“Hamil …?”
Bibir Belvina tanpa sengaja menirukan ucapan ibunya yang saat ini tengah duduk di ruang tamu bersama dengan Alethea, sepupunya, dan Aldric---kekasih sekaligus calon suaminya. Ketegangan di wajah sang ibu bisa Belvina rasakan saat ini, tapi dia tidak tahu apa penyebabnya. Yang dia tahu sang ibu hanya mengatakan satu kata yaitu ‘hamil’. Beberapa saat sebelum dia meninggalkan ruang tamu untuk mengambil ponselnya yang tertinggal di kamar, ibunya serta Aldric masih berbincang riang, tawa renyah juga mengiringi percakapan mereka hingga kehadiran Alethea dengan wajah muramnya mengubah semua itu. Pernyataan yang baru saja dibuat Alethea tentang kehamilannya tentu sesuatu yang mengejutkan. Dengan gerakan cepat, Belvina sudah berpindah posisi duduk di sisi Alethea. Matanya melirik sebentar Aldric yang hanya diam dengan wajah menegang. Sementara Alethea terlihat menundukkan kepala sambil meremas ujung rok yang wanita itu kenakan. “Ka---kamu hamil?” tanya Belvina memastikan pernyataan Alethea. Sepertinya di sini yang terlihat paling terkejut adalah Belvina, ketimbang Amora—sang ibu. Sedikit pertanyaan muncul dibenaknya tentang reaksi sang ibu yang terlihat tenang. Tidak ada ketegangan ataupun rasa khawatir di wajah wanita itu, padahal jika sesuatu yang buruk menimpa Alethea, ibunya selalu panik dan terlihat resah. Namun, kali ini ia tidak melihat itu. “Bukankah sudah aku katakan, pakailah pengaman jika kamu ingin melakukannya!” cerocos Belvina. Tatapannya menajam ke Alethea yang semakin menundukkan kepalanya. Ya …, hal semacam itu tentu bukan hal tabu bagi Belvina. Ia bekerja di bidang industri hiburan. Banyak artis serta model yang melakoni gaya hidup bebas, meski tidak semua dan Alethea adalah salah satunya. Wanita itu selalu bisa menjaga dirinya dengan baik. Ia bahkan tidak pernah mendengar Alethea keluar masuk klub malam ataupun berteman dengan orang-orang yang tidak benar. Sepupunya itu selalu menjaga batasan untuk hal-hal yang berbau negatif. “Ibumu sudah tahu?” Lagi, Belvina terlihat begitu penasaran. Bukan penasaran dalam hal julid, hanya saja wanita itu masih belum bisa percaya dengan apa yang baru saja didengarkannya. Alethea menggelengkan kepalanya. Matanya melirik ke arah Amora yang sejak tadi menutup mulut. Begitu pun dengan Aldric. Belvina mengusar rambutnya, wanita itu tampak frustasi mendengar jawaban dari Alethea. “Kenapa …?” tanya Belvina. “Aku ….” “Takut …?” potong Belvina, “Atau laki-laki itu tidak mau bertanggung jawab?” imbuhnya. Alethea semakin gugup, manik matanya kembali menatap sang bibi dan Aldric secara bergantian, mengharapkan bantuan. Namun sayangnya, keduanya tetap diam seolah membiarkannya untuk menyelesaikan semua ini sendiri. Tak tahu harus bersikap serta berbuat bagaimana, Alethea kembali menunduk sambil memegangi kepalanya. Kedatangannya ke rumah keluarga Belvina hanya ingin memberitahu tentang kehamilannya dan tentang siapa ayah dari anak yang dikandungnya, tapi pada kenyataannya, bibirnya terasa kelu untuk sekadar mengungkap fakta itu. “Hay … kenapa?” tanya Belvina lembut. “Sayang, bagaimana kalau kita membantu Thea?” Kali ini Belvina berdalih pada sang kekasih karena tak mendapatkan jawaban pasti dari Alethea. Tangannya digenggam lembut oleh tangan Aldric yang terasa---dingin, entah karena apa. Belvina mengangguk cepat mendengar penawaran Aldric. Melihat keadaan sepupunya yang terlihat kacau seperti ini, tentu Belvina tidak bisa hanya diam saja. Ia kembali beralih menatap Alethea. “Kalau kamu ingin menyembunyikan tentang kehamilanmu, aku dan Aldric akan mengatakan kepada Bibi Cassie bahwa kamu