“El ....”
Panggilan yang menyapu indera pendengaran Belvina, membuat wanita itu mau tak mau menghentikan langkahnya. Ia menoleh dan melihat Amora, ibunya, bersama dengan Aldric. Sudut bibir Belvina seketika tertarik ke atas. Sore ini, wanita cantik itu mendapatkan pesan teks dari pihak hotel tempatnya melangsungkan pernikahan sehingga Belvina segera datang ke hotel setelah pulang kerja. Tapi tak disangka, ia justru kembali menemukan Aldric, setelah pagi tadi pria itu terkejut dengan ucapan Belvina dan pergi begitu saja. Ia pikr, Aldric sudah menyerah. Tapi ternyata malah sibuk menempel pada ibunya, huh? Belvina cukup sadar jika Aldric masih menginginkan hubungan mereka terus berlanjut. Namun, sampai menggunakan ibunya untuk bisa meloloskan keinginannya sungguh membuat Belvina merasa semakin jijik. “Jadi Ibu yang mengatur semua ini?” ketus Belvina. Ia masih diam di tempatnya, melihat Amora dengan tatapan kesal terlebih pada Aldric. Senyum tipis yang menghiasi wajah Aldric, membuat Belvina semakin tersulut emosi. Bagaimana bisa laki-laki itu terus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa padahal saat ini ada seorang wanita yang membutuhkan tanggung jawabnya! Amora tersenyum lebar. Wanita itu berjalan perlahan mendekat ke arah putrinya. “Apa maksudmu dengan mengatur semua ini, Sayang? Bukankah ini adalah sesuatu yang wajar? Pernikahan kalian sebentar lagi akan diselenggarakan di sini, jadi mengecek persiapan pihak hotel tentu bukan hal yang aneh.” Belvina tersenyum miring. “Pernikahan ...?” ulang Belvina getir. “Tidak akan ada pernikahan, bu! Kalaupun ada, pasti bukan Aldric pengantin prianya!” sambung Belvina penuh penekanan. Amora mendengus kesal mendengar jawaban dari sang putri. Sebagai pemilik hotel tempat di mana putrinya akan melaksanakan pernikahannya tentu ini akan mencoreng nama baiknya jika pernikahan itu sampai gagal. “Jaga ucapanmu, Belvina!” murka Amora, “Kita sudah membahasnya kemarin. Pernikahanmu akan tetap dilangsungkan seperti seharusnya!” lanjut Amora. Amora menarik tangan Belvina, mengajak putrinya itu untuk mencari tempat yang lebih sepi. Tatapan beberapa staf hotel yang berlalu lalang membuat wanita itu tidak bisa bebas. “Lepas! Ibu menyakitiku!” seru Belvina menghempaskan tangan ibunya dengan kasar. Aldric menghela napas berat, matanya menatap iba pada Belvina yang mendapatkan perlakuan kurang baik dari ibunya. Sebuah kata maaf laki-laki itu rapalkan berkali-kali dalam hatinya. Jika bukan karena ingin mempertahankan hubungan mereka, tentu dia tidak akan bertindak sejauh ini dan menggunakan Amora sebagai tamengnya. “Ibu tidak akan melakukannya jika kamu patuh, El!” tegas Amora menanggapi ucapan Belvina. Belvina tersenyum miring. Matanya menatap Amora dan Aldric, bergantian. “Patuh? Patuh yang seperti apa maksud Ibu? Berusaha menutup mata dan mempertahankan pernikahan ini sementara ada seseorang yang membutuhkan tanggung jawab Aldric?” “Aku rasa Ibu sama gilanya dengan Aldric!” geram Belvina. Manik mata Belvina beralih, wanita cantik itu kini menatap Aldric dengan kilat kebencian serta kemarahan. “Jadi ini usaha yang bisa kamu lakukan? Mencari bantuan dan berlindung di bawah