tekankan sejak awal, jika aku nggak ingin ada hubungan apa-apa selain lebih dari sekadar teman tidur semalam. Entah kenapa firasatku buruk. Apa aku nggak akan bisa lepas darinya?" tanya Vanya dalam hati.Tiba-tiba seseorang menepuk bahu Vanya, itu adalah Antonio. Yang sedari tadi diabaikan Vanya."Astaga, kamu membuatku kaget. Kenapa kamu tiba-tiba masuk, dan nggak ketuk pintu dulu?" kata Vanya mengomel."Aku sudah ngetuk puluhan kal
Vanya yang terus penasaran, terus mencari tahu siapa orang yang diam-diam menyiapkan susu, cake dan makan siang di ruangannnya. Tapi, setelah beberapa hari diselidiki, siapa orang yang melakukannya tak diketahui.Hari itu, Vanya tiba di katornya lebih awal dari biasanya. Dia baru saja mengantar Hansel bekerja. Setibanya di depan pintu ruangnnya, Vanya melihat pintu ruangannya tidak tertutup rapat. Karena panasaran, dia membuka perlahan, lalu mengintip. Dilihatnya seseorang berada dalam ruangannga. Vanya tidak tahu siapa karena hanya terlihat punggungnya saja."Dia ... " kata Vanya dalam hati.Melihat seseorang itu meletakkan susu dan cake di atas meja kerjanya, Vanya langsung masuk. Memergoki seseorang tersebut."Siapa?" tanya Vanya.Seseorang dalam ruangan langsung terkejut. Dia hanya diam mematung.Vanya berjalan mendekati seseorang itu, dan bertanya lagi siapa dia."Siapa kamu?" tanya Vanya.Vanya berdiri dibelakang seseorang itu, "berbalik. Biarkan aku melihat wajahmu. Kalau tida
Charlexon masih terus melakukan pendekatan. Dengan berbekal pengalaman sebelumnya yang berkali-kali ditolak, kini dia mulai sedikit memainkan trik tarik ulur. Dia ingin agar Vanya merasa nyaman berada di dekatnya.Saat Vanya mengunjungi Studio foto, Charlexon terlihat sedang sibuk bekerja. Dia tahu Vanya datang, tetapi lebih fokus dengan pemotretan untuk hasil yang memuaskan.Vanya merasa ada yang berbeda, biasanya setiap dia datang, Charlexon akan mencuri pandang, lalu tersenyum tampan seolah sedang menggoda."Apa ini cuma perasaanku, ya? Seminggu ini dia seperti lebih fokus. Biasanya seperti lelaki penggoda," katanya dalam hati.Merasa penasaran dengan perubahan Charlexon, Vanya memutuskan untuk tinggal lebih lama di studio foto. Dia juga sempat berbincang dengan si kembar, bertanya apakah ada masalah yang terjadi? Karena dia melihat Charlexon sangat berusaha untuk menampilkan yang terbaik."Nggak ada masalah, kan?" tanya Vanya menatap si kembar bergatian.Si kembae saling bertatap
Vanya tidaklah tahu, jika keputusannya menggunakan Charlexon sebagai model, adalah sebuah kesalahan besar. Pemotretan sudah berjalan selama dua minggu, Charlexon selalu menunjukkan kinerjanya yang profesional sehingga setiap hasil pemotretan selalu mengagumkan.Tanpa Vanya sadari, setiap harinya Charlexon berprilaku berbeda. Dia semakin mengakrabkan diri dan ramah kepada semua staf karyawan V Entertaiment. Terutama orang-orang terdekat Vanya. Seolah sedang mengambil hati.***Saat masuk dalam ruangannya setelah mengawasi pemotretan, Vanya menemukan susu dan cake di mejanya, dia mengira Antonio yang menyiapkan, padahal bukan. Vanya tersenyum melihat susu dan cake, "tumben sekali sih si Antonio ini. Biasanya dia nggak pernah gini, selalu menawari lebih dulu. Apa dia buat kesalahan? Dan ini cuma sogokan?" tanyanya dalam hati.Karena lapar, Vanya meninum susu dan memakan cake yang ada di mejanya. Dia tidaklah tahu, jika Charlexon lah yang secara khusus menyiapkannya.Vanya menganggukkan