mendapatkan job di Amerika. Sampai bayi itu lahir, kamu bisa tinggal di sana!” kata Belvina, mengusulkan ide. “Kamu bisa melakukannya kan, Sayang?” tanya Belvina pada sang kekasih yang sejak tadi hanya diam dan menunjukkan mimik wajah tidak seperti biasa. Kekasihnya itu hendak mengangguk tapi terhenti karena mendengar isak tangis Alethea. “Maaf ….” Setetes air mata meluncur begitu saja di pipi Alethea, membuat Belvina menatap bingung. Bukankah dia sudah memberikan jalan keluar atas permasalahan Alethea? Lantas kenapa sepupunya itu malah terlihat semakin muram? Tidak hanya itu, ibu dan kekasihnya juga menunjukkan reaksi yang sama---muram seakan dunia akan berakhir hari ini dan tidak akan ada hari esok. “El, sungguh aku minta maaf!” Tanpa aba-aba, Alethea bersimpuh di kaki Belvina, membuat wanita cantik itu seketika tersentak. Ia menoleh menatap sang ibu dan Aldric dengan tatapan meminta bantuan. “Aku hamil anak Aldric!” Aku Alethea, matanya terpejam, takut melihat reaksi Belvina. Belvina seketika diam mematung. Bulu matanya mengerjap beberapa kali, mencoba memahami situasi saat ini. Alethea baru saja mengatakan bahwa wanita itu mengandung anak Aldric—kekasih yang sebentar lagi akan dinikahinya. Entah lelucon macam apa yang saat ini sedang dihadapinya. Membayangkan saja tidak pernah, tapi dia harus dihantam oleh sebuah kenyataan gila ini. Alethea meremas rok yang dipakainya semakin kuat. Diamnya Belvina, membuat ia semakin takut. “Maaf …,” cicit Alethea, lagi. Lagi-lagi tidak ada reaksi apa pun yang ditunjukkan oleh Belvina, wanita itu hanya tersenyum miring. Matanya kini menatap Aldric dengan wajah tak bisa diartikan. Aldric---laki-laki yang dianggap hanya mencintainya itu ternyata malah menimbulkan luka. Belvina tertawa, entah mentertawakan nasibnya atau kesialan yang menimpanya saat ini. Rasa sesak dan perih yang dirasakannya membuat wanita itu tak lagi bisa membedakan. Dari sekian banyak masalah, kenapa dia harus menghadapi masalah ini? “Sejak kapan?” Kata-kata yang terdengar dingin dari bibir Belvina membuat Aldric yang sejak tadi hanya diam kini mulai bereaksi. Laki-laki itu bangun dari duduknya dan melangkah mendekati Belvina. Namun sayang, Belvina justru mundur beberapa langkah. Tidak ada air mata di sana, hanya tatapan dingin menakutkan. “Aku bisa jelaskan, Sayang!” Beberapa kata yang keluar dari bibir Aldric membuat sudut bibir Belvina semakin tertarik. Wanita cantik itu kembali tertawa. “Jelaskan? Setelah membuatku seperti orang bodoh, tadi?” sahut Belvina, “Apa kamu tahu diammu itu jauh lebih buruk dari pengkhianatan yang kamu lakukan saat ini, Tuan Aldric!” imbuh Belvina menambahkan embel-embel ‘Tuan’ untuk menyebut nama kekasihnya. Aldric menggelangkan kepalanya. Wajahnya terlihat panik tapi bagi Belvina semua itu hanya akting yang ditunjukkan oleh Aldric. “Ini semua tidak seperti apa yang kamu pikirkan, sayang! Aku sama sekali tidak pernah mengkhianatimu!” jelas Aldric, “Kami hanya melakukannya sekali, itu pun aku juga tidak terlalu mengingatnya!” lanjut Aldric. Belvina mendecih. Sekali saja dia bilang? Sekali pun juga sudah fatal! Matanya menatap malas pada sosok Alethea yang saat ini masih bersimpuh. Rasa iba yang tadi dirasakannya tiba-tiba menguap begitu saja berganti rasa benci dan marah. Sepupu yang dianggapnya sebagai adik kandungnya sendiri justru tega menikamnya dari belakang tanpa belas kasihan. Melihat Belvina yang hanya diam, Aldric kembali bersuara. “Kita bisa melakukan apa yang sudah kamu rencanakan tadi. Mengirim Alethea ke Amerika dan membawanya kembali ketika bayinnya sudah lahir. Bagaimana, hem?” “Lakukan