Ibuku?!” Ungkapan penuh kesedihan tersirat dalam setiap ucapan yang keluar dari bibir Belvina. Mata wanita itu kini bahkan mulai memanas. Air mata serta keteguhan hatinya yang sejak tadi coba Belvina pertahankan seolah akan runtuh. Menengadah ke atas, Belvina mencoba menghalau air matanya yang seakan memberontak ingin keluar. Dia tidak ingin terlihat lemah saat ini. “Jangan memaksaku lagi!” pinta Belvina lirih. “Aku benar-benar tidak bisa melanjutkannya,” imbuh Belvina. Matanya menatap sendu sang ibu, berharap jika wanita itu bisa mengerti dan menerima keputusannya. Melihat Amora yang hanya diam, Aldric mendekat. Laki-laki itu berusaha meraih tangan Belvina meski ditolak. Belvina lebih memilih bersedekap dada sebagai bentuk penolakannya. “Beri aku kesempatan, aku mohon, ya? Aku akan menyelesaikan masalah ini sebelum tangal pernikahan kita, hem?” ucap Aldric memohon. “Yang dikatakan Aldric benar. Biarkan dia menyelesaikan semuanya dan beri dia kesempatan. Seperti apa yang Ibu katakan saat itu, anggap saja ini sebagai ujian jelang pernikahan kalian! Ini bukan sesuatu yang besar yang tidak bisa diselesaikan!” Amora turut menimpali, mencoba meyakinkan putrinya lagi untuk tidak membatalkan pernikahan mereka. Belvina tersenyum miring. Bukan sesuatu yang besar? Yang benar saja! “Bukan sesuatu yang besar?” Belvina mengulang ucapan ibunya. Namun, dengan nada yang berbeda. Penuh emosi dan rasa tidak percaya. “Apa Ibu sadar dengan apa yang Ibu ucapkan! Aldric tidur dengan wanita lain, bu, dan wanita itu hamil! Hamil!” lanjut Belvina. Wanita itu menekankan kata hamil berulang kali. Amora memejamkan mata. Bukan tidak tahu, dia hanya sedang berusaha menutup matanya saja saat ini. Tangannya terkepal, menahan kekesalan atas pemberontakan yang terus dilakukan oleh putrinya. Bibirnya hendak berucap, menyuarakan pendapatnya kembali. Namun, kata-kata yang keluar dari bibir Belvina membuat mulutnya tertutup. “Bu, wanita yang hamil itu Alethea! Dia Alethea, Bu! Tidakkah Ibu bisa berpikir apa yang harusnya kita lakukan! Kita tidak bisa menutup mata dan terus melanjutkan pernikahan ini.” Belvina membuang wajahnya ke sembarang arah. Matanya kembali terasa panas. Kali ini jauh lebih buruk dari sebelumnya. Cairan bening itu bahkan sudah menumpuk di pelupuk matanya sampai sesosok orang yang begitu dikenalnya berjalan dari arah yang berlawanan dengannya, membuat cairan itu seakan tertarik kembali. Pria tinggi, gagah, dan tampan dengan setelan jas berwarna biru navy itu terus menarik atensinya. Kata-kata yang pria itu ucapakan tentang kesepakatan pernikahan kontrak yang beberapa waktu lalu mereka tanda tangani terus menari-nari dipikirannya. Dante Marquez---jika memang pria itu adalah cara untuk bisa lepas dari Aldric dan segala tekanan ibunya, maka dia akan menggunakannya. “Aldric, bukankah aku sudah bilang kalau aku menemukan penggantimu?” Aldric seketika menegang. Ia menggeleng-geleng. “Kamu pasti hanya berbicara omong kosong.” “Omong kosong?” Belvina menyeringai kemudian menjauh dari sana. Sementara Aldric dan Amora, mereka menatap bingung akan tingkah aneh Belvina yang tiba-tiba berjalan menjauh. Dengan senyum mengembang, Belvina berjalan penuh keyakinan, menghampiri pria itu dan menggamit tangannya, mengabaikan tatapan penuh kebingungan yang dilemparkan oleh Dante. Belvina menarik pria itu untuk menghampiri sang ibu dan juga mantan kekasihnya. Ia lalu menghentikan langkah ketika sudah berdiri di depan Amora yang semakin bingung dan Aldric yang membelalakkan matanya. “Inilah pria yang akan menggantikan Aldric sebagai suamiku!”“Apa lagi?” Belvina menghela napas jengah. Mereka baru sampai setelah mengendara hampir satu setengah jam. Apalagi masalahnya jika bukan Dante. Pria itu terus merengek minta pulang setelah godaan yang dilakukannya. Salahnya memang, tapi jika tidak begitu surat izin yang dikeluarkan oleh Dante pasti akan diikuti oleh banyak aturan. Menghadapi Alethea saja sudah cukup membuatnya pusing, apalagi jika ditambahi Dante. bisa gila dia. Saat ini dia hanya ingin menyelesaikan ini secepatnya lalu pulang untuk beristirahat.“Bagaimana kamu tahu jika Aldric ada di sini? Apa kamu sering kemari saat kalian masih pacaran?” cecar Dante seperti polisi yang sedang mengintrogasi tersangka.Belvina memutar matanya. Tangannya terlipat ke atas, jika sudah begini semuanya tidak akan berjalan dengan mudah. Dari semua sifat Dante, dia paling benci dengan yang satu ini.“Hanya menebak,” jawab Belvina sedikit berbohong.Menjalin hubungan yang cukup lama tentu membuat Belvina tahu kemana tempat-tempat yang mung
“El, kamu janji kan kalau setelah ini akan membawaku menemui Aldric?”Alethea menatap penuh harap pada sosok Belvina yang ada di sisinya. Saat ini mereka sedang ada di lokasi tempat dimana akan diadakannya acara peluncuran baju ibu hamil yang harusnya dilakukan oleh Amora.“Jika aku bisa menemukan Aldric, aku tidak akan meminta bantuanmu, El.” Alethea meremas ujung bajunya. “Aku tidak tahu harus mencarinya kemana,” imbuh Alethea.Belvina menghela napas panjang. Telinganya muak harus mendengar curhatan saudaranya ini. Alethea pikir dia tahu dimana keberadaan Aldric. Berhubungan saja tidak pernah. Jika bukan karena terdesak, tentu dia tidak akan pernah mau mengiyakan permintaan Alethea.“El, kamu mendengarku kan?” Alethea menggoyang-goyangkan tangan Belvina, memohon lagi dan lagi.“Hem…,” jawab Belvina singkat.Alethea tersenyum. Namun, saat ia memalingkan tubuhnya, matanya menyipit tajam.Bibirnya menyungging seolah menyiratkan sesuatu.***Acara peluncuran berjalan lancar. Penampilan A
“Eughh….” Lenguhan kecil keluar dari mulut Dante. Pria itu baru bangun, matanya belum benar-benar terbuka, tapi harum parfum Belvina serta suara hair dryer memaksanya untuk membuka matanya.“Mau kemana?” tanya Dante masih betah bergelung dibawah selimut. Tubuhnya tidak tertutup apapun kecuali selimut.Belvina melemparkan senyum. Ia mematikan hair dryer lalu menyisir rambutnya yang dibiarkan tergerai.“Ada sedikit masalah. Aku harus ke kantor untuk menyelesaikannya,” jawab Belvina tenang.Dante yang tadi bermalas-malasan langsung menegakkan punggungnya. Ia mendekat ke arah Belvina, tapi masih di atas kasur.“Ke kantor?” ulang Dante. Nadanya terdengar tak suka.“Apa tidak ada orang selain kamu yang bisa diandalkan di sana!” seru Dante, bersungut marah.Kebahagian yang dirasakan Dante semalam, rasanya mendadak lenyap seperti bulan yang menghilang digantikan matahari. Bukan kenapa-kenapa, dia hanya takut jika terjadi sesuatu yang buruk kepada Belvina. “Aldric entah kemana. Dia sama sekal