seperti apa yang dikatakan oleh Aldric, Belvina! Pernikahan kalian sudah semakin dekat, membatalkannya tentu bukan sebuah solusi!” saran Amora yang kini juga mulai ikut angkat bicara. Belvina memalingkan kepalanya, melihat sang ibu yang masih duduk di sofa dengan wajah datar. Sungguh, apa yang dikatakan oleh ibunya adalah sesuatu yang sama sekali tidak disangkanya. “Pikirkan tentang pernikahan kalian yang sudah di depan mata. Mengakhiri semuanya tentu bukan keputusan yang baik. Lagipula selama ini Aldric sudah berjuang dalam hubungan kalian. Anggap saja masalah ini hanya sandungan sebelum menuju ke jenjang pernikahan, Nak!” sambung Amora panjang lebar. “Pernikahan …?” ulang Belvina dengan senyum penuh kesakitan. Kakinya melangkah meninggalkan orang-orang di sekelilingnya. Dia butuh tempat untuk menumpahkan segala rasa sakitnya. Namun, sebelum bayangan wanita itu benar-benar menghilang, Aldric menyusul dan menggenggam tangannya erat-erat. “Sayang, jangan begini! Kita bisa perbaiki semuanya sama-sama, aku mohon …,” pinta Aldric tangannya terjulur menggenggam tangan Belvina. Namun, wanita itu menepisnya dengan kasar. “Maaf, tapi aku tidak bisa! Aku akan membatalkan pernikahan kita!”“Aku baik-baik saja, sungguh.” Belvina mengatupkan kedua tangannya, memohon pada Dante untuk pulang. Sungguh demi apapun dia sama sekali tidak suka dengan yang namanya rumah sakit. Bau disinfektan yang menyengat, membuat perutnya mual.“Badanmu masih lemas. Kamu juga belum bisa makan dengan baik. Semua makanan yang kamu telan selalu keluar. Dan satu lagi, kamu sering mengalami sakit kepala. Keadaan seperti itu tentu tidak nyaman bagimu. Dan aku tidak mau kamu mengalami itu terus-menerus.”Belvina hanya bisa menghela napas panjang sambil memutar bola matanya jengah. Entah bagaimana bisa seorang Dante yang awalnya begitu cuek dan dingin, tiba-tiba saja berubah cerewet seperti nenek-nenek.“El…?”Alethea yang duduk di kursi tunggu bagian obgyn, menyapa. Ia tersenyum manis seperti biasanya. Di sisi Alethea ada Aldric yang tengah memainkan ponselnya.“Kamu juga akan periksa?” Belvina tersenyum tipis. Matanya melirik sebentar Aldric yang sama sekali tidak melihatnya. Tentu ini bukan masala
Alis Alethea mendadak berubah mengkerut. Hatinya dibuat panas saat melihat tatapan Aldric yang terpaku pada Belvina dan suaminya yang juga baru turun dari mobil. Kedua pasangan itu terlihat bahagia. Buku-buku tangan Aldric terlihat memutih. Tanpa bertanya tentu dia tahu apa yang dirasakan oleh Aldric. Laki-laki itu pasti merasa cemburu. Siapa yang tidak tahu bagaimana cintanya Aldric pada Belvina. “Kamu tidak masuk?”Alethea menggelengkan kepalanya. “Kamu duluan saja. Aku ingin menelepon ibuku dulu. Mengabarkan kalau kita akan ke sana.”“Baiklah kalau begitu. Aku masuk duluan,” balas Aldric yang kemudian masuk ke dalam kantor.Alethea menarik napas panjang. Kakinya yang berbalut flatshoes, berjalan menghampiri Belvina. “Pagi…,” sapa Alethea. Ia tersenyum manis menyapa Dante dan Belvina. Namun, sayang Dante tidak meresponnya dengan baik. Pria itu memang wajah dingin sama seperti biasanya. Ia rasa senyum dan kebaikan pria itu hanya berlaku untuk Belvina.“Hubungi aku jika kamu merasa
Mata Belvina membulat, dia baru keluar dari kamar mandi dan mendapati Dante sudah duduk berselanjar di atas ranjangnya. Sepertinya laki-laki itu baru selesai mandi. Rambutnya terlihat masih basah. Pemandangan ini membuat Dante terlihat begitu menggoda di mata Belvina.Belvina menggelengkan kepala, mengenyahkan pikiran aneh yang baru saja menghinggapi otaknya. “Duduklah, apa kamu tidak lelah terus berdiri di sana?” Dante menepuk ranjang kosong di sampingnya, memerintah Belvina untuk segera naik.Belvina berdehem, pipinya terasa panas entah kenapa. Akhir-akhir ini bahasa tubuhnya memang suka sekali bereaksi aneh, terlebih jika itu menyangkut tentang Dante.“Aku masih harus mengeringkan rambutku.” Belvina berjalan ke arah meja rias. Tangannya dengan cepat mengambil hairdryer. Sebenarnya ini hanya alasan. Dia hanya tidak siap jika harus berada satu ranjang dengan Dante. Mereka masih tidur di kamar yang berbeda sampai detik ini.Dante menarik sudut bibirnya. Bunyi guncang di atas ranjang
Dante mengetuk-ngetukkan jari-jari tangannya. Wajahnya terlihat tenang, tapi sebenarnya pria itu tengah menahan gelisah. Jam yang berputar terasa begitu lama. Sudah tiga meeting yang dilewatinya hari ini, dan ini adalah meeting terakhir. Jika bukan karena penolakan dari Noah, tentu saat ini dia sudah duduk di atas pesawat, menanti waktu untuk mendarat di Barcelona. Menggeram kesal, dia menatap malas pada sosok pria di sebelahnya—Noah. Pria itu terlihat menjelaskan secara lengkap dan detail kepada klien mereka tentang kerja sama yang akan mereka lakukan. Keuntungan serta pinalti bila ada pelanggaran kontrak yang terjadi.Saat ini dia benar-benar ingin segera mengakhiri semua ini dengan cepat. Apalagi setelah dia mendapatkan lagi pesan teks dari Nora yang mengatakan bahwa Belvina kembali mengalami muntah. Helaan napas panjang menguar begitu saja. Rasa gelisah di dadanya semakin membuncah. Rasanya dia tidak akan tenang jika belum berada di sisi wanita si keras kepala itu.“Baiklah, saya
Belvina menatap hampa ponsel yang ada di depannya. Tepat pukul delapan malam ini, sudah dua belas jam ia berpisah dari Dante. Ada rasa kosong yang tidak bisa dijelaskan dalam hatinya. Menunggu sejak siang tadi, nyatanya tidak ada pesan atau pun panggilan masuk ke dalam ponselnya. Dante seolah pergi meninggalkannya tanpa kata. Hampa, sunyi, senyap, begitulah kiranya.Sekali lagi ia menghela napas panjang. Jari-jarinya yang dipoles dengan cat kuku berwarna merah kembali menyentuh benda pipih miliknya. Seperti sebelumnya, tidak ada notifikasi apa pun dari orang yang diharapkannya. Meski tidak begitu dekat, tapi Dante selalu mengirimkan pesan kepadanya sejak mereka bersama. Tidak adanya pesan serta kehadiran pria itu, kehampaan itu nyata adanya.“Nona, apa makanannya tidak cocok? Saya bisa kembali membuatkan anda menu baru. Sudah hampir satu jam anda berada di meja makan, tapi anda tidak menyentuh sama sekali makanan di meja makan.”Belvina mengulum senyum, selama itukah dia duduk dan ber
“Tuan Dante sudah berangkat pagi-pagi sekali, Nona.”Perkataan Nora, menghentikan gerakan tangan Belvina yang hendak mengetuk pintu kamar tidur Dante. Rencananya pagi ini dia ingin meminta maaf pada pria itu. Semalam Dante pergi begitu saja setelah ditodong pertanyaan yang sama sekali tidak dijawabnya. Pria itu pergi berlalu dan mengabaikannya begitu saja. Kediamannya bahkan terus berlanjut hingga mereka sampai di rumah. Pria itu langsung masuk ke dalam kamar dan mengunci diri. “Sepertinya aku benar-benar membuatnya marah,” gumam Belvina dengan wajah sendu.Belvina menghela napas panjang. Wanita itu lantas melangkahkan kakinya turun ke lantai satu. Pagi ini dia akan pergi ke kantor, meski enggan. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikannya hari ini, termasuk mengurus masalah yang ditimbulkan oleh Alethea. Hari ini sepupunya itu akan dimintanya untuk ke kantor menyelesaikan masalahnya.“Nona, tidak makan?” tanya Nora saat melihat Belvina hanya meminum susu yang dibuatkannya.“Aku mak