Dante menggenggam sambil mengecup beberapa kalli tangan Belvina. Saat ini keduanya sudah berada di dalam mobil hendak kembali ke rumah. keberadaan Kimmy yang tak kunjung pulang serta sikap Naomi yang jelas sekali mengunggulkan Kimmy, membuat Dante memutuskan untuk mengajak Belvina pulang. Dia tidak ingin membuat Belvina merasa tertekan atau tidak nyaman jika harus terlalu lama di sana.“Mau pergi jalan-jalan?” tanya Dante mencoba memecah keheningan. Belvina memang terlihat tidak marah, tapi tidak ada yang tahu apa yang ada di otak perempuan. Bisa saja diamnya Belvina saat ini adalah bentuk dari kemarahannya.“Jalan-jalan? Kemana?” tanya Belvina mendongak menatap wajah Dante. Tadi dia sedang bersandar di dada Dante, sambil membuka sosial medianya. “Kemanapun yang kamu mau,” jawab Dante, menoel hidung Belvina.Mata Belvina berbinar. Ia menarik tubuhnya untuk menatap wajah Dante sepenuhnya. “Sungguh?”Dante menganggukkan kepalanya. Bibirnya lalu menyentuh bibir Belvina, melumatnya seben
“Apa kamu yakin ini saja sudah cukup?” tanya Belvina kembali melihat barang bawaannya yang akan dibawa ke rumah mertuanya. Di atas meja sudah ada buah-buahan kesukaan Naomi, kue dan juga bunga.“Apa kamu ingin mengambil hati ibuku?” Dante meletakkan dagunya di atas pundak Belvina. Tangannya memeluk erat pinggang sang istri.Belvina tersenyum simpul. Tubuhnya yang tadi menghadap ke depan, kini berputar menghadap Dante. Tangannya mengusap dada Dante sambil berkata, “Tidak akan ada cara untuk membuat orang yang tidak suka dengan kita, menjadi suka. Pembenci selamanya akan tetap menjadi pembenci.”“Lalu kenapa kamu terlihat begitu berusaha?” tanya Dante penasaran.Belvina menghela napas panjang. “Setidaknya aku harus berusaha menjadi menantu yang baik, meski tidak disukai.”Dante mengulum senyum. Tangannya mengusap surai Belvina yang dikuncir kuda. Melihat sikap lapang dada yang ditunjukkan oleh Belvina, membuat hatinya semakin dipenuhi rasa suka. “Berangkat sekarang?” tawar Dante yang d
“Tapi…?” tanya Belvina penasaran.Melihat raut wajah sekertaris Dante yang gelisah, pikiran Belvina mulai bercabang kemana-mana.Berita perselingkuhan dan pengalaman pribadi, membuat pikirannya semakin semrawut. Yang ada di otaknya saat ini Dante tengah bercumbu mesra dengan seorang wanita di dalam sana.Tak ingin semakin berpikiran liar, Belvina menerobos masuk ke dalam ruangan Dante, mengabaikan panggilan sekretaris suaminya tersebut.Mata Belvina mengerjap beberapa kali, tubuhnya membeku saat melihat sosok wanita menggunakan blazer dipadukan rok mini sedang berdiri di depan Dante. Tidak ada adegan yang panas seperti di otaknya. Dante terlihat diam dengan tatapan dinginnya, tapi entah kenapa hatinya tetap tak suka.“Sayang…? Kamu sendiri?”Dante yang tadi duduk di kursi kebesarannya, segera berdiri. Ia tersenyum lebar, tangannya merengkuh pinggang Belvina. Sebuah kecupan singkat mendarat indah di bibir sang istri. Membuat wajah yang tadinya masam itu kini tersenyum.“Kenapa tidak me